Badaruddin Amir: Esai itu Tulisan yang Genit


Esai itu tulisan yang genit. Dia diibaratkan seseorang yang datang dan mencubit pipimu dan kemudian pergi. Begitulah esai di mata Badaruddin Amir. Pendakuan ini ia sampaikan saat menyampaikan materi dalam pelatihan menulis esai bagi Guru-Guru Bahasa se-Kabupaten Sidrap beberapa waktu lalu.

Badaruddin Amir seorang sastrawan Sulsel. Dia tangkas menghidupkan suasana forum. Sebelumnya, forum ibarat ruang tunggu yang sepi lantaran materi yang cenderung teoritis. Kaku. Dan mungkin membosankan.

Sebelum Pak Badar, begitu ia disapa, eike yang berkesempatan pertama kali memberikan materi. Begitulah, semenjak Pak Badar mendapatkan giliran, dengan pengalamannya yang segudang mengampu pelatihan-pelatihan menulis, forum berubah 180 derajat.

Sebenarnya slide-slide materi yang disampaikan Pak Badar tidak jauh berbeda dari apa yang sudah eike sampaikan. Tapi, dari cara penyampaian, dan beragamnya contoh pengalaman yang ia ajukan, membuatnya menjadi bintang forum. Ya, semenjak mengetahui akan dipanel dengan beliau, dari awal eike sudah memosisikan diri sebagai peserta kesekian yang kebetulan duduk di sebelah Pak Badar.

Kalau mau jujur, selama ini Badaruddin Amir tidak familiar di telinga eike. Ini bukan karena Pak Badar tidak tenar dalam dunia kesusastraan maupun literasi di Sulawesi Selatan, melainkan lingkaran pergaulan eike yang masih selebar daun kelor. Juga jelajah bacaan eike yang tidak meningkat-meningkat sehingga belum sempat membaca tulisan-tulisannya.

Nama Badaruddin Amir pertama kali eike temukan di dunia maya. Secara tidak sengaja eike melihat postingan cerpen beliau yang kebetulan nongol di beranda Fb. Karena merasa ganjil, kala itu eike memberanikan diri mengomentari beberapa kata dalam cerpennya. Tidak disangka komentar itu memancing pendiskusian yang lumayan panjang. Bahkan mengundang orang-orang dekat Pak Badar turut berkomentar.  Akibat saling kritik, eike mencoba mengintip-intip dinding Pak Badar. Setelah beberapa saat, rasa-rasanya beliau ini bukan orang biasa.

Tak disangka kami dipertemukan dalam kegiatan yang sama.

“Rival saya ini,” canda Pak Badar sambil menyalami eike ketika pertama kali bertemu. Sebelum forum dibuka kami sempat terlibat diskusi ringan. Pak Jamal selaku pihak yang mengundang heran. Dia mengira kami sama sekali belum saling mengetahui. Ternyata aksi “kritik-mengkritik” di Fb beberapa waktu lalu cukup berkesan bagi Pak Badar. Dia tidak semata-mata lupa dengan eike.

“Dulu di Pedoman Rakyat tradisi kritik diapresiasi. Saling kritik itu baik, yang penting tidak membawa personalitas di dalamnya” begitu seingat eike perkataan Pak Badar ketika kami duduk berdiskusi ringan. Dia juga menerangkan posisinya terkait “polemik” yang ditimbulkan Denny JA yang belakangan booming. Bahkan dia menilai usaha Denny JA dalam memperkenalkan  “puisi esai-nya” sudah tidak wajar.

“Di Sulawesi Selatan saya yang pertama kali dihubungi Denny JA untuk ikut mengapresiasi puisi esainya,” ucap Pak Badar di saat mengatakan penolakannya. “Dampak-dampaknya kelak berbahaya,” sambungnya.  Apa yang dikatakan Pak Badar ini jelas merujuk kepada upaya yang dilakukan Denny JA menghimpun sastrawan-sastrawan di seluruh daerah Tanah Air dengan memberikan bayaran sebanyak lima juta dengan catatan mau menulis puisi-esai dalam rangka ikut mempromosikannya.
Bahkan kalau tidak salah ingat, ia juga sempat mengatakan sudah menulis beberapa pandangannya tentang puisi-esai dalam esai yang diikutkan dalam kelompok penulis yang tidak sepakat dengan sepak terjang Denny JA.

