Sabtu Pagi dengan Eka Kurniawan

Eka Kurniawan lagilagi membuat saya berdecak kagum. Sabtu pagi tanpa sengaja, saya menemukan cerpennya: Jimat Sero.  Kesengajaan yang menyenangkan. Seperti biasa, membaca cerita pria ini membuat kita harus bersabar dengan ending yang tak didugaduga, sementara di saat yang bersamaan kita tak tahu alur apa yang bakal terjadi.  Membaca cerpennya seperti mengetahui ada misteri yang menunggu di ujung cerita  tanpa diketahui seperti apa misteri yang di maksud. 


Jimat Sero 
by Eka Kurniawan, Suara Merdeka, 24 Januari 2010
Ia mengingatkanku pada masa kecil kami. Saat itu ibuku baru melahirkan adik, dan bapak menitipkanku ke rumah nenek di kampung. Di sekolah yang baru, hanya aku yang pakai sepatu dan hanya aku yang punya rautan pensil. Sial sekali memang. Dengan tubuh kecil, ringkih, hidung penuh ingus dan sering pilek, aku menjadi bulan-bulanan teman sekelas. Setiap hari mereka merampok uang jajanku.
Satu hari tiga anak memukuliku, karena aku sengaja tidak membawa uang jajan. Nenek mengetahuinya. Seharusnya Nenek mendatangi Kepala Sekolah dan mengadukan kelakuan anak-anak itu. Atau mengembalikan aku ke rumah ibuku, seperti keinginanku.
Rupanya Nenek punya cara sendiri. Sore hari ia membawaku ke sebuah gubuk di tepi mata air. Kelak aku mengetahui, pekerjaan pemilik gubuk itu memang menjaga mata air tersebut. Gubuk itu mungil saja, dengan asap mengepul dari celah atap sirapnya. Barangkali penghuni rumah sedang memasak di tungku dapur. Nenek mengetuk dan tak lama kemudian pintu terbuka.
Di depan kami berdiri seorang lelaki tua yang langsung mempersilakan Nenek duduk. “Enggak usah, aku cuma mampir sebentar,” kata Nenek sambil menoleh ke belakang lelaki tua itu. Di sana berdiri seorang anak lelaki, lebih tua dariku, memerhatikan kami dengan penasaran. “Kelas berapa anakmu, si Rohman itu?” tanya Nenek.
“Kelas empat,” si lelaki tua menjawab sambil menoleh ke anaknya dan berkata kepada anak itu, “Suruh emakmu bawa teh.”
Tapi Nenek buru-buru memberi isyarat Rohman agar tidak pergi, dan menyuruh mendekat. Rohman menghampiri Nenek, dan tanpa mempedulikan lelaki tua itu, Nenek berkata kepada Rohman:
“Dengar, mulai besok, kamu belajar di kelas dua dan duduk satu bangku dengan cucuku ini. Jika seseorang mengganggunya, kau boleh menghajar mereka sesuka kamu.”
Dengan kebingungan, Rohman menoleh ke ayahnya. Si lelaki tua hanya tersenyum, kemudian berkata, “Jangan khawatir. Besok ia akan duduk di kelas dua.”
Begitulah cara Nenek menyelesaikan persoalanku. Sejak saat itu, Rohman turun kelas dua tingkat. Hebat juga anak itu, sejak ia duduk sebangku denganku, tak seorang pun berani menggangguku lagi. Sepatuku terbebas dari injakan kaki-kaki dekil. Ah ya, kadang-kadang di luar sekolah, masih ada anak yang tak tahu apa-apa menggangguku, dan esok harinya, Rohman bisa menghajarnya hingga babak-belur.
Tapi tak lama setelah itu, Ayah mengambilku kembali dari rumah Nenek. Aku tak tahu apa yang terjadi. Ibu hanya pernah bercerita, aku menangis berhari-hari meminta pulang. Aku tak ingat apa yang membuatku menangis. Aku juga tak tahu apa yang terjadi dengan Rohman: apakah ia kembali melompat dua kelas sebagaimana mestinya, atau tetap meneruskan tingkatannya saat itu. Di sekolah yang baru, kadang-kadang ada yang mengganggu, tapi aku bisa mengatasinya. Di SMP, aku punya banyak teman dan tak ada yang mengganggu. Di SMA aku mengencani beberapa gadis cantik dan pintar, dan karena “gadis cantik yang pintar” jarang jadi rebutan, aku nyaris tak punya saingan. Aku masuk universitas dan jadi kutu buku. Aku bahkan nyaris lupa pernah punya teman sebangku bernama Rohman. Kini aku bertunangan dengan anak gadis bosku, Raisa, dan tak seorang pun berani mengusik hubungan kami.
Kemudian, lebaran lalu aku mengunjungi Nenek dan berjumpa dengan si Rohman ini, dan pertanyaannya sungguh konyol: “Kamu masih suka dipukuli orang?”
Kami berdua duduk di beranda dan berbagi segala hal yang kami tidak ketahui selama perpisahan itu. Rohman berkata, “Setiap kali pulang kampung, aku selalu menemui nenekmu hanya untuk tahu kabar tentangmu.” Aku hanya tersenyum dan menepuk lututnya. Lalu ia menambahkan, “Sampai sekarang aku masih sering kuatir, ada orang memukulimu.”
Aku tertawa dan kembali menepuk lututnya. “Enggak usah berlebihan begitu.”
Tapi dengan tatapan serius ia memandangku dan kembali berkata, “Di mana kamu sekarang tinggal? Aku akan memberimu sebuah jimat.”
“Jimat?”
“Jimat. Kamu bakal tahan pukul dan kebal senjata.”
***
JIMAT itu sekarang berada di tanganku. Namanya jimat sero. Kata Rohman, yang sengaja datang ke apartemenku, itu memang terbuat dari ekor sero. Rubah.
