“Ayo, pergi ke neraka”Dua orang
nelayan memandangi kota Hakodate yang dikelilingi laut, sambil menggeliatkan
badan dan perpegang pada besi pegangan tangan di dek kapal. Nelayan itu pun
kemudian, sambil meludah membuang rokok yang sudah dihisapnya hingga tersisa
seukuran lebar jarinya…
Apa yang memungkinkan
sebuah karya sastra memiliki sensibilitas di antara batasbatas peristiwa dari
yang datang dan yang pergi? Sehingga mampu melampaui kejadiankejadian yang
merentang di putaran orbit kehidupan manusia?
Pertanyaan ini adalah
sebuah eksposisi yang baik untuk jauh masuk pada kisaran fundamental dari apa
yang diendapkan dalam sebuah karya satra; soalsoal manusia. Sastra yang baik
adalah karya sartra yang lahir dari jantung subjektifitas manusia, susun bangun
kata yang terbangun dari kekayaan batin sebuah kejadian, sebuah peristiwa.
Seperti dalam pengertian yang diberikan Ignas Kleden; seorang
sastrawan beda betul dengan profesi, taruhlah seorang wartawan. Seorang
sastrawan memiliki konsep dunia yang berbeda, dunia kenyataan yang jauh
menelikung dari kesan dunia yang umum; kekayaan dunia subjektif. Dunia subjektif adalah ruang yang sarat lipatanlipatan unsur batiniah. Sehingga
kenyataan yang benar bukanlah usaha observasi yang menuntut kemapatan antara
ide dengan kenyataan, melainkan sesuatu yang maknawi, kedalaman dunia yang
dihayati. Maka seorang sastrawan tidaklah berjuang dengan dunia luar, melainkan
sebuah pergelutan tentang dunia batin.
Seorang sastrawan
memiliki stage yang berbeda dengan seorang wartawan. Jika
seorang wartawan menghadapi kenyataan dunia empirik, maka seorang sastrawan justru berbalik ke dalam memasuki rimba
makna pengalaman seharihari.
Maka apa yang menjadi nilai
juang dari seorang sastrawan adalah kedalaman makna yang dintodusir kepada
khalayak, atau bagaimana khalayak mampu masuk pada ruang kesadaran terdalam;
ruang pemaknaan. Dan tentu tak sama dengan seorang wartawan yang dituntut untuk
menemukan kebenaran warta yang diperjuangkan dari dunia luar untuk diinformasikan.
Barangkali itulah ihwal
penting dalam karya Kobayashi Takiji, seorang komunis Jepang; Kani Kosen,
sebuah revolusi. Karya sastra yang lahir dikitaran waktu 1929.
Novel ini berkisah tentang kehidupan para buruh pabrik kapal pengangkut kepiting yang
dipapar kehidupan ekonomi yang malaise. Jepang yang sedang
dihinggapi shihonshugi; kapitalisme. Keresahan
tumpah ruah, pengangguran tak terbendung dan kemiskinan adalah sakit yang tak terhindarkan.
Jepang di masamasa itu, tak
beda dari situasi negaranegara yang dihinggapi kuasa modal. Kapitalisme, kita tahu dipenghujung abad 20 adalah keyakinan yang akbar
untuk dipuja. Semacam key of life bagi zaman yang sedang bergerak cepat. Kapitalisme dengan segala rukunrukunnya menjanjikan ilustrasi
kehidupan yang tak untuk didiami dengan sejarah umat manusia yang
menghendaki ketidakpastian.
Kapitalisme dengan dukungan kelas burujiajinya
di Jepang mengerti, Jepang adalah gugusan pulau yang menyimpan banyak potensi.
Maka di sana, di Jepang;
matra sosial mengalami ketegangan antara kelas pekerja dan kelas pemodal,
kelompok miskin versus kelompok kaya, kelompok politik fasistis militeristis versus
politik proletariat, kalangan intelektual melawan kaum kapital.
Singkatnya, di
Jepang suasana di tahuntahun itu adalah suasana zaman yang sedang dilanda krisis
berkepanjangan.