Di siang itu forum berjalan lancar-lancar saja. Walaupun sebelumnya eike mesti bergegas dari Makassar semenjak Subuh agar sampai di lokasi kegiatan pukul 8 pagi. Langit yang tidak berubah cerah dan hujan yang awet ikut menemani selama perjalanan.

Apa boleh buat, keadaan tidak bisa dilawan sepenuhnya. Eike tiba pukul delapan lewat. Hampir pukul sembilan, bahkan.

Ketika naik ke lokasi kegiatan di lantai dua, sepintas eike melihat seorang pria paruh baya duduk mengenakan topi hitam melalui celah pintu. Tidak langsung masuk, eike memilih duduk sebentar di bagian depan sambil mengatur napas. Dengan terkejut eike bertemu seorang senior semasa di kampus. Sekarang ia menjadi seorang guru sejarah. Ternyata ia salah satu peserta di kegiatan ini. Tak dinyana, sekarang eike yang bergantian memberikan materi seperti yang pernah ia lakukan di masa masih mahasiswa dulu. Ah, begitulah, dunia bekerja.

Pria paruh baya itulah Pak Badaruddin Amir. Ia datang lebih awal dengan menggunakan topi dan duduk sembari menengok layar gawainya. Nampaknya Pak Badar lumayan aktif di dunia maya. Cerpen maupun esainya, sering ia posting di sana.

“Tulisan yang kamu komentari itu sebelumnya sudah saya kirim di Fajar, tapi saya enggan memotongnya menjadi lebih pendek,” ungkap Pak Badar. Ia nampaknya tidak setuju jika karya tulisnya mesti dipermak sampai harus memenuhi kolom “sempit” yang disediakan koran-koran selama ini. Itulah sebabnya ia lebih memilih memostingnya di dunia maya yang jauh lebih banyak memberikan ruang bagi karya tulis yang panjang.

Di tengah pemaparan materi memang ada sedikit pembahasan tentang apa yang dimaksudkan “pendek” ketika mengartikan cerpen. Apakah ia ditentukan oleh faktor internal semisal jumlah karakter? Atau jalan cerita yang sekali dibaca sudah dapat menangkap karakter tokohnya? Atau memang lebih ditentukan oleh faktor eksternal semisal medium cerita itu diterbitkan, yang dalam hal ini sangat ditentukan oleh space yang ada pada setiap koran, majalah, atau junal?

Pertanyaan ini akan makin membingungkan jika tradisi kepenulisan cerpen dikaitkan dengan tradisi tulis menulis di luar negeri. Pengalaman Eka Kurniawan ketika menerjemahkan karya-karya cerpennya ke bahasa asing  misalnya, menggambarkan ternyata cerpen-cerpen yang ditulis penulis-penulis luar negeri jauh lebih panjang dari apa yang dituliskan cerpenis-cerpenis dalam negeri. Kala itu seperti yang dituliskan Eka melalui blognya, editor yang menerbitkan tulisannya sempat membandingkan cerpen-cerpennya yang lebih pendek dari cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan.

Menurut Eka, cerpen-cerpen yang ditulis di Tanah Air selama ini lebih banyak ditentukan oleh kolom yang disediakan media cetak. Sehingga ikut memengaruhi cara bercerita cerpenis ketika membangun narasinya. Menurut eike, efek paling membahayakan bagi pembaca adalah batas kemampuan membaca yang akhirnya tidak tahan membaca narasi yang panjang. Kata “pendek” dengan kata lain sudah pertama kali mendikte pembaca sehingga sulit memiliki energi lebih ketika berhadapan dengan narasi yang lumayan panjang.

