Kitab Hammurabi



Code of Hammurabi atau Kitab Hammurabi
Sekujur sisinya diukir 282 peraturan
menggunakan bahasa Akkadia.
Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Louvre Prancis


KALI pertama saya mendengar Hukum Hammurabi yakni dari pelajaran sosiologi. Saat itu saya sudah duduk di kelas tiga sekolah menengah atas, dan seperti umumnya teman-teman saat itu, saya mulai berpikir masa SMA adalah masa ketika anak-anak seperti kami harus berhenti bersekolah. Setelah itu jika dinyatakan lulus, kami beranggapan bisa kemana saja termasuk pergi  ke terminal pasar menghabiskan waktu dan melakukan apa saja tanpa harus dibebani ini itu karena masih dianggap sebagai pelajar sekolah. Hukum Hammurabi diceritakan berasal dari masyarakat Mesir kuno Babilonia, begitu diceritakan guru sosiologi kami saat itu. Masyarakat Mesir kuno adalah masyarakat yang suka hidup di sekitar Sungai Nil karena tanahnya subur dan lebih lembab daripada tanah di pedalaman Afrika saat itu. Keadaan tanah di sekitar sungai ini sangat cocok untuk kehidupan binatang sejenis sapi atau domba karena ditumbuhi rumput-rumput hijau. Keadaan ini memungkinkan masyarakat untuk hidup menetap dengan mengandalkan peternakan dan bercocok tanam setelah hidup berpindah-pindah seperti generasi kehidupan masyarakat sebelum mereka. Guru kami mengatakan Hukum Hammurabi dibuat oleh seorang raja bernama Hammurabi untuk mengatur kehidupan manusia yang sudah mulai hidup secara bermasyarakat. Bagi para ahli, hukum ini adalah produk hukum tertua di dunia, yang pernah diciptakan manusia yang dipahat di prasasti setinggi delapan kaki di tengah keramaian yang disebut kota untuk mengimbau masyarakat agar selalu bertindak sesuai norma-norma kebaikan. Kalau tidak salah ingat, demikian pernah dikatakan saat itu, yang membuat saya membayangkan suatu kehidupan manusia yang suka berjalan-jalan melewati batu raksasa di pusat keramaian sambil bertelanjang dada seperti orang-orang Mesir kuno yang selalu menggunakan tudung kepala berkepala ular. Pelajaran ini bukan pelajaran sejarah, dan benar-benar dikatakan guru sosiologi kami, Ibu Suraedah, walaupun saya sendiri meragukannya, oleh sebab produk ”orang-orang terdahulu” saya pikir lebih pantas menjadi objek pembicaraan ilmu Sejarah. Saat itu Hukum Hammurabi muncul di lembaran kerja siswa, yang suka kami sebut LKS, yang membuat Ibu Suraedah senang membicarakannya dengan seringkali membuat pertanyaan-pertanyaan untuk kami jawab. Sosiologi adalah pelajaran yang mudah, begitu saya pikir saat itu, karena saya hanya tinggal menghapal dua atau tiga kalimat yang tertera di LKS jika Ibu Suraedah mengajukan pertanyaan, dan saya bisa menyampaikannya persis seperti apa yang ditulis dalam buku. Kadang-kadang memang tidak mesti harus sama seperti dalam buku, Anda hanya cukup mengetahui kata-kata kuncinya dan mampu melihat hubungan kata-kata itu dengan bunyi pertanyaan yang diberikan. Trik itu lumayan ampuh untuk pelajaran sosiologi dan itu membuat saya menjadi murid yang gampang diingat karena sering terpilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ibu Suraedah. Saat naik kelas tiga, dan mesti berpisah dari teman-teman selama kelas 1 dan 2, merupakan masa-masa yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Saya sedih karena itu berarti kami akan saling berpisah dari teman sebangku sekaligus geng pergaulan di kelas selama ini. Teman yang paling saya ingat saat ini adalah  Asdar, kawan sebangku, dan kami memutuskan untuk tidak saling berpisah jika kami naik ke kelas dua nanti. Kesetiaan kami atas pilihan ini sama seperti kisah kesetiaan Lennie dan George  dalam Of Mice and Men karya John Steinbeck, walaupun mesti saya katakan di sini, kami sama-sama bersikukuh bahwa saat itu tidak ada di antara kami yang ingin seperti Lennie yang bodoh dan lugu. Sekarang Asdar telah berprofesi sebagai polisi, cita-citanya yang selalu ia gadang-gadang sebagai profesi terbaik semenjak dari kelas satu. Asdar salah satu orang yang memiliki kepercayaan diri secara berlebihan bahwa masa depannya akan bisa bekerja di institusi kepolisian negara, dan ”mulut besarnya” itu sudah ia buktikan setelah berpisah cukup lama sejak kami lulus. Asdar sekarang tampak memiliki badan yang lebih berisi setelah saya melihat dan berteman dengannya melalui facebook. Ia sering saya lihat memasang foto-foto kala bertugas di jalan raya, atau sedang berpose di depan mobil sedan PATWAL nya. Naik ke kelas tiga IPS sama artinya kami tidak akan lagi menemukan pelajaran berisi angka-angka yang harus kami jumlahkan menggunakan rumus-rumus, atau simbol-simbol dalam ilmu fisika dan kimia, yang tidak kami pahami mengapa pelajaran seperti itu sangat disukai beberapa teman kami, seperti juga Nurlaela. Nurlaela adalah murid yang tanpa ragu selalu mengisi slot kursi di paling depan tepat di depan papan tulis berada. Nurlaela murid tercerdas di kelas kami. Ia bersama kecerdasannya seakan-akan diciptakan ke dunia seperti suatu amanah khusus demi menjawab setiap soal yang ditulis setiap guru di atas papan, dan selalu saja membuatnya mampu menjawab dengan benar. Ketika ini terjadi, hampir semua isi buku catatan kami, terutama pelajaran hitung-menghitung, adalah hasil kerja Nurlaela di atas papan. Saat itu terjadi, sebagian dari kami  dibuat seperti kerbau dungu yang hanya bertugas mencatat ulang hasil pekerjaannya di atas papan ke dalam buku catatan. Suatu waktu, Nurlaela mengeluh merasakan sakit di kepalanya saat mengikuti pelajaran matematika. Saat itu kami sedang mengerjakan soal yang sulitnya bukan main, yang diberikan Ibu Ros di atas papan. ”Jangan terlalu banyak berpikir, Laela,” kami mengingatkannya seperti koor lagu dari bangku paling belakang sambil terkekeh-kekeh bahwa otaknya sepertinya sudah aus. Kami mengira siang itu juga akan membuat Nurlaela tidak lama lagi menjadi gila karena terlalu keras menggunakan pikirannya. Peristiwa itu diam-diam membuat kami membatin ”ilmu matematika ternyata bisa menjadi penyebab sakit kepala dan pusing-pusing.” Kecerdasan Nurlaela tidak ada duanya di kelas saat itu, tetapi tetap saja setelah peristiwa sakit kepala itu membuat kami mulai khawatir otak yang dipaksa bekerja terlalu keras untuk bidang-bidang pelajaran tertentu, bukan saja membuat kepala kami akan sakit seperti Laela, tapi bisa membuat kami sinting. Kami takut mengalami kejadian yang lebih parah dari Nurlaela, yakni tanpa bisa kami kendalikan kepala kami tiba-tiba meledak membuat kaget seisi kelas karena bersikeras ingin memecahkan soal yang tidak satupun orang bisa menjawabnya. Kata orang Jerman hasil pendidikan adalah ”apa yang kita ingat setelah yang lain dilupakan.” Saya sekarang masih mengingat Hukum Hammurabi dan melupakan tabel zat dalam ilmu kimia, seperti saya mengalami kesulitan jika mengingat-ingat rumus-rumus matematika yang pernah saya dapatkan selama bersekolah.  Banyak yang saya pelajari hingga saat ini, terutama di masa sekolah, tapi tidak semuanya dapat saya simpan dengan baik. Ternyata ingatan bekerja secara politis oleh sebab Anda dapat memilih mengingat sesuatu jika selama sesuatu itu melibatkan emosi dan berkesan bagi Anda. Saya bisa mengingat Hukum Hammurabi karena otak saya begitu emosional menanggapinya sampai mampu membayangkan bagaimana keadaan pasar, kuil-kuil, padang pasir, rumah-rumah tanah, jalan raya, tenda-tenda, dan bagaimana cara orang berpakaian saat itu. Saya yakin, inilah sebab yang membuat Nurlaela merasakan sakit di bagian kepalanya. Ia berpikir sampai-sampai menggunakan emosi dan bersikeras ingin memecahkan soal yang sulitnya bukan main itu. Sebagaimana saya yang masih mengingat Hukum Hammurabi, sekarang ia pasti bakal mengalami kesulitan melupakan bunyi soal matematika yang ingin ia pecahkan saat 16 tahun silam.

