Baltazar: Si Beruang Kutub, Juru Bicara Kebebasan dari Jeruji Valle Central


Judul: Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub
Penulis: Claudio Orrego Vicuna
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN: 978-979-1260-82-4
Tebal: 68 halaman




“Barangsiapa sanggup membaca apa yang ada di balik mata seseorang, atau membaca spektrum sinar mentari di lembah, atau membaca bayang pertama di atas salju putih pegunungan, ia akan bebas selamanya” (hal.66).


TIDAK seperti George Orwell melalui alegori politiknya, yang menggunakan banyak hewan-hewan dalam Animal Farm. Fabel politik Claudio Orrego Vicuna ini cuman butuh satu hewan untuk menyampaikan suasana atau gagasan mengenai kediktatoran kekuasaan politik.

Memang, dalam novelet 68 halaman ini tidak ada satupun kata politik dituliskan untuk mencerminkan bahwa ini karya berbicara fakta itu.

Tapi, jika pembaca mempertimbangkan faktor biografis, dan melihat novelet ini dari bayang-bayang penulisnya, maka tersirat dengan cara samar-samar bahwa karya ini juga implisit berbicara banyak berkaitan dengan kekuasaan.

Akan sangat berbeda ketika kebebasan sebagai esensi keutamaan manusia dibincangkan dalam spektrum politik melalui karya sastra. Apalagi jika itu dimasukkan ke dalam kehidupan binatang yang sarat perbedaan dengan manusia.

Dalam rangka itu, Claudio Orrego Vicuna hanya membutuhkan satu saja penanda untuk membenarkan hal ini: kandang binatang.

Apa boleh dikata, sepertinya hanya kandang,
 ilustrasi paling pas untuk menggambarkan makna kebebasan. Bukankah kehidupan manusia juga demikian? Hidup dalam kandang yang ia ciptakan sendiri sambil sembunyi-sembunyi mengharapkan kebebasan?

Dan, dari dunia kandang inilah, sekotak besi jeruji seekor beruang kutub, Claudio membentangkan sejumlah paradoks kemanusiaan, terutama jika itu menyangkut hal ihwal yang dialami manusia.

Ya, novelet ini bercerita tentang seekor beruang yang diberi nama Baltazar, yang namanya diberikan cuma-cuma oleh penjaga kandang. Nama itu diambil dari nama seorang majusi berkulit hitam kelak ditahbis menjadi santo, yang mengunjungi Yesus beberapa saat setelah ia lahir.

Satu-satunya yang menghubungkan Baltazar dengan namanya adalah kulit bulunya yang berlahan berubah menjadi lebih gelap setelah ia lama tinggal di dalam kandang di sebuah kawasan bernama Valle Central, Cile.

Baltazar awalnya berbulu putih bersih seputih pasir es Artik tempat ia berasal.

Suatu pagi, seperti dikisahkan Baltazar sendiri, tiba mahkluk aneh dan jahat yang datang melalui suatu ekspedisi di Artik, suatu kawasan sabana es di daerah kutub. Mereka datang demi satu misi yang kelak diketahui dilakukan untuk menghibur orang-orang dengan cara memamerkan hewan-hewan eksotik di suatu tempat yang disebut kebun binatang.

”Mereka memecah keheningan dengan seruan-seruan mereka. Ledakan mereka dibalas dengan gema yang mengerikan dari es. Segala yang ada pada mereka terlihat di mata kami sebagai penjelmaan iblis” (hal.5).

Itulah kontradiktifnya manusia, yang disebut Baltazar mahkluk aneh penjelmaan iblis. Demi menghibur banyak orang melalui kebun binatang, mereka lalui dengan cara yang ganjil. Meledakkan gunung-gunung es dan menangkap hewan liar yang hidup tentram di habitatnya.

Perlu diterangkan di sini kata liar, mengingat seluruh kisah dalam novelet ini lahir dari kenang-kenangan yang diceritakan Baltazar sendiri. Ya, Baltzarlah sang narator dalam kisah ini. Beruang yang dapat berbicara dan menceritakan kisahnya dari dalam jeruji kandangnya.

Peradaban seringkali mengonseptualisasikan kehidupan di luar dari dirinya sebagai kehidupan liar. Peradaban yang juga berarti telah beradabnya pikiran dan perbuatan manusia, utamanya mendikotomikan dua dunia dari ukuran dirinya sendiri.

Itulah sebabnya, ketika bangsa Barat melalukan ekspedisi ke tanah jauh, yang belakangan disebut dunia Timur, dan melihat pola hidup yang berbeda dari kebiasaan masyarakat Eropa, kehidupan macam itu disebut tidak beradab. Kehidupan tanpa konsensus, dan lebih mirip kehidupan binatang.

Ini persis seperti adegan pasukan Kaizar Hirohito dalam film The Last Samurai, yang berdiri di atas suatu bukit, dan memandang kehidupan masyarakat tradisional Jepang di bawahnya, yang mengatakan akan kita bangun peradaban di atas tanah ini melalui rel kereta api.

Saat itu atas nama Barat, sang jenderal sedang mengimajinasikan negerinya akan tumbuh sama seperti saat Barat membangun kehidupannya. Atas nama, apa yang diistilahkan secara akademik sebagai civilization.

Atas logika semacam itulah Baltazar kemudian ditangkap dan dibawa pergi meninggalkan kampung halaman. Ia dipisahkan jauh sampai ke tempat para manusia tinggal berbondong-bondong. Tidak seperti padang es yang maha luas, hening, dan selalu menyediakan keterpukauan oleh sebab hari-hari baru yang terus berubah.

”Masa-masa itu, hidup begitu merdeka, dan mudah. Jangan kira ini hanya karena kami masih muda, sekalipun itu bisa jadi salah satu bagian cerita. Namun juga karena lanskap putih yang mahaluas itu sungguh indah” (hal.4).

Atas nama peradaban, si beruang Baltazar dengan sepihak mesti melayani kebutuhan umat manusia. Dalam hal ini, ia seolah-olah berada di lapangan bundar dalam tenda besar sepasukan badut sirkus, menjadi objek tontonan demi menyenangkan hati manusia.

Semua pandangan itu—dan juga stigma dalam kehidupan manusia—lahir dari bias kehidupan antroposentris yang menganggap manusia sebagai titik gravitasi kehidupan alam semesta. Di luar dari itu, seluruh eksistensi hanyalah realitas sekunder yang berfungsi sebagai faktor penunjang. Dari kehidupan mickrowujud hingga manusia, semua itu mengalami pelapisan secara hirarkis yang mendudukkan manusia di atas puncaknya.

Lalu bagaimana dengan kebebasan?

Baltazar berkisah: ”Untuk menjadi bebas tidaklah cukup dengan hanya bisa bergerak di atas dunia ini atau di antara orang-orangnya. Bebas bergerak hanya sarana untuk menemukan makna yang lebih dalam dari hal ihwal. Tapi itu sendiri belum berarti apa-apa” (hal.62).

Suatu refleksikah ini?

Yang jelas, dari balik jerujinya, Baltazar dapat berkesimpulan demikian ketika melihat muka-muka orang yang ia katakan berwajah kelabu, suatu warna yang ia kontraskan dengan warna putih, warna yang mewakili dunianya.

Di atas serbuk-serbuk es, Baltazar, bersama teman-temanya, dan juga anjing-anjig laut, bisa melakukan apa saja: berburu ikan, menyelam, atau berseluncur di atas bukit-bukit es padat. Di tempat ini, malam dan siang sama saja, kemana pun Baltazar mendongakkan kepalanya hanyalah horizon berwarna putih maha luas.