Salah satu yang menarik selama pemaparan, menulis diibaratkan Pak Badar seperti berenang. Semua orang tahu seluruh gaya berenang, mereka tahu perbedaan di antara gaya kupu-kupu dengan gaya punggung, tapi itu hanya sebatas pengetahuan. Berenang yang sesungguhnya adalah ketika seseorang sudah di dalam air. Ketika dia sudah berpraktik. Sudah mau melakukannya. Begitulah yang dimaksudkan Pak Badar, menulis hanya disebut menulis ketika dia dilakukan.

Sebelumnya, eike sempat malu sendiri. Pasalnya tidak ada tandamata berupa buku yang eike hadiahkan kepada Pak Badar. Sebaliknya, sebagai pamungkas dan tanda karya, eike diberikan buku kumcer beliau Latopajoko & Anjing Kasmaran. Di sini kelihatan kan, siapa sebenarnya penulis?

---

Terbit sebelumnya di Kalaliterasi.com


Diam

Poster film Silence, yang diperankan salah satunya oleh Liam Nelson

DIAM. Menurut eike, arti silence merujuk kepada dua hal: pertama, ia menandai iman kristiani masyarakat Jepang yang dipraktikkan secara sembunyi-sembunyi di bawah intaian kekaisaran Jepang. Di masa-masa awal gerakan Jesuit di abad itu -diperkirakan sekira abad 16 atau 17-- memang menjadi masa-masa yang mencekam. Para padre, ketika memperkenalkan iman kristus di masa kekaisaran Edo sama halnya sedang menggali liang kuburnya sendiri.

Makna silence, lebih jelas kelihatan ketika menunjukkan keadaan masyarakat yang selama beberapa tahun beragama tanpa bimbingan "sang imam" yang bakal mereka temui kelak. Selama masa kekosongan spiritual itu, orang-orang kristen beribadah tanpa bimbingan. Iman yang nyaris betul-betul polos. Iman yang bukan dibuktikan melalui dasar-dasar yang logis, melainkan suatu praktik yang dihayati tanpa pamrih.

Kedua, arti itu menandai praktik iman sang tokoh utama yang memilih diam paska dipersekusi dan diintimidasi inkuisitor kekaisaran Jepang. Di akhir hayatnya, seperti diceritakan, sang tokoh utama mengambil strategi dakwah tanpa menonjolkan simbol-simbol keagamaan di hadapan publik. Kepercayaan yang dia imani cukup dia praktikkan sejauh tiada mata yang menyaksikannya.

Sang tokoh, diceritakan akhirnya harus berdamai dengan kekuasaan. Dia memilih menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Tanpa kata-kata, bahkan tanpa perbuatan.

Tapi, siapa sesungguhnya sang tokoh utama itu sendiri? Apakah sang padre atau sebenarnya seseorang yang lain. Seseorang yang tidak hadir dalam narasi, tapi ia ikut di dalam cerita.

Jangan-jangan film ini, sebenarnya ditokohi oleh kita sendiri sebagai figur utamanya. Dengan kata lain, sang tokoh utama bukan sosok yang memainkan perannya melalui drama sinematik itu, melainkan sang jiwa manusia yang yang kehilangan "dasar" iman, kehilangan sandaran untuk memercayai segala ihwal.

Memang film ini menceritakan dua misionaris Jesuit yang pergi mencari padre Ferreira nun jauh di tanah Jepang. Suatu tempat asing yang belum pernah mereka injak sama sekali. Dengan bekal informasi yang masih samar-samar berangkatlah mereka berdua bersama Kichiro sebagai penunjuk jalan. Bergegaslah mereka dari Eropa menuju dunia Timur yang sama sekali berbeda.

Padre Ferreira adalah orang yang paling berjasa bagi kekristenan saat itu. Setidaknya bagi dua padre yang menganggap ia sebagai tokoh penting bagi iman mereka. Itulah sebabnya mereka berani pergi mencarinya yang dikabarkan telah murtad. Walaupun mereka tahu, di Jepang, siapa pun yang diketahui sebagai kristiani bakal dipersekusi dan dibunuh.

