Sepertinya setelah dipikirpikir, saya ternyata punya kecenderungan
yang lemah ketika ingin menulis tulisan panjang berbasis riset. Pasalnya saya
tidak punya bekal kemampuan meneliti lengkap dengan perangkat metodeloginya.
Apalagi ketika saya harus berlamalama di lapangan untuk mengumpulkan data. Dan
yang paling miris adalah kemampuan saya yang lemah dan sekaligus tak punya
banyak daya ketika mengakses literatur yang dibutuhkan. Intinya kemampuan
literasi saya sungguh memalukan.
Selama ini ketika menulis, hampir semua tulisan saya (kalau itu
disebut tulisan) merupakan semacam tulisan yang tak banyak bobot
intelektualnya. Selama ini kalau saya menulis, itu hanya berupa pikiranpikiran
lepas yang diolah tanpa memikirkan relevansinya terhadap benar salahnya
informasi yang saya tuliskan. Apalagi kemampuan saya menulis selama ini hanya
mampu menulis sebanyak tidak lebih dari seribu karakter.
Itu saya sadari ketika saya melihat kembali filefile tulisan saya
selama ini. Hampir semuanya merupakan tulisantulisan pendek yang miskin bobot.
Ketika saya pikirkan kembali, tulisan pendek saya itu berarti minimnya
pengetahuan yang saya miliki. Saya merasa minimnya pengetahuan seseorang
berbanding lurus dengan kemampuannya di saat menulis. Tentu yang saya maksudkan
bukan ingin mengatakan bahwa tulisantulisan pendek penulis semisal esai
memiliki pengetahuan yang minim ketika menulis. Tentu pembaca catatan pinggir
misalnya, tak setuju kalau seorang Goenawan Mohammad memiliki bacaan yang
minim, bukan? Itu berbahaya.
Tulisantulisan esais yang banyak kita temukan, kenapa hanya berupa
tulisantulisan pendek, karena memang kebanyakan (artinya tidak semua) dibuat
dengan mengikuti format tulisan di mana tulisan itu akan dimuat. Kita akan
bingung kan kalau misalnya suatu majalah atau koran akan penuh karena hanya
terisi satu tulisan esai panjang. Artinya, pendeknya tulisantulisan yang sering
kita jumpai di media massa, bukan karena kemampuan penulisnya yang tak mumpuni,
tapi itu karena memang ditentukan “lahan” tempat tulisan itu akan dimuat.
Itulah sebabnya, di korankoran, ada wantiwanti dari redaksi
tentang jumlah karakter yang mesti dipenuhi oleh penulis jika ingin tulisannya
dipajang. Karena biarpun tulisan itu memuat wacana yang bagus dan lagi happening,
tapi jumlah karakternya sampai berhalamanhalaman, maka tak mungkin juga akan
langsung diterbitkan. Kecuali memang tulisan itu diniatkan diterbitkan secara
berseri. Tapi ini sangat jarang.
Ini juga dialami pada genre tulisan nonfiksi. Seperti yang saya temukan
dari pengakuan Eka Kurniawan, bahwa para cerpenis di luar negeri merasa kaget
ketika melihat cerpencerpen yang ditulis oleh penulispenulis dalam negeri di
tulis dengan format yang lebih pendek. Pengalaman ini dialami Eka ketika
cerpencerpennya diterjemahkan oleh salah satu penerbit luar negeri ke bahasa
asing. Menurutnya, cerpencerpen di luar negeri tidak seperti cerpencerpen dalam
negeri yang panjangngya banyak ditentukan oleh ketersediaan kolom dari media
yang bersangkutan.
Saya rasa, karena kolom yang terbatas di media massa itulah
sehingga cerpencerpen di tanah air adalah cerita yang bisa dibaca hanya dalam
lima sampai sepuluh menit. Sehingga akan sangat asing jika kita mendapati suatu
cerpen yang ditulis berhalamanhalaman banyaknya. Di sini saya mulai bingung
apakah selama ini penentuan disebut cerpen oleh karena ukuran ceritanya yang
dituliskan pendek ataukah karena memang hanya ditentukan oleh format kolom yang
ada di mediamedia massa? Dan yang paling penting apa sebenarnya defenisi
“pendek” dalam kategori cerita pendek?
Tapi biarkanlah itu urusan para sastrawan terkhusus cerpenis. Saya
hanya menggelisahkan kemampuan saya dalam menulis, suatu aktivitas yang saya
minati (belum sampai menekuni), yang hanya bisa menghasilkan tulisan yang
pendek nan “ecekecek.” Namun saya menyadari, format tulisan saya bisa demikian
karena selama ini banyak ditentukan oleh model tulisan yang memang saya pilih,
yakni semacam esaiesai ringan. Itu yang menyebabkan saya tak punya kemampuan
membangun tulisan panjang kali lebar berbasis literatur yang ketat. Dan apalagi
memang saya senang dengan tulisan yang pendekpendek, karena itu untuk menutupi
kemampuan literasi saya yang buruk. Karena prinsip saya, jangan memulai tulisan
yang “berat” kalau tidak didukung dengan datadata yang komprehensif dan akurat.