Dalam konteks ini, seperti Luis Sepulveda, pengarang Cile penulis Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Claudio Orrego Vicuna juga menjadi musuh Augusto Pinochet, yang  menyublim suara protesnya kedalam renungan-renungan reflektif selama kediktatoran Pinochet berdiri. Satu tema yang mencolok dari karyanya ini sudah tentu kebebasan.

Baltazar, si beruang sekalipun mengatakan, untuk menjadi bebas tidak cukup hanya bisa bergerak di atas dunia dan antara orang-orang, itupun dikatakan belum ada apa-apanya.

Toh pada akhirnya, kebebasan bukan soal tempat, atau bahkan seperti kehidupan maha luas di atas hamparan salju seperti di kutub utara. Baltazar menemukannya, melalui wadah yang juga menjadi senjata satu-satunya dari orang seperti penulisnya: pikiran dalam benaknya.

”Aku takkan pernah benar-benar bebas, tapi aku telah menaklukkan dunia sekelilingku ke dalam benakku… Apa yang bisa diperbuat si pengurung terhadap pikiranku” (hal.62).

“Sebelum itu terjadi, tak ada gunanya mengurung kami di balik jeruji. Orang lebih bebas di balik jeruji ini ketimbang di luarnya, di kota-kota kelabu yang tak mengenal riangnya terang..., bahwa kuperoleh kebebasanku saat berada di balik jeruji penjara dan bahkan aku menganggap diriku lebih tinggi dibanding para pengurungku” (hal. 66).

Demikianlah, di titik ini novelet berjudul asli Las sorprendentes memorias de Baltazar: cuento, gamblang menyorot kebebasan ke dalam pemilahan yang kadang kabur antara makna ”di dalam kandang” dan ”di luar kandang”.

Tentu, bukan kabur di mata seekor Baltazar, tapi kehidupan manusia yang kiwari demikian sulit keluar dari jeruji rutinitasnya, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Terjebak di dalam gelembung ideologi, pasar bebas, dan juga agama.

Semua itu kian kesini makin  mirip kandang jeruji Baltazar. Semakin hari makin sesak saja.

Surrogates dan Lubang Hitam Masyarakat Maya


Poster Surrogates (2009)
Sutradara: Jonathan Mostow
Pemain: Bruce Willis
Radha Mitchell
Rosamund Pike
Boris Kodjoe
Tanggal rilis: 24 September 2009


LIMBO. Setelah hampir sebulan kita dipukul mundur oleh Covid-19 sampai ke barak terakhir, nampaknya seluruh ruangan rumah jadi semakin intens membentuk pemahaman ulang mengenai apa arti rumah sebenarnya. 

Rumah kian menjadi lebih diskursif karena akhirnya saya bisa memahami rumah bukan sekadar tempat mukim belaka. Bagi kelas pekerja, inilah saatnya untuk mengetahui lebih jauh apa sebenarnya fungsi rumah alih-alih melihatnya sebagai unit penunjang bagi pergerakan laba oleh sistem global kapitalisme. 

Selama masa swakarantina, rasa-rasanya banyak kegiatan produktif bisa lebih bebas dilakukan tanpa khawatir disituasikan oleh logika kerja.

Di pagi hari saya bisa leluasa menghabiskan banyak waktu bersama Banu mengajaknya menikmati sinar matahari sebelum membawanya ke belakang untuk dimandikan. Saya bisa  lebih banyak waktu bermain balon, membiarkan ia membongkar tumpukan mainannya, dan tentu sesekali membebaskannya membongkar buku-buku di almari yang menjadi kesenangannya.

Menjelang siang, Banu akan mulai kelelahan dan di waktu inilah ia mulai merengek meminta menyusu kepada ibunya.

Bermain bersama Banu dari pagi hingga sore, secara tidak sadar akhirnya ikut membuatnya dapat mengoleksi sejumlah kata-kata baru, yang dengan gaya tertentu akan ia ucapkan dari mulut kecilnya. Semakin banyak bermain bersama Banu semakin baik baginya untuk merangsang ia dapat mengenal kosa kara baru, tentu dengan mengajaknya berbicara seolah-olah seperti ia memahaminya.

Di lain waktu saya bisa memanfatkan beberapa waktu untuk membaca buku-buku yang selama ini hanya ditinggalkan setelah dibaca pengantarnya saja. Atau, mengepel seisi rumah setelah sebelumnya disapu tanpa meninggalkan seruangan yang terlewati.

Melihat beberapa teman dosen yang memosting kegiatan belajar mengajar melalui wahana maya, entah jika ia sedang duduk sembari menikmati pisang goreng membuat saya bertanya-tanya apakah ruang kelas masih dapat dipertahankan sebagai medium transformasi pengetahuan?

Dalam proses itu mahasiswa juga bisa berada di mana saja, dan bisa dalam keadaan apa saja, tapi ia masih bisa disebut belajar atau hadir sebagai mahasiswa selama ia terhubung real time via aplikasi yang digunakan untuk itu.

Belajar dengan gaya seperti ini, pada kenyataannya akan mengubah sudut pandang mengenai apa manfaat gedung-gedung kelas kampus.

Apakah  pasca pandemi, suasana belajar masih akan ikut bertahan seperti model pertemuan tatap muka selama ini, atau ada kemungkinan berubah mengikuti alternatif kelas semacam suguhan wahana maya itu?

Lebih jauh lagi, apakah mungkin akan ada yang namanya kampus virtual? Suatu wahana belajar pascamodern yang digelar secara fleksibel dan dengan tenaga pengajar macam-macam tanpa mesti dilegitimasi oleh negara bahwa ia adalah abdi negara?

Mungkinkah semua itu dilakukan dari rumah-rumah dengan perantaraan institusi maya?

Mungkinkah birokrasi yang ribet itu dapat dialihwahanakan ke dalam algoritma tertentu sehingga seseorang disebut berkantor cukup terhubung dengan lini maya internet?  

Jika ada pasar maya, bisakah ada rumah sakit maya? Perpustakaan maya? Rumah peribadatan maya?

Bisakah kehidupan ini menjadi serba maya?

Di titik ini saya teringat film fiksi ilmiah dibintangi Bruce Willis berjudul Surrogates (2009) di mana setiap manusia beraktivitas diperantai semacam robot replika dirinya.

Dalam film ini, dunia kenyataan tidak benar-benar dialami, oleh sebab si pemakai robot cukup tidur-tiduran dalam suatu alat panel yang menghubungkannya dengan replika dirinya, sehingga jika ia ke salon yang dicukur sebenarnya adalah rambut serat nilon robot replika dirinya. 

Dengan menggunakan surrogates siapa pun bisa melakukan apa saja seperti Anda benar-benar melakukannya. Selain ke salon, Anda bisa berjalan-jalan ke mall, ke diskotik, ngerumpi di warung kopi, membaca buku di perpustakaan, bahkan beribadah cukup menggunakan robot replika yang Anda kemudikan jauh dari rumah Anda.

Semua aktivitas ini walaupun yang Anda alami bukanlah kenyataan itu sendiri, tapi tetap saja secara tujuan apa yang Anda inginkan dapat tercapai.

Diceritakan dalam film, bahkan jika Anda mau dan memiliki banyak uang, Anda bisa mengganti surrogates dengan identitas yang berbeda-beda sama seperti saat Anda membuat akun Facebook menggunakan nama samaran yang Anda inginkan.

Ini persis seperti saat ini, ketika banyak orang karena malu atau faktor identitas lainnya, banyak menggunakan identitas maya (palsu) selama ia hidup dalam dunia virtual.

Orang dengan modus eksistensi seperti ini, umumnya lebih menyukai kehidupan maya daripada kehidupan nyata sehari-hari. Mereka lebih memilih kehidupan simulakrum penuh fantasi, sensasi, dan imitasi, ketimbang menghadapi persoalan kongkret dunia nyata.

