Revolusi a la Gabriel Garcia Marquez


Cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik yang dapat ia lakukan. Begitu pendakuan Gabriel Garcia Marquez, sastrawan masyur yang menulis One Hundred Years of Solitude. 

Marquez tidak seperti para pengkotbah di negeri ini yang meyakini perubahan hanya bisa disandarkan kepada kebutuhan untuk bersuara. Tentunya ini bukan sekedar trik Marquez untuk menyeret orang-orang dari “pusaran suara” menuju “pusaran aksara.” Apalagi menganggapnya sebagai strategi untuk menarik minat orang-orang agar menyenangi quote-quote inspiratif.

Sebaliknya,  menurut eike ini cara Marquez untuk menyampaikan suatu pengertian yang jauh lebih ke belakang, jauh lebih fundamental: menghayati aksara dengan beragam risikonya.

Pertama-tama, ini mungkin spekulatif: tidak ada penghayatan terhadap aksara tanpa sebelumnya beririsan dengan dirinya sendiri. Dalam konteks dunia yang mengakomodir publisitas sebagai indikator kemajuan, seseorang mesti pertama kali menaklukkan dirinya untuk mau menepi di pesisir kesunyian.

Konon Orhan Pamuk, sebelum menjadi penulis seterkenal sekarang, kurang lebih banyak mengurung dirinya selama delapan tahun di perpustakaan tanpa diganggu peristiwa sehari-hari. Entah apa yang terjadi di kala itu.

Tapi, dari pengalamannya macam demikian, kita bisa menarik faedah kira-kira apa yang terjadi jika Anda mengurung diri selama bertahun-tahun di dalam ruangan yang penuh buku-buku? Mungkin Anda mampu menghapal pelbagai macam judul buku beserta deretannya di atas almari. Atau mengetahui hampir semua isi buku yang mengelilingi Anda? Apakah Anda akan menjadi Orhan Pamuk yang lain? Mungkin.

Secara ilustratif, model hidup semacam itu kemungkinan besar akan dicela sebagai kehidupan yang mengingkari kehidupan bermasyarakat. Seperti kaum sufi yang mentalak dunia demi pencapaian spiritualitas tingkat tinggi. Namun, dunia justru membuktikan, jalannya sejarah perabadan manusia kadang sangat ditentukan dari pencapaian orang-orang yang bercengkrama dengan kesendirian.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu sebagai suatu pernyataan sampai sekarang masih sering membuat eike takjub terhadap kandungan makna yang ada di baliknya. Bagaimana mungkin seorang bisu mampu bernyanyi? Situasi apakah yang mendorong seorang bisu harus bernyanyi di dalam kesunyian? Dalam situasi itu, jenis suara seperti apakah yang dihasilkan dari nyanyian seorang yang bisu?

Terlepas dari eksposisi di atas, di situ sunyi dan bisu bagi eike adalah dua situasi yang extraordinary. Melalui situasi itulah sunyi dan bisu  yang dimaksud dari buku Pramoedya Ananta Toer menemukan momentum pemakanaannya.

Biografi Pamuk dan terlebih lagi Pram adalah biografi orang-orang yang dipapar kesunyian. Mereka adalah orang-orang yang mengelola kesunyian menjadi kekuatan. Bagi eike, di titik inilah momen revolusioner diciptakan. Dan menulis adalah strategi mereka untuk melancarkan suatu gema, suatu suara. Barangkali inilah suatu cara terbaik yang dikatakan Marquez sebagai jalan untuk menjalankan revolusi.

Kedua, dilihat dari konteks abad ini, menulis adalah pekerjaan yang sama berartinya dengan pekerjaan-pekerjaan teknis lainnya. Dia sama revolusionernya dengan penggunaan gadget dewasa ini. Dengan kata lain, menulis memiliki pengaruh yang cukup signifikan di dalam menciptakan perubahan sosial.