Bagaimana Cara Menikah dan Membuat Orang Lain Terkesan


CEMILAN cokelat belum habis separuh dan itu membuat saya asik membaca komentar diskusi di grup whatsapp alamamater yang sedang ramai oleh tingkah mantan rektor mereka.

”Sesuai prosedurji. Mereka punya surat izin untuk penggunaan jalan.”

”Mantappp.”

”Piko protes kalo bisako!” Segera seseorang menimpali.  

”Keren memang rektornya kita, karena seluruh rektor se Indonesia dia undang.”

Diskusi ini masih terus berlanjut dan membuat saya seperti orang yang kehilangan informasi penting sehingga saya terdorong men-scrool informasi naik turun agar tidak di ping-pong komentar-komentar mereka.  

Seperti dikebanyakan grup maya, keinginan ikut nimbrung berkomentar meramaikan perbincangan tidak sama seperti saat saya bersemangat membalas komentar-komentar kali pertama aplikasi-aplikasi chatingan diciptakan.

Kadang saya berpikir saat dunia makin riuh dan kehilangan moment-moment reflektif, pepatah diam adalah emas merupakan himbauan yang patut dicoba siapa saja. Saya mencurigai pepatah ini dicetuskan saat si bijaksana menemukan suatu kondisi saat semua orang menggunakan mulut lebih sering daripada otaknya.  

Tapi, saya juga percaya kebanyakan orang membuat grup bukan demi membela mulut mereka, melainkan bagaimana keyakinan-keyakinan seseorang dapat diuji di ranah yang lebih luas.   

Tadi malam, di atas moda penyebrangan perahu yang melintas di atas sungai Jeneberang, informasi tentang rektor UNM menutup jalan karena hajatan perkawinan anaknya jadi makanan empuk media-media lokal. Saya membacanya sekilas dan menutupnya sambil mengumpat. Seorang kawan memberi tagline tautan tentang polah rektor ini agak keras juga: “Beginilah karakter penguasa, bukan pemimpin.” 

Pagi hari seorang teman sehari-hari bekerja sebagai wartawan memasang status WA hasil jepretan layar sebuah media nasional yang menempati urutan pertama di mesin pencari google, bahwa berita ini telah naik statusnya menjadi berita nasional.  

”Sudah lihat berita di facebook, rektor UNM jadi pembicaraan.”  

”Oo, tadi sedang ramai di grup.” 

Saat malam sebelumnya Istri saya hanya menanggapinya sambil lalu tanpa melepas pandangannya dari layar laptop seakan-akan berita itu tidak sama sekali membuatnya bergairah untuk dibicarakan. Ia menjelaskan pernikahan itu merupakan seseorang yang ia katakan yunior di bekas jurusannya. 

”Itu loh, yang calon bupati Barru.” 

Saya tiba-tiba mengingat spanduk seorang anak muda dengan muka memajang senyum seperti elit politik di negeri ini, yang pernah saya pandangi dipaku di pohon-pohon sepanjang jalan poros Pangkep-Barru melalui kaca mobil tumpangan saya tempo lalu. Itu gambar yang sederhana saja pikir saya.  