Cara hidup seperti ini nyaris menyerupai kehidupan ”para pemimpi” dalam film Inception (2010), yang mengkonsumsi ramuan kimia agar dapat tidur selamanya dan hidup di dalam alam bawah sadarnya berupa mimpi fantasi.

Di sana berdasarkan kehidupan versi “para pemimpi” tidak ada namanya penderitaan, kekecewaan, kesakitan, kemiskinan...

Di dunia mimpi, ”para pemimpi” bisa membangun kehidupannya sama mudahnya seperti ketika ia ingin mengimajinasikan sesuatu.

Satu-satunya yang mesti dihindari ”para pemimpi” dalam dunia mimpi adalah ”limbo” yakni dunia bawah sadar yang menyerupai blackhole yang tidak terkontrol dan tak terbatas sehingga mampu menjebak siapa saja selama-lama di dalamnya. 

Dunia modern, adalah dunia limbo. Setelah di penghujung abad 19 mereka menghancurkan mitos-mitos, nampaknya dunia modern saat ini belum sepenuhnya bebas darinya.

Sains, ideologi, internet, dan juga agama adalah semesta abstrak yang hari ini banyak mempengaruhi umat manusia dan berpeluang menjadi mitos baru.

Besar kemungkinan semua sistem abstrak itu bakal manjadi limbo jika manusia mati-matian melihatnya hanya sebagai kenyataan satu-satunya. Satu-satunya kebenaran tunggal.

Belakangan ini, siapa yang menyangkal jika semua tindakan pengrusakan berupa pencemaran alam, penghisapan tenaga manusia, perang bangsa-bangsa, bom bunuh diri, dan sejumlah masalah global lainnya lahir dari sejenis fantasi.

Dari semacam mimpi yang diberikan bobot ilmiah, dalil, dan pekik kerumunan massa.



4 Jalan Spiritual Menghadapi Corona


Ladya Cheryl akan berperan sebagai Iteung dalam layar lebar 
Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas
 adaptasi novel karangan Eka Kurniawan berjudul sama. 
Ladya Cheryl terkenal lewat perannya di film Ada Apa Dengan Cinta sebagai Alya


BANYAK peristiwa tidak terduga bisa membuat orang mengalami epiphany dan membuatnya menjadi seorang sufi. Fariduddin Al Attar, penulis Musyawarah Burung-Burung, menjadi pesuluk lantaran disadarkan oleh perkataan seorang  pembeli parfum yang awalnya ia acuhkan.

”Sedemikiankah keterikatan engkau kepada dunia sehingga menafikan yang lainnya?” kata customer  yang membutuhkan pelayanan Al Attar, yang sebenarnya adalah seorang darwish. Saat itu Al Attar sedang sibuk sendiri di belakang.

Merasa tersinggung atas ucapan customernya, Al Attar terpancing, ”lalu apa yang sudah kau lakukan?”

”Aku berkelana ke berbagai tempat, dan berkhidmat di jalan Tuhan.”

”Lantas apa yang sudah kau peroleh dari pekerjaan itu?”

”Aku bisa tahu kapan, dan bagaimana nanti aku mati.”

Tidak lama setelah percakapan aneh itu, ketika Al Attar telah selesai dengan pekerjaannya, ia menemukan sang darwish tertidur, dan meninggal di depan toko Al Attar.

Kejadian ini seketika menghentak kesadaran Al Attar. Pasca kejadian ini ia kemudian menjadi seorang sufi.

Kisah lain datang dari Ibrahim bin Adham, sufi generasi awal dari Balkh. Ia awalnya seorang raja yang banting setir menjadi sufi berkat seekor burung gagak.

Diceritakan dalam Kitab Al-Mawa’izh Al-‘Usfuriyah oleh Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ushfury, pada saat Ibrahim bin Adham beristirahat ketika berburu, seekor gagak mengambil makanannya dan terbang menjauh. Merasa terganggu, Ibrahim bin Adham mengejarnya ke tengah hutan.

Seketika ia terkejut. Ternyata sang gagak mencuri rotinya demi memberi makan seorang tahanan yang terikat di sebatang pohon pasca dirampok berhari-hari lamanya. Ibrahim tersentak. Seketika itu ia pun menjadi sufi.

Masih karena burung. Di Sulawesi Selatan, berkembang cerita di kalangan pattarekat, kisah pembantu pimpinan tarekat yang tidak diduga terpilih menggantikan sang guru pasca meninggal.

Cerita punya cerita, pembantu ini, yang sehari-hari hanya mengurus tetek bengek kebutuhan sang guru tarekat, mulai dari dapur sampai kandang kuda, ”mengalahkan” murid-murid terdekat sang guru yang ingin menggantikan mursyidnya.

Ia terpilih sesuai ramalan pemimpin tarekat sebelum mangkat. Menurut cerita, sang guru sudah berpesan, barang siapa kelak dihinggapi seekor burung saat jamuan doa di pundaknya setelah ia meninggal, itulah penggantinya.

Pada jamuan doa yang dimaksud, seluruh murid berkumpul berdoa sambil menunggu burung yang diceritakan. Lama mereka menunggu, dan si burung tidak datang juga. Hingga tiba-tiba muncul si pembantu dari belakang menjamu satu-satu murid gurunya. Tidak lama dari itu, datanglah burung ”ramalan” terbang di atas berkeliling dan menghinggapi si pembantu. Itulah  tandanya. Ia lah pengganti guru tarekat mereka.

Masih juga dengan burung. Kali ini kisah fiksi. Bagi pembaca Eka Kurniawan pasti mengenal Ajo Kawir, sosok dalam cerita Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas.  Ajo Kawir diceritakan mengalami impotensi akibat peristiwa mencengangkan. Ia mengintip dua anggota polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan sejak itu kemaluannya mati rasa. Cerita punya cerita, setelah berjuang mengembalikan kehidupan normal ”burungnya” dan gagal,  ia pun sadar jalan hidupnya mesti ditempuh menjadi pelaku tasawuf.

Setelah ikhlas menerima tititnya yang tak sudi ngaceng ia sadar, ini berarti ia telah berhasil menaklukkan godaan hawa nafsunya setelah ”menjinakkan” ”burungnya” agar tidak bisa lagi akan ”terbang” ke mana-mana.

Nah, dalam kisah ruhani semacam di atas, burung menjadi perlambangan signifikan mengenai gelagat hawa nafsu yang sulit diatur dan mesti dijinakkan. Sekarang, apakah anda punya burung?

Setelah membaca cerita singkat di atas, bagi yang punya burung, kamu besar kemungkinan bakal bisa menempuh jalan menjadi sufi. Minimal jika anda jomlo, contohilah jalan cerita Ajo Kawir itu. Berdialog berhari-hari dengan ”burung”.

Tapi, jika kamu tidak ingin menjadi Ajo Kawir, saat dikepung corona laknatullah seperti ini, adalah keadaan yang paling pas menjadi seorang sufi. Berikut empat tangganya.

#1. Berkhalwat selama masa physical distancing

Satu ciri kaum sufi adalah ”keterputusannya” dari urusan duniawi. Istilahnya, ia mati sebelum mati. Seperti terpisahnya jasad dari tubuh, para sufi menjalani kehidupan dengan sikap wara’, yakni, ya itu tadi, memutus seluruh godaan hawa nafsunya dari seluruh hal yang bisa mengalihkan perhatiannya hanya kepada Tuhan semata.