Sebagai perbandingan, setelah tradisi lisan dipentaskan di atas podium-podium agama, tulisan-tulisan Martin Luther yang ditujukan untuk mengkritik doktrin gereja abad pertengahan menjadi medium baru dan mampu mengkonsolidasikan suatu pandangan baru sebagai basis keimanan. Semenjak kritik teologi yang ditulisnya disebarluaskan, sejarah kekristenan berubah dengan  munculnya aliran baru yang hari ini dikenal sebagai Protestanisme.

Memang agak klise, tapi perubahan sejarah kekristenan itu sepakat atau tidak, ditengarai melalui medium tulisan. Dengan sokongan revolusi mesin cetak Guttenberg, tulisan semenjak itu mulai mengubah bentuk kesadaran yang beralih dari suara menjadi aksara. Dengan cepat terjadi liberalisasi ilmu pengetahuan dengan menerobos sekat-sekat kelas masyarakat saat itu.

Di masa sekarang, kejelian ramalan Alvin Toffler mengenai kedudukan sejarah di masa akan datang menemukan momentumnya. Dengan tesis yang pernah ia ajukan tentang buta huruf, secara patologis menggambarkan kebutaan secara informatif masyarakat gelombang ke tiga ditunjukkan bukan dari mereka yang tidak bisa baca tulis, melainkan ketidakmampuan orang-orang mengelola informasi dan keengganan untuk belajar seiring perubahan yang terjadi.

Dengan kata lain, keberlimpahan informasi yang mengepung kehidupan masyarakat hari ini tidak menjamin kemajuan secara epistemik masyarakat itu sendiri.

Justru kenyataan sebenarnya adalah, banyak orang-orang yang masih buta huruf akibat tidak mampu mendudukkan informasi sebagai data penting untuk memajukan kehidupannya.

Dari konteks di atas, dengan begitu menulis sama berartinya sebagai pekerjaan yang memukul buta huruf. Suatu upaya melawan kebodohan. Di situ ada kegiatan pengelolaan informasi menjadi data, membaca pelbagai referensi, membandingkan data-data, dan menganalisis hasil bacaan. Dengan kata lain, suatu tindakan revolusioner.

Ketiga, menulis dengan sebaik yang dapat ia lakukan berbeda dengan hanya sekedar menulis. Sebaik yang dapat  dilakukan adalah kuncinya. Frasa itu menandai pentingnya segala upaya dan tenaga sebagai daya dorong bagi seseorang untuk memberikan yang terbaik dari kemampuan menulis yang dimilikinya.

Sebaik yang dapat  dilakukan dengan kata lain adalah parameter yang memisahkan mana penulis yang mau berjibaku dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, dan yang mana penulis yang pada akhirnya berhenti dan menyerah dengan hanya memberikan kemampuan ala kadarnya.

Ini artinya seperti seseorang yang melawan dirinya sendiri untuk menetapkan batas-batas terjauh dari kemampuan dirinya. Esok bukanlah hari ini, dengan sekaligus harus jauh lebih baik dari hari sekarang.

Dengan kata lain, ini adalah suatu ritme. Suatu tindakan keberlanjutan terus menerus.

Syahdan, perkataan Marquez di atas memang bukan frasa yang akrab ditemui jika berbicara mengenai perubahan sosial. Apalagi jika itu mau dikatakan sebagai anjuran-anjuran revolusioner yang kerap mengundang orang-orang agar mau berkumpul di jalan raya. Revolusi Marquez dengan kata lain bukan jenis revolusi yang berbasis barisan orang-orang. Dia sesuatu yang lain, sesuatu yang membutuhkan ruang tersendiri untuk menyusunnya. Suatu pekerjaan soliter.

Akhir kata, ketika hari ini banyak pekik suara-suara yang mengepung di atas udara, bisa jadi itu hanya jenis suara yang banal. Mungkin itu bukanlah sumber perubahan?

