Tubuh
era korona adalah korban ”mutilasi”. Setelah berharap agar lebih kebal virus,
tubuh dipartisi dari dunia hariannya. Tubuh tidak bisa lagi meruang seperti
biasanya. Daya geraknya dipisah-pisah, dibatasi, dan dibagi-bagi ke dalam dunia
lebih sempit dan mini. Ia seketika menjadi organ terpotong-potong terpisah dari
interaksi sosialnya.
Singkat
cerita, korona ini hari telah menunda, atau bahkan menghentikan kerja organ
tubuh ke part-part sosial terbatas.
Jauh
sebelum korona, praktik mutilasi tubuh sudah lama dipraktikkan. Bukan saja
dalam pengertian sosial, yakni dari satuan tubuh universal berupa; kelompok,
keluarga, komunitas, atau bangsa, yang membuatnya menjadi unit parsial individu
per individu, melainkan ke dalam mekanisme “kekerasan” yang dibenarkan melalui
ideologi kebudayaan, nasionalisme, bahkan agama.
Itu
artinya, tubuh dalam budaya, atau nasionalisme, atau agama, tidak sekadar
dipandang sebagai unit dan bagian dari struktur organistik, yang berfungsi
sehari-hari melalui seni, perang, dan ritual agama, tetapi juga menjadi medan
kontestasi pemaknaan atas nilai, ideologi, dan kebiasaan yang diadopsi di dalam
tradisi masyarakat tertentu.
Tubuh
karena itu, meski kerap dipuja dan diagungkan di dalam narasi kebudayaan, juga
bersaing jadi pihak pesakitan dari ideologi sepihak dan tak berimbang.
Di
Cina, atas nama kecantikan, perempuan dari masa lalu menjalankan praktik mutilasi
pengecilan telapak kaki. Menggunakan kain panjang berlapis-lapis, anak-anak
perempuan golongan ningrat mesti menahan sakit hebat mengikuti
tradisi ikat kaki. Proses itu memakan waktu bertahun-tahun agar membuat kaki
menyerupai sekecil kaki kijang.
Hanzi,
demikian nama tradisi itu, adalah simbol kelas sosial. Elite bangsawan
perempuan Cina, selama berabad-abad menjalankan pratik ini juga untuk
meneguhkan kekayaan dan hak elitenya. Kelak, jelang abad 20 praktik ini
dilarang otoritas Cina karena tidak sesuai lagi dengan semangat
zaman.
Di
negeri semacam Timur Tengah, memberlakukan praktik mutilasi atas dirongan
imperatif ”syariat” Islam. Jika suatu waktu Anda berhaji, dan di pasar, terminal,
atau juga di rumah-rumah ibadah, menemukan seseorang dengan tangan tinggal
setengah, besar kemungkinan ia adalah “tersangka” mutilasi.
Mungkin
karena telah mengambil seekor anak domba tanpa izin di perternakan lokal, atau
sekantung kurma dari kebun-kebun tuan tanah, membuat si tersangka jadi
pesakitan praktik potong tangan karena mencuri.
Sampai
hari ini praktik mutilasi potong tangan di sebagian negara Timur Tengah masih
dijalankan—coba ingat, di konteks lain, kasus Jamal Khashoggi, reporter
pendukung reformasi Arab Saudi, konon dibunuh di Konsulat Saudi di Turki dengan
cara mutilasi—. Meski belakangan ini wacana hak asasi manusia kembali menguat
di sana.
Suatu
kawasan di Afghanistan, perempuan-perempuannya mesti menjalankan tradisi
turun-temurun berupa hukum kuno ”jilat besi panas” jika ingin mempertahankan
harga dirinya.
Banyak
kasus perselingkuhan, membuat istri-istri kena tuduh main serong—mesti tidak
sepenuhnya benar—harus membuktikan kejujuran menjilat besi panas melalui
praktik pembuktian dipimpin seorang syekh. Melalui praktik itu, lidah
perempuan tidak melepuh setelah tiga kali menjilat bara besi—yang dilakukan di
hadapan suaminya—dinyatakan lolos deteksi, dan telah berhasil mempertahankan
harga dirinya di hadapan keluarga patihnya.