Nah, sekarang peluang kamu bisa mengamalkan satu kebiasan sufi di atas. Kamu bisa berkhalwat selama masa phsysical distancing. Mumpung kamu tidak bisa kemana-mana, jadikanlah rumahmu sebagai semacam gua hira. Talak tigalah seluruh urusan-urusan di luar rumahmu. Ingat jalan menuju sikap wara’ itu pertama adalah belajar berkhalwat. Jadi, selama ”mengurung” diri di rumah,  lakukanlah hal ke dua di bawah ini.

#2. Bersiap-siap puasa selama darurat sipil

Untuk membuat amalan wara’ kamu jadi lebih mantap, berpuasalah. Seluruh praktik spiritualitas tasawuf di dunia, baik yang ekstrem kanan maupun ekstrem kiri (emangnya ideologi apa!), tidak pernah menanggalkan puasa sebagai latihan spiritualnya.

Nah, untuk hal ini negara sedang memberikanmu peluang melalui rencana pembatasan sosial berskala luas, dan darurat sipil yang diumumkan Jokowi 31 Maret lalu.

Ini artinya, negara diam-diam sedang mendidik warganya untuk menjadi sufi, loh! Coba bayangkan jika semua warga berpuasa selama masa darurat sipil? Kan, negara tidak butuh banyak ongkos menyiapkan santunan sembako bagi golongan missqueen kayak kamu itu.

#3. Perbanyak ibadah, tidak terkecuali berdoa

Banyak riwayat jika Rasulullah sudah mengambil start berpuasa 2 bulan sebelum masuk bulan Ramadan (kalau mau tahu dalilnya, tanya ke ustaz-ustaz yutub aja, yah).

Nah, langkah kedua di atas sebenarnya merupakan persiapan sebelum masuk bulan Ramadan nanti. Mumpung sekarang bulan Sya’ban, selain mulai berpuasa, perbanyaklah ibadah, tak terkecuali berdoa, akhi (ukhti juga, nanti bias jender lagi)!

Kamu yang selama ini kerap melalaikan salat, segeralah perbaiki salatmu sebelum kamu disalati hanya karena corona. Kamu yang malas berdoa, mulailah perbanyak doa, minimal jika itu hanya sebatas mengirimkan surah Al Fatiha bagi siapa saja yang sedang berjuang melawan corona.

#4. Belajarlah dari Pemerintah

Selama masa pagebluk corona, pihak yang paling diharapkan bertindak cepat adalah Pemerintah. Walaupun saat dunia sedang bersiap-siap mengantisipasi virus ini  agar tidak melintasi perbatasan negaranya, di negeri sendiri masih adem ayem. Seolah-olah virus ini akan menguap dengan sendirinya ketika ingin menyebrang ke negeri gemah ripah loh jinawi ini. Walaupun akhirnya sudah terlambat, tetap saja pemerintah masih hitung-hitungan mengambil tindakan pencegahan.

Sekarang ada istilah PSBB atau pembatasan sosial besar-besaran yang terlambat dilakukan. Begitu juga program ikutannya berupa penerapan darurat sipil seolah-olah setiap di atas jengkal tanah kita sedang terjadi aksi separatis. Ingat di Indonesia, masa darurat sipil hanya pernah dilakukan di Aceh dan Papua saat disinyalir negara menjadi kawasan gerakan separatis. Jadi, bayangkan jika keadaan sekarang ibarat sedang menghadapi gerakan separatis, bukannya pendekatan medis yang bakal diutamakan, tapi militer, bung!

Nah, lambannya cara negara menangani pandemi ini, dan belakangan ada gercep dari anggota dewan ingin mengesahkan RUU kontroversial, ditambah isu pembebasan Papua koruptor, kita rakyat kecil bisa apa. Satu-satunya cara hanya bisa mengelus dada dan belajar ikhlas dan bersabar. Nah, ini jalan keempat ketika para sufi menapakai jalan spiritualitas. Ikhlas dan sabar sudah. Titik.

Nah, itu 4 jalan spiritualitas di tengah pandemi corona. Selamat berjuang.

====

Telang dimuat di Kalaliterasi.com



Revolusi Senyap Covid-19: Ia Ada dan Berlipat Ganda


Ilustrasi grafis Corona.
Corona berasal dari
bahasa Latin yang berarti mahkota


SAMPAI saat ini, hanya dua ideologi pemikiran yang berhasil menciptakan revolusi sosial politik di dunia: Komunisme, dan Syiah 12 Imam. Sekarang, dunia sedang mengalami devaluasi besar-besaran.

Tatanan ekonomi dunia terancam resesi, percaturan politik ambruk, interaksi masyarakat macet, wahana kebudayaan dan pendidikan seret. Suatu disrupsi sedang mengancam kemapanan peradaban umat manusia.

Pelan namun pasti, disrupsi berskala global ini digerakkan paksa suatu revolusi sunyi bernama… SARS-COV-2, yang menyebabkan pandemi Covid-19.

Dari namanya, Covid-19 bukan istilah yang lahir dari abad 19, seperti komunisme, apalagi Syiah yang sudah ada jauh sebelumnya. Ia revolusi ala abad 21, lahir di tengah-tengah menguatnya konservatisme kanan, dan terberainya ideologi kiri tandingannya.

Itu sebab tidak seperti pemikiran yang berasal dari abad 19, Covid-19 lebih up to date dan lebih milenial dari tonggak-tonggak pemikiran revolusioner lawas.

Jika ada tesis matinya ideologi, hal ini tidak berlaku bagi Covid-19. Covid-19 melampaui ideologi. Ia dunia pasca ideologi. Tidak berbasis kelas apalagi gender. Gerakan Covid-19 menerobos sekat kebangsaan, negara, kelas ekonomi, ras, dan agama.

Jika ada ungkapan Samuel Huntington berupa benturan antara peradaban, Covid-19 malah keluar dari basis konteks semacam itu. Revolusi ala Covid-19 malah membuat peradaban bangsa-bangsa saling mengenyampingkan kepentingan negara, regional, atau kongsi politiknya. Covid-19 malah membuat Timur dan Barat jadi keok, dan bersatu membuatnya jadi musuh bersama.

Covid-19 tidak pandang bulu menerjang korbannya. Barang siapa pasang badan seketika ia dicap kontrarevolusioner dan, tunggu saja! Tidak lebih 14 hari operasi serbu senyapnya bikin korban berjatuhan.

Covid-19 banyak diberitakan muncul kali pertama di negeri Tiongkok. Sebelum RRC menguasai perekenomian dunia, Covid-19 lebih awal menjalankan operasinya di kota Wuhan pusat industrialisasi negeri Tirai Bambu itu. Sebelum ramalan-ramalan memprediksi Cina bakal memimpin dunia, semenjak itu Covid-19 menyadari di mana ia mesti melakukan serbuan vitalnya.

Tidak dengan senjata, tidak ada pamflet peringatan, barisan massa, apalagi pekik suara toa. Bukan di alun-alun kota, jalan raya, apalagi di dunia virtual. Selama 24 jam revolusi senyap Covid-19 menjalar bak akar beringin. Di Cina memakan waktu tidak lebih tiga bulan membuat kehancuran vital. Ribuan korban dipukul masuk rumah rawat inap. Cina kolaps.

Setelah berhasil melumpuhkan Cina, Covid-19 mengekspor revolusinya ke negeri-negeri tetangga. Seolah-olah belajar dari revolusi Kuba, ekspor revolusi Covid-19 berhasil menembus palang pintu negara-negara lain.

Ke wilayah barat ia menyeberang lautan ke Korea Selatan sebelum masuk ke negeri matahari terbit, Jepang. Tanpa publikasi dan dokumen tertulis, kesenyapan Covid-19 menarik garis panjangnya sampai ke Italia. Okupasi tak terduga ini bahkan membuat penyelenggaraan sepak bola di negeri Pizza berhenti.

