SEWAKTU domisili di Kupang, NTT, saya sering menjadi korban bully.
Kekerasan rasial dengan mengejek saya Bugis kerap terjadi saat kelahi dengan
teman sepermainan. Kelak saya menyadari, etnis seseorang ternyata bisa menjadi
bahan kekerasan rasial ketika tinggal di daerah rantauan.
Daerah terutama penduduk asli dan pendatang mengalami jurang
ketimpangan sosial yang dalam, bisa menjadi faktor pendorong lahirnya kekerasan
sosial.
Di Kupang, mayoritas orang Bugis berprofesi sebagai pedagang. Di
pasar-pasar nyaris sebagian pedagang orang Bugis. Toko-toko kelontong di
pinggir-pinggir jalan, jika lumayan besar, bisa dipastikan itu adalah orang
Bugis. Secara umum, tidak saja orang Bugis, di Kupang, masyarakat pendatang
banyak mengambil peran strategis hampir di semua bidang kehidupan.
Walaupun demikian, masyarakat Bugis tetaplah minoritas. Ditinjau
dari keyakinan agama, akan lebih banyak ditemukan gereja dibandingkan masjid.
Masjid tetap pun ada, namun tidak sebanyak gereja-gereja. Di Kupang masyarakat
Bugis muslim jauh lebih sedikit dibanding warga Katolik, agama mayoritas di
sana.
Tidak jarang, orang-orang Bugis mengalami mobilitas sosial
lumayan cepat dibanding penduduk asli. Hal ini kerap menyebabkan kecemburuan
sosial. Walaupun cenderung genelaristik, di waktu itu, akan nampak mencolok perbedaan
rumah hunian antara masyarakat pendatang dan penduduk setempat.
Rumah-rumah ibadah umat Katolik bisa jauh lebih besar dengan
tembok dinding menjulang tinggi. Beberapa di antaranya ada kemiripan desain
arsitektur Eropa. Namun, sementara gereja bisa megah mengundang keindahan
estetis tertentu, tidak demikian hunian warga asli setempat.
Seolah-olah warga Katolik rela hunian mereka berdiri ala
kadarnya demi rumah ibadahnya. Dengan kata lain, rumah ibadah adalah orientasi
teologis. Tidak seperti pendakuan iman Calvinisme, pengorbanan demi rumah
ibadah jauh lebih besar dari sekadar memiliki kemegahan hunian.
Sebaliknya, masjid-masjid di Kupang tidak semegah gereja. Sejauh
ingatan, belum ada masjid dengan daya tampung melebihi wilayah kelurahan.
Dipengaruhi jumlah umat muslim, masjid-masjid disesuaikan dengan kebutuhan
jama’ahnya.
Berbeda orientasi teologis mengakibatkan masjid tidak bisa lebih
dari sekadar tempat peribadatan belaka. Dengan kata lain, masjid tidak akan
didirikan seperti gereja dengan ”kemegahan” tertentu. Lalu kemana-kah
orientasi ”kemegahan” masyarakat muslim disalurkan? Sudah tentu adalah
hunian mereka.
Itulah sebab—seperti disebutkan—hunian warga muslim tampak lebih
mencolok dibanding hunian warga asli.
Dari segi tingkat pendidikan, meski tidak semua, warga pendatang
jauh lebih mudah mengakses sumber daya pendidikan karena ditunjang kekuatan
ekonomi. Latar belakang pekerjaan orang tua salah satu sebab ini dapat terjadi.
Sementara, penduduk asli karena lahir dari latar belakang
keluarga pas-pasan, kalah ”bersaing” dengan masyarakat pendatang. Dampaknya,
mobilitas sosial masyarakat setempat bergerak lebih lambat.
Di lingkungan mukim, di antara teman-teman sepermainan, baru dua
orang yang saat itu memiliki sepeda. Selain saya, masih ada seorang lagi yang
kebetulan orang Bugis. Sepeda bagi kami sebagian besar saat itu masih terhitung
barang istimewa.
Belum semua orang bisa merasakan bagaimana rasanya bersepeda.
Berkat sepeda milik saya, banyak teman-teman sepermainan mahir bersepeda. Tidak
jarang bahkan ada meminjamnya hingga malam menjelang.
Perbedaan keadaan ekonomi, pekerjaan orang tua, bentuk hunian,
tingkat pendidikan, warna kulit, asal usul, kebiasaan keluarga, yang jauh
berbeda sama sekali bisa memicu lahirnya perasaan cemburu antara kami. Saya
menduga, dilatarbelakangi hal demikian sedikit banyak menyebabkan terjadinya
perlakuan rasial.
Saya sebagai warga pendatang seringkali dongkol menerima
perlakuan rasial dari teman-teman sepermainan. Walaupun itu adalah ekspresi
kemarahan kanak-kanak, namun tetap saja bakal menjadi berbahaya jika itu sudah
melibatkan prasangka kultural. Dorongan sebagai warga mayoritas asli setempat,
tindakan rasial itu menjadi langgeng dan berulang-ulang. Stereotyping dan
penggolongan macam inilah yang akhirnya juga ikut menjadi bahan bakar saat kota
Kupang mengalami kerusuhan di paruh kedua 1990-an.
