Dunia sebagai suatu entitas, di era posthuman, telah menjadi
semesta yang transparan. Dalam sejarah kebudayaan manusia, yang mysterium dari dunia dikuak, dibongkar
dan dimanipulasi. Sisi mysterium dari dunia, pada akhirnya, seperti dibilangkan Karen Amstrong, telah menjadi ihwal yang
profan, dunia yang mengalami desakralisasi.
Melalui penemuan-penemuan sains dan teknologi, realitas cosmos yang akbar dihormati, akhirnya takluk di hadapan alatalat teknis. Dunia menjadi medan yang mudah diringkus dengan bantuan alatalat super canggih.
Dalam peradaban awal masyarakat, teknologi merupakan ungkapan buah pikir manusia untuk mengatasi alam. Namun, seiring perjalanannya --seperti tampak sekarang-- teknologi tidak lagi dinyatakan hanya dalam rangka survival di tengah alam raya,
melainkan menjadi praxis teknis yang mengambil alih dan menghancurkan sistem esensialitas kebudayaan kemanusiaan.
Perubahan dalam rangka survival menjadi praxis teknis seperti diungkapan Heidegger karena kemajuan teknologi mengalami intitusionalisasi berdasarkan alam pikiran sains. Sehingga pada awalnya teknologi yang menurut Heidegger adalah suatu yang bermakna poiesis berubah menjadi pekerjaan teknis positivistik belaka. Akibatnya, dunia dalam bingkai teknik dinyatakan Heiddeger hanya dilihat sebagai satuan “adaada” yang teknologis.
Perubahan yang paling mendasar dari kenyataan di atas adalah beralihnya keterlibatan teknologi terhadap kebudayaan manusia yang semula bersifat live centered menjadi power centered.
Perubahan yang paling mendasar dari kenyataan di atas adalah beralihnya keterlibatan teknologi terhadap kebudayaan manusia yang semula bersifat live centered menjadi power centered.
Dalam keadaan demikianlah manusia akhirnya mengalami miskonsepsi
terhadap makna hidupnya. Teknologi rupanya sudah mengalienasi manusia dari pusaran
eksistensinya oleh mesinmesin (Marxisme), masyarakat menjadi manusia dangkal
satu dimensi (Marcuse), manusia mengalami kehampaan kasih sayang (Eric Fromm), tereduksi menjadi manusia teknik (Gabriel Marcel) dan di imingimingi oleh
hasrat fantasi simulacrum (Baudrilard).
Dalam konteks inilah kita sepatutnya mendalami buku karangan Budi
Hartanto: Dunia Pasca Manusia, Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer
Filsafat Teknologi, untuk memahami kesejatian dari penggunaan
artefakartefak teknologi. Sehingga autentifikasi terhadap esensi kemanusiaan
tidak mengalami objektivikasi dari melimpah ruahnya alatalat canggih di sekitar
kita. Demikian juga dalam aspek kultural, agar manusia tidak mendapati dirinya
sebagai subjek yang tenggelam dalam absurditas nilainilai kebudayaan teknis.
Buku ini diawali dengan memasukkan pemikiran John Ihde, seorang
filsuf berhaluan postfenomenologi sebagai jalan masuk untuk memperantarai
pembaca dalam melihat posisi teknologi terhadap relasinya dengan tubuh. Yang
mana teknologi dijelaskan melalui tindak ilmu yang filosofis sebagai instrumen
untuk memediasi manusia terhadap dunia sebagai kesatuan subjek.
Dari kegiatan manusia bersama dengan teknologi, secara singkat
Hartanto menjelaskan pendekatan postfenomenologi dalam melihat relasi manusia
dengan empat relasi yang ada dalam pemikiran John Ihde.
Hubungan yang dimaksudkan di sini adalah hubungan kemenubuhan, hubungan hermeneutis, hubungan alteritas, dan hubungan latar belakang. Menurut saya empat konsep relasi inilah yang memberikan karakter khas dalam pemikiran John Ihde yang diklaim sebagai kelanjutan dari filsafat fenomenologi.
Yang menarik dari ulasan ini,
melalui teknologi, manusia dikatakan mengalami suatu pengalaman eksistensial. Asumsi
ini dapat ditemukan dengan penjelasannya mengenai struktur relasional manusia.
