Tirani Mayoritas


SEWAKTU domisili di Kupang, NTT, saya sering menjadi korban bully. Kekerasan rasial dengan mengejek saya Bugis kerap terjadi saat kelahi dengan teman sepermainan. Kelak saya menyadari, etnis seseorang ternyata bisa menjadi bahan kekerasan rasial ketika tinggal di daerah rantauan.

Daerah terutama penduduk asli dan pendatang mengalami jurang ketimpangan sosial yang dalam, bisa menjadi faktor pendorong lahirnya kekerasan sosial.
Di Kupang, mayoritas orang Bugis berprofesi sebagai pedagang. Di pasar-pasar nyaris sebagian pedagang orang Bugis. Toko-toko kelontong di pinggir-pinggir jalan, jika lumayan besar, bisa dipastikan itu adalah orang Bugis. Secara umum, tidak saja orang Bugis, di Kupang, masyarakat pendatang banyak mengambil peran strategis hampir di semua bidang kehidupan.
Walaupun demikian, masyarakat Bugis tetaplah minoritas. Ditinjau dari keyakinan agama, akan lebih banyak ditemukan gereja dibandingkan masjid. Masjid tetap pun ada, namun tidak sebanyak gereja-gereja. Di Kupang masyarakat Bugis muslim jauh lebih sedikit dibanding warga Katolik, agama mayoritas di sana.
Tidak jarang, orang-orang Bugis mengalami mobilitas sosial lumayan cepat dibanding penduduk asli. Hal ini kerap menyebabkan kecemburuan sosial. Walaupun cenderung genelaristik, di waktu itu, akan nampak mencolok perbedaan rumah hunian antara masyarakat pendatang dan penduduk setempat.
Rumah-rumah ibadah umat Katolik bisa jauh lebih besar dengan tembok dinding menjulang tinggi. Beberapa di antaranya ada kemiripan desain arsitektur Eropa. Namun, sementara gereja bisa megah mengundang keindahan estetis tertentu, tidak demikian hunian warga asli setempat.
Seolah-olah warga Katolik rela hunian mereka berdiri ala kadarnya demi rumah ibadahnya. Dengan kata lain, rumah ibadah adalah orientasi teologis. Tidak seperti pendakuan iman Calvinisme, pengorbanan demi rumah ibadah jauh lebih besar dari sekadar memiliki kemegahan hunian.
Sebaliknya, masjid-masjid di Kupang tidak semegah gereja. Sejauh ingatan, belum ada masjid dengan daya tampung melebihi wilayah kelurahan. Dipengaruhi jumlah umat muslim, masjid-masjid disesuaikan dengan kebutuhan jama’ahnya.
Berbeda orientasi teologis mengakibatkan masjid tidak bisa lebih dari sekadar tempat peribadatan belaka. Dengan kata lain, masjid tidak akan didirikan seperti gereja dengan ”kemegahan” tertentu.  Lalu kemana-kah orientasi ”kemegahan” masyarakat muslim disalurkan?  Sudah tentu adalah hunian mereka.
Itulah sebab—seperti disebutkan—hunian warga muslim tampak lebih mencolok dibanding hunian warga asli.
Dari segi tingkat pendidikan, meski tidak semua, warga pendatang jauh lebih mudah mengakses sumber daya pendidikan karena ditunjang kekuatan ekonomi. Latar belakang pekerjaan orang tua salah satu sebab ini dapat terjadi.
Sementara, penduduk asli karena lahir dari latar belakang keluarga pas-pasan, kalah ”bersaing” dengan masyarakat pendatang. Dampaknya, mobilitas sosial masyarakat setempat bergerak lebih lambat.
Di lingkungan mukim, di antara teman-teman sepermainan, baru dua orang yang saat itu memiliki sepeda. Selain saya, masih ada seorang lagi yang kebetulan orang Bugis. Sepeda bagi kami sebagian besar saat itu masih terhitung barang istimewa.
Belum semua orang bisa merasakan bagaimana rasanya bersepeda. Berkat sepeda milik saya, banyak teman-teman sepermainan mahir bersepeda. Tidak jarang bahkan ada meminjamnya hingga malam menjelang.
Perbedaan keadaan ekonomi, pekerjaan orang tua, bentuk hunian, tingkat pendidikan, warna kulit, asal usul, kebiasaan keluarga,  yang jauh berbeda sama sekali bisa memicu lahirnya perasaan cemburu antara kami. Saya menduga, dilatarbelakangi hal demikian sedikit banyak menyebabkan terjadinya perlakuan rasial.
Saya sebagai warga pendatang seringkali dongkol menerima perlakuan rasial dari teman-teman sepermainan. Walaupun itu adalah ekspresi kemarahan kanak-kanak, namun tetap saja bakal menjadi berbahaya jika itu sudah melibatkan prasangka kultural. Dorongan sebagai warga mayoritas asli setempat, tindakan rasial itu menjadi langgeng dan berulang-ulang. Stereotyping dan penggolongan macam inilah yang akhirnya juga ikut menjadi bahan bakar saat kota Kupang mengalami kerusuhan di paruh kedua 1990-an.