Sampai di sini, kisah Silence adalah kisah mengenai pencarian. Narasi dimulai dari berita yang belum lengkap untuk mencari kepastian keberadaan sosok Ferreira. Tokoh yang samar-samar dan dinyatakan hilang.

Tapi, secara esoteris, --seperti yang ditokohkan oleh diri kita-- yang hilang sebenarnya bukanlah Ferreira. Yang hilang sesungguhnya bukanlah seorang sosok. Melainkan suatu pokok. Ferreira hanya simbol, yang menarasikan jiwa-jiwa manusia yang kehilangan "dasarnya". Kehilangan "pijakannya".

Ferreira dalam hal ini hanyalah pantulan cermin jiwa yang terkait dengan suatu asal sekaligus akhir, tempat semua telah bermula dan akan kembali kepadanya.

Itulah sebabnya, di awal cerita, Rodrigues dan Garupe kukuh untuk pergi mencari Ferreira. Bagi mereka, yang hilang bukan sekadar sosok Ferreira. Apa yang sedang mereka cari jauh melampaui suatu sosok, yakni iman itu sendiri sebagai fondasi kekristenan mereka.

Iman dengan begitu adalah ihwal yang mesti diperjuangkan. Sesuatu yang tidak boleh hilang, bahkan mesti dipertahankan.Jiwa manusia bukanlah jiwa yang sesungguhya tegar betul. Ia entitas yang mudah guyah. Tanpa "iman" jiwa hanyalah eksistensi yang telanjang dan tanpa arah.

Lalu yang manakah arah itu? Lebih tepatnya, di manakah seseorang harus mengarahkan sampannya?

Dalam Silence, arah itu justru ditunjukkan dari "sesuatu yang masih samar-samar". Sosok yang ada sekaligus dikabarkan hilang. Dengan kata lain figur "misterius" yang diperankan melalui Ferreira.

Bertolak dari "yang samar-samar" itulah sang tokoh pergi bermil-mil jauhnya. Dengan mengambil risiko mencari sosok sekaligus pokok yang sebenarnya bukanlah Ferreira, melainkan "imannya" itu sendiri.

Di titik itulah pencarian itu pada akhirnya berubah menjadi pergulatan atas diri sendiri. Mencari jiwa yang menjadi pegangan walaupun akan mengalami pembalikan dari hambatan-hambatan yang dilaluinya.

Itulah sebabnya, dalam cerita, di tengah perjalanan padre Rodrigues tidak lagi punya urusan dengan tujuan awalnya --mencari sang panutan padre Fereirra-- melainkan mencari keyakinan yang nyaris hilang dalam dirinya.

Silence dalam arti ini berarti kisah tentang jiwa manusia yang mencari jiwanya yang terasing, jauh, sekaligus juga samar-samar.

Melalui Al Qur'an Islam menyebutkan percayalah kepada yang ghaib. Entitas yang melampaui ruang dan waktu, dan sekaligus sesuatu yang disebutkan "samar-samar".

Yang ghaib, disebutkan dalam allaziina yu'minuna bilghaibi. "Mereka yang beriman kepada yang ghaib". Surah Al Baqarah ayat 3.

Di situ iman --seperti dijelaskan dari ayat sebelumnya--- dikatakan iman ketika didasarkan kepada sesuatu yang diberikan bagi yang menginginkan petunjuk, yakni orang-orang yang percaya kepada yang ghaib.

Percaya terhadap yang ghaib dengan kata lain adalah tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.

Jiwa dalam tasawuf dibilangkan menjadi tiga paras. Paras yang pertama adalah jiwa mutmainnah, jiwa yang tenang dan akrab dengan sang asal. Yang kedua adalah jiwa lawwamah, yakni paras jiwa yang bisa merangkak menjadi mutmainnah tapi mudah tergelincir menjadi jiwa dengan paras yang ketiga, yakni jiwa amarah.