Melalui kategorisasi relasi kemenubuhan, nampak bahwa manusia mampu melampaui
keterbatansannya dalam berinteraksi dengan dunia. Dalam kondisi demikianlah,
dalam pembacaannya, manusia mengalami perluasan persepi dalam memahami
kenyataan.
Walaupun demikian, melalui pembahasan ini, dalam dimensi poiseis,
teknologi ditempatkan sebagai mitra eksistensi yang harus diapresiasi
kehadirannya. Oleh karena sifatnya yang eksistensial, instrument teknologi di
sini dipandang sebagai bagian dari kesatuan subjek dari tubuh itu sendiri.
Sehingga pada aspek ini, untuk melihat teknologi secara kritis akhirnya harus
tanggal oleh nuansa pragmatis dalam pandangan Ihde. Bila nuansa kritik hendak
diajukan di sini, maka subbab ini harus dibaca dengan tindak baca yang
ideologis.
Masih dalam bab ini, Hartanto juga mengangkat persitegangan antara
beberapa pandangan filsafat menyangkut entitas jiwa. Melalui konteks perdebatan
tokoh yang dikemukakan, diskursus mengenai jiwa, sayangnya masih
dibaca dalam matriks pemikiran barat. Sehingga melalui
proposisiproposisi yang terbangun, jiwa mengalami materialisasi dari
sifatnya yang metafisis.
Konsekuensi dari tindak baca demikian, jiwa akhirnya dipandang
sebagai subtansi yang meruang dan dapat disaintiskan. Di samping juga nampak
sisi berat sebelah dari segi ulasannya dengan tidak memasukkan wacana filsuf
Timur maupun Islam di dalam pembahasannya.
Walaupun demikian, secara garis besar usaha Hartanto dalam mengatasi kelemahan pandanganpandangan yang diangkatnya bisa kita simak dalam pemikiran John Ihde, terutama dalam soal dualitas jiwa dan tubuh dengan pendekatan postfenomenologi.
Kesadaran, dalam perkembangan diskursus ilmuilmu modern, tidak
lagi menjadi medan kekuasaan dari ilmuilmu filsafat. Di masa kontemporer, hak
paten yang dahulu dimiliki oleh filsafat mengalami liberalisasi yang
memungkinkan bagi ilmuilmu lain untuk dipersoalkan. Desakralisasi ini dapat
ditemukan pada ilmuilmu semisal psikologi (ilmu kognitif), biologi (neurosains)
dan ilmu komputer.
Dimungkinkannya peluang ilmuilmu kontemporer yang berwatak sains
dalam membincang kesadaran, akhirnya menemukan soalsoal yang jauh lebih
kompleks dan sophisticated, semisal diskursus tentang artificial
intelligence (AI) dan rasionalitas
robotis.
Berkenaan dengan tematema ini, di dalam buku ini oleh Hartanto, dibahas di bawah tema “Tubuh dan Rasionalitas.”
Kesadaran dalam kaitannya dengan AI setidaknya menjadi perbincangan yang problematis. Dalam ulasannya, Hartanto memperlihatkan kemungkinankemungkinan kemajuan teknologi yang merampas otoritas manusia seperti yang dapat disaksikan dalam kisahkisah fiksi sains semisal dalam film HAL 9000, Skynet, Colossus, The Matrix maupun I Robot.
Fenomena kecerdasan yang dapat dicangkokkan ke dalam mesinmesin
canggih akhirnya mengalami perdebatan menyangkut makna kecerdasan yang dialami
manusia. Terutama dalam makna kesadaran itu sendiri, apakah kesadaran yang
dialami oleh mesinmesin sama halnya dengan kesadaran yang dialami oleh manusia?
apakah AI dengan kecerdasannya mampu mengerti sebagaimana manusia mengerti? Dan
mungkinkah peranperan manusia dapat tergantikan dengan AI? Di dalam pembahsan
ini juga, dikemukan kemungkinan mesinmesin yang mampu berpikir selayaknya
manusia sebagaimana yang ditampilkan pada permaianan catur.