TIRANI mayoritas bukan isapan jempol belaka. Secara kuantitatif tirani mayoritas dapat mengubah jalannya sejarah. Secara epistemik ia dapat memengaruhi pilihan bebas seseorang. Secara sosiologis ia dapat menentukan pola dan bentuk interaksi masyarakat. Secara politik tirani mayoritas mampu mengubah kebijakan publik sesuai hitungan-hitungan kepentingannya.
Tirani mayoritas sebagai kekuatan dominan berkorelasi dengan nuansa psikologis seseorang. Semakin seseorang menarik identitasnya ke dalam dimensi ”kerumunan”, semakin besar pula ia melambari rasa percaya dirinya.
Tirani mayoritas menjadi negatif karena melalui psikologi massa, kualitas kemanusiaan seseorang bakal hilang tenggelam dorongan irasional liar hasrat. Dalam kerumunan massa, kualifikasi rasional individu bakal terkalahkan kekuatan lebih besar dengan tujuan politis tertentu.
Selain itu, bahaya tirani mayoritas bakal menjadi dasar epistemik dan kultural melegitim tindakan kekerasan berbasis kolektivisme. Dalam massa, segala tindakan kehilangan dasar kebenarannya. Sekalipun dilakukan secara pribadi, tetap saja dorongan ditimbulkannya berasal dari kekuatan imperatif massa menghilangkan pertimbangan logis individu.
Pengecualian dari yang pernah saya alami, kecemburuan sosial bukan faktor utama pendorong lahirnya kekerasan berbasis etnis. Malah, di banyak kasus, berkat lebarnya ketimpangan sosial dan keadilan tidak merata, banyak wilayah terdorong memerdekakan diri keluar dari naungan suatu wilayah politis tertentu.  Di Indonesia, Timor Timur dan Aceh buktinya. Belakangan hal sama kembali mencuat di Papua.
Kekerasan rasial justru banyak disebabkan pandangan mengenai superioritas budaya atas budaya lainnya. Menganggap etnisnya (warna kulit, bentuk muka, postur tubuh, asal usul) paling berbudaya merupakan biang kerok kelahiran tindakan rasial. Apalagi jika rasialisme ditopang tirani mayoritas. Alih-alih memberi perlindungan kepada minoritas, malah rasialisme makin berkecambah berkat semangat asal tirani mayoritas.
Tindak lanjut dari rasialisme adalah tindakan diskrimanif, bahkan sampai menimbulkan kekerasan fisik. Secara politis, ujung dari rasialisme adalah genosida. Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya eksistensi kebudayaan tertentu.
Peristiwa ”salib setan” dan kasus ”monyet” yang mencuat belakangan adalah satu dari banyak puncak gunung es kekerasan rasial berbasis tirani mayoritas. Keduanya dapat langgeng diucapkan sebab lahir di tengah-tengah dominasi tirani mayoritas.  Akan lain kejadiannya apabila kasus serupa dilakukan pihak minoritas.
Langgeng dan latennya kekerasan rasial dapat meledak kapan saja. Untuk kasus ”monyet” kekerasan sebenarnya malah terjadi berkali-kali di tanah Papua tanpa pernah mendapatkan perhatian serius. Kasus monyet hanya satu dari dua sisi koin yang menyembunyikan ripuh lainnya di tanah Papua.
Kepercayaan rasial (baca: paling beriman) dalam agama ditemukan dalam dalil-dalil mengatasnamakan kebaikan umat atas jaminan teologis. Bagi umat Nasrani segregasi iman melalui narasi ”gembala domba” vs ”iman kristiani” mengakibatkan pembaptisan hanyalah satu-satunya jalan masuk mendapatkan keselamatan Kristus.
Keyakinan serupa ditemukan dalam Islam melalui dalil ”73 golongan”.  Pembedaan golongan ini ibarat bara dalam sekam. Hadis ”73 golongan” dan dalil lainnya, bila ditafsirkan radikal bakal menyulut pengafiran di mana-mana.
Keyakinan teologis sempit karena dipahami secara primordial menyebabkan terkoyaknya kenyataan sosiologis yang demikian beragam. Atas tafsir tunggal keimanan tertentu, kejamakan kehidupan sosial sulit diterima sebagai skenario teleologis penciptaan.
Indonesia semenjak dahulu menanam benih-benih rasialisme. Tidak bisa dilupakan begitu saja, mulai era penjajahan (inlander-Belanda), pasca kemerdekaan (pribumi-Cina), sampai era reformasi (pribumi- asing/aseng), adalah masa-masa yang telah banyak memakan korban.  Dalam kancah politik tanah air, di ibu kota, rasialisme bahkan menjadi kekuatan naratif digunakan untuk mendulang suara.
Sekarang mari dipikirkan kembali, apa untungnya keunggulan rasial, keyakinan agama, atau bahkan keunggulan politik, jika itu hasil pengerdilan golongan tertentu? Setelah pihak lain dimatikan eksistensinya, diejek-ejek, diolok-olok!

Megalomaniak


Pamflet digital
diambil dari aksi solidaritas kekerasan rasial
yang dialami mahasiswa Papua
di Surabaya beberapa tempo lalu 


BELAKANGAN problem identitas mencuat ke permukaan. Akibat ulah seorang da'i, kerukunan umat beragama menjadi kritis. Tidak lama, kasus muka “monyet” menambah parah situasi. Dua kasus ini saja sudah lebih dari cukup membuktikan betapa mental megalomania kerap diidap sebagian orang di sekitar kita.

Jika Anda membuka kamus Inggris-Indonesia, jelas di situ apa arti megalomania: penyakit gila yang mengkhayalkan dirinya seperti orang agung dan mulia. Pengidap penyakit ini disebut megalomaniak, yakni orang tertentu yang menganggap rendah orang, ras, atau bangsa tertentu.

Sejarah kolonialisme atas negara-negara dunia ketiga sedikit banyak menunjukkan, betapa bangsa-bangsa yang belakangan merdeka awalnya dijajah karena perasaan megalomania bangsa-bangsa Eropa.

Dulu, atau bahkan sampai sekarang, cara pandang seperti ini masih berlaku. Terakhir, Amerika Serikat yang getol berbicara demokrasi, malah semakin menunjukkan identitas aslinya dalam rangka menguasai negeri-negeri Asia. Mental megalomaniak bahkan sering ditunjukkan Trump, orang nomor satu di negeri Paman Sam itu.

Kembali ke Indonesia. Studi-studi poskolonial menunjukkan, bekas bangsa-bangsa terjajah, Indonesia, misalnya, kerap sulit keluar dari peninggalan kebiasaan bekas negara penjajahnya. Entah itu gagasannya, praktik kebudayaannya, bentuk pemerintahannya, atau bahkan ideologinya.

Dalam hal ini kebiasan menjajah yang identik dilakukan bangsa-bangsa Eropa kepada negeri-negeri koloninya, dilakukan pula bekas bangsa jajahannya. Dalam hal ini, Indonesia, sebagai bekas negeri jajahan mengulang kembali tindakan yang sama yang pernah dilakukan bangsa penjajahnya. Lalu, kepada siapakah jajahan itu dilakukan? Tiada lain, kepada anak-anak bangsanya sendiri.