Karena tak tahu harus berbuat apa, aku bertanya apakah aku harus membayar? Berapa? Rohman hanya tertawa sambil menggeleng. Tidak, katanya, kamu tak perlu membayar sepeser pun. Ia memberikan jimat itu benar-benar karena ia mengkhawatirkanku. Ingat, katanya, dulu ia berjanji untuk menjagaku. Tapi ia tak mungkin menjagaku terus-menerus. Ia hanya bisa memberiku jimat itu.
Aku yang tak terbiasa memperoleh sesuatu secara cuma-cuma mencoba bertanya mengenai pekerjaannya. Barangkali ia punya anak, dan seperti kebiasaan orang desa, barangkali ia mencoba menitipkan anaknya untuk dimasukkan ke perusahaan tempatku bekerja, atau ke kantor-kantor kenalanaku. Tapi jelas ia tak membutuhkan apa pun. Ia sudah jadi juragan kopra di Banten selatan dan anaknya yang paling tua masih berumur sebelas tahun. Ia benar-benar tak membutuhkan apa pun dariku.
Setelah memaksanya menginap semalam dan mengajaknya berkeliling Jakarta untuk sekadar bersantai, ia akhirnya pulang.
Dan jimat itu bersamaku. Jimat sero.
Selama beberapa hari aku mencoba menghiraukannya, tapi semakin aku mencoba melupakan bahwa aku memiliki jimat, semakin aku mengingatnya. Jimat itu tebungkus dalam kantung kain katun kecil, dengan tali untuk mencantelkan, sebesar gelang tangan. Aku sudah memeriksanya, dan memang itu tampak seperti ekor binatang yang sudah kering. Tak ada tanda-tanda benda itu memiliki kesaktian apa pun. Bahkan aku ragu ia bisa melindungi dirinya sendiri.
“Kamu harus membawanya jika ingin merasakan keampuhan jimat ini. Masukkan ke saku celana sudah cukup,” begitu kata Rohman sebelum pergi.
Aku malah menggeletakkannya di meja, di samping komputerku.
Sampai kemudian terpikir olehku bahwa satu-satunya cara untuk meyakinkan apakah benda itu berguna atau tidak adalah dengan menjajalnya. Tapi sebelum itu tentu saja aku harus memastikan sesuatu. Sepuluh hari selepas kunjungan Rohman, aku meneleponnya.
“Setahuku setiap jimat selalu ada pantangannya,” kataku. “Katakan apa yang tidak boleh kulakukan?”
Rohman tertawa dan menggeleng, “Tak ada yang perlu kamu risaukan.”
***
SEUMUR hidup aku tak pernah berkelahi. Tentu saja bukan berarti aku tak pernah memiliki masalah dengan orang lain. Apa pun yang terjadi, aku selalu mencoba mengakhiri setiap perselisihan dengan siapa pun tanpa berkelahi. Teman-temanku bilang, aku pandai dalam hal membuat musuh menjadi teman. Tapi sejujurnya, ada kalanya aku harus menghindar. Lebih tepatnya, mengalah.
Saat pertama kali kupikirkan untuk mencoba jimat sero, aku langsung membayangkan beberapa orang yang menyebalkan, yang seharusnya kuhajar: sopir taksi yang pernah mengajakku berkeliling sambil berpura-pura tersesat, lalu memaksaku membayar dengan harga argometer yang melambung ke langit; preman kecil yang pernah menodongku di Tanah Abang, bertahun-tahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Jakarta; dan barangkali seorang kolonel yang pernah aku lihat menabrak seorang perempuan tua di pinggir jalan, lalu pergi begitu saja seolah tak merasa bersalah.
Dengan sedikit was-was, kuambil jimat sero dari atas meja dan kutimang-timang sejenak di telapak tangan. Benarkah aku percaya omong-kosong mengenai jimat ini? Bukan hal yang aneh jika orang semacam Rohman bisa memiliki jimat, bahkan membuatnya. Aku tak tahu bagaimana seorang anak kecil tukang berkelahi menjelma seorang lelaki penuh klenik yang mampu menyediakan jimat. Tapi setelah kupikir-pikir, itu bukan hal yang aneh, sebenarnya.
Ayahnya, si tukang menjaga mata air, konon juga pemilik beragam ajian. Dan selama bertahun-tahun, ia merupakan orang kepercayaan Nenek dan Kakek. Ayah dan ibuku tak pernah menyinggung soal itu dan aku juga tak terlalu menaruh perhatian, tapi aku mengetahui hal itu.
Kumasukan jimat ke saku kiri celanaku. Itu tempat yang aman, sebab aku tak pernah menaruh apa pun di sana. Jimat itu tak akan jatuh secara tidak sengaja (misalnya karena aku mengambil uang receh atau telepon genggam). Dan untuk sejenak kucoba merasakan sekiranya ada tanda-tanda tertentu yang diberikan jimat itu kepadaku.
Tak ada apa-apa.
Rasanya aku jadi agak ragu-ragu. Benarkah ia membuatku kebal pukul dan senjata? Jangan-jangan jika aku mencobanya, aku malah babak-belur. Masih untung jika tidak langsung mati.
Aku bergidik dan kulirik pisau cukur.
“Tidak, kamu akan berdarah jika kamu lakukan sendiri. Jimat itu hanya bekerja jika seseorang memukulmu atau mencoba melukaimu dengan senjata.”
Tak ada cara lain untuk membuktikannya, pikirku. Setelah memikirkan hal itu selama beberapa saat, akhirnya aku pergi ke tempat kerjaku. Tak apa, toh sebenarnya tak ada keharusan untuk membuktikannya. Jika aku takut jimat itu ternyata tak bekerja sebagaimana yang dijanjikan, aku tak perlu berkelahi dengan siapa pun. Aku bisa melanjutkan hidupku sebagaimana biasa, sebagaimana hari-hari ketika jimat sero belum ada.
Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero. Dengan pikiran seperti itu, entah kenapa, aku tetap membawa jimat sero di saku celanaku.
***
AKU berjalan kaki ke apartemenku sambil menggigil. Aku tak tahu seberapa kusut diriku. Orang-orang melihatku dengan tatapan curiga. Aku tak peduli dan terus berjalan. Kulihat tanganku. Darah kering di mana-mana. Bahkan kemejaku juga berpelotan. Aku bisa melihat jemariku meregang satu sama lain dan aku tak yakin bisa menggerakkannya. Mereka bergerak sendiri. Ikut menggigil.
Terbayang olehku tubuh Nasrudin tersungkur ke pojok kamar mandi. Ada darah dari sudut bibirnya. Aku sangat senang melihat darah itu. Ternyata darah tidak semerah yang kubayangkan. Darah lebih gelap daripada merah. Merah itu warna bendera dan darah tidak berwarna seperti bendera. Darah lebih seperti warna kelopak mawar yang membusuk. Dan aku suka warna itu mengalir dari sudut bibir Nasrudin.
“Itu untuk mulut najismu,” kataku.
Aku membencinya sejak lama. Ia selalu mencari muka di depan bosku, dan selalu berupaya menjatuhkanku. Ia selalu punya cara untuk membantah gagasan-gagasanku, dan menjungkirkannya seolah-olah gagasanku merupakan gurauan orang bodoh. Aku tahu bosku termakan omongannya, tatapannya memandangku sedih. Hanya karena aku bertunangan dengan Raisa, tempatku di kantor tak tersentuh siapa pun. Meskipun begitu, sungguh, sesekali aku ingin menghajar Nasrudin.
Ingatan tersebut kembali membuatku menggigil.
Hari itu aku berhasil membuatnya marah dan aku menunggu apakah ia akan memukulku. Peristiwa itu terjadi di kamar mandi, setelah sebagian besar teman kerja kami pulang. Ia tidak memukulku, maka aku kembali memancingnya. Akhirnya ia menghampiriku, menyentuh pangkal kemejaku dan bertanya:
“Maumu apa?”
Aku meludahi mukanya.
Ia tercekat sejenak. Tentu saja ia tak akan percaya aku melakukan itu. Ia mengusap mukanya dengan lengan kemajanya, tanpa melepaskan genggamannya di pangkal kemejaku. Ia memandangku. Aku tersenyum mengejek. Ia masih memandangku. Kupandang kembali matanya. Itu saat-saat yang sangat menegangkan. Aku menunggu apa yang akan dilakukannya.
Lalu, bug, ia mengirimkan jotosannya ke rahangku. Aku terdorong beberapa langkah, tapi aku tak merasakan apa pun. Aku tersenyum dan menghampirinya.
Ia memukulku lagi. Aku tak merasakan pukulannya. Ia kembali memukul. Aku menerimanya bagaikan karung pasir. Ia memukuliku selama sekitar sepuluh menit, atau tiga puluh menit? Ia benar-benar kebingungan pukulannya tak berpengaruh apa-apa padaku. Hingga akhirnya aku melancarkan serangan balasan.
Satu pukulan mengirimnya ke samping pintu. Pukulan kedua membuat memar dahinya. Pukulan ketiga membuatnya terhuyung-huyung. Entah pukulan keberapa ia tersungkur di sudut kamar mandi dan darah mulai keluar dari ujung bibirnya.
“Ampun, ampun,” katanya.
Aku keluar dari kamar mandi. Aku tersenyum. Lalu tertawa. Lalu menggigil.
Aku masih menggigil tapi juga dilanda kesenangan ketika membuka kunci pintu apartemen. Ketika aku masuk ke dalam, aku merasa ada orang di dalam apartemenku. Tentu saja itu Raisa, pikirku. Raisa memiliki kunci apartemenku, dan ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Kadang-kadang ia tidur di tempatku, dan saat-saat seperti itu tentu saja kami akan bercinta. Pagi hari ia akan pulang, kembali ke rumah orang tuanya.
Kunyalakan lampu dan kulihat Raisa di tempat tidur. Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang lelaki. Aku hanya duduk di sofa, sambil memandang mereka melalui pintu kamar terbuka.
Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara Raisa yang sangat kukenal.
Kemudian segalanya selesai.
Ia turun dari tempat tidur dan menghampiriku. “Hai, sudah pulang?” tanyanya. Suaranya kukenal baik. Rohman.
Aku tak menjawab. Aku tak tahu apakah aku tertidur atau tidak. Mungkin di antara itu.
***
KEMUDIAN aku teringat apa yang dulu membuatku menangis berhari-hari di rumah Nenek. Malam itu, aku melihat Nenek di atas tempat tidur bersama si penjaga mata air. Kakek hanya duduk di dipan rotan. Pemandangan itu menakutkanku, dan aku menangis sejak malam itu.
Entah bagaimana aku bisa melupakannya. Tapi malam ini, bertahun-tahun kemudian, aku mengingatnya. Tapi aku senang-senang saja. Aku senang melihat darah di tanganku. Aku senang melihat Raisa mandi keringat di tempat tidur. Aku senang melihat Rohman berjalan telanjang ke arahku. Terutama aku senang memiliki jimat sero di saku kiri celanaku. (*)
“KAMU masih sering dipukul orang?” tanya teman lamaku, waktu kami berjumpa di rumah nenek, lebaran lalu. “Ya, enggak, lah,” jawabku sambil nyengir.