Dalam diskursus filosofis, kesadaran adalah salah satu syarat
dimungkinkannya kebebasan. Maka atas dasar itu, hal ini juga menjadi soal
fundamental mengenai mesinmesin yang memiliki kecerdasan. Fenomena ini menjadi
problematis jika kita menerima asumsi bahwa kesadaran adalah salah satu
syarat dari adanya kebebasan.
Kemajuan teknologi yang saat ini banyak mengubah penampilan dunia,
pada akhirnya juga menjadi tema yang turut dibincang dalam isuisu filosofis
saat ini. Apatah lagi dalam persentuhan terhadap dunia, manusia banyak
menggunakan instrument teknologi dalam setiap aktivitasnya.
Sebagaimana dikutipkan dalam buku ini, Bambang Sugiharto menyatakan bahwa teknologi saat ini sudah sedemikian inheren dalam diri manusia (hal x, kata pengantar). Sehingga perlu reorientasi yang memadai untuk mengubah secara maknawi dari cara menggunakan alatalat teknologi yang sering kali banyak membawa manusia pada situasi yang teralienasi.
Di bawah tema “Etika Teknologi” yang menjadi bagian terakhir dalam
buku ini, pembaca akan disuguhkan pandangan filosofis menyangkut teknologi.
Heidegger misalnya, adalah salah satu filsuf yang memberikan perhatian terhadap
makna teknologi sebagai moda memproduksi kenyataan yang memiliki dimensi
penyingkapan. Sehingga dalam pengertian ini, teknologi menjadi kegiatan
refleksi-filosofis yang menjadi bagian dari pengalaman manusia.
Tetapi dari argumentasi demikian, menjadi berbeda apabila hal ini
disaksikan dalam kenyataan empiris sekarang. Dari sudut etis misalnya,
instrumen teknologi sudah sedemikian rupa banyak berperan sebagai pusat yang
menggeser peran subjektivitas manusia. Begitu juga dalam hal kekuasaan,
teknologi sudah tampil sebagai kesatuan sistem yang massif dalam hal intensinya
terhadap kehidupan manusia. Maka dari sifatnya yang demikian, teknologi sebagai
sebuah sistem dan manusia sebagai subjek yang memiliki kedaulatan, dalam hal
pengaruhnya terhadap kebudayaan menjadi masalah yang serius dibincangkan dalam
bab ini.
Teknologi yang berevolusi bersamaan dengan sains dalam masyarakat
pascaindustri, dalam stadium yang minimal, selain sifat progresivnya, dalam
sisi yang lain, banyak menyisakan residu yang tak tangungtangung bagi
kemanusiaan. Atas dasar ini, banyak pihak terutama agama yang memberikan respon
negatif terhadap massifikasi yang inheren dalam teknologi. Penolakan ini
semakin kuat akibat sifat ilmiah dalam sains yang banyak bersentuhan dengan
ihwal yang dimata agama adalah sesuatu yang sakral. Oleh karena coraknya
yang ilmiah dan siifat negativitas penemuan sains dan teknologi terhadap
halhal yang tabu dalam pemahaman religius, maka agama pada akhirnya harus
memasuki medan perbincangan yang selama ini dihindarinya.
Medan sains yang sarat dengan visi saintisme, dalam paradigma
agama menjadi hal yang ditolak karena sifatnya yang materialis. Saintisme dalam
buku ini dijelaskan sebagai cara pandang yang melihat kenyataan hanya pada
batasbatas material-aksidental. Sementara dalam soal kebenaran, saintisme hanya
mengakui kaidah ilmiah sebagai satusatunya cara untuk mendapati kebenaran.
Dengan karakter demikian, saintisme yang mengendap dalam sains, menuai
kritikannya dari pandangan agama.
Kritikan agama terhadap saintisme terutama ditujukan terhadap
paradigma sains yang bersifat profan. Dalam pengertian ini, nilai ontologi
sains yang menggeser peran tuhan dalam soal epistemik adalah persoalan yang
begitu mendasar. Darwinisme misalnya, adalah salah satu alur pemikiran yang
dimaksudkan oleh Hartanto di dalam ulasannya pada tema “Agama Mengkritik Saintisme”.