Ke sebelah timur, pergerakan Covid-19 memiliki banyak alternatif. Sebelum tiba di negeri para Mullah, Iran, ia bisa menduduki negara-negara pecahan Uni Soviet yang belum berumur 50 tahun. Ada Kirgistan, Turkmeinistan, naik ke utara menuju Uzbezkistan, dan terus ke Kazakhstan sebelum tiba di induk negeri Komunisme pernah berjaya.

Iran adalah palang pintu bagi revolusi Covid-19 menuju negeri-negeri sabana luas. Dari negeri pengikut Syiah terbesar ini, dan seolah-olah ingin mengkooptasi revolusi Islam Iran 1979, tidak memakan waktu lama bagi ekspor impor revolusi Covid-19 menancapkan pengaruhnya di negeri Arab.

Covid-19 spring, walaupun tidak menimbulkan korban banyak, tapi lumayan efektif menggelindingkan bolanya di negeri Arab. Terbukti, misalnya, Arab Saudi, mesti mengisolasi dirinya dari interaksi global dengan menutup Mekkah dari penyelenggaraan haji dan umrah.

Setelah menyasar bangsa-bangsa Asia, dan menjadikan Italia sebagai basis terbesar revolusinya, di Eropa, Covid-19 bermunculan bak cendawan di musim hujan. Kesenyapannya berkelit dari intel-intel dan rezim medis internasional, berhasil tiba tanpa jejak di Austria, Azerbaijan, Belarus, Belgia, Kroasia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Lithuania, Luxemburg, Belanda, Makedonia Utara, Norwegia, Rumania, Rusia, San Marino, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Irlandia.

Bagaimana dengan benua Amerika?  Nama negara Amerika Serikat muncul sebagai sarang pandemi di luar Eropa dan Asia. Di negeri Paman Sam ini, revolusi Covid-19 mendulang kemenangan gemilang. Grafik korban di negeri kapitalis ini terus meningkat mengungguli Cina.

Sampai sekarang, Covid-19 masih terus dianalisis pergerakannya. Epidemolog masih berkutat mencari tahu cara membekuk pergerakannya. Farmakolog dibuat siaga 24 mencari rumusan anti vaksinnya. Para dokter bertaruh nyawa berjibaku menyelamatkan pasien. Ekonom, budayawan, agamawan, dan politisi, tidak satu pun di antaranya dibuat santai demi merumuskan suatu pola kebiasaan masyarakat demi mengurung pergerakan dinamis virus ini.

Berkat daya dobraknya yang seketika dan sistemik, membuat setiap keputusan strategis mesti diputuskan holistik. Salah ambil keputusan di satu bidang bakal berdampak di bidang lain.

Covid-19 saking revolusionernya, tidak saja menggebrak infrakstruktur vital berupa ekonomi, dan politik negara bangsa, tapi melangkah jauh meneror tokoh-tokoh pentingnya. Pangeran Alberti II dari Monako menjadi pemimpin kerajaan pertama yang positif Covid-19. Di Amerika Serikat, ada Rand Paul menjadi senator pertama di AS yang terkena virus corona.

Dua wakil menteri kesehatan Iran dan Inggris, Iraj Harir-chi dan Nadine Dorries, dan wakil presiden Iran Masoumeh Ebtekar, juga menjadi korban serangan senyap Covid-19.

Tercatat pula perdana menteri Jepang Shinzo Abe positif corona setelah berkeringat batuk-batuk, dan terlihat menyeka cairan liur yang keluar dari mulutnya saat pidato di Gedung Parlemen Jepang pada Selasa, 3 Maret 2020 lalu.  

Masih ada? Keterangan resmi yang diberikan Istana Buckingham mengumumkan pada 25 Maret 2020, Putra Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, telah dikonfirmasi positif corona Covid-19.

Di luar dari arena pemerintahan, tercatat nama-nama beken seperti aktor Hollywood Tom Hanks, pemain belakang Juventus Daniele Rugani, ujung tombak Fiorentina Patrick Cutrone, dan pelatih Arsenal Mikel Arteta, beberapa nama yang tercatat dari sekian banyak olahragawan terjangkit Covid-19.

Di Indonesia, Covid-19 juga banyak menyerang benteng pertahanan di kubu tim medis. Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (23/3) pekan lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia merilis 6 dokter yang disebutnya menjadi korban virus corona. Masing-masing tercatat: dr Hadio Ali SpS, IDI Cabang Jakarta Selatan, dr Djoko Judodjoko, SpB, IDI Cabaing Kota Bogor, dr Laurentius P, SpKJ, IDI Cabang Jakarta Timur, dr Adi Mirsaputra SpTHT, IDI Cabang Kota Bekasi, dr Ucok Martin SpP, IDI Cabang Medan, dr Toni Daniel Silitonga, IDI Cabang Bandung Barat.

Revolusi ala Covid-19 mengerikan. Ia berpotensi menumbangkan rezim pasar ekstraktif sekaligus mengancam tatanan tandingannya berupa menyerang negara-negara nonkapitalistik. Dia mengancam peradaban berhenti bergerak dan menyudutkannya sampai ke skala terkecil, yakni rumah-rumah. Menghentikan roda ekonomi, transformasi pengetahuan, dan mengindividualisasi peribadatan keagamaan.   

Revolusi Covid-19, hingga detik ini masih menghantui langit-langit negara bangsa. Ia ada dan berlipat ganda!

====

Telah tayang di Dialektikareview.org




Kekuatan dan Ketakutan



Lukisan The Scream karya Edward Munch. 
Sumber: wikipedia.org


TAHUN 1883 perut gunung Krakatau meledakkan lahar panas ke udara. Dentumannya terdengar sampai di Colombo dan Sri Lanka, Afrika.

Seketika langit ditutupi debu panas berwarna merah menyala. Binatang-binatang berlarian tak karuan, apalagi manusia di bawahnya, tunggang langgang mencari perlindungan kesana kemari.

Efek 27 kali ledakan bom atom itu berefek tsunami yang memusnahkan 165 desa, dan para nelayan di Afrika mengenang peristiwa itu dengan mayat-mayat yang mengapung di lautan berhari-hari setelahnya.

Tragedi mencengangkan itu tidak saja meluluhlantakkan Nusantara, tapi juga membuat masyarakat dunia terutama benua Eropa ketakutan.

Langit dan matahari sekonyong-konyong berubah menjadi berwarna merah gelap. Saking dahsyatnya ledakan itu, efek debu ledakkan Krakatau bertahan di atas langit Eropa sampai berbulan-bulan lamanya.

Fenomena alam ini mengilhami pelukis Norwegia Edvard Munch melahirkan lukisannya yang legendaris: The Scream (jeritan), lukisan dengan tokoh seseorang yang tercengang dengan wajah menjerit ketakutan sementara di belakangnya menggelantung cakrawala berwarna merah darah.

"Saya berjalan menyusuri jalan setapak bersama dua sahabat. Matahari bersinar, tiba-tiba langit berubah menjadi merah darah. Saya berhenti, kelelahan dan bersandar pada sebuah pagar. Di atas fjord dan kota yang biru kehitaman tampak darah dan lidah-lidah api,” ungkap Munch, dikutip dari wikipedia, menerangkan keadaan yang mengilhami The Scream dalam buku hariannya.

The Scream jika dilihat sepintas nampak ganjil berkat goresan kuas yang kelihatan sembrono memainkan warna-warna gelap secara horizontal. Si manusia dilukiskan berkepala botak dengan muka seperti melongo. Walaupun demikian, lukisan ini menjadi tonggak pendekatan ekpresionis dalam seni lukis.