Orangorang Tani

“Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya” (Mochamad Tauchid, 1952)

Dari sejarah peradaban manusia, petani adalah pekerjaan manusia paling tua. Petani di awal sejarah manusia, merupakan pekerjaan adaptatif manusia terhadap alam. Petani menandai suatu sistem pekerjaan yang meninggalkan polapola nomaden dengan cara hidup menetap. Dimulai dari pola kerja memungut hasilhasil bumi, berburu, dan meramu, bertani adalah jenis pekerjaan yang memungkinkan lahirnya kebudayaan awal manusia.

Arnold Toynbee, melalui Mankind and Mother Earth, menabalkan bahwa dengan cara hidup agraris perabadan purba pertama tumbuh dengan pesat. Dia bilang bahwa sejarah orangorang Sumeria atau Mesir tua adalah bersumber dari pemanfaatan tanah dengan cara membangun drainase dan dan saluran irigasi dengan mengubah rawarawa menjadi lahan pertanian. Melalui mekanisme itu, orangorang Sumeria dapat hidup menetap dan membangun peradaban regional disekitar sungai Tigris dan Eufrat.


Itulah sebabnya, asal mula kata kebudayaan (cultura) diambil dari konotasi yang sama dari makna bercocok tanam. Cultura dengan begitu mengandung dua hal; ikatan organik masyarakat dengan tanah, dan adat kebiasaan yang terbangun di atasnya.

Ikatan organik antara masyarakat dengan tanah, dapat dilihat dari terciptanya mitosmitos ataupun legenda yang menjadi ikatan kolektif di masyarakat. Di pulau Jawa dan  Bali ada legenda ratu padi, yang menjadi perlambangan bersama dari masyarakat petani untuk menjaga ikatan kolektif di antara mereka. Legenda ratu padi adalah medium masyarakat petani dalam menempatkan pemanfaatan tanah sebagai moda produksinya. Ratu padi sebagai simbol kolektif di tatanan masyarakat petani, mengambil bentuk yang feminin untuk menandai bahwa tanah begitu erat dengan ibu sebagai tanda pengayom bagi masyarakat.

Legenda ratu padi di masyarakat Jawa misalnya, telah menjadi kebiasaan seturut tumbuhnya praktikpraktik kulturalnya. Upacara sekaten yang acapkali disebut sebagai upacara grebeg mulud, adalah penjelmaan syukur kolektif di saat menjelang hari panen. Di masyarakat Sunda, ada upacara yang disebut seren taun yang  digelar tiap tahun untuk menghormati ratu padi. Upacara ini digelar dengan melantunkan kidungkidung atau pantun dengan maksud mengundang kedatangan ratu padi untuk memberikan berkah kepada bibit padi dan kesuburan selama masa tanam hingga panen.

Tapi masamasa tanam berubah menjadi masamasa kerja, tanah dialihfungsikan, pabrik di manamana berdiri.

Ketika kebudayaan bergerak, petani menjadi kelompok yang tereksklusi pelanpelan dari penguasan atas tanah.  Industrialisasi sebagai tatanan baru, mengubah kerja tradisional menjadi bentuk kerja baru yang disepuh dengan semangat individualisme. Kolektivisme yang semula adalah semangat bersama yang mengikat, akhirnya terbelah atas modernisme  yang memperkenalkan etika baru untuk berproduksi; individualisme.

James Scoot, mempercakapkan perubahan etika itu dari yang disaksikannya di Asia Tenggara. Petani, seperti yang dibilangkannya, merupakan suatu kesatuan yang memiliki sistem kebudayaan tersendiri atas praktikpraktik kehidupan yang dialami dalam mengelola tanah. Dari percakapannya, ia menyebut moral ekonomi petani berbeda dengan tatanan moral baru yang digemboskan dari praktikpraktik ekonomi kapital. Petani, dengan seluruh jaringan kerjanya memiliki ikatan yang diniatkan untuk mendorong kerjasama antara mereka dengan ikatan patron-klien dibandingkan harus didorong dengan semangat rasional kapitalisme.

Berdasarkan pengamatannya, perubahan yang dibawa oleh inovasiinovasi teknologi, banyak merusak hubunganubungan produksi masyarakat petani sehingga mendorong banyaknya perlawanan petani di Asia Tenggara. Selain itu, moral ekonomi petani yang didasarkan pada ikatan subsisten, sangat bertolak belakang dengan semangat individualisme yang menjadi moral dasar dari tatanan baru.

Di Indonesia sendiri, perlawanan petani terhadap kekuasaan tatanan baru direkam dalam pembukuan yang ditulis Sartono Kartodirdjo; The Peasant Revolt of Banten in 1888. Dari yang diliterasikannya, perlawanan petani terhadap bentukbentuk kolonialisasi sudah bermula dari awal abad 19. Melalui politik tanam paksa, petanipetani Nusantara dibajak dengan cara kekerasan untuk menaklukkan tanahtanah yang dikuasainya. Bahkan melalui tanah, desadesa di Nusantara, menjadi titik mula dari penjajahan orangorang  Eropa terhadap pribumi.

Di desadesa, dibandingkan dari daerahdaerah pusat lainnya. pertarungan kekuasaan politik dan perebutan sumbersumber daya ekonomi begitu tampak. Perebutan tanah sampai detik ini masih di alami oleh petanipetani pedalaman terhadap korporasikorporasi besar. Kasuskasus di Rembang, Ujung Kulon Banten, Takalar, Bulukumba, Nusa Tenggara merupakan persoalan yang sampai hari ini belum menemukan jalan keluarnya.

“Dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%).  Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.” (Konsorsium Pembaruan Agraria)

Begitulah yang dicatatkan Konsosrium Pembaruan Agraria.  Tanah dalam skema besar korporasikorporasi merupakan komoditi dalam agenda perluasan kapital. Artinya dalam logika demikian, kapital yang merupakan inti dari ekonomi modern adalah nafas yang menggerakkan  perekonomian masyarakat kapitalis yang berbasikan industrialisasi.

Industrialasi memang banyak mengubah wajah peradaban, tapi peradaban tak selamanya berarti industrialisasi.

Bagaimanapun petani seperti yang dinukilkan Karl Polanyi dalam The Great Transformasion punya perspektif bahwa “tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah”.

Itulah mengapa, orangorang tani begitu kuat ikatan terhadap tanahnya, sebab di atas tanah tak ada hirarki kekuasaan yang layak berdiri.


Orang-orang di Persimpangan Jalan


Di kota-kota besar, terutama di jalan raya, kemacetan merupakan masalah yang bikin geram. Apa lagi jika kemacetan terjadi tepat di jam-jam sibuk, sudah pasti banyak orang menggerutu kesal. Anak sekolahan jadi was-was mesti tepat waktu. Para polisi jadi pusing mengurusi ugal-ugalan pengendara. Sopir angkutan umum sudah pasti dibuat jengkel. Pekerja kantoran yang biasanya memulai kerja di pagi hari, bukannya tiba di kantor tepat waktu, malah bisa telat pasal kemacetan. Tapi bos-bos direktur, tak ambil pusing. Toh bila macet dan telat, siapa bakal marah!?