Bukan suatu kebetulan jika belakangan diksi monyet kembali diucapkan sebagai penanda etnis tertentu. Melalui Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, kita bisa lihat nama Minke sebenarnya adalah panggilan yang diterimanya dari seorang Belanda yang berarti monyet. Relasi manusia-monyet (minke) ini uniknya, terulang kembali di masa sekarang dinyatakan bangsa sendiri dengan mereplika posisi superioritas bekas bangsa penjajah.

Gagasan superioritas yang masih bercokol demikian kuat paradoksnya menjadi medan reflektif bersikap bangsa sendiri. Alih-alih mengedepankan kesetaraan, justru pasca keluar dari penjajahan, sikap ini semakin aplikatif mewarnai praksis berkebudayaan Indonesia.

Tidak mungkin dimungkiri, keadaan bangsa kita “diciptakan” berbeda-beda. Keragaman ini walaupun sering dianggap ciri khas, masih sulit diterima sebagai kenyataan sosiologis.

Takdir bangsa yang berbeda-beda, dengan kata lain, malah direfleksikan dengan cara menganggap etnis berbeda sebagai “yang lain”. Seperti bekas bangsa penjajahnya dahulu, perlakuan ini justru lahir akibat cara melihat yang bias.

Relasi timpang ini tidak akan berakhir selama masih ada perasaan atau cara pandang megalomania. Cara pandang ini demikian berbahaya karena lahir atas ketidakadilan itu sendiri. Orang-orang pengidap megalomaniak merasa agung dan mulia tidak datang dari kebesarannya sendiri, melainkan dihasilkan dari memproduksi identitas lain dengan cara mengerdilkan dan mencelanya habis-habisan.

Sikap begini tidak sulit dikemukakan belakangan ini. Kita dengan mudahnya mencela pihak lain demi keagungan tertentu. Kita ingin mulia, dengan menghina pihak lain.

Yang mengerikan, semua itu dilakukan bukan karena kegilaan. Semua itu nyaris dengan kesadaran seterang-terangnya. Sejelas-jelasnya.

Idul Qurban dan Kemerdekaan


AGUSTUS kali ini demikian unik lantaran memperingati dua momentum sejarah sekaligus. Hari raya Idul Qurban dan kemerdekaan Indonesia. Dua peristiwa ini memiliki arti mendalam bagi rakyat Indonesia, terkhusus umat muslim.

Bagi umat muslim Idul Qurban mengajarkan umat manusia arti pengorbanan kepada kaum tertindas. Sementara peristiwa kemerdekaan Indonesia merupakan momen reflektif rakyat Indonesia mengenang dan menginternalisasi perjuangan bangsa ini melawan penjajajahan.

Walaupun berbeda alaf sejarah, dua peristiwa ini sama-sama menarasikan pengorbanan sebagai keutamaan manusia. Bukan saja itu, pengorbanan dalam dua kisah ini juga sama-sama mengisahkan kemerdekaan sebagai nilai kehidupan yang paling penting dan fundamental.

Kepasrahan Nabi Ibrahim-Ismail

Kisah Nabi Ibrahim-Ismail bukan narasi di luar sejarah manusia. Mereka berdua bukan mahluk suprahistoris seperti dalam legenda ataupun mitos. Ibrahim dan Ismail mahluk berdaging yang menandai keberadaan historisnya. Al Quran, karena itu menganjurkan agar kisah kedua manusia agung ini diceritakan terus menerus sepanjang masa. Pertanyaannya, mengapa Al Quran sampai mengabadikan kisah antara ayah dan anak ini?

Ego adalah ”kuda liar” bagi agama-agama. Ia mesti diatur agar manusia tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Tujuan setiap agama mengendalikan ego agar berjalan seiring terang cahaya wahyu. Ego dalam kendali wahyu akan berbuah hasil kepasrahan dan kesetiaan total kepada seluruh perintah dan larangan agama. Kepasrahaan dan kesetiaan, dengan kata lain, adalah inti terdalam praktik agama.

Pengorbanan dalam kisah Ibrahim dan Ismail berakar dari kepasrahan dan kesetiaan total kepada perintah Tuhan. Mereka berdua telah melampaui sekat penjara ego. Jiwa insan mereka telah tunduk sepasrahnya seperti pasrahnya alam semesta terhadap hukum Tuhan. Bergerak tanpa sedikitpun melahirkan sangsi dan protes.

Itulah sebabnya, kisah kedua manusia ini dikukuhkan Al Quran. Sebagai kisah pengorbanan, Ibrahim rela melepas satu-satunya keinginan selama yang telah ia damba-dambakan. Ismail, anak yang ditunggu-tunggunya, juga menunjukan kebaktian pengorbanan tiada bernilai. Baik Ibrahim dan Ismail, sesungguhnya mengajarkan nilai moral puncak: rela melepaskan keinginan yang paling dicintai.

Kesetiaan, kerelaan, dan ketundukkan Ibrahim dan Ismail kepada Tuhannya merupakan tanda manusia merdeka.  Kedua nabi ini, dengan kata lain, adalah contoh bagaimana manusia mesti memerdekakan dirinya dari penjajahan ego. Sebagaimana ungkapan Rasulullah, perjuangan manusia paling dahsyat perjuangan melawan hawa nafsunya. Begitu pula kemerdekaan, kemerdekaan hakiki adalah kebebasan manusia dari perintah hawa nafsunya.

Peristiwa Ibrahim membebaskan prasangka teologis menghancurkan patung-patungg raja Namrud, bukti lain agar manusia selain melawan egonya  jangan sampai terjebak kepada kekuasaan tuhan-tuhan palsu. Kemerdekaan atas tuhan-tuhan palsu diajarkan Nabi Ibrahim masih relevan sampai masa kiwari.

Dalam konteks bangsa-bangsa dunia, tuhan-tuhan palsu sering menjelma ke dalam berbagai bentuk dan dimensi, salah satunya penjajahan politik dan budaya.