Kebanyakan orang di kampung saya seringkali menggunakan halaman rumahnya sebagai tempat hajatan. Tanah di kampung-kampung masih lebih mudah ditemukan dibanding di perkotaan, yang banyak dialihfungsikan menjadi area perumahan atau pertokoan.  

Itu juga saya kira sebabnya, seiring semakin mahalnya harga rumah dengan halaman yang minim membuat bisnis properti makin menjamur. Di Makassar sendiri, Anda akan mudah menemukan lokasi-lokasi khusus yang diciptakan untuk menggelar hajatan pernikahan. Jika Anda sedikit gengsi, hotel-hotel besar sudah mengetahui keinginan Anda dengan menyediakan promo khusus jika hotel dipakai tempat menikah daripada menginap.

Waktu menikah, keluarga dekat masih sulit percaya keadaan geografis kampung istri saya, yang membutuhkan perjalanan panjang dengan jalanan  berlumpur tanpa aspal. Sisa dari perjalanan itu masih harus melewati jalan yang tidak semua mobil mampu menembusnya. Di kanan-kirinya jurang demikian menganga dengan dasar sungai yang hanya bisa didengarkan bunyi gemerciknya. 

”Cukup sudah, tobat ma!” celetuk adik mamak ketika melewati bukit-bukit pegunungan yang beralas lumpur berpasir. ”Pantat saya sakit”.  

Sepulang dari hajatan, tidak ada yang paling sering diingat dari saya dan istri kecuali perjalanan panjang saat saya pergi menikahi seorang gadis di pelosok Sulawesi Barat.  

Di Youtube banyak hal membuat saya tak mampu menahan tawa semisal gelaran pernikahan yang tiba-tiba panggung biduannya ambruk, si suami yang duduk di pelaminan sambil bermain game, bahkan baru tempo hari saya melihat pernikahan yang terancam gagal lantaran si mantan datang mencak-mencak dan mengamuk seperti kuda liar.

Tentu saat ini Anda mengingat acara pernikahan dari tanah Sulawesi Selatan yang membuat decak kaget hanya karena ongkos perjamuan yang mencapai miliaran rupiah, atau si kakek-kakek tua yang berhasil mempersunting gadis belia ketika ia di saat bersamaan telah banyak melahirkan cucu-cucu dari anak keturunannya.

Setiap orang memiliki peristiwa berkesan yang membuat semua orang mengingatnya. Saya bagi beberapa orang, bakal sulit melupakan prosesi pernikahan ketika arak-arakan beberapa mobil bertolak dari Bulukumba menuju suatu kampung pelosok demi mengikat sehidup semati gadis pilihan saya.

Ketika Saya Mengutarakan Keinginan untuk Memelihara Burung



A.S Laksana
Sastrawan dan esais asal Semarang
Mantan wartawan Detik sebelum dibredel Orba

SETIAP benda dapat menyampaikan sesuatu. Laptop, meja, tisu, apel, kolam renang, teleskop, dll., dapat berbicara banyak dan beberapa di antaranya mampu membangkitkan kenangan. Tidak semua benda-benda di sekitar kita mengingatkan sekelumit pengalaman, walaupun tidak sedikit juga ada benda-benda yang terkait dengan masa lalu kita dan itu menarik untuk dituliskan karena mengingatkan kita kepada seseorang, ide, atau pengalaman-pengalaman unik. Jika Anda kehilangan ide menulis, seperti dikatakan AS. Laksana, benda-benda di sekitar Anda dapat menyampaikan sesuatu untuk mengilhami Anda agar dapat segera menulis. Setelah membaca esai Mas Sulak, saya segera teringat dan membuka file tulisan ini: Banu selalu antusias melihat ayam semenjak kali pertama ia diperlihatkan oleh Bapak. Kali pertama ia melihat ayam dengan jarak tertentu membuatnya seolah-olah menyadari ia bukanlah satu-satunya mahluk hidup di dunia ini yang mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Di rumah, kakek Banu memelihara Ayam sebagaimana ia pernah menjadikan burung perkutut sebagai peliharaannya. Dua puluh dua tahun lalu, setelah pulang sekolah seringkali saya duduk berjongkok menatap lama-lama perkutut-perkutut di dalam kandang demi melihat gerak-gerik mereka ketika saya lempari jagung. Saya agak lupa apakah di waktu ini saya sudah mengetahui bahwa perkutut dan merpati adalah dua jenis burung yang berbeda walaupun seringkali sulit saya bedakan. Di saat itu belum sekalipun saya melihat burung merpati dan hanya mengetahui perkutut memiliki bunyi yang khas dan hanya diam ketika saya mengamatinya. Saya pernah dibuat takjub ketika suatu siang sepulang dari kantor Bapak membawa seekor burung kakatua berjambul kuning dengan paruh berwarna hitam. Seketika burung perkutut yang dipelihara lebih dulu di dalam kandang di dekat pohon pisang menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan burung ini. Tingkah pendiam burung perkutut membuat saya bosan dan mau tidak mau membuat saya tidak mampu menolak mendengarkan suara khasnya ketika berbunyi. Tubuh burung kakatua dibawa Bapak lebih besar dari burung perkutut. Selain suka bergerak dan pandai bergantungan, bulunya putihnya demikian bersih dengan kaki hitam bersisik seperti sisik ikan. Saya belum pernah melihat burung kakatua sedekat itu kecuali seekor burung elang yang dipelihara oleh entah siapa di rumah sakit W. Z Johannes, Kupang, sekitar dua dekade lalu. ”Matamu mesti  diperiksa di rumah sakit,” kata Bapak saat saya diduga mempunyai kelainan mata. Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar dan tidak ingin hidup selamanya menggunakan kaca mata seperti Ibu Bene, guru kelas 6 yang terkenal galak. Saat itu saya kira setiap orang menggunakan kacamata adalah orang yang galak.  Mamak kerap marah-marah menggunakan kacamata di rumah dengan menggunakan bahasa daerah yang sulit saya mengerti di usia sekecil itu. Setelah sepulang dari rumah sakit, mata saya dinyatakan sehat. Kesimpulan itu diambil  setelah saya diuji dan disuruh melihat beragam bentuk huruf dari jarak tertentu menggunakan kacamata khusus yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Sejak itu dan ketika mesti mendatangi rumah sakit W. Z Johannes, burung pemakan daging itu benar-benar nyata yang membuat saya seolah-olah akan segera sembuh pasca melihatnya. Setelah melewati gerbang dari atas tangki motor Suzuki saya melihat burung itu begitu tenang seolah-olah ia diinstruksikan untuk berdiri diam bagai patung. Warna bulunya yang kecokelatan dan ujung cakarnya yang melengkung membuat burung itu bagai penjaga yang siap menerkam jika ada seseorang yang berbuat usil. Dulu saya mengira lambang negara Indonesia diambil dari burung elang ini, dan bukannya burung garuda yang ternyata hanya sebagai burung legenda. Burung kakatua Bapak tidak lama dipelihara. Suatu hari ia seketika dapat lolos dari ikatannya dan membuat kami merelakannya hilang di balik pepohonan setelah kelimpungan mengejarnya sampai ke hutan di belakang rumah. Saat dipelihara saya sering memberikan apa saja kepadanya untuk menguji seberapa kuat kekuatan paruhnya, dan percaya kekuatan menggigitnya mampu memutuskan jari kelingking orang dewasa jika ia mau. Semenjak tinggal terpisah dari orangtua, ada masa saya ingin menjadi seperti Bapak dengan memelihara beberapa ekor burung perkutut. Sekarang saya sedang mempertimbangkan memelihara ayam setelah istri saya sama sekali tidak menggubris ketika saya mengutarakan keinginan untuk memelihara burung. Saya meyakini memelihara burung dapat menjadi alternatif membuat jiwa ini agak sedikit plong. Setelah Banu menyukai ayam, saya kira keinginan saya bisa sedikit terobati dengan menggantinya menjadi ayam saja, dengan catatan menganggapnya seakan-akan itu merupakan burung elang yang sedang malas saja utuk terbang di udara.