Di jalan raya kota-kota besar, demi mengatasi macet, seringkali ditemui orang-orang di persimpangan jalan. Orang-orang ini biasanya masih berusia muda, adakalanya masih kanak-kanak. Umumnya mereka anak-anak yang besar di jalanan. Dan biasanya anak-anak yang tak bersekolah. Pun jika bersekolah, mereka tak sampai khatam. Sementara orang-orang muda adalah pengangguran dengan usia produktif. Orang-orang semacam ini adalah mereka yang datang dari pemukiman-pemukiman kumuh. Besar di gang-gang perkotaan, tumbuh tanpa orientasi kerja yang pasti. Karena tereliminasi dalam dunia kerja, akhirnya berhamburan di persimpangan jalan.

Kemunculan orang-orang di persimpangan jalan adalah penanda kesimpangsiuran jalan raya. Mereka yang tumbuh dari pemukiman kumuh akhirnya datang di tiap persimpangan dengan maksud tak muluk; membantu warga kota yang terjebak macet.  Di jam produktif, mereka berdiri dengan cara membawa sempritan membantu tiap kendaraan di saat berganti arah.  Adakalanya cara yang mereka gunakan membutuhkan keberanian dengan masuk di tengah jalan untuk memperlambat laju kendaraan. Dengan cara begitu kendaraan yang ingin bertukar arah dipermudahkan.

Orang-orang di persimpangan jalan suka atau tidak suka, sudah hampir seperti polisi lalu lintas. Mereka punya semacam wewenang mengatur kapan berjalan dan berhentinya pengendara. Wewenang yang mereka miliki jika dipikir-pikir punya juga manfaatnya, sebab tidak semua bapak polisi menjaga setiap persimpangan. Akibat peran mereka, polisi yang punya tugas mengawasi kemacetan punya sejenis asisten nonformal. Tapi sayang mereka tak berseragam. Dan karena tak berseragam mereka tak dibayar negara.

Maksud tak muluk membantu warga kota yang terjebak macet, sebenarnya juga tak  betul-betul ikhlas. Sebab tak dibayar negara, mereka memasang ongkos atas jasanya; dua ribu rupiah. Tapi toh tarif yang mereka berikan kalau dihitung-hitung tak ada ruginya jika dibanding ongkos perbaikan apabila kendaraan mengalami kemacetan. Atau kendaraan tiba-tiba diserempet oleh ugal-ugalan pengendara lain. Maka dua ribu rupiah bagi dompet warga kelas menengah perkotaan, masih lebih rendah dengan risiko mereka bertahan di jalan raya padat kendaraan. Tidak main-main, bisa jadi nyawa taruhannya.

Risiko itu mereka ambil karena banyak hal. Perkotaan adalah sarang pengangguran. Di kota persaingan kerja sangat tinggi. Bahkan tiap pekerjaan membutuhkan skill khusus. Dan untuk memiliki skill khusus, tiap profesi membutuhkan banyak kursus dan pelatihan. Sementara orang-orang di persimpangan jalan, adalah masyarakat lapisan bawah yang minim akses. Sekolah, pekerjaan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, perpustakaan adalah pusat kebudayaan yang jauh dari kehidupan mereka. Akhirnya dari keterbatasan akses, membuat mereka tumbuh tanpa asupan kebudayaan yang sehat. Syahdan, jadilah mereka pengangguran tanpa masa depan.

Kemiskinan juga salah satu ciri perkotaan. Hampir di semua kota besar bertebaran pemukiman masyarakat kota. Akibat pertukaran kapital yang timpang, maka menyebabkan kemiskinan struktural. Jika karena keterbatasan akses membuat orang-orang persimpangan jalan mengalami kemiskinan kultural, maka kapital yang berputar timpang membuat mereka terjebak ke dalam kemiskinan struktural.  Akibat kemiskinan struktural yang mereka alami, persimpangan menjadi kawasan ekonomi untuk mendulang “emas.”

Atau di luar dari dua sebab sebelumnya, bisa saja ada problem teknis yang membuat mereka berhamburan di persimpangan jalan. Misalnya adalah semakin bertambahnya pengendara dan kendaraan. Semakin tak memadainya jalan raya menampung populasi pengendara. Tak dilengkapinya jalan-jalan utama dengan rambu jalan. Juga barangkali tidak adanya tranportasi publik. Atau memang bapak polisi yang tak banyak berperan di jalan raya.

Walaupun demikian, orang-orang di persimpangan jalan kian hari semakin banyak dijumpai. Bukan saja di jalan-jalan utama, tetapi di jalan alternatif juga mereka ditemui. Biasanya mereka datang bergerombol, tua ataupun muda, pria ataupun perempuan. Mereka setia berlama-lama di tengah bising kendaraan, di bawah terik matahari hingga rela menghirup gas karbon kendaraan.

Biasanya mereka membagi teritori tempat yang sudah dikapling berdasarkan kelompok, persimpangan per persimpangan, waktu per waktu. Singkatnya mereka juga punya manajemen, tapi tidak secanggih orang-orang kantoran yang berkendara. Tak secerdas anak-anak usia sekolah. Apalagi menyerupai cara berpikir bos-bos tukang boros. Orang-orang persimpangan jalan membagi  keuntungannya atas dasar komunalisme. Orang-orang persimpangan jalan demikian, barangkali hanya tak ingin dikatakan pengemis yang tak memiliki jasa untuk mereka pertukarkan.

Orang-Orang Berparas Ganda

Mitos di alaf kebudayaan, selalu difungsikan dengan maksud perayaan. Di dalamnya pujapuji dipanjatkan melalui ritual untuk menceritakan kebesaran dewadewa. Mitos, di sejarah awal peradaban, biasa diolah menjadi drama untuk mewantiwanti sang manusia. 