Korban Kemerdekaan

Bangsa Indonesia diakui sebagai negara merdeka berkat jasa pahlawan-pahlawannya. Baik tidak tercatat maupun disebut-sebut dalam buku sejarah, pejuang kemerdekaan silam telah mengorbankan seluruh dirinya kepada bangsa ini. Sulit dibayangkan bagaimana besarnya cinta mereka kepada bangsa ini sampai rela berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Satu hal bisa dipetik dari pengorbanan pejuang kemerdekaan, yakni kerelaannya melepas apa yang paling dicintainya kepada bangsa ini: nyawa dan segala apa yang mereka miliki.

Pejuang kemerdekaan silam enggan dijajah melalui kepemimpinan politik dan budaya asing. Mereka sadar betul tidak ada kekuasaan patut direlakan selain kekuasaan politik bangsa sendiri. Kesetiaan kepada tanah air sendiri tidak sebanding kerelaan kepada penjajahan bangsa asing. Kemerdekaan hakiki bukan hidup dalam naungan bangsa asing, melainkan bangsa yang dapat menentukan sendiri nasib dan takdir kebangsaannya.

Takdir kebangsaan Indonesia ditandai dari beragam suku, bangsa, dan agama. Secara geografis takdir kita hidup dipisah lautan antar pulau-pulau. Begitu pula di masa depan tidak bisa dielakkann bangsa ini mengalami ledakan populasi akibat bonus demografi. Seluruh takdir ini mau tidak mau melahirkan beragam perbedaan dan keanekaan. Dengan kata lain, sudah takdirnya bangsa Indonesia beragam dan  berbeda satu sama lain.

Tidak akan berubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri mengubahnya. Ini juga merupakan takdir Tuhan bahwa segala hal bisa berganti ketika ada kemauan untuk berubah. Agustus adalah hasil ikhtiar bangsa Indonesia memilih untuk merdeka. 

Rakyat Indonesia silam telah menentukan takdirnya melalui kemampuan mengubah penjajahan menjadi kemerdekaan.  Akan lain ceritanya jika seluruh peristiwa perjuangan Indonesia silam tidak memilih mengubah nasibnya. Kemerdekaan hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Sekarang perjuangan Indonesia adalah perjuangan mengelola perbedaan, keanekaan, dan kemajemukan.  Manusia Indonesia harus keluar dari cangkang egonya demi memupuk kemerdekaan atas sesama. Manusia Indonesia harus pandai-pandai berkorban demi kemajemukan status sosial, peran, dan keyakinan agama. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, atau para pejuang kemerdekaan: rela melapangkan sesuatu yang dinginkan egonya. Memerdekakan diri dari penjajahan ego demi bangsa dan negara.

Telah tayang di Geotimes.go.id


Khotbah


PERTANYAAN. Pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu.

Tapi, kiwari, di majelis-majelis keagamaan, yang gandrung merebak di masjid-masjid, mungkin lupa hadis Rasulullah di atas.

Di majelis-majelis itu, pertanyaan yang datang kadang hanya permainan belaka. Atau bisa jadi berupa gimmick semata. Sengaja dipesan entah oleh siapa yang kita tak tahu wujudnya, untuk memancing, untuk merebut perhatian.

Atau, karena ia bakal tersiar di kanal-kanal sosial media, bakal menarik pendapatan adsense.

Pertanyaan lewat secarik kertas itu memang membuat waktu jadi efisien, ia bisa langsung sampai di atas mimbar. Tapi sesungguhnya malah memangkas ihwal yang intim.

Sang da'i tidak bakal tahu siapa sesungguhnya yang bertanya. Ia tak tahu raut muka si penanya. Bagaimana gesture rupanya, intonasi suaranya, gerakan tangannya.

Dengan kata lain, sang da'i tidak bakal menangkap kesungguhan si penanya. Seserius apakah ia mencari tahu.

Dalam kondisi demikian, kita sulit menangkap siapa sebenarnya yang sedang memegang kendali. Di layar kaca, si da'i bagai orang yang sedang memegang kontrol forum. Ia lihai menjawab pertanyaan membangun argumen dengan mengikutkan prasangka. Di atas forum ia-lah pusat perhatian.

Tapi, siapa yang bakal mencari tahu, siapa yang bertanggung jawab berada di belakang panggung. Yang mengendalikan alur masuk pertanyaan. Memilah-milah kertas pertanyaan mana yang layak naik, mana yang sekadar sensasi belaka.

Di majelis keagamaan, lantaran ia bukan forum layaknya pertemuan ilmuwan, tidak ada proses sortir demikian. Siapa saja bisa bertanya, seaneh apapun jenis pertanyaannya.

Malangnya, entah sudah dipikirkan matang-matang, si da'i, yang seharusnya menjadi palang pintu terakhir penyortiran, di banyak kasus juga gagal memilih bijak.

Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan bernada sinis, mengejek, melecehkan, mendeskreditkan, jadi ajang si da'i membabat habis semua jenis pertanyaan. Ia berubah seolah-olah mesti bertanggung jawab atas semua pertanyaan dengan menjawab semuanya. Padahal ia lupa, ia punya pilihan, punya pertimbangan yang mana pertanyaan yang ia layak tolak mentah-mentah.

Sampai di sini, majelis-majelis pengajian di layar kaca itu membuat kita curiga, seberapa seriuskah jamaah-jamaah itu berniat memperdalam agamanya. Seberapa bijakkah da'i-da'i itu menanggapi pertanyaan yang kerap melecehkan.

Malah bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang datang ibarat memancing di air keruh.

Kiwari dunia layar kaca mengubah segalanya menjadi hiburan. Setiap konten seserius apa pun itu bakal diset seperti pertunjukkan. Ada fokus kamera, sorot layar, pembesar suara, pengaturan cahaya, penonton bayaran...

Itulah sebab, sebagaimana hiburan, di majelis pengajian itu perlu glorifikasi dan kemeriahan. Bahkan ia perlu seorang aktor yang mampu menyedot penonton. Dan jika mesti, ia perlu bermain adegan dramatik agar menjaring nama.

Tapi, karena ia telah menjadi hiburan membuat kita mesti was-was. Mesti bertanya-tanya: sudah semurah itukah agama hari-hari ini? Bahkan, dengan jenis pertanyaan murahan karena salib?