Sebagian ahli menafsirkan jeritan tokoh lukisan ini bercerita tentang kecemasan manusia modern dalam menghadapi angst (kecemasan eksistensial), yang disimbolkan Munch ke dalam langit Norwegia berwarna merah.

Jadi muka menjerit yang seolah-olah kehilangan kata-kata itu merupakan simbol universal bagaimana manusia senantiasa dirundung perasaan ketakutan terhadap situasi mahadahsyat yang mencemaskan. Suatu keadaan di luar kendali perhitungan, dan di luar akal sehat manusia.

Dalam pendakuan filsafat Martin Heidegger, ketakutan (furcht) dan kecemasan (angst) merupakan dua suasana hati yang demikian berbeda. Perbedaan ini secara ontologis ditentukan dari keberadaan objeknya.

Ketakutan, walaupun dikatakan Heidegger dapat mengguncang kesadaran dan pengalaman hidup seseorang, masih kurang derajatnya dari kecemasan.

Ketakutan sering terjadi karena objeknya ada, terlihat, dan jelas. Ketakutan terhadap ledakan gunung, misalnya, sekalipun itu besar pengaruhnya, sangat berbeda dengan rasa cemas atas ketidakpastian masa depan yang tidak dapat diamati, diprediksi, dan serba mungkin.

Heidegger dalam Mistik Kesehariannya Budi F. Hardiman, mengatakan kecemasan melampaui objek-objek keseharian manusia yang ditengarai motif-motif praktis.

Kecemasan bukan persoalan pertautan manusia dengan masalah sehari-hari, semisal defisit keuangan, kekuasaan otoritarian, atau kehilangan pekerjaan, melainkan ketika manusia menemukan dan menghadapi dirinya sendiri sebagai sumur anonimitas tanpa dasar.

Itu artinya, kecemasan berarti perasaan yang lahir dari ”kenyataan” asing, dalam, dan jauh dari pusat eksistensi manusia, yang sulit dikalkulasikan melalui hitung-hitungan matematis sehari-hari.

Abad 21 disebut Harari sebagai masa transisi besar-besaran dikarenakan keadaan-keadaan semisal perubahan iklim, pemanasan global, perang antar bangsa, temuan genetika, masyarakat cyber, senjata pemusnah massal, hingga penyakit, yang merupakan tantangan peradaban saat ini, yang mesti dihadapi umat manusia.

Umat manusia setiap waktu diperhadapkan kepada keadaan ketika insting bertahan hidupnya diuji oleh alam. Bukan saja alam, temuan-temuan di bidang sains, teknologi informasi, dan kebudayaan, yang telah digapai umat manusia juga menjadi batu ujian bagi kemampuan beradaptasinya.

Beberapa bulan terakhir, dunia global dihentakkan oleh pandemi corona. Penyebarannya serba cepat tidak mengenal bangsa, ras, agama, dan derajat. Di satu sisi, corona masih misteri. Watak, ciri-ciri, dan vaksinnya masih terus dicari tahu.

Kemapanan tatanan ekonomi, keputusan-keputusan politik, interaksi budaya, dan praktik agama seketika mengalami guncangan. Sekali lagi umat manusia diperhadapkan kepada ketidakpastian.

Ini membuka lebar mata dunia, revolusi sunyi corona saat ini sedang mengevaluasi capaian-capaian peradaban umat manusia. Itu artinya, kemajuan peradaban manusia sedang dipertaruhkan seperti zaman sebelumnya.

Dalam tulisan terbaru Yuval Noah Harari, yang diterjemahkan Siti Raisyah berjudul Dunia Setelah Virus Corona, tersirat mengenai perlawanan utama manusia saat ini, selain menebak bagaimanakah kehidupan bakal berubah setelah diporakkan corona, adalah bagaimana mengendalikan kecemasan itu sendiri.

Umat manusia saat ini cemas tentang tatanan dunia seperti apa yang bakal mereka hadapi di masa akan datang. Corona sekalipun merupakan masalah epidemi, berefek domino kepada keputusan-keputusan politik, ekonomi, dan juga agama.

Ini berarti tatatanan kehidupan yang selama ini dijalani bakal berubah seratus delapan puluh derajat di masa akan datang. Keputusan-keputusan hari ini bakal menentukan kehidupan macam apa setelah pandemi ini mereda.

Sebelum sampai ke tatanan baru itu, hari ini saja kita sudah disuguhkan perubahan-perubahan yang menjadi transisi besar-besaran ke suatu kemungkinan masa depan. ”Social distancing”, ”lockdown”, ”herd community”, ”sekolah online”, ”nilai tukar uang”, merupakan beberapa istilah-istilah yang mereset ulang model kehidupan saat ini.

Berkat semua itu, interaksi sosial kita belakang menjadi ganjil. Belum pernah ada dalam sejarah umat manusia, hidup terpisah sama artinya bersolidaritas untuk sesama. Kita belakangan dituntut berjarak untuk sesuatu yang bernama masyarakat.

Ini semacam kehidupan individualisme yang janggal, demi dapat mempertahankan kehidupan komunalisme yang menjadi ciri masyarakat kita.

Dalam situasi itu, ketika komunalisme kita dipecah untuk hidup sendiri, di saat bersamaan kecemasan semakin hari kian menumpuk. Kita didesak oleh suatu keadaan yang membatasi ”komunalisme” sebagai modal sosial ketika menghadapi bencana.

Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan ala komunitas yang menjadi kekuatan bersama saat anggota-anggotanya mengalami masalah. Kapan semua ini berakhir? Sudah sejauh mana pekerjaan ilmuwan menemukan vaksinnya? Sampai kapan masjid ditutup? Bagaimana kesiapan tenaga medis? Infrastruktur rumah sakit? Sampai kapan korban berjatuhan? Pertanyaan ini hanya diiringi kecemasan tanpa memberikan peluang secercah harapan.  

Dampak revolusi senyap corona sampai saat ini belum akan diketahui. Yang kita tahu sekarang hanyalah jumlah kekalahan demi kekalahan, korban demi korban, yang semakin hari kian bertambah. Sekarang ini ia sedang bekerja dan entah sampai kapan akan berhenti. Di keadaan saat ini setiap informasi demikian berharga, walaupun kita diombangambingkan di antara ”was-was”, ”takut”, ”khawatir”, ”ragu”, ”marah”, ”jengkel”…

Kita ketakutan. Kita cemas. Tapi kita tahu, kita memiliki kekuatan, meski itu belum terlambat.

As Laksana dan Bidadari yang Mengembara

Bidadari yang Mengembara



--2018-2020

DI SAAT tertentu seperti akhir pekan, ketika pikiran membutuhkan sesuatu yang menyegarkan lebih dari secangkir kopi, secara otomatis pikiran saya tertuju kepada sosok penulis yang telah banyak berkiprah dalam semesta tulis menulis tanah air: As Laksana. 

Belakangan saya baru menyadari, entah dimulai dari kapan, entah dalam tempo seminggu, tiga minggu, atau berbulan lamanya, saya terbiasa tergerak mencari tulisan-tulisannya. Selain AS Laksana, Eka Kurniawan—belakangan Gusmuh— adalah sosok lain yang hampir sama dengannya.

AS Laksana adalah sosok yang secara tidak langsung menginspirasi saya dalam menulis. Banyak tulisan-tulisannya menjadi tempat saya menimba ilmu bagaimana teknik membuka suatu tulisan agar tidak kelihatan klise, membuat kalimat tanpa bertele-tele, atau menyampaikan gagasan dengan cara yang ”ringan”.