Bagaimana Jika Tidak Pandai Merawat Gigi


PECAHAN TERAKHIR. Saya bukan orang yang pandai merawat gigi. Di umur sekarang banyak gigi saya keropos akibat jarang dibersihkan. Sikat gigi bukan perangai alamiah saya walaupun istri saya rajin membeli dan mendorong mengganti sikat gigi tiap tiga bulan sekali. Sejak menikah beberapa tahun lalu, salah satu kebiasaan inilah paling mencolok. Rasa-rasanya belum pernah saya temukan orang seperti Lola yang gemar mengganti sikat gigi. Dibandingkan dengannya, saya bisa menggunakan sikat gigi yang sama berbulan-bulan sampai sikatnya seperti rumput layu sementara istri saya mudah saja menggantinya setiap dua bulan atau tiga bulan sekali. Di kamar mandi cukup mudah menandai sikat giginya dibandingkan punya saya dengan melihat warna dan kualitas bulunya. Sikat gigi Lola nyaris menyerupai sikat gigi baru tanpa ada bekas sedikitpun odol mengering di sela-sela bulu sikatnya. Sementara saya, tidak usah dibayangkan. Cukup Anda menengok sikat gigi Anda dan membawanya beberapa tahun ke depan. Jika Anda melihatnya menyerupai sikat pembersih kloset, nyaris menyerupai itulah penampakan sikat gigi saya. “Pergiki bersihkan karang gigita”, ucap Lola ketika kami saling memamerkan kebersihan gigi. “Lain kalipi”, jawab saya sekenanya hanya untuk menghentikan percakapan dari jawaban yang sebenarnya sudah ia tahu. Lola paling getol menyuruh saya membersihkan karang gigi. Gigi istri saya nyaris tidak memiliki karang gigi oleh karena ia begitu rajin membersihkan setiap malam dan setiap pagi. Saya justru malah khawatir jika membersihkan karang gigi malah membuat gigi saya semakin renggang satu sama lain. Karang gigi seolah seperti batu karang di pesisir pantai yang kokoh menahan gempuran ombak. Semakin besar ombak yang datang semakin kokohlah ia menyerap unsur-unsur zat yang membuatnya semakin keras. Beberapa kali saya ingin memaksakan diri membersihkan karang gigi yang menumpuk bertahun-tahun akibat kebiasaan merokok dan minum kopi, tapi seketika saja saya urungkan karena meyakini berurusan dengan dokter gigi di negeri ini sama seperti saat Anda dipalak preman pasar saat Anda tidak sengaja bertemu di gang sempit di malam hari. Dompet Anda tiba-tiba raib yang membuat hati seketika mencelos dan putus asa menyerupai kulit kering kurma. Kemarin sepulang dari toko serba ada, Lola membeli sekantung kacang goreng bawang yang menjadi cemilan kegemaran kami berdua. Baru malam tadi ia membuka dan menyimpannya di toples plastik agar lebih mudah diambil menggunakan tangan. Sejak pagi kemarin hingga siang ini saya bersusah payah bisa menyelesaikan satu tulisan agar bisa segera selesai. Semalam saya dan Lola saling mencuri waktu ketika Banu telah lelap tertidur. Lola mesti menyelesaikan beberapa laporan mengenai asessment anak sekolah yang ia tangani dari minggu kemarin, dan saya dengan esai yang entah enak dibaca atau tidak. Baru siang ini lah sambil menulis saya imbangi dengan mengemil kacang yang dibeli Lola yang tanpa saya sadari ada yang bergerak-gerak aneh di dalam mulut saya ketika belum lama saya nikmati. Kopi sudah hampir tandas. Nampaknya ada gigi saya yang copot tanpa diminta. Gigi geraham saya pecah dan pecahan terakhir itulah yang jatuh menyerupai gilingan kacang. Kekhawatiran saya selama ini akan semakin menjadi-jadi, belum genap berusia setengah abad gigi saya tanggal satu demi satu.