Mitos melalui drama, juga ingin membangun satu hirarki antara dunia dewata dengan dunia ata. Melalui drama, mitos ingin meletakkan manusia dalam horison superioritas dewadewa. Dengan demikian, di dalam drama, manusia selalu disimbolkan sebagai mahluk yang mungil.

Manusia di dalam drama, selain mungil, juga sering digambarkan dengan paras yang kejam. Niat dasarnya adalah bahwa manusia secara diametris berlawanan dengan idealitas dewadewa. Di atas cara demikian, manusia dibulatkan dengan defenisi yang buruk.

Drama juga sebenarnya adalah tempat tragedi dipertunjukkan. Tragedi di dalam drama, barangkali adalah cara untuk menyadarkan bahwa manusia sungguh rentan dari nasib yang sial. Sebab kehidupan yang ideal hanya dimiliki oleh dewadewa di atas khayangan. Itulah mengapa, hampir semua ceritacerita di masa Yunani purba, drama menceritakan kisahkisah sang manusia yang tak utuh untuk meraih harapan.

Di Yunani, mitos yang didramakan menjadi mekanisme publik untuk mempertontonkan pelbagai macam watak manusia. Mulai dari watak yang humanistik sampai narsistik. Dari dua kutub paras ini, entah baik dan jahat, keji atau bajik, manusiawi atau hewani, manusia selalu berpulang kepada tragedi.

Itulah sebab di dalam kebudayaan, manusia selalu ditempatkan di dalam koordinat yang jauh dari purnawatak. Mitos dalam drama, telah mengintrodusir kesadaran manusia menjadi orangorang yang inferior. Lugwig Feurbach, seorang filsuf cum antropolog  agama, dengan melihat keadaan itu, akhirnya menangkap satu pengertian dari optik yang lain; manusia memang selalu mengasingkan dirinya dalam kebudayaan yang dibuatnya. Maksudnya, kenapa manusia selalu berparas lemah dan tragis, sebab manusia hanya melihat idealitas jauh di atas khayangankhayangan, sementara dirinya selalu diartikan sebagai mahluk yang penuh kelemahan.

Di dalam maksud sebenarnya, khayangankhayangan itu disebut Feurbach berasal dari agama. Di dalam agama manusia mengasingkan dirinya dengan membangun satu dunia imajinasi kebaikan; tuhan, malaikat, surga, maupun alam kebahagiaan, dan kehidupan manusia sejatinya hanyalah tragedi.

Orangorang yang anti agama sering menyebut agama adalah sumber tragedi. Barang siapa beragama, berarti dia adalah agen aktif yang bisa memulai tragedi. Orangorang beragama adalah orangorang yang memikul beban spiritual hingga bebal. Dan tragedi yang datangnya dari agama adalah tragedi yang paling purba; peperangan.

Agama sebagai perang nampaknya menjadi kode penting tentang kebudayaan religi sang manusia. Banyak orangorang yang kerap mengucapkan agama dengan intonasi yang antagonistik. Agama dengan cara yang demikian, adalah dunia imajinasi yang mengasingkan sang manusia dari dirinya sebab yang ideal telah dilukiskan ke dalam khayangan dewadewa. Sementara yang tersisa pada manusia adalah kekejian yang berkebalikan dari apa yang dilukiskannya.

Orangorang beragama sudah seperti yang dipercakapkan Erving Goffman --sosiolog Amerika, yakni orangorang yang sering bermain peran. Goffman mengandaikan dua sisi peran manusia dalam melakoni kehidupannya. Permainan peran manusia di atas panggung kehidupan disebutnya sebagai dramaturgi.

Di dalam dramaturgi, peran kebaikan selalu diperlihatkan di atas panggung depan dengan adegan yang disorot cahaya panggung, sementara peran kejahatan, selalu disembunyikan di belakang panggung gelap yang jauh dari sorotan. Baik di atas dan di belakang panggung itulah manusia senantiasa bermain peran, entah di bawah sorot cahaya panggung dengan menampakkan kebaikan dan sebaliknya, menjadi kejam di belakang panggung.

Orangorang beragama adalah orang yang bermain lakon. Jika berperilaku baik, itu hanyalah lakon yang diperagakan di atas panggung. Apabila ia bersikap manusiawi, itu hanya karena disoroti cahaya lampu orangorang. Tapi jika lampu tak lagi menyorotnya, maka dia akan menunjukkan watak dasarnya di balik panggung. Jadi bisa jadi, orangorang beragama adalah orangorang yang pandai bermain peran, dia baik hanya di atas panggung, tetapi tidak di belakangnya.

Feurbach dan deretan orangorang anti agama bisa bersuara dengan pesimistik atas perilaku orangorang beragama. Tapi kenyataan juga punya jawabannya. Feurbach dan orangorang anti agama tidak selamanya salah. Belakangan ini banyak orangorang beragama berperan dengan paras antagonistik. Fenomena dengan terang menunjukkan betapa berbahayanya agama jika diajukan sebagai problem solving dari kehidupan yang timpang. Agama, ketika dipercakapkan dengan paras yang berbeda dari sekelilingnya, justru dengan niat sebagai pemecah masalah, malah menjadi sumber masalah baru.

Kiwari, betapa banyaknya kelompok orangorang beragama berhimpun diri, mengorganisir, dan menggunakan agama sebagai suatu kesadaran kolektif. Dari itu, agama menjadi optik untuk mempersepsi dan merasai kenyataan, dan bahkan dengan agama sebagai satusatunya jalan keluar atas segala soal. Tapi anehnya, orangorang beragama, seperti kita sering saksikan, adalah orangorang yang pandai bermain lakon. Di atas panggung seolaholah menjadi the good man, tapi tidak sebaliknya di belakang panggung.