Tertawalah Sebelum Tertawa itu Dilarang


Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur 
Tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001
Populer dengan humornya: "Gitu Aja Kok Repot"

KONON orang Rusia pelit tersenyum apalagi tertawa. Tertawa bagi orang-orang Rusia tidak diperuntukkan bagi sembarangan orang, apalagi bagi orang tidak dikenal. Bahkan ada penelitian dari seorang professor di Universitas Voronesh, orang-orang Eropa umumnya mengenal orang Rusia sebagai orang-orang pemurung, suka cemberut, dan mudah marah.

Berbeda dari masyarakat kita gampang tersenyum. Bahkan kita mudah menggumbar senyuman kepada orang yang masih asing. Ingatan bangsa kita mengenal orang paling mudah memberikan senyuman di saat kapan pun sudah tentu adalah Soeharto. Tidak tanggung-tanggung di saat memerintah dan menindas  pun ia masih bisa melakukannya

Itu tanda bahwa secara umum orang-orang Indonesia ramah-ramah, baik hati. Piye kabare, gimana wuenak zamanku, to?

Melalui pendekatan psikologi, seorang scholar ilmu jiwa Pavel Ponomaryof mengemukakan sulitnya orang Rusia mengumbar senyum atau tertawa akibat latar belakang  sejarah mereka yang lama menghadapi agresi bangsa lain. Akibatnya, masyarakat Rusia memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Itulah sebabnya, tertawa atau tersenyum bagi bangsa Rusia mahal harganya. Dia tidak diperuntukkan bagi banyak orang.

Yang menarik, agak berbeda dari bangsa Rusia, bangsa Indonesia biarpun sudah mengalami banyak peristiwa sejarah kelam, masih suka melempar senyum dan tertawa sebagai tanda keakraban. Kurang afdol bagi masyarakat kita ketika pertama kali bertemu orang lain tanpa memberikan senyuman. Bahkan bagi pelaku kejahatan tingkat tinggi, koruptor misalnya, masih bisa tersenyum manis ketika di meja hijau.

Di Jepang, sulit menemukan seorang koruptor mengumbar senyuman setelah kedapatan melakukan kejahatan konstitusional. Di sini, saking ramahnya kita, sulit menemukan wajah menyesal bagi kasus yang sama seperti pejabat-pejabat publik di Jepang.

Memang sudah budaya kita ramah kepada orang lain. Kadang sikap itu diwujudkan melalui senyuman atau bahkan tertawa sebagai tanda saling menghormati.

Tapi walaupun tertawa merupakan hak seluruh manusia, bahkan disebutkan oleh seorang ahli jiwa merupakan bagian dari enam emosi dasar manusia, secara kultural setiap kebiasaan masyarakat nyatanya memiliki ekspresi yang berbeda-beda saat melakukannya. Bahkan ada bangsa-bangsa yang dikenal humoris akibat seringnya masyarakat mereka tertawa.

Kaum perempuan di masyarakar Barat misalnya, cenderung tertawa lepas tanpa segan menjadi sorotan banyak orang. Di ruang publik perempuan-perempuan Barat tertawa riang tanpa terbebani tabu-tabu masyarakat. Ini tentu berkaitan dengan  kemajuan bangsa Barat di dalam mengakomodir kebebasan individu di ruang publik.

Sedangkan di masyarakat Timur, perempuan masih kesusahan menyalurkan kebahagiaannya di depan umum. Tertawa riang bagi perempuan di keramaian sulit dilakukan akibat tradisi masyarakat yang masih kuat. Dikaitkan dengan budaya patriarki, tertawa lepas bagi perempuan masih dianggap tidak layak dilakukan.

Itulah sebabnya, bagi perempuan hanya untuk tertawa saja membutuhkan ruang khusus seperti di belakang dapur, di dalam kamar, atau perkumpulan di antara mereka agar dapat tertawa lepas. Bisa jadi, tindakan membicarakan orang melalui gosip yang umumnya dilakukan perempuan akibat dari domestifikasi yang mereka alami. Dengan kata lain, gosip yang seringkali diselingi tertawa lepas, bisa jadi imbas dari sempitnya ruang gerak mereka di masyarakat.