Pernah suatu masa sosok seperti Goenawan Muhammad membuat saya tergila-gila melalui Catatan Pinggirnya, dan Ali Syariati dengan pikiran-pikirannya yang antimainstream membuat pemahaman beragama saya menjadi kritis. Dua nama ini suka tidak suka dalam waktu tertentu menjadi kiblat saya menulis.

Nama yang pertama membuat saya kepincut dengan gaya menulis yang identik dengan pendekatan puisi, walaupun akhirnya saya menyadari cara itu hanya membuat tulisan saya jadi acak kadut seperti orang yang sedang mengigau. Saya menyadari gaya menulis itu tidak bisa saya jadikan contoh karena saya tidak memiliki kepekaan puitik seperti GM. Apalagi, suatu waktu saya semakin yakin gaya menulis GM akan membuat saya semakin jauh dari gaya menulis saya yang otentik.  

Ali Syariati sosok kedua yang lumayan besar pengaruhnya bagi perkembagan pemahaman keagamaan saya. Tulisan-tulisannya menginspirasi saya bahwa agama bukan sekadar pengalaman hidup yang mesti dinikmati sendiri. Agama punya semangat dan ruh egaliter dan memiliki inisiatif perubahan memberbaiki keadaan masyarakat.

Selama masih menjadi mahasiswa, dan kerap mengikuti banyak forum diskusi, tulisan-tulisan Ali Syariati bukan saja menginspirasi melainkan ikut membentuk pandangan dunia saya. Dari sini, jangankan pandangan dunia, ideologi dan gaya menulisnya pun sering saya jadikan contoh.

Seiring memiliki kesenangan menulis, seiring itu pula saya bertemu nama AS Laksana.

Saya agak lupa kapan sebetulnya saya mengenal AS Laksana. Satu hal yang pasti perkenalan saya dengannya ditandai dari salah satu bukunya bertahun lalu. Saat itu di sebuah kafe yang menjajakan juga buku-buku saya tertarik dari sebuah judul buku berwarna merah menyerupai pink: Bidadari Yang Mengembara. Hurufnya dibikin kapital dengan ukuran besar yang hampir memenuhi luas sampulnya. Di atasnya tertera nama penulisnya: A.S LAKSANA.

Buku itu adalah 12 kumpulan cerpennya dengan “Bidadari Yang Mengembara” sebagai cerpen urutan nomor dua dalam daftar isinya.

Bidadari Yang Mengembara bercerita tentang seorang tukang urut yang menemukan cinta matinya melalui persetubuhan tanpa sengaja dengan Alit yang kehilangan kesadaran dan mengigau. Tanpa ia sadari dalam igauannya ia bercumbu dengan seorang perempuan yang ia kira adalah kekasihnya. Bagi si wanita, peristiwa ini begitu menyenangkan karena menandai bahwa mereka telah menjadi sepasang kekasih.

Tidak perlu saya ceritakan di sini buku terbitan Gagas media itu. Sejak saat itu jika ingat saya bakal mencari tulisan-tulisannya di jagadmaya. Dari pencarian saya ini, AS Laksana selain cerpenis, juga seorang penulis esai yang lantip, yang menjalani profesi wartawan di detik (yang pernah diberedel Orba) sebagai pekerjaan utamanya.

Satu hal yang samar-samar saya iyakan dalam hati, suatu karya tulis yang digarap dengan sepenuh hati pasti akan menginspirasi banyak orang. AS Laksana bukan saja seperti yang saya katakan demikian. Pengalamannya sudah bercerita banyak hal di mana dan seperti apa posisinya dalam jagad kepenulisan Tanah Air.

Oh ya. Tulisan AS Laksana dulu sering nangkring di kolom khusus Jawa Pos bertajuk Kolom Putih, Kumparan, dan satunya lagi di Beritagar.id—sekarang sudah almarhum—dan ini yang unik, ia memiliki banyak blog pribadi yang semuanya bisa kita akses sampai hari ini. Jika Anda butuh sekadar bacaan menyegarkan dan lebih dari itu, pencerahan—entah dengan beragam maknanya—silakan Anda kunjungi saja nama-nama situs yang saya sebutkan di atas.

Setelah Mengepung Kota, Corona Turba ke Desa-Desa



Corona berasal dari bahasa Latin 
yang berarti "mahkota". 
Duri berbentuk seperti 
mahkota di permukaan
virus itu adalah alasan kenapa
 ia diberi nama tersebut.




SAYA membuat tulisan ini di dalam wc saat BAB setelah melihat postingan FB Puthut EA tentang foto-foto lokdon ala kampung di Yogyakarta. Bukan soal apanya. Corona membuat kita harus lebih aptudet mengikuti informasi setiap waktu, di setiap kondisi dan keadaan.

Bagi orang awam seperti saya ini  informasi adalah kunci, sama seperti para ilmuwan dunia dikejar waktu mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang seluk beluk, karakter, dan esensi corona demi menciptakan vaksinnya.

Informasi adalah kunci.

Saat ini penyebaran informasi belum merata. Jauh dari pusat kota, banyak masyarakat desa masih mengira keadaan aman-aman saja.

Di desa saya tinggal, banyak warga mendengar Covid-19 melalui televisi, dan sekali pernah diumumkan lewat toa masjid mengenai ajakan sosial distansing. Tapi tetap saja mereka mengira penyakit ini sama seperti diare sehingga untuk sembuh, cukup diberikan obat generik yang gampang ditemukan di warung-warung terdekat.

Sosial distansing hanya istilah orang kota yang membingungkan, dan karena diare mudah mereda, banyak orang masih suka pergi kesana kemari. Saling mengunjungi, dan berkumpul tipikal masyarakat komunal.

Saat ini, masih gampang menemukan anak muda di desa berkumpul sore-sore saling menggeber motor seolah-olah jalan desa adalah arena balap. Mudah menemukan ibu-ibu berkumpul bertukar cerita di bale-bale tetangga.

Juga sama gampangnya melihat bapak-bapaknya bermain kartu sambil ngopi bertukar gelas.

Di ga’de-ga’de, aktivitas jual beli sama seperti hari-hari biasa, sama persisnya seperti penjual sayur keliling yang mondar-mandir dari pasar-pasar ke rumah-rumah warga.

Di kantor desa, perangkat desa tenang-tenang saja, seolah-olah corona bukan ancaman yang mustahil melewati pematang sawah dan menyisir satu-satu penduduk desa.

Bagaimana dengan masjid di desa-desa? Jangan dikira pengurus masjid di desa mau begitu saja mengindahkan imbauan pemerintah. Sampai sekarang masjid masih membuka lebar pintunya untuk salat berjamaah.

“Mau ikut perintah Tuhan atau perintah pemerintah!” Kata seorang lelaki yang marah-marah saat salat Jumat ditiadakan di masjid al Markas, Makassar.

Itu di kota Makassar. Coba bayangkan bagaimana keadaannya di desa-desa, yang keadaan masyarakatnya belum tahu banyak tentang bahaya corona.

Informasi, sekali lagi adalah kunci.

Corona sampai saat ini barangkali bukan ancaman bagi masyarakat desa, tapi yakin saja, virus ini bakal turba ke desa-desa. Setelah kota-kota besar dikepung corona, tidak akan mengambil banyak waktu lagi bagi corona melebarkan jangkauannya sampai di rumah-rumah panggung tetangga Anda.

Itu dapat terjadi jika masyarakat desa tidak mengantisapasi sejak awal mengenai penyebaran penyakit jahanam ini. Salah satu caranya adalah masyarakat desa mesti melek informasi mengenai seluk beluk penyakit ini. Sebelum sosial distansing diterapkan, informasi mengenai penyakit ini mesti tersosialisasi dengan baik.

Miskin informasi tentang corona, dan lambat mengantisipasi diri, hancur sudah! Sekali lagi, kuncinya adalah informasi.