Jiwa lawwamah adalah jiwa yang bisa naik ke ketinggian paras mutmainnah ketika dia berhubungan dengan sang asal, tapi bisa jatuh ke kerendahan wajah amarah jika ia melupakan sang asal.

Selama pencarian Ferreira, Rodrigues (dan Garupe) ditemani sosok Kichiro. Kichiro diceritakan sebagai sosok yang ambigu. Suatu waktu ia membantu dan menjadi umat Rodrigues, tapi di waktu yang lain ia mengkhianati demi sekantung uang.

Dia sosok yang terjebak di antara iman dan penyangkalan akibat tekanan-tekanan yang dilaluinya. Dia ibarat jiwa lawwamah yang mudah bergerak di antara dua paras jiwa.

Kichiro dalam hal ini adalah narasi tentang jiwa yang belum berkembang purna. Ia mewakili jiwa manusia yang plin plan akibat tegangan antara dunia dengan sang asal. Ia ibarat sisi libidinal jiwa yang bergerak atas dasar hasrat tapi sekaligus menjadi jiwa yang merindukan tempat dirinya berasal.

***

Abad 17 adalah bagian dari sejarah panjang kolonialisme. Di bawah semboyan gold, glory, dan gospel, Eropa memperluas cakrawala dunianya dengan mendirikan koloni di negeri-negeri timur. Semenjak itu dunia timur-barat menjadi hubungan yang timpang. Timur direpresentasikan menjadi negeri-negeri terbelakang, dan bangsa-bangsa barat adalah bangsa yang mewakili kemajuan.

Hubungan yang timpang itu pula yang nampak mencolok dalam Silence. Di luar konteks ceritanya, perspektif orientalisme masih kukuh mempertahankan ketergantungan negeri-negeri timur dari barat. Hal ini dilihat dari sosok Rodrigues dan Garupe yang mewakili barat sebagai kiblat, dan bangsa Jepang sebagai negeri yang belum dimerdekakan dengan iman kristiani.

Melalui penjelasan inilah, mengapa intitusi kekuasaan Jepang menganggap iman kristus dalam film ini adalah keyakinan yang tidak dapat tumbuh di tanah Jepang. Pohon yang tumbuh di tanah seberang, seperti perkataan Inoe Sama di saat berbicara dengan Rodrigues, adalah pohon yang tidak dapat tumbuh di negeri lain. “Daunnya membusuk di sini, dan tunasnya mati.”

Percakapan yang dilakukan Inoe Sama dan Rodrigues (01:30:21) adalah dialog yang memperlihatkan tegangan antara lokalitas masyarakat Jepang dengan kristiani sebagai ajaran yang sama sekali asing. Agama kristiani dilihat sebagai irisan langsung dari kolonialisme bangsa Eropa. Itu artinya klaim universal yang diwakilkan dalam pendakuan Rodrigues, tidaklah sama di mata Jepang. Di mata Jepang, apa pun yang datang dari Eropa adalah modus lain dari kolonialisme.

Terakhir, narasi penutup dari Silence adalah adegan-adegan yang berangkat dari akhir hayat Rodrigues. Pada akhirnya dia mesti mengambil jalan lain, yakni jalan sunyi ketika imannya tidak mampu ia percakapkan melalui kata-kata, dan tak bisa ia perlihatkan melalui perbuatan.


Perempuan

PEREMPUAN. Eike sampai sekarang seringkali takjub dengan perempuan. Secara biologis, dia mampu menanggung "dua nyawa" sekaligus di masa-masa yang sangat khas. Suatu masa yang sangat feminin. Masa waktu yang tak dipunyai oleh mahluk selain sepertinya. Pengalaman yang tidak mungkin dimiliki laki-laki sekalipun.