Dalam dunia seni peran, bahkan perempuan juga mengalami hal yang sama. Film-fim horor misalnya, adalah ilustrasi yang bisa mewakili bagaimana perempuan hanya bisa tertawa apabila ia telah mangkir dari kehidupannya. Dia hanya bisa tertawa pasca kehidupannya. Itulah sebabnya, hantu-hantu perempuan selalu identik dengan tertawanya yang khas melengking. Cara tertawa yang mengekspresikan kurang leluasanya ia di masa hidup, mungkin.

Terlepas dari rumitnya perempuan mengakses ruang publik untuk tertawa, dalam dunia humor tanah air, kita sering mendengar frasa “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” Warkop DKI adalah ikon yang mempopulerkan frasa ini melalui film-film yang mereka bintangi. Dilihat dari konteks frasa ini, Warkop DKI menjadikan humornya sebagai jangkar ingatan atas rezim otoriter yang memasung kebebasan berekspresi dan kebebasan  berpendapat. Tertawa sekalipun.

Hubungan tertawa dan kekuasaan kadang tidak seimbang, dan sering kali malah bertentangan. Literasi sufistik mengenal Nasruddin Khoja sebagai sosok bahlul yang pernah hidup dengan tingkah laku gilanya. Nasruddin Khoja sering ditempatkan sebagai antitesa dari rezim yang sering menjadi sasaran kritik leluconnya. Melalui kecerdikannya yang kerap mengundang tawa tersemat daya dorong yang memberikan suatu pengertian kritis mengenai situasi yang dialami .

Sosok yang kadang diasosiasikan dengan Abu Nawas ini juga muncul dalam kisah sastra klasik Seribu Satu Malam. Dikisahkan Abu Nawas cum penyair menggunakan lelucon menjadi orang gila untuk menolak wasiat ayahnya bekerja sebagai hakim di bawah pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid yang otoriter.

Di tanah air, melalui kisah pewayangan kita mengenal sosok Semar. Semar diriwayatkan adalah jelmaan dewa yang menyamar sebagai rakyat jelata dengan rupa jelek sekaligus bertubuh pendek dan gemuk. Sebagai orang biasa Semar memiliki perkataan dan tingkah laku di luar dari kebiasaan umum. Walaupun dia adalah rakyat jelata, di kisah Mahabrata maupun Ramayana, Semar sebenarnya adalah pengasuh dan penasehat para ksatria. Yang unik, ketika ia memberikan petuah kepada para ksatria, seluruh nasehat dikemasnya melalui bahasa humor.

Yang lebih dekat dari ingatan, kita mengenal juga Gus Dur sebagai sosok yang sering menggunakan guyonan untuk menyampaikan buah pikirannya. Seperti sosok Semar atau Abu Nawas dalam dunia tasawuf, Gus Dur menggunakan strategi bahasa melalui humor untuk memobilasi daya kritis masyarakat Indonesia. Walaupun sering kali bernada sarkastik, guyonan Gus Dur kadang membuat panas telinga orang-orang yang tidak mampu menangkapi inti pesannya.

Jika dalam kekuasaan tertawa malah dianggap perilaku yang menyebalkan, seperti yang diharapkan dari kisah-kisah Nasruddin Khoja atau Abu Nawas, tertawa justru adalah tanda sehatnya jiwa. Tentu tertawa di sini adalah jenis tertawa yang lahir dari lapang dan terbukanya jiwa. Dengan kata lain selain menangis, tertawa dalam hal ini menjadi mekanisme jiwa untuk merestart ulang keadaannya agar kembali ke keadaannya yang semula.

Di titik ini sebenarnya kita perlu memahami pentingnya tertawa. Menurut penelitian selain mampu menurunkan kalori, tertawa juga dapat menjaga sistem pikiran agar tidak mudah stres dan meningkatkan kekebalan tubuh dari penyakit. Apalagi, di masa sekarang, begitu banyak masalah yang bisa membuat orang mengalami stres berkepanjangan.