Scientific Temper, Fantasi Mayoritas, dan Ku Klux Klan



Poster film Mississippi Burning (1988)
Film dokumenter yang berkisah
tentang pengadilan pembunuhan
tiga aktivis Mississippi.
Di film ini memperlihatkan kekejaman
Ku Klux Klan sebagai perkumpulan kulit putih
paling rasis di Amerika Serikat


INI waktu yang tepat untuk menyeduh kopi setelah beberapa jam bermain bersama Banu yang belum lama pulas sambil menetek. Ia pelan-pelan mulai menutup mata tanpa sedikitpun melepas hisapan mulutnya dari payudara ibunya sampai akhirnya membuatnya benar-benar tandas bersama hujan yang menggantung di atas mega seolah-olah tertutup kapas berwarna abu-abu. Tadi pagi hujan benar-benar membuat kami bertiga seperti beruang kutub yang kandas di atas dipan. Seolah-olah kami bertiga baru saja pulang berburu dan menghabiskan tiga ton ikan salmon saat mereka bermigrasi kembali dari laut ke sungai untuk beranakpinak. Kami jatuh tertidur setelah subuh mulai ikut bergerak bersama jarum jam dan tiba-tiba di depan rumah terdengar bunyi klakson mobil. ”Itu mobil sampah”, telinga saya menangkap suara Lola yang saya yakin tidak sekalipun ia membuka mata saat mengucapkan kalimat itu. Bunyi klakson itu membangunkan kami bertiga. Banu bersuara lirih dan saya bergegas menuju ruang dapur mengambil sisa-sisa makanan yang membuat hidung menangkap udara pesing dari dua tempat sampah tidak jauh dari kamar mandi. Di rumah kami sengaja memisahkan sampah sehari-hari dengan popok banu yang bertumpuk bagai roti berisi kacang giling. Saya percepat langkah dan di saat itulah saya menyadari, mobil sampah itu membangunkan kami tepat pada pukul sembilan lewat setelah saya melihat jam dinding saat mengangkut sampah ke depan rumah, mengambil kunci pagar, dan kemudian membukanya. Hujan masih terus turun dan saya kaget melihat penampilan menyeramkan tukang sampah yang lebih mirip pembunuh psikopat ala film-film Hollywood dari pada penampilan tukang sampah umumnya. Bukannya menggunakan seragam warna jeruk, ia justru menggunakan mantel hujan berwarna hitam dengan tudung kepala yang nyaris menyembunyikan wajah aslinya. Jika saja saat ia berdiri membatu menunggu seseorang membuka pagar menyodorkan sampah diiringi petir berkilat-kilat di balik punggungnya, lengkaplah ia menyerupai adegan film triller Hollywood yang menceritakan seorang pembunuh sedang melakukan aksinya di saat hujan gelap terjadi. Saat saya menutup pagar imajinasi saya malah dikuasai oleh sekelompok orang yang disebut Ku klux Klan (KKK). Lagi-lagi karena tudung mantel tukang sampah yang datang lebih malas dari tukang kredit itu. Maklum mantel menjadi benda paling sering saya saksikan belakangan ini, ditambah sinetron-sinetron ala ”istri-istri teraniaya” Indosiar yang mendahului filmya dengan pengakuan isi hati seorang perempuan dengan menggunakan mantel bertudung menyerupai penyihir abad 18. Namun seketika saya sadar Ku Klux Klan bukan fenomena bangsa ini seperti saat perkumpulan ini hadir di Amerika sekitar satu abad lalu yang menggunakan jubah tudung tinggi dengan ujung yang terlihat seperti nasi tumpeng. Tapi, tetap saja benih-benih rasialis seperti menjadi ideologi Ku Klux Klan nyata sering ditemukan di Indonesia. Di masa lalu, fenomena Ku Klux Klan pada akhirnya melahirkan figur seperti Malcom X atau Martin Luther King yang bangkit mengorganisir kesadaran orang kulit hitam. Di Indonesia tidak ditemukan kumpulan orang bejubah mirip Ku Klux Klan denga ritual-ritual kelompok yang menyerupai acara keagamaan, malah di sini tumbuh organisasi abal-abal disebut kerajaan dengan seragam menyerupai kostum kerajaan Brunei Darussalam, yang sudah pasti tidak mungkin melahirkan figur seperti Martin Luther King mengkonsolidasikan ketakutan, kekhawatiran, kekesalan, ketimpangan masyarakat kulit hitam menjadi organisasi perlawanan. Tinimbang mengkhayalkan pertistiwa itu malah kenyataannya dunia memiliki leluconnya sendiri dengan  menciptakan raja-raja ilusionis seperti yang terakhir muncul dari kerajaan entah di mana dengan gelar King Of the King. Di TVRI tempo hari, seorang pembicara bernama Sudirman Said menjelaskan fenomena kemunculan si pembuat pesawat bernama Chaerul yang ia kaitkan dengan semangat Scientific Temper. Saya menyaksikan dengan seksama seperti seriusnya dua orang pembicara lainnya di dalam monitor yang berasal dari Unhas dan seorang dari perwakilan organisasi guru. Saintifik temper pertama kali diperkenalkan sahabat Soekarno, Jawaharlal Nehru dari India sekitar tahun 60-an untuk membentengi masyarakat India dengan ilmu pengetahuan dari kepercayaan takhayul yang banyak ditemukan saat itu. Saintifik temper intinya merupakan cara pandang bagi seseorang yang melihat sesuatu fenomena dengan pendekatan rasional dan ilmiah. Sekarang saintifik temper (perangai ilmiah) banyak diadaptasikan orang-orang berpikiran terbuka di semua lini kehidupan. Chaerul seorang montir pembuat pesawat disebut Sudirman orang yang sedikit banyak menerapkan sikap perangai ilmiah saat membuat pesawatnya. Konon semangat perangai ilmiah ini ”diambil” Nehru dari semangat kebebasan Imanuel Kant, filsuf dua abad lalu yang