Mengapa Mereka Begitu Pandai Merazia Buku?


SAYA tiba-tiba merasa menjadi orang goblok selama 17 detik melihat sekumpulan orang yang merazia buku. Mereka gagah berdiri bebas memegang buku yang dianggap mampu meracuni pikiran orang banyak. Merekamnya dengan gawai canggih tanpa rasa was-was. Pose mereka ini mirip dengan calon guru besar yang hendak mendatangi podium pengukuhan. Menenteng buku-buku sampai membutuhkan asisten berkaca mata.

Saya menduga mereka sudah melakukan penelitian berhari-hari, berbulan-berbulan, atau bertahun-tahun, atau beribu-ribu tahun sampai abad pertengahan bahwa buku  memiliki pengaruh langsung terhadap bentuk pemikiran orang-orang. Seolah-olah teks memiliki akses langsung mengubah paradigma seseorang.

Padahal antara buku dan jaringan sinapsis dalam sistem saraf manusia mesti melewati bermiliar-miliar terminal jaringan untuk sampai menerbitkan pemahaman.

Membaca adalah peristiwa yang kompleks. Jarak antara teks dan kesadaran manusia begitu panjangnya. Apalagi rangsangan-rangsangan syaraf ini dialiri kejutan-kejutan listrik yang luar biasa banyaknya.

Buku tidak selamanya menentukan jenis pemahaman. Tidak selamanya memberikan warna pemikiran.

Tapi mau bagaimana lagi. Kita sedang menghadapi  orang-orang yang diberi kewenangan istimewa. Tanpa surat pengantar pengadilan pun mereka dapat terdorong berarak menuju rak-rak buku. Kewenangan gerombolan ini lebih dahsyat dari sekompi tentara. Tanpa mesti berseragam loreng ilham mereka berhasil membuat gentar anak-anak muda yang ingin mengembangkan wawasannya.

Mereka adalah para wakil ilmu pengetahuan yang lebih paham dari kita, yang membutuhkan dua kali putaran jam hanya untuk menyelesaikan bacaan sebuah buku.

Buku yang mereka pegang itu sudah menunjukkan gelagat intelektuil dan visioner. Mereka telah berkumpul dan berembuk mengulas kata demi kata, tanda baca dari tanda baca, paragraf demi paragraf, bahwa buku bergambar seorang pria dari masa silam masih bergentayangan di langit-langit persada.

Jadi, berterima kasihlah kepada mereka. Jibaku mereka telah memangkas rentetan panjang suatu alur intelektualitas, dari membaca, berdiskusi, berdebat, dan menyimpulkan, mengenai tradisi intelektual. Merekalah avant garde peradaban yang telah memutuskan takdir ilmu pengetahuan masyarakatnya. Menentukan pengetahuan apa yang layak diketahui setiap manusia.

Beberapa hari sebelumnya, mereka juga bekerja dengan baik menentukan apa yang pantas dikonsumsi orang-orang. Babi sekalipun adalah daftar pertama yang tidak layak dipajang di etalase pertokoan. Jika pun harus, setelah memastikan kebersihan udara dan penciuman dari aroma Babi, mereka akan berencana mengecek satu-satu mulut orang-orang yang ditemui. ”Sedang mengunyah apakah Anda?”

Mulut dan otak adalah bagian penting yang mesti suci. Mereka tidak peduli di mulut orang-orang banyak bakteri yang bertugas menghancurkan makanan. Mereka juga tidak peduli otak adalah satu organ/benda yang sampai hari ini menyimpan misteri peradaban. Satu saja keyakinan mereka, mulut dan otak harus steril dari babi-babi komunisme.

Kepandaian kelompok ini lebih imajinatif dari Don Quixote. Don Quixote sejenaka-jenakanya ia, masih menyandarkan imajinasinya kepada buku-buku petualangan ksatria. Tidak lama setelah itu ia berubah menjadi ksatria pengelana dan melihat segala hal dari kacamata seorang ksatria. Dalam keyakinannya, kincir angin yang ditemui adalah monster yang harus diterabasnya.

Sementara kelompok ini melampaui teks dan konteks. Kesadaran mereka tidak berjejak di literatur mana pun. Seolah-olah mereka ini diciptakan kembali oleh zaman ini dari masa ketika pengadilan Socrates terjadi. Dengan cerdik mereka katakan, buku hanyalah penipu ulung yang menyesatkan. Dan zaman ini harus dikembalikan seperti saat kitab-kitab suci pertamakali dituliskan.

Ketakutan mereka adalah ketakutan atas kekosongan. Ketakutan mereka bukan jenis yang lahir dari dialektika pemikiran, apalagi datang dari bacaan buku-buku. Keberaksaraan mereka tidak pernah berkembang kemana-mana. Jika ada yang disebut buta huruf fungsional, merekalah orangnya.

Kepandaian inilah yang mendorong mereka menggemakan takbir di mana-mana sebagai tanda kemenangan. Walaupun sulit mereka terima, dalam takbir itu marwah agama yang menurunkan firman pertamanya dengan perintah membaca sedang jadi lelucon di tangan mereka sendiri. Sungguh kecendekiawanan mereka gamblang dapat diukur dari hal-hal semacam ini. Islam manakah yang mereka amalkan sebenarnya!

Itulah sebabnya, seperti ungkapan Voltaire yang tidak mereka kenali kiprahnya: di hadapan uang agama semua orang sama. Jangan-jangan mereka-mereka ini adalah satu sel yang bergerak bersama atas kepentingan tertentu. Merangsek toko-toko buku, forum-forum, seminar-seminar, lapakan-lapakan, komunitas-komunitas yang mampu melahirkan pemikiran kritis demi lapangnya jalan keyakinan tertentu?

Tapi. Mungkin itu teori konspirasi! Tidak ada faedahnya dipikirkan.