Sang Aku dalam Cermin

Cermin adalah benda ajaib. Bagi manusia, cermin bertugas membantu keterbatasan penglihatan. Melalui cermin seorang model dapat melihat pantulan rias parasnya. Cantik, tampan, ataukah jelek, cermin banyak membantu memberikan penilaian utuh. Di jalan raya, bagi pengendara, cermin menjadi perlengkapan penting kendaraan. Bayangkan jika kendaraan tak memiliki cermin, si pengendara pasti sulit berkendara. Jika sudah begitu, polisi punya alasan tepat menjerat pengendara: ditilang.

Di kehidupan sehari-hari, kita sangat tergantung kepada cermin. Keberadaan cermin sunguh penting untuk menjaga penampilan. Bisa dibilang, di saat memulai beraktivitas, cermin menjadi perangkat pertama yang digunakan untuk melihat tampilan luar kita. Itulah sebabnya, ketika memulai hari, di setiap kamar tidur disediakan cermin untuk kita gunakan. Maka dari itu cermin juga menentukan rasa percaya diri untuk memulai beraktivitas.

Sebenarnya yang membuat cermin dibutuhkan adalah sifatnya yang dapat menangkap objek di depannya. Sifat inilah yang membuat cermin menjadi ajaib. Ia bisa merefleksikan objekobjek sesuai yang dipantulkannya. Ia bisa meniru persis objek yang di hadapannya. Juga, ia “jujur” dalam memantulkan gambaran yang ditangkapnya. 

Bagi orangorang yang berhamba kepada mode, cermin adalah barang wajib untuk dimiliki. Dan kalau perlu bisa dibawa ke manamana. Bagi perempuan era sekarang, sebagaimana bendabenda kosmetik lainnya, cermin adalah benda yang paling dibutuhkan. Dengan cermin, paras yang sering menjadi “arena mode” dapat dipoles kembali apabila ada “kejelekkan” yang melekat. Tapi tidak saja perempuan, zaman sekarang banyak juga pria yang berkelakuan seperti perempuan; pesolek.

Tapi ada cermin yang bisa mengubah citra objek menjadi berbeda dari objek aslinya. Cermin seperti ini punya kemampuan untuk memperbesar atau memperkecil objekobjek di hadapannya. Kita mengenal cermin seperti ini dengan sebutan cermin cembung dan cermin cekung. Dua cermin ini sangat jarang digunakan, sebab tak “jujur” dalam menangkap objekobjek yang di dicitrakannya. Cermin semacam ini biasanya hanya ditemukan pada arena bermain yang di gunakan untuk ajang hiburan semata.

***

Cermin yang menipu atau cermin yang tak jujur merefleksikan objeknya dalam ilmu psikolog imutakhir digunakan psikolanalis Prancis Jascues Lacan untuk mempercakapkan “aku” yang salah dalam mengenal dirinya. Menurut Lacan, dalam teori subjeknya, manusia sedari awal adalah mahluk yang tak pernah mengenal siapa “aku” yang sebenarnya. Peristiwa ini, dinyatakannya dimulai di saat pertama kali manusia mengenal dirinya melalui fase cermin. Di fase ini, usaha manusia untuk mengenal dirinya melalui pencitraan cermin, sebenarnya adalah pantulan yang sesunguhnya salah. Jadi dari yang dipercakapkannya, jika manusia ingin mengenal siapa “aku” sebenarnya, sebaliknya yang dikenalnya adalah “aku” yang lain.

Secara metafora, Lacan menggunakan cermin sebagai perangkat argumentasi bahwa manusia adalah mahluk yang tak pernah mengenal siapa “aku” yang sebenarnya. Dari perjalanan panjang peradaban, sang “aku” yang dipertukartangkapkan untuk saling mengidentifikasi satu sama lain, mengacu dari teori cermin Lacan adalah diri yang ilutif. Dalam bertukar sapa, usaha manusia membangun relasi diatas identitas “aku” bisa jadi adalah usaha yang tak bermakna. Sebab ketika kita saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya adalah identitas yang sudah ilutif dari awal.

Lalu di manakah “aku” yang sebenarnya? Itulah sebabnya barangkali manusia senang bercermin untuk mencari “aku” yang hilang. “Aku” yang hilang adalah dua tubuh yang semula tiada; tubuh psike dan tubuh socius. Tapi malangnya, tubuh psike seringkali dilupakan untuk ditemukan. Justru tubuh sociuslah yang kerap kali dicari melalui cermin. Tubuh sociuslah yang menjadi perhatian utama. Dengan cermin di sekeliling kita, tubuh socius selalu dipertahankan dengan menjaga intensitas untuk menghadap ke dalam cermin. Seringkali kita menghadap cermin, maka sebanyak itulah tubuh socius diteguhkan.

Dan memang cermin adalah benda yang ajaib. Di dalamnya “aku” tubuh socius ditemukan untuk menunjang kepercayaan diri. Dengan cermin tubuh socius disusun, dimulai dari paras, organ badan hingga ujung kaki untuk dimaksimalkan seideal mungkin. Dari cerminlah tubuh socius ditemukenali. Dari cerminlah tubuh socius direfleksikan.

Akhirakhir ini kecenderungan bercermin sudah jadi rutin. Bercermin bukan lagi kegiatan di awal waktu melalui ruang privat yang intim di kamar tidur, melainkan hampir tiap waktu di medan publik. Bisa benar bisa salah, bercermin bisa menjadi indikasi hilangnya “sang aku” dari sekalian kita. Atau bisa saja bercermin adalah usaha untuk mengkonversi kekurangan “sang aku” dari diri yang memang tak lengkap, sebab di dalam cerminlah sang pesolek menemukan semacam “keyakinan” yang menenangkan.

Syahdan, Sapardi Djoko Damono punya puisi tentang cermin, dia bilang begini: mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin// tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan terpecik ke mana-mana// dan cermin menangkapmu sia­sia.

Dimuat di Koran Tempo Makassar, Sabtu 5 September 2015

Orangorang Pembenci Kata


Aktivitas menulis sudah sepurba keberadaan manusia. Dalam sejarah peradaban, manusia sering menulis dalam banyak ragam; simbol, gambar, ataupun motifmotif. Dengan begitu menulis menjadi sifat sejarah manusia; ketika ia lahir, tumbuh dan berkembang. Bahkan aktivitas menulis adalah penanda terakhir dari manusia yang ditilap sangkar waktu; di atas nisan, aksara menjadi penyambung manusia antara ada dan tiada.