terkenal dari slogannya berbunyi sapere aude! Di luar negeri, seperti diceritakan Sudirman yang menyekolahkan anaknya di Australia, memiliki suatu momen pembelajaran dengan mengundang pekerja profesi  di hadapan siswa-siswa untuk menceritakan seluk beluk pekerjaaannya dan apa pentingnya bagi kehidupan umum. Agar lebih mudah dipikirkan, bayangkanlah Anda sebagai orang tua siswa diundang ke dalam kelas oleh sekelompok anak-anak untuk membicarakan profesi Anda. Biar lebih mudah lagi pikirkanlah jika Anda di waktu sekarang berprofesi sebagai supir mobil ekspedisi, yang berarti Anda mesti menceritakan pekerjaan Anda dengan rincian dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Kemana Anda pergi sehari-hari dan jam berapakah Anda pulang ke rumah? Dalam pekerjaan, mobil apa yang Anda pakai? Barang apa saja yang Anda bawa? Tidakkah Anda capek berkeliling dari satu daerah ke daerah lain? Dengan siapakah Anda bekerja, tidak bosankah bersamanya setiap hari? Apakah Anda mempunyai seragam, berapa gaji Anda, di mana Anda berisitirahat jika capai, untuk apa Anda bekerja, berapa kali ban mobil Anda pecah, siapa atasan Anda? Saat menceritakan ini semua sudah tentu tidak membuat Anda mesti berpikir panjang dan menyiapkannya sejak Anda berangkat dari rumah oleh karena begitulah pekerjaan Anda sehari-hari. Sekarang bayangkan jika profesi Anda dilihat dari pendekatan saintifik temper seperti anak-anak sekolah di negeri Kanguru yang mengundang Anda. Kemungkinan Anda akan mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Dengan apa mesin mobil Anda dapat berbunyi? Mengapa orang-orang memerlukan barang yang Anda bawa? Berapa kali putaran ban jika jarak pekerjaan Anda bisa menghasilkan putaran ban sebanyak 329 kali dalam dua menit? Apakah mobil anda menggunakan listrik atau mesin uap? Bisakah Anda menjelaskan kerja energi mobil Anda? Apakah ada perbedaan waktu jika mobil Anda pulang dalam keadaan kosong dengan saat berpergiaan dipenuhi banyak barang? Berapa kecepatanya? Bagaimana pekerjaan Anda menyehatkan tubuh Anda? Bisakah Anda…bagaimanakah Anda…mengapa bisa… Di luar negeri pertanyaan semacam ini kemungkinan akan sering Anda temui karena paradigma pendidikan mereka sudah menerapkan sains sebagai alat kehidupan sehari-hari. Di dunia sosial ada tokoh bernama Auguste Comte—pendiri Sosiologi—yang pernah bermimpi bakal lahir suatu masyarakat yang lebih tertarik mencari tahu mengapa hujan dapat turun ke bumi daripada disibukkan menjawab apakah banjir adalah ulah manusia atau takdir Tuhan. Sekarang, saya mulai khawatir tidak mampu menahan tawa menyaksikan selingan video di jaringan whatsapp. Seorang pemuda menangis tersedu-sedu oleh karena musholanya dirusak segelintir orang di Minahasa Utara. Ia menangis sementara gerombolan orang-orang di sekitarnya berdesak-desakkan merekam kejadian itu menggunakan gawai dan sebagian yang lebih banyak lagi memenuhi area mushola dengan teriakan-teriakan takbir seolah-olah Perang Khandak bakal terjadi kembali. Ini sudah pasti bukan perkumpulan Ku Klux Klan seperti tersebar di Eropa yang mencari-cari penganut Yahudi atau orang berkulit hitam, melainkan segolongan umat Islam yang marah rumah ibadahnya dirusak. Coba bayangkan apakah pemuda dari kerumunan massa yang marah ini bakal kesulitan menjawab pertanyaan saintifik temper dari anak-anak yang bersikeras ingin tahu apa gunanya pekerjaan mengkafir-kafirkan orang yang tidak sealiran? Di depan kelas, ia mungkin akan lebih suka membayangkan siswa-siswa di hadapannya seperti umat Nabi Musa berabad-abad silam yang mesti dibebaskan dari pengaruh tukang sihir Fir'aun, yang membuatnya bersemangat mengemukakan dalil-dalil agama daripada memberikan penjelasan ilmiah mengapa agama dan sains alih bertentangan dan mesti bergandengantangan menyelesaikan problem kemiskinan umat manusia? Jika Anda menemukan orang semacam ini, menurut Auguste Comte orang ini masih membayangkan kita hidup di Abad Pertengahan. Ia merasa satu-satunya jalan demi menjawab semua persoalan adalah dengan menengok apa yang termaktub di dalam kitab suci dan membiarkan sains dan akal budinya berhenti sebelum bisa digunakan. Dari pada membayangkan si orang ini yang salah mengartikan kelas ilmiah sebagai majelis agama, bagaimana jika anak-anak di sekitar Anda selain diajarkan ilmu agama, Anda berikan juga soal-soal yang mesti dipecahkan menggunakan pendekatan saintifik temper. Jika Anda guru, coba bayangkan Anda adalah seorang ilmuwan yang sedang berusaha memecahkan suatu kasus melalui pertanyaan-pertanyaan saintifik bersama murid-murid di depan kelas, daripada berpikir seolah-olah Anda adalah nabi yang berhak menilai benar salahnya isi kepala orang-orang. Mungkin saja suatu waktu percobaan demikian bakal melahirkan orang seperti Chaerul atau Nehru dari kelas sederhana yang Anda ampu, dan malah bukan menciptakan pribadi halusinatif atau golongan pemarah yang berpikir merekalah wakil Tuhan paling absah. Tentu di pagi hari Anda tidak ingin pintu rumah Anda digedar-gedor seseorang seperti tukang sampah yang berlagak bagai psikopat versi Hollywood itu, hanya karena Anda berbeda keyakinan.