Di
suku-suku badui Mesir, praktik jilat besi atau sendok panas itu disebut
bisha’h. Tidak saja perempuan, pria-pria yang juga menjadi tersangka tapi tanpa
saksi, untuk membuktikan kebenaran ucapannya, mau tidak mau melakukan praktik ini sebagai
pembuktian terakhir. Meski mengandalkan kekuatan spiritual pemangku adat
sebagai bukti hukum (evidence), nyatanya praktik ini sering gagal dan memakan
korban.
Bukan
saja lidah, di pedalaman Papua, suku Dani menjalankan tradisi iki palek demi
menggambarkan kesedihan mendalam ketika ditinggal sanak keluarga. Istri-istri suku
Dani, jika ditinggal mati mendiang suami, merelakan jari-jari mereka dipotong
untuk menarasikan kedukaan mereka.
Menurut
anggota suku Dani, menangis saja tidak cukup demi melambangkan kesetiaan dan
kesedihan yang dirasakan. Rasa sakit dari memutilasi jari dianggap mewakili
hati dan jiwa yang tercabik-cabik karena kehilangan.
Jari
adalah simbol persatuan, kekuatan, kerja sama, dan harmoni, begitu filosofi
jari suku Dani. Kehilangan satu atau lebih jari, berarti tanda ada kebersamaan
yang hilang, guyah, dan sakit.
Di
kancah kehidupan modern, mutilasi lumrah jadi praktik ”permak” tubuh. Tidak
sedikit perempuan memutilasi bibir, payudara, pipi, dan hidung demi pencitraan
dan gengsi. Belakangan, praktis medis ini juga dilakukan para lelaki dengan
alasan menempuh gaya hidup ideal.
Kancah
kekuasaan juga tidak kalah bersaing. Entah itu atas nama bangsa, ideologi, atau
agama, mutilasi adalah pendekatan ”hukum” untuk menciptakan kengerian dan jera
masyarakat. Caranya macam-macam; tubuh korban di potong-potong, ditusuk,
dipenggal, ada juga bahkan tubuh korban ditarik berlawanan oleh dua kereta kuda
sampai putus.
Sir
William Wallace, misalnya, pahlawan Skotlandia melawan Raja Edward, dan
dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Inggris.
Saat eksekusi, ia ditelanjangi, diseret menggunakan kuda ke pasar-pasar,
digantung hingga semaput, dikebiri, lalu dipenggal dan dipotong jadi empat
bagian. Kepalanya ditancapkan di atas tombak dan dipajang di jembatan London,
sedangkan anggota tubuh lainnya disebar ke empat penjuru seantero Inggris.
Sejarah
Islam juga mencatat, berkat pemikiran-pemikiran kontroversialnya, Mansur
Al-Hallaj ulama sekaligus sufi, jadi korban mutilasi otoritas keulamaan abad 9.
Sebelum kepalanya, tubuhnya dipotong-potong jadi beberapa bagian sebelum
tubuhnya dilempari batu.
Ada
pula Maitsam At-Tamar, sahabat Imam Ali, yang digantung di pohon kurma oleh
rezim Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah dibunuh oleh Ubaidillah bin
Ziad, lidahnya tidak berhenti melantunkan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib.
Karena tidak berhenti, lidahnya dipotong—sesuai ramalan Imam Ali—baru Maitsam
benar-benar wafat.
Syahdan,
mutilasi juga ditemukan dalam peristiwa pembantaian keluarga nabi di gurun
pasir Karbala. Tidak jauh berbeda dari hoby kekuasaan autokrasi, mutilasi
kepala cucunda Rasulullah, Husain bin Ali jadi puncak kekejaman Rezim Yazid
saat itu. Seperti juga Wallace, kepala Imam Husain diarak dan dipamerkan di
tempat-tempat umum untuk jadi alat mengincar ketakutan masyarakat Islam.
Begitu.