TIRANI mayoritas bukan isapan jempol belaka. Secara kuantitatif
tirani mayoritas dapat mengubah jalannya sejarah. Secara epistemik ia dapat
memengaruhi pilihan bebas seseorang. Secara sosiologis ia dapat menentukan pola
dan bentuk interaksi masyarakat. Secara politik tirani mayoritas mampu mengubah
kebijakan publik sesuai hitungan-hitungan kepentingannya.
Tirani mayoritas sebagai kekuatan dominan berkorelasi dengan
nuansa psikologis seseorang. Semakin seseorang menarik identitasnya ke dalam
dimensi ”kerumunan”, semakin besar pula ia melambari rasa percaya dirinya.
Tirani mayoritas menjadi negatif karena melalui psikologi massa,
kualitas kemanusiaan seseorang bakal hilang tenggelam dorongan irasional liar
hasrat. Dalam kerumunan massa, kualifikasi rasional individu bakal terkalahkan
kekuatan lebih besar dengan tujuan politis tertentu.
Selain itu, bahaya tirani mayoritas bakal menjadi dasar
epistemik dan kultural melegitim tindakan kekerasan berbasis kolektivisme.
Dalam massa, segala tindakan kehilangan dasar kebenarannya. Sekalipun dilakukan
secara pribadi, tetap saja dorongan ditimbulkannya berasal dari kekuatan
imperatif massa menghilangkan pertimbangan logis individu.
Pengecualian dari yang pernah saya alami, kecemburuan sosial
bukan faktor utama pendorong lahirnya kekerasan berbasis etnis. Malah, di
banyak kasus, berkat lebarnya ketimpangan sosial dan keadilan tidak merata,
banyak wilayah terdorong memerdekakan diri keluar dari naungan suatu wilayah
politis tertentu. Di Indonesia, Timor Timur dan Aceh buktinya. Belakangan
hal sama kembali mencuat di Papua.
Kekerasan rasial justru banyak disebabkan pandangan mengenai
superioritas budaya atas budaya lainnya. Menganggap etnisnya (warna kulit,
bentuk muka, postur tubuh, asal usul) paling berbudaya merupakan biang kerok
kelahiran tindakan rasial. Apalagi jika rasialisme ditopang tirani mayoritas.
Alih-alih memberi perlindungan kepada minoritas, malah rasialisme makin
berkecambah berkat semangat asal tirani mayoritas.
Tindak lanjut dari rasialisme adalah tindakan diskrimanif,
bahkan sampai menimbulkan kekerasan fisik. Secara politis, ujung dari
rasialisme adalah genosida. Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya
eksistensi kebudayaan tertentu.
Peristiwa ”salib setan” dan kasus ”monyet” yang mencuat
belakangan adalah satu dari banyak puncak gunung es kekerasan rasial berbasis
tirani mayoritas. Keduanya dapat langgeng diucapkan sebab lahir di
tengah-tengah dominasi tirani mayoritas. Akan lain kejadiannya apabila
kasus serupa dilakukan pihak minoritas.
Langgeng dan latennya kekerasan rasial dapat meledak kapan saja.
Untuk kasus ”monyet” kekerasan sebenarnya malah terjadi berkali-kali di tanah
Papua tanpa pernah mendapatkan perhatian serius. Kasus monyet hanya satu dari
dua sisi koin yang menyembunyikan ripuh lainnya di tanah Papua.
Kepercayaan rasial (baca: paling beriman) dalam agama ditemukan
dalam dalil-dalil mengatasnamakan kebaikan umat atas jaminan teologis. Bagi
umat Nasrani segregasi iman melalui narasi ”gembala domba” vs ”iman kristiani”
mengakibatkan pembaptisan hanyalah satu-satunya jalan masuk mendapatkan
keselamatan Kristus.
Keyakinan serupa ditemukan dalam Islam melalui dalil ”73
golongan”. Pembedaan golongan ini ibarat bara dalam sekam. Hadis ”73
golongan” dan dalil lainnya, bila ditafsirkan radikal bakal menyulut pengafiran
di mana-mana.
Keyakinan teologis sempit karena dipahami secara primordial
menyebabkan terkoyaknya kenyataan sosiologis yang demikian beragam. Atas tafsir
tunggal keimanan tertentu, kejamakan kehidupan sosial sulit diterima sebagai
skenario teleologis penciptaan.
Indonesia semenjak dahulu menanam benih-benih rasialisme. Tidak
bisa dilupakan begitu saja, mulai era penjajahan (inlander-Belanda), pasca
kemerdekaan (pribumi-Cina), sampai era reformasi (pribumi- asing/aseng), adalah
masa-masa yang telah banyak memakan korban. Dalam kancah politik tanah
air, di ibu kota, rasialisme bahkan menjadi kekuatan naratif digunakan untuk
mendulang suara.
Sekarang mari dipikirkan kembali, apa untungnya keunggulan
rasial, keyakinan agama, atau bahkan keunggulan politik, jika itu hasil
pengerdilan golongan tertentu? Setelah pihak lain dimatikan eksistensinya,
diejek-ejek, diolok-olok!