Di dalam ulasan ini, Hartanto turut mengemukakan pandangan
filsafat parenial yang memberikan visi berbeda berkenaan dengan sifat sains
yang saintis. Filsafat parenial yang umumnya adalah medan yang mampu
mempertemukan kebenaran yang terserak oleh wacana dominan, dalam pengertian
bahwa kebenaran adalah pengetahuan suci yang dimiliki oleh tradisi
pemikiranpemikiran agama, adalah sanggahan terhadap sains yang mengklaim bahwa
kebenaran ilmiah juga dimiliki oleh wacana yang bersumber dari tradisi keagamaan
dan kebudayaan.
Lebih dari pada itu, sifat kebenaran yang dimiliki oleh visi
parenialisme yang transendental, memiliki nilai ontologis yang tinggi jika
dibandingkan dengan kebenaran dalam sains. Oleh karena sifatnya yang
transedental, maka klaim universalitas mengenai kebenaran yang inheren dalam
sains akhirnya digugat dan mulai dipertanyakan. Untuk menjawab soal ini,
Hartanto mengangkat pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang sains suci yang
mensyaratkan keberadaan metode sains yang bersumber dari kebijaksaan agama dan
kebudayaan.
Seperti yang diungkapkan, kritikan terhadap sains juga dikemukakan
oleh pandangan yang bersumber dari pemikiran feminisme. Watak sains yang
destruktiv adalah pencitraan maskulinitas yang berdampak pada kerusakan
ekosistem kehidupan manusia. Pembangunan reaktor nuklir, penggerusan alam,
pendirian pabrikpabrik industri, adalah beberapa contoh betapa kemajuan yang
ditopang oleh sains banyak merusak tatanan alam kehidupan manusia dengan
limbahlimbah industri yang dihasilkan. Tindak sains yang bersifat maskulin dan
destruktiv seperti ini, dalam pandangan feminisme ditenggarai oleh paradigma
sains yang bersifat bias gender oleh karena dominasi cara berpikir lakilaki.
Sebagai penutup, setelah dibuka dengan prawacana yang menarik dari
Alfathri Adlin dalam kata pengantarnya, saya kira juga ditutup dengan nuansa
permenungan yang sarat dalam bagian postscrib buku ini. Dalam penutupnya,
Hartanto melanjutkan refleksi filosofis yang merupakan lanjutan dari prawacana
buku ini. Sehingga ada kontinyuitas antara yang menjadi subtansi dari prawacana
dengan yang termaktub dalam penutup buku ini.
Dalam penutupnya, digambarkan ada hubungan yang ambigu antara
relasi manusia dengan keberadaan alatalat teknologi. Di dunia empiris, begitu
banyak masyarakat yang terbuai dengan eksistensi artefak teknologi. Walaupun
dalam pandangan filosofis teknologi sebagai sebuah modus eksistensi dalam
mengelola alam adalah suatu cara yang inheren dalam tata hidup manusia, namun
teknologi sebagai wujud artefak banyak memberikan dampak serius terhadap
kehidupan seharihari.
Sebagai bagian dari kebudayaan, teknologi yang mulanya adalah
teknik untuk bertahan hidup, secara evolutiv justru menjadi sistem otonom
yang berbalik menghancurkan situasi hidup manusia itu sendiri. Teknologi
dipandang sebagai perihal yang apriori harus dimiliki, sementara dalam
kandungannya teknologi bisa bermakna sebagai alatalat yang mengurung eksistensi
manusia. jika demikian maka, keberlangsungan manusia bisa terancam oleh
hirukpikuk teknologi sisekitarnya.
Pada akhirnya teknologi dan keberadaan manusia dihadapan sejarah
adalah tanda tanya bagi masa depan umat manusia. Dengan semakin canggihnya
perkembangan teknologi saat ini, apakah kelak nantinya manusia mampu mengatasi
sejarah ataukah sebaliknya, teknologilah yang mengambil peran dalam menentukan
jalan dan arah sejarah? Saya kira menyangkut keadaan saat ini, yang hampir
segala lini teknologi sudah menjadi hal yang apriori bagi kehidupan manusia,
buku ini pantas untuk kita miliki dalam mengisi rutin yang semakin ajeg kita
jalani. Setidaknya disaat kita asing di antara dunia yang semakin rumit. []
30 Desember 2013