Bagaimana si Raja dan si Kaisar Berlagak Bodoh



Charles Darwin ( 1809–1882)
Seorang naturalis dan ahli geologi Inggris
Dikenal atas kontribusinya kepada teori evolusi


SAYA sedang membaca daftar 25 film terbaik 2019 dari blog khusus mengulas perkembangan film terbaru lalu seketika berpikir untuk menulis fenomena aneh bin ajaib beberapa minggu belakangan ini: Keraton Agung Sejagad dan Sunda Empire. Setelah awal tahun 2020 dibuat heran atas banjir Jakarta dan gempa di beberapa wilayah, tiba-tiba kita dibuat kaget, bagai semut bermunculan dari dalam tanah, muncul gerombolan orang-orang yang berseragam mirip tentara Spanyol di abad 18 dan mengaku-ngaku memiliki kekuasaan seluruh dunia. Kali pertama saya melihatnya di layar kaca, alih-alih membayangkan keberanian mereka seperti tentara kerajaan Inggris yang gagah berani mengacung-acungkan bedil ketika Eropa masih menjadi lahan konflik, mereka malah lebih nampak seperti seorang komandan Jepang di acara Benteng Takeshi yang memimpin pasukan kelas pekerja menggunakan helm pengaman dan tidak lama malah berakhir di sel penjara. Mereka yang dipimpin seorang raja dan ratu ini, memang seperti kerumunan semut yang dipimpin seorang raja dan ratu walaupun sarang mereka tidak disembunyikan di dalam tanah. Justru kerajaan yang mereka buat didekorasi menyerupai kerajaan sesungguhnya. Tidak jelas apa tugas mereka selain kepercayaan diri mengklaim sebagai kerajaan titisan dari masa silam. Beberapa tahun lalu saat Jokowi mencalonkan diri menjadi presiden, beberapa kawan saya banyak memberikan alasan mengapa pria asal Solo ini pantas menjadi presiden. Satu di antara alasan itu berbunyi Jokowi sudah ditakdirkan seperti diramalkan dalam babad Jawa sebelum kedatangan sosok pemimpin maha adil dan jujur yang bakal mengambilalih kepemimpinan dunia. Saya bergidik kali pertama mendengarnya oleh karena keyakinan itu diceritakan dengan cara tertentu dan keberadaan  pemimpin-yang-sebenarnya itu menjadi tanda akhir dunia sebelum alam semesta betul-betul kiamat. Manusia memang senang membangun kisah dan menjadikannya sebagai narasi keyakinan. Beberapa waktu lalu, seolah-olah dunia memiliki bentuk baru setelah bermunculan sekelompok orang yang membalikkan temuan sains dengan mengatakan dunia ini seperti bidang datar. Narasi tentang dunia seperti ini di masa sekarang layak dikatakan bodoh oleh karena sains sudah membuktikan bahwa dunia tidak sesederhana dataran lapangan sepak takraw. Tapi apa boleh buat, orang-orang seperti ini senang dengan narasi bumi datar seperti sama senangnya mereka terhadap keyakinan di akhir dunia nanti seluruh bulu janggut mereka akan dikonversi menjadi surat kepemilikan bidadari di surga kelak. Bagi masyarakat suku-suku di sekitar sungai Amazon, seperti juga sapi bagi umat Hindu atau burung elang bagi Mesir kuno, meyakini ular sebagai hewan suci. Sejarah asal-usul kedatangan mereka di muka bumi diyakini berasal dari rahim ular. Di kawasan sekitar sungai Amazon, Anda tidak akan berani mengemukakan pemikiran Charles Darwin bahwa sesungguhnya kita berasal dari monyet, oleh sebab  narasi Anda tidak cocok dengan kehidupan mereka. Kera atau monyet lebih suka hidup di atas pepohonan yang tidak seperti ular-ular di sungai Amazon yang banyak berkembang biak di dalam sungai. Jadi narasi semacam sejarah asal-usul, kekuasaan, mitos, dan kerajaan, seperti masyarakat yang hidup di sekitar sungai Amazon sangat dekat dengan cara hidup mereka sehari-hari. Belakangan saya baru tahu, mengapa tetua suku-suku di sekitar sungai Amazon  meyakini ular sebagai nenek moyang mereka selain daripada bentuk sungai Amazon yang membentang panjang meliuk-liuk seperti ular raksasa. Dengan menceritakan ini saya tidak ingin memaksa Anda untuk mengatakan orang seperti Ki Ageng Rangga Sasana atau Totok Santoso Hadiningrat berasal dari ular atau hewan sejenisnya. Itu mustahil dapat dipecahkan oleh ahli genetika beratus-ratus tahun dari sekarang mengingat sama tidak masuk akalnya mengatakan bahwa dua orang ini seorang raja dan mampu mengendalikan nuklir dari jarak jauh. Di grup whatsapp yang beranggotakan da’i-da’i, seseorang dengan yakin mengirimkan beberapa alasan mengapa fenomena ini muncul: Pertama ia mengatakan ini ada hubungannya dengan motif ekonomi karena seragam ala militer yang mereka pakai tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan diperjualbelikan seperti pengepul sarang burung walet membelinya dari peternakan burung walet. Logika ini dapat kita gandakan ke hal-hal semisal mereka membutuhkan kartu anggota kekaisaran, iuran kelompok, rapat kerajaan, menyewa gedung kerajaan, perabotan dan souvenir kerajaan, pernak pernik senjata, sampai tidak lupa perhiasaan yang mencerminkan gemerlap perhiasaan raja-raja. Tidak mungkin semua ini mereka pinjam di museum terdekat kecuali semua itu dibeli menggunakan uang. Kedua, orang yang mengirimkan pesan singkat di WA menyebut fenomena ini berhubungan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki status sosial dengan cara instan. Di Jakarta, sangat mudah menemukan ibu-ibu berkumpul