Namun sebuah ilustrasi
bukanlah kenyataan. Ia hanya kesan dari yang hendak digambarkan.
Dan kapitalisme seperti citra gambar yang tak selamanya sempurna untuk
dimengerti, bahkan di Jepang sekalipun. Juga modernisasi yang dikehendaki pada
akhirnya harus mendapati kenyataan yang berbeda; kehidupan ekonomi yang karut
marut. Pada kenyataan masyarakat demikianlah Kobayashi menangkap hal yang
tunggal dari rahim kapitalisme; alienasi.
Kobayashi adalah seorang
komunis. Ia mati dalam keadaan muda, 29. Kani Kosen; Sebuah Revolusi,
adalah karya sastra yang ditulisnya pada usia 26, empat tahun kemudian ia
merengang nyawa; disiksa kepolisian Jepang. Pada saat Kani Kosen ditulis,
barangkali Kobayashi tak menduga, tulisan yang ia dedikasikan untuk para buruh
kapal pengangkut itu, 80 tahun kemudian, menjadi bacaan yang banyak
dikonsumsi di Jepang terutama di kalangan anakanak muda.
Nampaknya karya yang sempat
dilarang beredar oleh militer Jepang seperti mengikuti inangnya;
komunisme, memiliki umur yang panjang. Dan kita tahu sebuah karya
sastra adalah kejujuran yang mendahului kenyataan.
Kani Kosen adalah bahasa
transparan yang menangkap esensialitas yang terkandung dalam pengalaman kaum
buruh Jepang yang dikeruk oleh sistem monopolis. Itulah mengapa seperti bahasa
anakanak muda yang besar di era yang berbeda, ketika membaca Kani Kosen, "kami
tak melihat ada komunisme dalam Kani Kosen, yang kami saksikan adalah
penderitaan dari ketidakadilan yang merajalela."
Atau dengan bahasa lain,
dalam Kani Kosen, buku yang tidak terlalu tebal itu, bukan diperuntukan dengan
sensibilitas ideologi tertentu, melainkan tentang humanisme. Dengan
esensialitas yang terkandung dalam karangannya, Kobayashi hendak jujur terhadap
kenyataan, Kani Kosen adalah sastra yang mengandung soalsoal kemanusiaan yang
selalu didaur oleh bulatan waktu.
Dalam kata pengantar edisi
terjemahan, I Ketut Surajaya, guru besar sejarah Jepang
menuliskan; sejarah tak mungkin terulang, tetapi suasana bathin
suatu masyarakat dapat berdaur ulang dalam analogi zeitgeist sosial
budaya, politik dan ekonomi. Dan di sinilah keutamaannya, sebuah ideologi
tidak selamanya diterjemahkan dalam bahasa yang mengharuskan adanya mobilisasi
massa, barisanbarisan panjang barikade, atau sloganslogan yang antikemapanan
melainkan dapat hadir dalam bentuknya yang lain; suasana batin.
Dan di sinilah
kemungkinannya sebuah karya sastra dapat diterima, ia berbicara dalam bahasanya
yang paling halus menyentuh sisi kemanusiaan manusia. Dalam kandungannya,
sastra adalah bahasa yang mendahului esensi sebab bahasanya bermain
pada batasbatas universalitas. Maka di manapun ketika kenyataan mengalami
situasi yang monolog, maka sastra adalah pisau yang mengiris peririsan kulit
kenyataan yang mengalami kebekuan.
Setidaknya sifat bahasa
sastra yang selalu menolak untuk merambah partikularitas, menunda kenyataan dan
sebuah korpus yang terbuka untuk selalu mengalami penafsiran, sehingga seperti
“Kani Kosen sebuah Revolusi” tulisan yang lahir dari seorang anak muda Jepang,
dan karyakarya sastra lainnya, selama berbicara secara transparan, merekam jejakjejak yang tak terpantau kekuasaan dan
mengangkatnya kepermukaan, maka di sanalah keadilan dan kemanusiaan adalah dua
hal yang selalu didamba.