Syahdan, konon dalam dunia tasawuf, orang-orang yang sering kali banyak guyon, atau mudah tertawa adalah tanda-tanda dari tingginya makam spriritualnya. Di sini kita bisa mengerti kenapa para sufi sering dikatakan gila akibat guyonannya yang mengundang tertawaan.

---

Telah dimuat sebelumnya di Kalaliterasi.com

Membendakan Gagasan


Bagus Takwin
Psikolog, penulis dan akademikus berkebangsaan Indonesia 
Namanya dikenal sebagai pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Penulis buku ”Akar-Akar Ideologi”

PARA seniman memiliki kemampuan mengkonkritkan gagasan menjadi benda-benda. Seorang pematung misalnya, melalui keahlian khusus dapat membuat patung-patung berdasarkan gagasan dalam benaknya. Melalui  benaknya sudah ada ide-ide siap direalisasikan dengan mengolah bahan mentah berupa batu atau kayu menjadi benda yang bernilai tertentu.

Dalam hal ini patung adalah benda kultural. Dan kayu atau batu sebagai bahannya adalah benda natural. Dengan kata lain, kemampuan membendakan gagasan sang pematung adalah kerja transformatif mengubah “yang natural” menjadi “yang kultural”.

Tidak sekadar mengubah ide menjadi benda belaka, atau mengubah yang natural menjadi kultural. Para seniman juga mampu mengubah benda yang semula tidak bernilai apa-apa menjadi barang yang bernilai estetik. Dalam hal ini, sang seniman memiliki kemampuan serta kepekaan membendakan ide-ide estetis ke dalam karya tangannya.

Dengan kata lain, tidak sekedar mengubah gagasan menjadi benda-benda, tapi para seniman mampu menyulap sesuatu menjadi indah melalui kerja kreatifnya.

Di sini yang kultural bernilai setingkat dari sebelumnya; dia menjadi benda-benda estetik.

Di medan bahasa, para sastrawan juga memiliki kemampuan yang hampir mirip para pematung. Hanya saja seorang sastrawan menggunakan medium bahasa untuk membendakan gagasannya. Ide-idenya adalah bahannya itu sendiri. Seperti sang pematung, sang sastrawan juga memiliki akses kepada alam natural untuk diolahnya. Artinya dengan kata lain, melalui bahasa, sang sastrawan juga menciptakan benda kultural menjadi karya sastra yang dapat dinikmati banyak orang.

Nampaknya, dua contoh di atas adalah “pekerjaan” abadi yang secara kebudayaan ditanggung manusia semenjak pertama kali ia ada. Perjumpaan awal sang manusia terhadap alam adalah perjumpaan bagaimana dia “membudayakan” kehidupannya. Dalam hal ini, seperti yang ditemukan dari peninggalan kehidupan manusia awal di dalam gua-gua berupa gambar dan simbol-simbol, adalah “pekerjaan pertama” manusia menarasikan kisahnya untuk membangun kebudayaannya. Dari sisi ini dapat dikatakan kebudayaan adalah cara manusia mengisahkan hidupnya.

Manusia adalah mahluk pembuat kisah. Begitulah yang dinyatakan Bagus Takwin, seorang psikolog UI. Yang unik dari pendakuan Bagus Takwin, manusia sang pembuat kisah selalu berpusat kepada “diri” (self) sebagai peran utamanya. “Diri” dalam hal ini adalah pusat kesadaran, tidak saja menjadi fondasi identitas manusia, melainkan juga menjadi “jaringan” yang bertautan dengan “diri” yang lain untuk melengkapi kisah yang berpangkal darinya.

Melalui pertautan inilah “diri” sebagai kisah dikembangkan manusia dengan cara mendialogkan dirinya dengan daya-daya yang ditemukan di luar darinya. Selain dari pada itu, melalui cara ini, “diri” akhirnya menjadi jauh lebih berkembang bergantung dari di mana dan dengan apa ia bertaut.