Di masa itu, seorang perempuan bertaruh nyawa detik demi detik untuk menahan sakit demi "setengah" jiwa yang ditanggungnya. Dari sisi ini, kata perempuan lebih bermakna dari kata wanita. Terma perempuan, lebih jelas menggambarkan kualitas khusus yang hanya dimilikinya. Empu, seperti ditemukan dalam nama Empu Tantular, dengan kata lain lebih pantas disematkan kepada mahluk yang sering kali direndahkan itu.

Perempuan sering kali dilecehkan, didiskriminasikan, dan bahkan mengalami kekerasan akibat cara pandang yang tidak adil. Secara ideologis, pandangan dunia patriarki masih kuat menempatkan perempuan ke titik subordinat. Secara simbolik, bahasa lebih banyak diucapkan menurut artikulasi laki-laki, sehingga bahasa percakapan lebih beraroma maskulin tinimbang feminin. Dan, secara biologis, perempuan kadang mendapatkan perlakuan kasar secara fisik maupun psikis.

Dengan kata lain, baik ideologis, simbolik, dan biologis, perempuan secara berlapis mengalami penindasan. Di bidang ekonomi, dia dinarasikan sebagai orang yang mesti didomestifikasikan di dalam dapur. Di bidang sosial budaya, kehidupan sosialita perempuan tidak jauh dari "dunia sumur" sebagai ruang pengalamannya yang paling jauh. Dan, yang paling miris, secara seksual, dia hanya dilihat sebagai mahluk yang harus ditundukkan di atas "kasur."

Pertanyaannya, jika hampir semua medan pengalaman perempuan mengalami penindasan sehingga tidak dapat menunjukkan jati dirinya, maka dari manakah perempuan mesti menempatkan pijakannya agar dapat setara dengan laki-laki? Bukankah semua ruang pengalaman manusia sudah dari awal dinarasikan melalui cara pandang laki-laki?

Belakangan, ideologi gender banyak menuai kritik melalui perspektif feminisme yang kadang secara global tidak mampu menerjemahkan permasalahan lokal para perempuan. Di tingkat yang paling kecil, kadang feminisme global mengalami kebuntuan. Perspektif yang terlampau barat, malah justru menjadi soal tersendiri. Feminisme barat, dalam hal ini dengan kata lain terlampau eropasentris. Terlalu kebarat-baratan.

Itulah sebabnya, perjuangan perempuan di manapun mesti mengambil pijakannya bukan dari panggung yang sudah diciptakan barat. Pijakannya, dengan kata lain, mesti bertolak dari "tanahnya" sendiri, tempat perempuan-perempuan menjalani kehidupannya.

Narasi feminisme selama ini yang terlampau eropasentris, mau tidak mau mesti didudukkan dengan hati-hati. Imajinasi feminisme barat adalah imajinasi yang lahir tidak jauh dari hubungan kolonialisme barat dengan negeri-negeri koloninya. Dia, ibarat "suara pembebasan" yang terdengar asing. Di sana-sini apa yang dibangun secara konseptual, di banyak hal tidak cocok dengan kebudayaan masyarakat timur yang tipikal dan khas.

Itulah sebabnya, kesadaran perempuan mesti digali dari tempatnya hidup itu sendiri. Bahasa perjuangannya mesti diucapkan melalui "lidahnya" sendiri. Diambil dari "perutnya" itu sendiri. Dari kehidupannya yang paling intim sekalipun.

Atas dasar itulah, eike menyarankan, mulai saat ini perjuangan perempuan mesti menggunakan bahasa lokalnya, bahasa yang dipakai sehari-hari sebagai bahasa kesadarannya, di mana dari itu kehidupan kultural perempuan bermula.

Sampai di sini, perjuangan perempuan bukanlah mau menyasar kehidupan sehari-hari yang nampak alami. Seolah-olah natural dan tanpa bias gender walaupun di balik semua itu ada ideologi dominan yang berperan besar menciptakannya. Perjuangan perempuan, singkat kata, hingga saat ini adalah perjuangan kultural, bukan menerima kehidupan natural yang selama ini mengelilinginya.