Sudah saatnya jika Anda sampai di bagian ini, berpikirlah 45 detik lamanya kemudian pertimbangkan untuk hijrah dari kebiasaan mengecam mereka, apalagi mengutuk perbuatannya. Sudah saatnya kita yang demikian jahanam di mata mereka, berbalik arah dan menyumbangkan semua buku-buku yang dimiliki. Itulah tanda kemerdekaan manusia seperti kita ini oleh sebab merekalah satu-satunya palang pintu ilmu pengetahuan dengan menutup jendela ilmu yang lain. Kepada merekalah nasib bangsa ini diwariskan.

Dalam kehidupan, kiprah mereka ini terlampau suci dituliskan dalam sejarah peradaban yang karut marut ini. Oh Tuhan, mengapa mereka begitu pandai merazia buku?


Biblioklas dan Kemerdekaan


JANGANLAH kau diperbudak satu kaum sekalipun kau dilahirkan dalam keadaan merdeka.

Perkataan yang saya sadur ulang ini pernah diucapkan Ali bin Abi Thalib AS. Tokoh sejarah yang oleh para ahli disebut sebagai Suara Keadilan.

Suara Ali sama tajamnya dengan kibasan pedangnya. Bahkan, suaranya jauh bergema sampai ke gerbang waktu masa kini.

Kemerdekaan menurut Ali bin Abi Thalib lebih azali dari apa pun. Ia anugerah penciptaan, tapi juga sekaligus ujian. Barang siapa memperjuangkannya, maka ia telah mensyukuri satu-satunya keistimewaan yang dipunyai makhluk hidup. Barang siapa menginjak-injaknya, sesungguhnya ia telah kufur nikmat.

Kemerdekaan memang tidak datang dan jatuh dari atas langit. Sekalipun mesti direbut dan diperjuangkan, ia oleh Soekarno disebut sebagai pengalaman khas dari suatu bangsa. Tidak ada perjuangan kemerdekaan yang sama satu dengan lainnya. Setiap bangsa memperjuangkan kemerdekaannya masing-masing. Dengan ikhtiar dan metodenya sendiri-sendiri.

Bagi bangsa-bangsa modern, kemerdekaan dirumuskan dengan cara membentuk suatu ”komunitas terbayang”. Istilah dari Benedict Anderson ini, melampaui dan tidak sekedar komunitas politik belaka. Melainkan suatu bangsa ”yang saling membayangkan”  walaupun satu sama lain terpisah takdir geografis berjauhan.

Itulah sebabnya, kemerdekaan, seperti juga nasionalisme yang menjadi induknya, mesti menjadi proyek bersama. Oleh sebab ia mudah berubah, gagasan ini mesti dikukuhkan satu demi satu kaki-kakinya dari setiap pertemuan dan saling silang pemikiran. Ia bagaimanapun bukan takdir Tuhan yang ajeg dan fix.

Dengan kata lain, kemerdekaan adalah hak sekaligus takdir perjuangan manusia itu sendiri.

Beberapa waktu belakangan, menambah deret panjang noda peradaban, di Probolinggo dan Makassar terjadi kembali aksi memusuhi buku-buku. Bibliosida, yang seringkali ditampakkan dari mulut-mulut kekuasaan, kini dengan mudah dilakukan di luar kekuasaan itu sendiri.

Entah dari mana kewenangan menentukan takdir pengetahuan dimiliki oleh musuh-musuh peradaban ini. Mereka tanpa disadari telah melampaui kewenangan negara dalam menentukan baik buruknya sesuatu. Bahkan, telah menyalahgunakan prinsip kemanusiaan dengan mengambil hak preogatif Tuhan.

Semenjak kemerdekaan berbangsa bernegara diikrarkan dan dinyatakan Agustus silam, Indonesia bukan terdiri dari sekadar gerombolan yang bergerak sendiri-sendiri, tanpa arah, dan bebas. Melainkan menjadi komunitas politik yang berdaulat, tatanan masyarakat yang berkebudayaan, dan sistem sosial yang berkeadilan.

Itu artinya, setiap manusia yang bermukim di atas tanahnya, disatukan oleh suatu ikatan kolektif, sadar, dan bertanggung jawab demi usaha mencapai kedaulatan ideal, kebudayaan ideal, dan keadilan ideal.

Maka, jika ada yang bergerak atas tendensi komunalisme buta dan keyakinan ekstrimis, yang mengatasnamakan kepentingan publik semena-mena, berarti orang-orang macam ini sesungguhnya belum merdeka dari penjajahan kebodohannya.

Orang-orang macam inilah layak disebut sebagai bandit-bandit peradaban. Mereka mendesak paksa, mencuri, dan merampok kemerdekaan publik dengan tingkah genit kekanak-kanakan.

Tindak bibliosida jika dibiarkan akan mengurangi umur usia suatu bangsa. Buku-buku, apa pun jenis dan macamnya merupakan khazanah yang mesti dijaga dan disebarluaskan. Sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan, arsip negara, dan bahkan ingatan suatu bangsa akan hilang ditelan waktu. Tanpa itu semua, tak akan lahir generasi puncak dari suatu bangsa.

Saya tidak habis pikir bagaimana razia buku dapat langgeng dan berlipat ganda. Jika itu direncanakan dengan sistematis, berarti ada grand design dengan motif ideologis tertentu yang sedang bekerja melapangkan suatu jalan pikiran tanpa kritisisme.

Dengan kata lain, suatu narasi penghancuran buku sama artinya dengan program genosida atau cuci otak demi menghilangkan suatu generasi.

Jika ditilik lebih jauh, bibliosida bukan saja melahirkan genosida belaka, tapi juga akan merambah kepada kebencian rasial, gender, dan agama. Buku yang dilenyapkan, dengan kata lain akan berdampak lenyapnya pula kemanusiaan itu sendiri.

Dan, hilangnya kemanusiaan, sama artinya lenyapnya kemerdekaan di bawah langit-langit persada.

Syahdan, buku tanpa kebebasan membaca, sama saja dengan negeri yang kosong dari takdir peradaban.

Humor Chaplin dan Konservatisme



TERTAWA bukan saja sifat alami manusia. Dilihat dari aspek sosialnya, tertawa malah dapat menandai kebudayaan masyarakat tertentu. Bangsa Mesir dan Persia, misalnya, disebut bangsa yang humoris. Mereka bisa saja menyelipkan humor sekalipun dalam keadaan marah.