Dalam konteks komunikasi, “diri” adalah medan terbuka dari praktik-praktik pemaknaan. Sang “diri” melalui proses pemahaman senantiasa menangkap makna melalui simbol-simbol yang dihadapinya. Melalui cara ini manusia sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai mahluk simbolik; mahluk yang berinterakis dengan perantara makna-makna yang ditangkapnya.

Paul Ricoeur seorang filsuf abad 20 dalam hal ini memiliki pendapat, identitas diri manusia dapat dikenalinya seperti dia mengenali kisah-kisah yang tertuang dalam cerita-cerita kebudayaan. Melalui kedudukan semacam ini, kebudayaan adalah kisah berupa teks-teks yang dibendakan dari kebiasaan-kebiasaan, tradisi, norma-norma, dan atau pandangan dunia. Dengan kata lain, bagaimana sang manusia membaca “dirinya” sama halnya berarti dia membaca kebudayaannya.

Itulah sebabnya, kebudayaan adalah salah satu tatanan epistemik yang memungkinkan “diri” manusia dapat berkembang. Melalui kisah-kisah dalam budaya (Tu manurung dalam masyarakat Sul-sel, kisah Mahabrata bagi masyarakat Jawa, misalnya) manusia mempertautkan kisahnya untuk menggenapi “dirinya.”  

Tapi, nampaknya era kiwari manusia seolah-olah berhenti menciptakan kisah. Atau dengan kata lain –meminjam ungkapan Radhar Panca Dahana—manusia berhenti memproduksi kebudayaannya.

Zaman mutakhir adalah zaman tanpa kisah. Hal ini ditandai dari guncangnya identitas masyarakat jika mengalami pergesekan dengan simbol atau “diri” yang lain. Gejala ini juga menandai terjadinya disorientasi dan dislokasi atas apa yang sedang dihadapi. Kesalahan membaca kisah kebudayaannya, berarti juga dengan sendirinya kesalahan ketika membaca “dirinya.”

Zaman tanpa kisah juga adalah zaman ketika manusia kehilangan kemampuan membendakan gagasan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini akhirnya hanya menjadi situasi tanpa arti apa-apa selain menjadi ajang untuk mengkonsumsi gagasan tinimbang membudayakannya. Wahana komunikasi melalui pelbagai media canggih juga hanyalah menjadi artefak yang tidak memiliki signifikansi apa-apa tanpa mampu memproduksi gagasan dan membendakannya.

Di titik ini, praktik-praktik pemaknaan terhadap budaya yang hanya sebatas level konsumsi, mesti didorong seperti kerja-kerja seorang seniman di atas. Suatu kemampuan untuk mengolah segala sumber daya yang dimiliki untuk menunjang kehidupannya sendiri. Secara komunikatif, “sang diri” manusia harus terbuka kepada pertautan-pertautan simbol, tradisi dan nilai yang mengepungnya. Manusia harus mulai membaca “kisah.”     

Dengan kata lain, praktik membendakan gagasan adalah dimulai dari praktik membaca kisah untuk kemudian membendakannya kembali. Suatu praktik dialektis yang terwujud dari tindakan membaca dan memproduksi kebudayaan.

Itu artinya hal yang paling pertama untuk membendakan gagasan adalah membaca “diri” sebagai pangkal kebudayaan itu sendiri. Tanpa itu mustahil ada yang bisa dikisahkan, mustahil ada yang bisa diliterasikan.