Dengan kata lain, dari semua itu perempuan mesti menciptakan budayanya sendiri. Kehidupan yang bersih dari cara pandang laki-laki yang mensubtitusinya.


Sakit


SAKIT. Baik Socrates maupun Platon, mendudukkan pengetahuan sebagai suatu proses. Bahkan, melalui bahasa metafora, Socrates menyinonimkan pengetahuan sebagai kelahiran seorang bayi. Pendapat ini ia sandarkan kepada keyakinan bahwa setiap manusia "sudah" memiliki pengetahuan berupa "sesuatu" yang ia kandung sendiri.

Melalui proses kelahiranlah, pengertian ini dimaksudkan Socrates bahwa pengetahuan itu tidak lahir dari proses selain dari pada "rahim" kita sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan adalah "bayi-bayi" alami kandungan diri sendiri, bukan "bayi kloning" dari perut orang lain.

Socrates menyebut itu dengan istilah "maieutike".

Itulah sebabnya, Socrates menyebutkan pekerjaannya sebagai seorang filsuf ibarat seorang bidan. Dia hanya membantu orang-orang melahirkan sendiri pengetahuannya.

Sampai di sini eike berpikir, jika pengetahuan ibarat kelahiran seorang bayi, maka di situ ada rasa sakit yang menyertai. "Kesakitan" dengan kata lain adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kelahiran itu sendiri.

Itu artinya, pengandaian berpengetahuan, atau dengan kata lain, berpikir, meniscayakan rasa sakit yang menjadi satu kesatuan di dalamnya.

Dari sisi ini, berpengetahuan melalui berpikir mendalam mau tidak mau memiliki risiko. Kesakitannya tiada lain adalah hasil dari kegiatan berpikir. Semakin berpikir semakin "sakit" ia. Atau sebaliknya, semakin sakit semakin dalam ia berpikir.

Tentu di sini kesakitan yang dimaksud bukanlah rasa perih yang diartikulasikan melalui pengertian medik. Melainkan kesakitan yang dilihat dari pengertian epistemik.

Rasa sakit epistemik berbeda dari rasa sakit medik yang berciri fisik dan biologis. Kesakitan epistemik jenis rasa sakit yang lebih "eksistensial". Jenis kesakitan yang melanda akal sekaligus jiwa manusia.

Bahkan, sebelum pengetahuan itu lahir, ada proses yang jauh lebih krusial lagi dan juga mengandung rasa sakit yang khas, yakni ketika pengetahuan itu menjalani masa-masa "pembatinan". Masa-masa ini adalah waktu yang paling menentukan. Ibarat bayi yang kelak akan lahir, "janin" pengetahuan pertama kali mesti "dikandung" dalam beberapa waktu. Di masa inilah, "embrio" pengetahuan mengakibatkan jenis kesakitan yang spesifik. Rasa sakit yang khas.

Rasa khas dari kesakitan hasil pembatinan inilah yang kerap mengubah kebiasaan-kebiasaan lama menjadi kebiasaan-baru. Di titik ini, pikiran banyak mengalami persesuaian dengan pengetahuan yang belum akrab dengannya. Pikiran banyak mengalami perubahan drastis hingga mengubah "caranya" beraktifitas.

Di sini-lah "pertentangan-pertentangan" muncul akibat formula-formula pengetahuan baru yang "tidak biasa". Di sinilah, rasa sakit, kepedihan, dan keperihan menjadi satu. Suatu masa yang berisiko: gugur atau tumbuh berkembang.

Dari sini, akhirnya mafhum, pengetahuan itu berakar alami dengan diri manusia. Kaki-kakinya berserabut sampai di dalam kesadaran yang paling dalam. Dia dikandung dan dilahirkan sendiri. Dari perut masing-masing.

Pengetahuan, dengan kata lain, adalah "embrio" yang sudah ada sebelumnya dimiliki masing-masing setiap orang. Dan, itu juga berarti setiap orang mesti menanggung rasa sakit jika ingin melahirkannya.