Kota seperti Jakarta, atau Surabaya, mungkin tidak akan sulit membendung sebaran corona jika dari awal mengendalikan arus informasi demi mengontrol lalu lintas manusia.

Melalui jaringan informasi menggunakan algoritma tertentu, kota besar bisa lebih efektif memanfaatkan kemajuan teknologi informasi demi membendung sebaran corona yang kian sulit dikontrol.

Coba bayangkan jika setiap layar iklan berbasis elektronik dimanfaatkan dari awal, sama jika jaringan pertelevisian dapat tanggap mengingatkan warganya mengenai bahaya corona. Di bandara, pelabuhan, terminal, bahkan di tiap gawai, bekerjasama dengan provider mengirim pesan peringatan untuk memperkecil ruang interaksi manusia.

Di desa, okelah, anak-anak muda sudah banyak melek teknologi. Tapi siapa duga mereka lebih asik bermain gem onlen dibanding mengapdet informasi perkembangan corona.

Dan, orang-orang tua mana tahu tentang yang namanya smartpon. Mereka hanya tahu perkakas pertanian daripada benda-benda yang kini membuat dunia kian ciut.

Itu artinya, selama ini, walaupun terkesan ciri-ciri  pembeda masyarakat desa dan kota sudah nampak kabur, tapi tetap saja dalam kenyataan sehari-hari kejomplangan informasi masih kerap terasa.

Lalu, kepada siapa tanggung jawab sosialisasi dibebankan? Menurut saya, ya itu tadi. Para perangkat desa, mulai dari kepala desa hingga kepala dusun mesti mulai menyadari kondisi saat ini. Mereka-mereka ini mesti gencar mengedukasi warga desa agar paham betapa berbahayanya yang namanya corona ini.

Para perangkat desa mesti proaktif mengingatkan warga desa sebelum semuanya terlambat. Mereka harus tahu tipikal masyarakat desa berbeda dengan masyarakat perkotaan. Tidak seperti di kota, meski bermobilitas tinggi imbauan pemerintah masih signifikan mempengaruhi sikap mereka.

Di desa, yang kental dengan spirit komunalnya, boro-boro legawa menerima ajakan sosial distansing. Sosial distansing jika itu dipahami dan diterapkan secara ketat sama artinya mereka bakal kehilangan basis interaksi sosial ekonominya.

Interaksi sosial ekonomi di desa tidak seintens masyarakat kota. Dari segi kebutuhan ekonomi, masyarakat desa masih bisa mengandalkan kebaikan-kebaikan tetangga jika kekurangan bahan pangan. Mereka masih bisa bertukar makanan apabila salah satu di antaranya memasak lebih dari kebutuhan keluarga.

Jika ada prosesi upacara pernikahan, para tetanggalah  yang paling pertama ikut membantu di belakang dapur. Jika ada keluarga sakit tetangga juga yang ikut menghibur si sakit. Mereka juga akan sering ditemui bersenda gurau di halaman-halaman tetangga jika sore tiba.

Interaksi-interaksi semacam ini bakal ikut hilang jika sosial distansing diterapkan sepenuhnya. Bakal ada ruang sosial yang kosong yang ikut mempengaruhi daya tahan pangan, komunikasi, dan bahkan agama masyarakat desa (jika desa lumpuh, logikanya tidak bakal ada lagi sokongan logistik ke kota-kota).

Yang terakhir ini, mengapa di desa-desa sampai sekarang masih tetap menjalankan aktivitas salat berjamaah di masjid-masjid, itu tiada lain bukan sekadar untuk mengisi kebutuhan ibadah semata, tapi juga sebagai moda bertukar informasi setelah seharian bekerja terpisah di ladang-ladang.

Jadi, berbeda dari masyarakat perkotaan yang terhubung 24 jam dalam lintasan jaringan dunia maya, kebutuhan komunikasi masyarakat desa tidak dapat ditemui selain dari tempat dan pertemuan semacam hal di atas.

Sebenarnya, dalam tilikan seperti analisis di atas, masjid bisa menjadi sarana efektif menggencarkan sosialisasi berkaitan bahaya pandemi corona. Ya, masjid sampai saat ini di desa masih dipercaya sebagai tempat yang memiliki otoritas dan dipercaya dalam mengatur masyarakat. Selain institusi lembaga desa, masjid dan imam desa (dan tentua tetua-tetua adat) adalah dua modal sosial desa yang lumayan signifikan mampu mempengaruhi sikap warga.

Itu artinya, alih-alih mempertahankan sikap ambivalen, masjid-masjid di desa yang enggan menonaktifkan kegiatan ibadah berjamaah mesti sadar diri berkaitan dengan perannya yang kadang terlupakan ini.

Jadi, coba bayangkan, apabila toa masjid difungsikan selama lima kali sehari untuk mengingatkan, mengimbau, dan mewanti-wanti mensosialisasikan segala hal tentang pandemi corona ini.  Bukan tidak mungkin informasi dan kewaspadaan tentang corona akan lebih mudah direspon dan diterima warga desa.

Sebenarnya, masih ada satu dua elemen di desa yang memiliki daya potensial untuk meggerakkan warga desa agar tanggap. Ya, para pendamping desa.

Seperti dijelaskan dalam Permendesa PDDT2019, selain berfungsi untuk memfasilitasi, mengedukasi, memediasi dan meadvokasi masyarakat desa berkaitan dengan potensi tersembunyi desa, pendamping desa juga bisa memasukkan skenario gerak cepat untuk memperingati bahaya pandemi corona kepada warga desa.

Lalu, bagaimana itu dilakukan jika dalam keadaan social distansing? Pendamping desa bisa menyandarkan pekerjaannya itu kepada perangkat teknologi desa yang sekarang sudah mulai berbasis internet.

Toh, jika itu tidak terjadi, pendamping desa bisa bergerak dalam satuan-satuan kerja berskala kecil bergerak langsung berosialisasi di pusat vital pertemuan desa.

Lantas siapa yang kedua. Sudah tentu para pemuda. Skenario gerakan para pemuda dapat diinkludkan ke dalam jaringan kerja pendamping desa di atas. Dengan pertimbangan memiliki gerak mobilitas yang tinggi, dan memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat, para pemudalah elemen penting jika ingin menjalankan rencana di atas.

Jika Anda membaca esai Puthut EA di Mojok tentang lokdon ala Yogyakarta di awal tulisan, para pemudalah yang kelihatan di gambar-gambar tampil bergerak melakukan inisiatif gerakan lokdon mandiri di Yogyakarta. Mereka terlihat memblokade jalan keluar masuk desa dengan bahan seadanya berupa bambu atau kayu-kayu bekas.

Para pemuda di Yogya disebut Puthut bisa melakukan gerakan mandiri ini karena dibentuk dua momen bencana yang pernah dialami Yogyakarta, yakni gempa bumi tahun 2006 dan erupsi gunung merapi di 2010 lalu.

Dua momen ini mau tidak mau memaksa para warga Yogya terutama para pemudanya mesti bergerak sendiri melakukan sesuatu saat menghadapi bencana. Nah, karena punya pengalaman cepat tanggap inilah, mengapa anak muda Yogyakarta tidak tinggal diam menghadapi bahaya corona saat ini.

Pertanyaan pentingnya saat ini, ketika pemerintah pusat sudah berniat akan melakukan pembatasan sosial berskala luas yang diikuti kebijakan darurat sipil, yang berpeluang membuat negara bakal represif dan membiarkan masyarakatnya mandiri sejadi-jadinya tidak ditanggung negara, apa yang sudah dilakukan seluruh elemen desa di tempat Anda?

======


Telah dimuat di Kalaliterasi.com