PUASA adalah wahana manusia menjadi adimanusia. Cara manusia
menyerupai sifat Tuhan: tidak makan dan tidak minum.
Itulah sebabnya puasa adalah ibadah yang tinggi derajatnya.
Ia cara Tuhan mengajak manusia “merasakan” langsung dimensi ketuhanan. Caranya
dengan memutus hubungan dari aktivitas yang mengikutkan hasrat libidinal
manusia: makan, minum, seks, dengki, marah, dll. Ibarat Tuhan yang suci,
melalui puasa, manusia diajak mensucikan dirinya dari godaan yang membuatnya
”kotor” dan hina.
Puasa juga merupakan ibadah personal. Berbeda dari salat
misalnya, ibadah puasa tidak menampakkan langsung bentuk praktiknya. Salat
ketika dilaksanakan memungkinkan banyak orang melihatnya. Sementara puasa,
saking personalnya, selama ia dikerjakan dengan penuh komitmen, adalah rahasia pelaku puasa dengan Tuhannya belaka.
Agama mengandung dua dimensi: eksoteris dan esoteris.
Dimensi eksoteris agama adalah ”praktik” syariat yang dikerjakan manusia. Ia
adalah aspek ”luaran” agama; tampakan lahiriah yang mewakili nilai agama
melalui cara, model, bentuk, atau metode tertentu. Perbedaan tata cara
menyembah tiap agama adalah contoh aspek ”luaran” yang berpangkal dari pemahaman syariat yang
berbeda-beda.
Kadang di suatu masjid ditemukan seseorang menangis ketika
salat. Air matanya berlinang saat menundukkan kepalanya. Sehabis salat ia
melanjutkan ibadahnya dengan berdoa. Sesekali ia sesenggukan masih menangis.
Sementara tidak jauh dari tempatnya, jamaah yang lain nampak biasa-biasa saja melakukan
salat. Jangankan bersedih, air mata yang mengalir di pipinya pun tak ada.
Dua orang di atas sama-sama melakukan rukun salat secara
tertib. Dari takbir hingga mengucapkan salam. Namun hanya seseorang yang
menangis dalam salatnya. Si abid yang menangis ini sedang “menghayati”
pengalaman beribadahnya. Ia sedang merasakan
dimensi “dalaman” salat. Tidak sekadar bergerak melaksanakan rukun salat, ia
terhanyut di dalam spiritualitas salat. Jiwanya tergetar saking khusuknya.
Orang yang menangis ini sesungguhnya sedang menyerap dimensi esoteris ibadah.
Sementara jamaah yang sama sekali tidak menangis hanya bergerak di tataran
eksoteris belaka.
Puasa karena tidak nampak pelaksanaannya—selain waktu menahan
dan berbuka, bisa dilakukan dalam berbagai aktifitas. Puasa bisa dijalankan
sambil bekerja di kantor, menarik becak, berjualan di pasar, atau sambil
tidur-tiduran di rumah sekalipun. Bahkan puasa adalah ibadah yang unik karena
bisa sekaligus dilaksanakan dalam ibadah lain. Sambil puasa seseorang masih
dapat melaksanakan salat secara bersamaan. Berbeda misalnya, salat. Tidak
mungkin pelaksanaan salat dirangkaikan sekaligus dengan ibadah haji.
Karena puasa adalah ibadah di dalam ibadah, ia sesungguhnya
berkaitan erat dengan dimensi esoteris manusia. Tujuan puasa adalah penajaman
dimensi kejiwaan manusia dari hasrat rendah ego. Selain menahan lapar dan
dahaga, puasa melibatkan pengelolaan jiwa agar tidak terjebak ke dalam niat
buruk dan jahat kebinatangan.
Tahun kedua Hijriah, di bulan Ramadan sepulang dari perang
badar, Rasulullah mengingatkan para sahabat bahwa sesungguhnya mereka baru
pulang dari perang kecil dan akan segera menghadapi perang besar. Sahabat yang
heran bertanya: ”Perang besar apalagi yang akan kita hadapi, ya Rasulullah?”
Nabi Muhammad SAW menjawab, “jihaadun
nafsi (perang melawan hawa nafsu).”
Melalui narasi filosofis Nietzsche, filolog asal Jerman,
manusia didakukan sebagai mahluk yang memendam hasrat berkuasa. Kata Nietzsche,
niat beragama, berbudaya, berekenomi, dan berpolitik adalah wujud dari kehendak
manusia untuk berkuasa. Jika ada representasi moral dari tindak tanduk perilaku
manusia, kata Nietzsche, itu hanyalah topeng dalam rangka menguasai.
Dalam arena keseharian, kekuasaan gamblang dipraktikkan
sehari-hari. Terkadang hawa nafsu menjadi sumber produksi kekuasaan. Di medsos
orang bebas berkuasa mengatakan apa saja. Hasratnya untuk menguasai pikiran
netizen ditampakkan dari kerajinannya bersilat lidah. Tidak jarang lidahnya
menyakiti lebih tajam dari sebilah pedang.
Di mal-mal, uang menjadi alat kekuasaan paling destruktif
menciptakan hasrat berbelanja tingkat tinggi. Era sekarang era masyarakat
konsumsi. Begitu pendakuan ahli ilmu-ilmu sosial. Berbelanja menjadi trend dan
praktik sehari-hari. Banyak orang berkuasa demi membeli sebanyak mungkin
barang-barang. Aku berbelanja maka aku ada. Demikian keyakinan masyarakat berbelanja.
Di ruang publik, banyak bermunculan kelompok-kelompok sosial
melaksanakan aksi protes. Tidak jarang demi kekuasaan mereka menguasai jalan
raya hingga menimbulkan kemacetan. Akhirnya di jalan raya kekuasaan kelompok
massa mau tidak mau berhadapan dengan kekuasaan pihak kepolisian demi
menciptakan ketertiban umum.
Di tingkatan elit politik, kekuasaan adalah magnet.
Kekuasaan dibicarakan dan tidak jarang malah diperebutkan. Tidak segan-segan,
bahkan banyak elit politik memanfaatkan kekuasaan demi mempertahankan posisi
dan kepentingannya. Kekuasaan di tingkatan elit adalah jenis kekuasaan yang melibatkan
banyak pihak. Itulah sebabnya, kekuasaan di tingkatan elit paling banyak
menyedot perhatian.
Singkatnya kekuasaan ada di mana-mana. Ia tampil dalam berbagai
bentuk dan motivasi. Namun seperti perkataan Rasulullah di atas, tiada
kekuasaan yang paling besar untuk ditundukkan selain hawa nafsu. Hawa nafsu-lah
cikal bakal seseorang diikat ambisi kekuasaan. Oleh sebab itu ramadan adalah momen
yang tepat untuk mendidik hasrat manusia dari hawa nafsu berkuasa. Memutus mata
rantai kepentingan dan kepongahan. Mendudukkannya kembali di bawah terang
cahaya ilahi.
---
Telah terbit sebelumnya di Tribun Timur edisi 15 Mei 2019