Berbeda bagi bangsa Jepang dan Jerman yang cenderung serius dan kaku. Tertawa bukan tradisi kedua bangsa ini.

Tidak seperti Perancis, di Rusia orang-orang malah sulit melempar senyuman kepada orang asing. Di negeri sendiri, bahkan senyuman bisa menandai keakraban walaupun terhadap orang asing.

Begitulah tertawa di beberapa bangsa-bangsa dunia, kadang menjadi perwakilan identitas kolektif masyarakatnya.

Di awal abad 20 dunia mengenal Charlie Chaplin, aktor seni peran yang mengembangkan humor untuk menggambarkan kepelikan dunia. Lewat tertawa, humor Chaplin ingin mengajak penontonnya melihat dunia melalui cara berbeda.

Dari setting masyarakat industri melalui film semisal The Modern Time dan City Light, Chaplin menciptakan sosok Tramp demi menunjukkan kontradiksi-kontradiksi kemanusiaan masyarakat industrial.

Lewat karakter Adenoid Hynkel, Chaplin memeragakan humor gaya mengejek dalam film The Great Dictator. Semua yang pernah menyaksikannya tahu, dari film itu, sosok yang ia sasar adalah Adolf Hitler, tokoh penyulut Perang Dunia ke 2.

Humor Chaplin humor tanpa kata, tapi bukan berarti tanpa “bahasa”. Melalui peran jenaka, bahasa humornya dapat ditangkap melalui gesture, mimik, gerak-gerik, dan petingkahnya yang memanfaatkan tubuh sebagai teks. Peragaan tanpa kata itu berhasil mengaduk sense of humor setiap penontonnya.

Humor a la Chaplin humor yang melibatkan dimensi kritisisme. Ia sebenarnya tidak sedang bercanda. Malah, humornya berbau politis. Dengan cara demikian, Chaplin memanfaatkan sense of humor pada setiap diri penontonnya agar menyadari situasi kritis masyarakat.

Di Tanah Air, guyonan apik dikawinkan dengan politik pada orang sekaliber Gus Dur. Di tangannya politik bak permainan. Melalui humor Gus Dur banyak membuka wawasan masyarakat ke dimensi-dimensi persoalan yang jarang dilihat. 

Sebagai teknik komunikasi, Gus Dur paham betul humor perangkat komunikasi paling jitu merangsang pemahaman lawan bicara agar menyadari betapa kompleksnya suatu persoalan.

Konon nilai spiritualitas manusia dapat diukur dari tingkat sense of humornya. Semakin tinggi sense of humornya, semakin cerdas ia secara spiritualitas. Sebaliknya, semakin rendah sense of humornya rendah pula tingkat spiritualitasnya.

Kaitan sense of humor dengan agama ditilik dari kemampuan sekaligus kepandaian seseorang memperluas dan memperdalam pemaknaan saat mengartikulasikan nilai-nilai agama.

Sense of humor juga menjadi semacam basis episteme yang meradikalkan pemahaman menjadi lebih cair dan fleksibel. Melalui keadaaan ini, sense of humor-lah yang membuat jiwa lebih ”ringan” menghadapi segala hal yang dianggap berat dan baku.

Bahkan, lewat sense of humor-lah, ego, yang seringkali menghambat perkembangan spiritualitas manusia, dapat diturunkan tegangan dan derajatnya sampai kepada level yang paling rendah.

Dengan kata lain, humor adalah metode penyampaian yang dapat mentransformasikan gagasan berat, baku, dan kaku ke dalam suatu model bahasa yang lebih cair dan mengalir ke berbagai lapisan kesadaran dan kejiwaan.

Kisah-kisah sufistik misalnya, adalah contoh bagaimana humor dan ajaran agama disandingkan. Melalui kisah-kisah sufistik, agama kehilangan ”keangkerannya”. Di tangan para sufi semisal Nasruddin Khoja, agama sebagai ajaran Tuhan nampak lebih ”ceria”, ”jenaka”, dan ”terbuka” ketika disampaikan. Melalui kisah jenaka para sufi, agama malah lebih mudah diterima ketimbang dengan cara lain.    

Belakangan, nilai pasar humor menjadi lebih tinggi. Di dunia hiburan, banyak acara televisi memasukkan unsur humor. Humor di acara-acara itu tidak sedikit menjadi ajang menaikkan rating dan pendapatan. Humor di dunia hiburan jika bukan merangsang imajinasi berpikir masyarakat, malah sebaliknya membuat masyarakat kehilangan dimensi kritisismenya.

Di waktu bersamaan, humor sulit dipakai mencerna hal-hal serius. Politik, dan bahkan agama, adalah dua sisi kemanusiaan kiwari dipandang haram ”diguyonkan”. Menguatnya konservatisme politik dan agama, membuat humor dianggap melecehkan marwah agama dan politik. 
Merebaknya konservatisme, pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan sisi ”kejenakaan”, ”keceriaan”, dan ”keterbukaan”  dalam mencerna sesuatu.

Konservatisme agama dan politik yang ”fiqih oriented” dan atau ”syariah oriented” membuat segalanya kian sempit dan menyesakkan. Agama yang ”fiqih oriented” membuat seseorang anti kepada keberagaman, cenderung menginginkan kebakuan dan kekakuan pemahaman.

Imbas cara pandang seperti ini tidak akan ada dinamika dan kesegaran dalam mengamalkan pemahamannya di dalam kehidupan yang serba cair ini.

Dunia yang kehilangan kejenakaan dan keceriaannya, jika bukan menganggap humor meremehkan persoalan, maka dianggap menista ide-ide sakral dan keyakinan yang dikandung dalam apa pun. Padahal, agama kehilangan keceriaan akan menjadi amalan muram, tradisi kehilangan kejenakaan membuat budaya menjadi kaku, dan politik kehilangan keterbukaan akan menjadi kekuasaan totaliter.

So, jika hari-hari ini Anda mudah marah kepada perbedaan, keragaman, dan keanekaan, jangan-jangan ada yang salah dari diri Anda. Why so seriously!?