Sampai di sini mengertilah eike lebih jauh, Imam al Ghazali, sang Hujjatul Islam, yang sempat sakit keras selang beberapa lama, mesti menanggung beratnya guncangan jiwa akibat peralihan pengetahuan sebelum sampai ke medan tasawuf. Rasa sakit yang hampir membawanya ke mulut sang maut. Tapi, dia menemukan obatnya sekaligus melahirkan karya dahsyat yang sampai hari ini dibaca oleh setiap pengagum pemikirannya.

Di Eropa, Rene Descartes, barangkali adalah figur yang hampir sama dengan al Ghazali. Dia pun mengalami rasa sakit sampai harus menolak dirinya sebagai sesuatu pribadi. Tapi, dari rasa sakitnya, melalui kandungan "rahimnya," suatu zaman baru lahir di Eropa dan ikut membentuk tatanan dunia modern.

Tapi, baik Descartes maupun Imam al Ghazali, barangkali belum sampai menyerupai rasa sakit yang dirasakan Muhammad, sang nabi terakhir. Beliau, sebagai sang rasul, memiliki jenis pengetahuan yang spesifik dan khas. Bahkan pengetahuannya "ditemukan" melalui aktifitas "berpikir" yang sama sekali lain. Bahkan konsep berpikir tidak cukup untuk menjelaskan proses pencapaian epistemik (pengetahuan) yang dialaminya.

Dalam sejarah, narasi itu diliterasikan melalui penceritaan di suatu gua. Bukit-bukit tinggi tidak jauh dari Mekkah. Dan, "iqra" adalah "pengetahuan pertama" yang menjadi "pintu masuk" bagi aktifitas kenabian Rasululullah.

Di sini, suatu masa dimulai. Dan, Rasulullah menanggung dua jenis kesakitan sekaligus. Secara fisik dia menanggung sakitnya dikucilkan dari keluarga dan masyarakatnya. Serta, dari sisi kejiwaan suatu "sakit" yang hanya identik dirasakan oleh dirinya seorang (dikisahkan, Rasulullah sampai mengalami sakit fisik berupa badan yang menggigil berkeringat pasca "diturunkannya" wahyu pertama kalinya).

Melalui ini suatu pemahaman terbit. Sementara akhirnya dari risiko yang dibawanya, suatu agama "lahir" dan menginspirasi terbentuknya tatanan dunia yang teologis dan humanis

Menurut eike, ditilik dari sudut ini, sejarah hidup Rasulullah adalah sejarah bagaimana seorang manusia yang berhasil menduduki pengetahuan tertinggi dengan menanggung dan melampaui rasa sakit yang inheren di dalamnya. Sejarah tentang betapa "sakitnya" Rasulullah "membawa" apa yang "dikandungnya". Rasa "sakit" yang sungguh dahsyat dan tidak akan pernah dialami satu manusia sekalipun.

Tapi, begitulah. Tiada pengetahuan tanpa kesakitan. Bahkan, itulah jalannya.

Syahdan, di era kiwari, untuk memulai suatu pemahaman, orang-orang nyaris tidak ingin mengambil risiko berpengetahuan. Mereka khawatir menanggung kesakitan dan kepedihan, sekaligus mencari cara untuk menghindarinya dengan mencari "paket-paket" pengetahuan yang sudah fix. Orang-orang macam begini, enggan merawat bayi pengetahuannya. Bahkan, ogah mengandung dan melahirkannya.

Dengan kata lain, pengetahuan di masa sekarang hanyalah hasil fabrikasi "kekuatan-kekuatan" eksternal di luar rahim manusia. Manusia hanya menjadi pengkloning pengetahuan tanpa mengetahui proses dan ikut terlibat di dalamnya. Hanya mau menerima "kotak instan" yang sudah dikemas dan distandarnisasi.

Lalu, jika demikian, siapa lagi saat ini yang dengan rela mau memikul sakitnya berpengetahuan? Proses luar biasa yang menghujam pikiran dan jiwa, bahkan berisiko maut.