di sudut-sudut kafe mal  berkacamata hitam sembari bercerita tentang kucing peliharaan mereka. Mereka ini tidak kalah mentereng dari artis-artis sosialita yang senang mengoleksi tas dan sepatu hingga membutuhkan lemari membumbung tinggi sampai ke puncak langit-langit rumah. Saya ingat figur Tikus dalam buku ditulis Roanne van Voorst ”Tempat Terbaik di Dunia”. Suatu waktu Roanne menginginkan dirinya berbelanja perlengkapan laptop ke mal dengan mengajak Tikus. ”Saya tidak layak masuk ke tempat seperti itu, itu tempat orang-orang kaya” begitu kurang lebih pengakuan Tikus karena merasa minder dan inferior dengan tempat mentereng seperti itu. Saya kadang juga seperti Tikus, kikuk ketika ingin memasuki gedung megah yang berisikan orang berpenampilan necis dan berdasi, seperti sama khawatirnya saya berbicara dengan orang seperti pemelihara kucing  itu tadi, atau artis pengoleksi tas-tas mahal. Kehidupan kadang tidak adil karena memelihara orang-orang yang status sosialnya ditentukan dari barang-barang yang dimilikinya dan mengucilkan orang-orang lapisan bawah yang dekil dan kumal. Karena ketidakadilan inilah anggota kerajaan Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya menciptakan narasinya sendiri dengan membuat simbol-simbol sosial yang menandakan suatu kekuasaan tertentu. Dalam suatu foto saya melihat Ki Ageng Sasana—”penguasa” Sunda Empire—nampak pede menggunakan seragam hijau pekat mirip seorang jenderal. Satu-satunya saya ingat dari itu adalah warna baret yang ia kenakan menyerupai tentara keamanan PBB yang pernah saya saksikan dalam film Dunia Sophie, dan sosok Wiranto ketika Soeharto masih sehat wal alfiat menjadi presiden orang tua kita. Di belakang Soeharto, di seragam Wiranto, tersemat di dada kirinya kotak-kotak mini seolah-olah menyerupai bendera negara-bangsa yang dijejerkan seperti saat kita melihatnya di sampul atlas saat dulu kala. Saya yakin pangkat jasa perang dipakai Ki Ageng Sasana seperti ditunjukkan Wiranto ketika menjadi panglima ABRI, adalah palsu belaka yang bisa didapatkan di pasar loak. Tapi apa boleh buat, ia mendaku mampu mengendalikan kekuasaan dunia dan banyak yang memercayainya sebagai sosok dengan status sosial tertentu. Seorang filsuf pernah mengatakan sudah tabiat manusia menyenangi masa lampau sampai ia patut disebut mahluk aquarian. Saat ini sangat sulit menemukan orang yang memiliki hobi mengoleksi prangko beralbum-album selain karena prangko sudah tidak diciptakan lagi, dan juga dunia lebih mudah terhubung melalui surat elektronik. Banyak orang setelah terbuai iklan suka menganti androidnya menjadi jauh lebih canggih karena berpikir dunia akan terus maju ke depan meninggalkan masa lalu. Orang seperti ini tidak seperti para pengoleksi prangko yang menyimpan kenangan masa lalunya dengan cara mengoleksinya seperti museum menyimpan benda-benda purba. Para pengikut kekaisaran macam Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya dikatakan pengirim pesan WA tadi seperti pengoleksi perangko yang merindukan suasana kerajaan seperti masa lalu. Dari poin ketiga ini membuat saya bertanya-tanya, apakah sebegitu romantiskah cara kita berpikir untuk menyukai dan menghendaki kehidupan ini berputar ke masa lalu? Kalau memang demikian, mengapa kita tidak sekalian saja mengembalikan masa ini sampai di zaman Nabi Nuh, tepat saat ia selesai membuat perahu raksasa, dan membiarkan orang semacam ini tenggelam saat banjir bandang tiba sebelum meraka merasuki pikiran kita di layar kaca? Saya dibuat seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa ketika menonton sesi Ki Ageng Rangga Sasana berbicara di forum ILC mengenai Sunda Empire yang diklaimnya sudah berdiri sebelum Firaun membangun piramid dan mati dikubur di dalamnya. Anhar Gonggong, sejarawan yang ditangkap kamera saat Rangga Sasana berbicara hanya semringah tahu bahwa ocehan Rangga ini tak lebih dari bualan belaka. Roy Suryo yang sempat menyangga sejarah PBB diceritakan Rangga Sasana disebut tidak paham sejarah. Perbedaan orang bodoh dan orang cerdas dilihat dari betapa seringnya orang bodoh mengatakan semua hal yang tidak ia ketahui dibanding orang cerdas, yang menyampaikan sedikit dari yang ia ketahui. Terlalu berlebihan mengatakan raja gadungan ini bodoh kecuali di saat ia sedang berbicara seolah-olah yang ia sampaikan merupakan bagian dari sejarah yang hilang yang semua itu membutuhkan kecerdasan tersendiri untuk berkibul. Dengan kata lain, Rangga Sasana sedang memeragakan prinsip kebohongan bahwa satu kebohongan hanya dapat diterima dengan benar jika ia mencipatakan kebohongan yang lain. Itu artinya, di sepanjang ia kita berikan waktu berbicara mengenai keyakinannya, sama artinya kita memberikan ia kesempatan untuk menyusun mata rantai kebohongan. Nahasnya, kebohongan kadang sering kali mengembangbiakkan kebodohan melalui cara yang tidak pernah kita sadari, seperti cara kita mendengar bualan dungu semacam ini tanpa menurunkan mereka dari panggung pemberitaan. 

--sudah terbit di Kalaliterasi dengan judul Bagaimana si Raja dan si Kaisar Membodohi Kita