Buku dan Kubu


BELAKANGAN saya kesulitan menemukan kenikmatan membaca buku. Alih-alih dapat menempuh waktu lama dalam membaca, saya seringkali keteteran dengan serbuan ”musuh” di dalam kepala saya. Ya, dunia maya masih menjadi peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang harus ditinggalkan jika ingin menjadi pembaca yang tekun.

Musuh di kepala saya ini sudah ibarat racun, mengotori dan berkecambah sampai memengaruhi keinginan yang sulit dibendung. Gawai, benda tercanggih sekaligus terkutuk abad ini biang keroknya. Ia yang bertanggung jawab dari semua ini.  

Tapi, malangnya, walaupun menjengkelkan, tidak bisa dimungkiri representasi dunia lebih banyak nongol melalui layar kaca gawai. Urusan apa saja bisa ditemukan di atas mungil layar kacanya. Dari urusan ranjang artis ternama sampai soal-soal politik yang sontoloyo itu.

Pernah beberapa kali ingin melenyapkan perangkat canggih ini di liang jauh. Mengubur atau mengenyahkannya tanpa mesti dikenang lagi. Tapi apa daya, cara ini terlampau ekstrem mengingat sebagian kebutuhan komunikasi bertumpu kepada alat ini.

Saya bakal kehilangan komunikasi dengan lingkaran pertemanan yang berjibun itu: grup-grup yang hanya saya baca itu, teman-teman seorganisasi, rekan-rekan kerja, atau bahkan dengan istri sendiri. Hampir separuh dunia akan hilang jika gawai kita enyahkan.

Maka pilihannya hanya ada satu: mengurangi pemakaian gawai sebatas komunikasi belaka. 

Belakangan pilihan ini sulit saya jalankan oleh sebab kebiasaan membuka youtube. Youtube saat ini adalah semesta segala hal. Siapa pun bisa menjadi publik figur melalui konten-konten kreatif.

Bahkan tidak sedikit konten-konten menjual kekonyolan berupa menjadi pocong-pocongan kawe. Yang unik saya sampai berdecak kagum terhadap konten kreator yang tidak kehabisan ide yang kerjaannya mengejar-ngejar mahluk halus di tempat-tempat angker.

Itu konten-konten yang mampu membuat Anda tertawa sekaligus menjadikan Anda sebagai orang tolol.

Di Youtube Anda tidak perlu jauh-jauh ke Tanah Suci hanya untuk belajar agama. Atau bertahun-tahun nyantri di pesantren-pesantren. Cukup Anda mengikuti chanel ustadz-ustadz kekinian lengkap dengan perasaan bahwa mengikutinya Anda sudah masuk kategori orang beriman. Kalau konten-konten agama macam ini sudah mampu membuat perasaan Anda seinci dengan taman surga.

Tapi jika Anda masih bisa berpikir lebih dari 16 detik, pilihannya tidak rumit, menonton konten-konten yang banyak dibubuhi komentar-komentar religius itu akan membuat Anda di suatu waktu menjadi konservatif, atau sebaliknya, lebih moderat.

Dari sekian banyak pilihan itu, saya sering mengikuti kajian-kajian keagamaan yang diampuh Ustadz Miftah Rakhmat bertema Daqaiq Al Quran; suatu cabang ilmu Agama yang membahas kedalaman makna dan presisinya kata-kata yang dipakai Tuhan dalam Al Quran. Kajiannya lebih berisi dari model konten yang di atas tadi itu. Lebih berbobot karena mau kajian yang bagaimana lagi selain mengulik dan menimba air pemaknaan dari dalamnya samudra kata-kata Al Qur’an?

Sudah nasibnya, dunia maya banyak mengubah model dakwah masa kini. Saya beruntung dapat menikmati salah satu manfaat ditemukannya Youtube. Kajian-kajian yang dilakukan jarak jauh dapat segera saya nikmati tidak lama ditayangkan melalui dunia maya.

Menghabiskan bacaan dengan cepat adalah keistimewaan. Mengingat belakangan orang-orang menganut filosofi ”tidak apa-apa terlambat asal selamat” dianggap orang aneh. Buku-buku abad kiwari tidak pernah berhenti dicetak. Kecepatannya terpampang di etalase rak-rak toko buku secepat seekor tikus berkembang biak. Rasa-rasanya, belum membaca buku terbitan terbaru seperti manusia yang terlahir dari abad lalu.

Sehari-hari belakangan saya mesti membagi waktu dengan istri menjaga buah hati kami. Jika Lola berpergian keluar bekerja, saya harus rela tinggal di rumah mengurusi kebutuhan Banu, anak kami.

Semenjak kami dikaruniai anak, hampir semua kebiasaan kami berdua berubah drastis. Terutama saya yang kerap nongkrong di warung kopi. Sekarang, jangankan keluar untuk sekadar menulis sembari ngopi, bertemu kawan saja demi urusan tertentu harus disesuaikan dengan jadwal kami berdua.

Menjadi orang tua apalagi dikarunai seorang anak adalah pertarungan tersendiri dengan diri sendiri. Banyak hal yang mesti dinegoisasikan kembali terutama menyangkut kepentingan diri sendiri. Semenjak Banu hadir menjadi anggota baru keluarga mini kami, ia satu-satunya paling utama menjadi prioritas. Segala hal pekerjaan yang menyangkut kepentingan pribadi mesti ditunda demi Banu.

Buku adalah jendela dunia, tapi di hadapan Banu, ia tidak berbeda dengan perabotan rumah. Terpampang dan diam begitu saja. Banu adalah semesta lain. Keberadaannya mengubah segala hal, termasuk untuk membaca buku. Jika ingin memenangkan keduanya, saya harus mendahulukan Banu terlelap tidur lebih dahulu. Di waktu yang demikian singkat itu, membaca demikian berharga. Sialnya kenikmatan membaca tidak seperti saat Anda menikmati sepiring nasi goreng pagi hari. Kadar waktu saja tidak cukup. Lebih dari itu, malah. Fokus dan konsentrasi.

Di saat begini, saya memilih berbaring bersama Banu. Dengan buku sekubu bersamanya.