Of Mice and Men, John Steinbeck

Data buku:
Judul Buku: Of Mice and Men
Penulis: John Steinbeck
Penerbit: Gramedia Pustaka
Tahun terbit: 2017
Tebal halaman: 144 halaman 

BUKU lawas Of Mice and Men karya John Steinbeck adalah buku pertama yang eike baca di awal tahun 2018. Tidak butuh waktu lama menghabiskannya, mengingat membaca karangan Steinbeck di hari pertama tahun baru adalah peristiwa yang lumayan menggembirakan. Aktivitas yang menghibur sekaligus bisa menjadi permulaan yang bagus untuk hari-hari yang akan datang. Ya, setidaknya di tahun 2018 eike dapat membaca jauh lebih banyak buku dari tahun sebelumnya. Kembali ke buku ini. Buku ini sebenarnya sudah eike miliki dari bulan Oktober tahun lalu, tapi apa daya, saking malasnya eike membaca akhirnya baru kesampaian di tahun 2018. Seperti karangan Steinbeck yang lain, Cannery Row misalnya, di buku ini Steinbeck memulai kisahnya dari sosok minor, katakanlah orang-orang yang tersisihkan dari kelas masyarakat dominan. Orang-orang yang kalah dari nasib mujur. Kisahnya dimulai dari dua orang pengembara pencari kerja yang membutuhkan uang demi sebidang tanah tempat mereka akan menghabiskan waktunya dengan bekerja tanpa harus diperintah oleh siapa pun. Dua orang dengan mimpi yang sederhana. Hidup dengan bebas tanpa beban pekerjaan yang ditentukan orang lain. Mereka bercita-cita menjadi tuan bagi hidupnya sendiri. Dua orang yang ingin memiliki sebidang tanah dan sebuah rumah sederhana yang bisa mereka tinggali dengan kemauan sendiri. George dan Lennie adalah dua sosok yang membuat eike berpikir betapa persahabatan dua tokoh ini adalah jenis pertemanan yang saling mengisi. Bahkan dua sosok ini mewakili gagasan mengenai kesepian yang di alami orang-orang yang termarginalisasi. Dengan kata lain, interaksi mereka adalah persahabatan yang dipupuk dari kesepian masing-masing dari mereka. Di sini Soledad, tempat yang bakal mereka tuju, sebuah kota di California, menjadi nama sekaligus arti yang mewakili kesepian itu sendiri. George bertubuh kecil, dan Lennie adalah sosok raksasa yang berotak seperti anak-anak, tapi kekuatannya jauh lebih besar dari siapa pun yang tak pernah membayangkannya. George-lah yang menjadi sahabat Lennie setelah Lennie ditinggal mati Bibi Clara, sekaligus orang yang melindungi Lennie dari keluguan sekaligus kebodohannya. Lennie memang berbadan besar tapi jangan menyangka dia secemerlang tubuh dan tenaganya. Pikirannya hanya bisa ditemukan di kepala anak-anak berusia sekira lima sampai tujuh tahun. Secara emosional Lennie bukanlah orang yang mampu mengontrol dirinya sendiri. Sangat lugu bahkan. Di sini eike merasa kadang memang keluguan anak-anak sering kali dipandang kebodohan bagi orang-orang dewasa. Dari cara berpikir orang dewasa, anak-anak sering didudukkan sebagai orang yang mesti mengikuti perintah yang lahir dari otak orang-orang yang jauh lebih tua. Tapi Lennie sebenarnya adalah bukan anak-anak. Itulah sebabnya eike merasa kebesaran hati George yang dengan kesabaran yang dimilikinya menjadi kekuatan yang mengikat persahabatan mereka. Dengan kata lain persahabatan mereka persahabatan yang juga sekaligus ikatan yang tidak lazim. Apalagi di keadaan saat itu –diceritakan keadaan ekonomi mengalami Depresi Besar—  para pekerja musiman seperti mereka sangat jarang berpergian berdua-duaan. Bukankah berpergian dengan dua orang akan membuat jatah makanan akan lebih banyak atau sebaliknya, malah berkurang. Dengan  kata lain, itu masalah mengingat kehidupan yang semakin sulit serta pendapatan yang tak kunjung membaik. Tapi di situlah