Mal: Spiritualisme Ramadan Abad 21

Siapa menyangka, cikal bakal mal di Indonesia ditandai dengan menggunakan nama perempuan bernama Sarinah? Begitulah, gedung perbelanjaan yang berdiri di jalan Thamrin Jakarta Pusat itu, diberi nama oleh Soekarno untuk mengenang ibu pengasuh di masa kecilnya.

Siapa pula menduga, Sarinah yang resmi dibuka 15 Agustus 1966, adalah pusat perbelanjaan yang dibangun dengan spirit nasionalisme kala itu? Semenjak dibangun, Sarinah sudah dirancang sebagai media dan alat distribusi barang-barang ke masyarakat luas.  Sarinah dibangun untuk menstabilisasi struktur perekonomian Indonesia.

Juga siapa yang tahu jika Sarinah didirikan dari harta rampasan perang Jepang? Dibangun melalui tangan arsitektur berkewarganegaraan Denmark, Abel Sorensen? Juga Sorensen pula, yang merancang Hotel Indonesia, hotel berbintang pertama di Indonesia untuk menyambut Asian Games IV tahun 1962.

Syahdan, Sarinah hanyalah satu dari mal-mal besar yang sekarang berdiri. Sampai tahun 2012, di Indonesia sudah ada 240  mal berdiri. Berdasarkan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) semenjak tahun 2014, tercatat  250 mal beroperasi di Indonesia. Jumlah ini lebih besar dibandingkan Hong Kong yang hanya sebanyak 200 mal.

Bisa dibayangkan, akhir-akhir ini, mal yang sekarang berjibun itu menjadi centrum konsumerisme. Tak pernah berhenti menyedot uang masyarakat. Di kota-kota besar, mal menjadi bangunan yang paling ramai dikunjungi. Apalagi jelang Ramadan tiba, mal adalah satu-satunya tempat yang paling ramai dibandingkan tempat-tempat peribadatan.

Memang paradoks, kala menjelang awal dan akhir Ramadan, spiritualitas puasa yang diperjuangkan selama sebulan penuh bergerak ambivalen dengan spiritualitas abad modern: agama konsumerisme.

Konsumerisme memang bukan lagi sekedar praktik manusia mencari nilai guna barang-barang. Konsumerisme abad 21 adalah praktik kebudayaan yang menandai perlunya identitas kelas, gaya hidup, dan status sosial tertentu. Di titik ini, kosumerisme adalah penanda baru suatu gaya hidup. Suatu cara manusia berekspresi untuk bersentuhan langsung dengan makna-makna di balik produk-produk yang diperjual belikan. Cara manusia menemukan kebahagiaan. Itu sebab, konsumerisme menjelma menjadi agama baru abad kiwari.

Sekarang, konsumerisme juga dipandang sebagai fenomena tak sadar. Melalui cara ini, konsumsi atas barang-barang tiada lain merupakan dorongan bawah sadar yang merangsang batin primordial manusia: hasrat. Seperti agama, konsumerisme mampu menggerakkan manusia melampaui ukuran-ukuran rasionalitas demi suatu pencapaian transrasional. 

Itu sebab, dorongan-dorongan primordial berdasarkan hasrat berbelanja inilah yang mampu mengubah watak manusia menjadi konsumeris.

Akhir Ramadan, kota Makassar adalah menjadi kota yang demikian sibuk. Mal-mal kian menarik pengunjung. Jamak ditemukan praktik jual beli menjadi ritual konsumerisme. Barang-barang berpindah tangan. Dan uang begitu cepat raib berpindah kantung. 

Juga masjid-masjid menjadi kembali ramai. 10 hari akhir Ramadan orang-orang menghabiskan waktu di bawah lingkaran kubah masjid. Berzikir dan mekhatamkan al Qur’an. Memperkuat ibadah kala Ramadan mencapai penghabisan. Nampaknya, ibadah dan konsumerisme merupakan dua “agama” yang berjalan beriringan.

Tapi siapa bakal menolak, jika puasa hanya menjadi ibadah berwatak maskulin. Yakni motif-motif beribadah yang berubah agresif, tangkas, dan dominan. Orang-orang berperilaku agresif di samping berperilaku konsumtif, membeli segala. Orang-orang bergerak tangkas dan cepat menyambangi areal pusat perbelanjaan. Dan, orang-orang begitu dominan ditemukan bergerombol menghabiskan uang bertukar barang-barang.

Akibatnya, puasa sekadar menjadi alat yang sublimatif. Spiritualitas agama ditransformasikan menjadi sikap agama konsumtif. Motif menahan hasrat akhirnya meledak kala malam menjelang. Puasa hanya ibadah siang hari untuk digantikan saat tenaga mulai cukup kala malam datang untuk menjajaki pusat-pusat perbelanjaan.

Sebelumnya, pusat belanja yang dibangun Soekarno diberi nama Sarinah untuk menjadi simbol kesabaran  dari sosok ibu yang mengasuhnya. Menggunakan dana rampasan perang Jepang untuk menunjukkan kedaulatan ekonomi. Dari dua hal ini, kesabaran dan nasionalisme adalah motivasi awal untuk mendasari praktik perekonomian bangsa Indonesia.

Namun, sekarang mal adalah cagar budaya transinternasional masyarakat modern yang menampung hasrat berbelanja berlebihan. Di sana ditemukan produk-produk luar negeri yang bikin silau mata. Merk-merk berlabel internasional begitu gampang dibeli dengan iming-iming perbaikan status kelas sosial. Tanpa kesabaran dan sikap kesederhanaan, orang-orang menjadi agresif meninggalkan spritualitas puasa yang mengajarkan bagaimana hasrat dikontrol demi mencapai manusia yang mulia.

Malang, pusat perbelanjaan seperti Sarinah—yang mempelopori kehadiran mal, dan pusat perbelanjaan lainnya, sekarang bukan ditunjukkan untuk mendistribusikan kebutuhan sandang pangan masyarakat dengan cara merata. Mal justru –apalagi di bulan Ramadan adalah ruang yang membelah masyarakat menjadi dua golongan secara ekonomi. Tidak bisa disangkal, pusat-pusat perbelanjaan sekarang adalah representasi gaya hidup mewah yang jauh dari tuntutan agama untuk berbagi.

Akhirnya, mal adalah mal, dan Ramadan adalah Ramadan. Konsumerisme begitu mencolok dan demikian sulit dikendalikan . Dan lagi-lagi mal tak sedikit pun tersentuh efek spiritualitas puasa. Bisakah anda bayangkan, 250 mal yang tersebar di Indonesia, saat ini sedang ramai berlangsung suatu ibadat baru, agama konsumerisme? Sementara masih banyak pula golongan masyarakat miskin yang tak tersentuh sama sekali dari kebaikan kaum kaya?

---

Dimuat di kolom Opini harian Fajar, 4 Juli 2016