kekuatan persahabatan, sekaligus cita-cita, setidaknya seperti yang dimimpikan George di dalam kepalanya. Sebidang tanah yang ia idam-idamkan dengan cara mengumpulkan uang sen demi sen. Suatu kehidupan, lebih tepatnya kebebasan yang bakal diraihnya. Sampai akhirnya mereka mendapatkan masalah akibat kebodohan, lebih tepatnya keluguan Lennie yang mengakibatkan mereka harus bersembunyi dari kejaran orang-orang di suatu malam. Saat itu, Lennie yang memiliki kesukaan aneh dengan menyentuh apa saja yang halus –ya, Lennie memiliki kesukaan menyentuh permukaan yang lembut nan halus— terperangah kepada baju seorang wanita yang dilihatnya menarik. Tanpa pikir panjang, dengan keluguannya dia berusaha meraba permukaan baju sang wanita yang membuat dirinya seperti seorang maniak seks yang mengancam (bayangkan dengan kepolosan seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba datang kepada Anda dengan memegang-megang busana yang Anda kenakan!). Masih mengelus-ngelus permukaan halus baju sang wanita, tak disadarinya Lennie membuat takut sang perempuan yang menuduhnya ingin memperkosanya. Saat itulah tindakan polos Lennie memancing kegaduhan lantaran kepanikan sang perempuan. Mereka akhirnya melarikan diri dari amuk orang-orang. Bersembunyi selama semalaman dan melalui perjalanan jauh tibalah mereka di sebuah barak tempat mereka akan bekerja mengangkut biji jelai (sejenis padi-padian yang biasa dipakai untuk makanan ternak). Tapi, tak bakal ada yang akan menduga, di situlah Lennie akan membuat masalah di luar ekspektasi siapa pun. Di tempat ini George dan Lennie diterima bekerja sekaligus sudah merasai dari awal bahaya yang akan dihadapi oleh mereka berdua, setidaknya bagi George yang mengkhawatirkan ulah lugu Lennie yang tak mampu dikontrolnya. Kedunguan Lennie di mata George bukanlah suatu soal jika mampu dikontrolnya melalui perintah yang diberikannya. Namun, sebaliknya akan menjadi masalah jika Lennie ditinggal pergi tanpa kehadiran George di sampingnya. Sampai di sini eike merasakan ketegangan-ketegangan yang dihadapi George beserta kenalan-kenalan barunya; Slim, Candy, Carlson, Crooks, seperti di saat si istri Curley (istri yang dinilai genit dan murahan) atau Curley (sosok anak pemilik peternakan yang sok jago) itu sendiri datang secara tiba-tiba menemui mereka di tengah percakapan para pekerja. Curley dan istrinya, bagi George adalah dua sosok yang mesti dihindarkan dari Lennie. Biar bagaimana pun Lennie akan menjadi masalah jika dia dibiarkan berbicara semaunya. Hingga kedunguan Lennie-lah yang membunuh istri Curley di suatu sore dengan cara mati kehabisan napas dicekik tangan Lennie yang besar dan kuat. Bukan dicekik! Melainkan itu hanya upaya Lennie akibat ketakutan yang lahir dari kepanikan berlebihan lantaran istri Curley yang juga panik dengan cara mendekap mulutnya –sampai leher istri Curley patah. Kepanikan dengan kepanikan yang  bertemu akhirnya melahirkan tindakan bodoh yang menyebabkan matinya istri Curley. Endingnya-lah yang membuat eike merasa kemalangan yang dihadapi Lennie. Lennie mati ditembak dari belakang oleh sahabatnya sendiri setelah di dongengkan cerita berkaitan dengan impian mereka berdua untuk memiliki tanah dan rumah sendiri. Dengan polos Lennie mendengarkan cerita yang terus menerus didongengkan selama ini kepadanya dan George yang tangannya gemetar menarik pelatuk pistol yang ditempelkannya tepat di belakang batok kepala Lennie. Kematian yang tak mesti dilakukan oleh Slim atau bahkan Curley, tapi tangan George sendiri: orang yang menjadi pelindung bagi Lennie.