Manusia dimulai dari aksara, tapi menulis adalah permulaan peradaban. Di awal narasi penciptaan manusia, kun adalah aksara yang menandai titik mula kehidupan, sementara tulisan adalah cikal bakal kebudayaan manusia. Begitu kirakira permulaan dan perkembangan manusia. Bermula dengan aksara dan berkembang melalui tulisan.

Itulah sebabnya manusia mengolah kata. Itulah mengapa manusia mengukir aksara. Dengan begitu, manusia bertukartangkap untuk saling bertukarsapa, berkomunikasi melalui jejaring makna, dan mengembangkan kehidupan melalui kesalingpengertian.

Melalui aksara dan tulisan, membuat manusia akhirnya membangun jarak dengan mahluk lain. Aksara dan tulisan menjadi ciri sekaligus pembeda dari mahlukmahluk di sekelilingnya. Dengan itu manusia membangun ciri kebudayaannya, melalui kata melalui tata. Kata sebagai simbol dan alat tukar pemahaman, sedangkan tata adalah kemampuan teknis manusia untuk mencipta bendabenda beserta pengaturan dan pengelolahannya.

Maka itu manusia disebut mahluk yang bertutur, sebab melalui tuturan manusia menukar maksud dan pesan. Juga dengan kemampuan tata manusia disebut homo faber, mahluk pekerja. Sebagai homo faber manusia punya kekuatan mengubah nature (alam) menjadi kulture (budaya), merekayasa alam buas menjadi alam kehidupan. Dengan kata lain, melalui kata manusia membangun konsep, dengan tata manusia mengerjakan konsep.

Tapi manusia tidak selamanya menyukai kata dan malas menata. Banyak orangorang yang tidak ingin berkerja dengan kata, sebab kata diartikan ihwal yang tak punya sumbangsih kongkrit. Bergelut dengan kata disebutnya pengecut, dikarenakan kata tak bisa mengubah dunia. 

Orangorang seperti ini biasanya dengan sendirinya malas menata, dan sering kali jika menata maka tak sanggup rapi dan apik. Kenapa demikian? Karena bekerja dengan kata itu berarti kita harus sering menyusun tata bahasa, tata pikir dan jalan pikir untuk membangun maksud yang terang. 

Dengan menyusun kata berarti ada jejaring hubungan makna yang sistemik tersusun rapi di tiap relasinya. Itu mengapa, orangorang tak menyukai kata akan sulit membangun katakata dengan susunan pikiran yang baik.

Lalu siapakah orangorang yang selalu bekerja dengan kata? Di dalam sejarah peradabanperadaban, orangorang yang bekerja dengan kata selalu menjadi pusat dari lahirnya peradaban. 

Di Yunani purba, ada dua macam yang selalu bekerja dengan katakata; filsuf dan Sastrawan. Sang filsuf, membangun konsepkonsep filsafatnya melalui katakata yang direnungkan dan dipraxiskannya. Sementara sastrawan bergelut dengan kata untuk menguak tabirtabir makna yang dikandung di dalamnya. Melalui kata yang direnungkan, sang filsuf menyusun dasardasar filsafat, sedangkan dari kata yang dikuak, sang sastrawan mengasah dunia pemaknaan manusia. Akhirnya dari orangorang semisal Homer, Socrates, Plato, Aristoteles, peradaban Yunani purba bermula.

Walaupun begitu, ada juga orang yang senang bekerja dengan kata tapi punya maksud yang lain. Tidak seperti filsuf maupun sastrawan, kaum sophis barangkali adalah model orang yang sering memutar balikkan kata. Di tangan orangorang shopis, kata menjadi tak menentu sehingga makna sering kali disalahartikan. 

Apabila demikian, maka kebenaran yang dapat terungkap melalui kata, justru tertimbun jauh di balik maksud lain orangorang sophis. Ketika Socrates menyebut orangorang ini dengan sebutan orangorang yang tak bijak, kaum sophis malah emoh dan seringkali mengunjungi orangorang kaya untuk mencari uang dengan menjual katakata.

Buku sebagai sangkar katakata, peradaban sebagai tugu tata adalah dua hal yang berkaitsambut. Melalui buku peradaban dirawat, dengan peradaban buku dipertahankan. Peradaban manusia bisa dibilang dimulai dari keberadaan bukubuku. Eropa bisa terang benderang sebab buku menjadi benda yang menyebar secara massif. Kita tahu, di Eropa kuno, buku masih barang privat, hanya kepunyaan padripadri gereja, kaum bangsawan dan rajaraja. Tapi mesin cetak Gutenberg-lah yang mengubah jalan peradaban dari pusatpusat gereja, pusatpusat kerajaan menjadi milik banyak orang. Akhirnya dengan mesin cetak terjadi liberalisasi ilmu pengetahuan yang menyebar melalui cetakancetakan buku mesin Gutenberg. Dan Eropa akhirnya melek aksara.

Sementara atas peradaban buku dipertahankan dan dijaga. Sebab buku bukan saja peninggalan peradaban, tapi juga adalah benda yang mencirikan peradaban. Tak bisa dibayangkan tanpa buku peradaban bisa bertahan lama, di mana dalam konteks ilmu pengetahuan, buku memang bendabenda peradaban. Atas asumsi inilah, dari alaf sejarah, tak ada bangsa yang mampu membangun peradabannya tanpa mensyaratkan keberadaan ilmu dan pustaka bukubuku.

Walupun demikian, sejarah tak selamanya jernih dari noda peradaban. Jika ada orang yang benci dengan katakata, maka bisa saja paralel dengan sikapnya terhadap peradaban. Artinya bila katakata sudah dibenci, dengan demikian peradaban juga dibencinya. Orangorang semacam ini ditimbangtimbang jauh lebih kejam dari kaum sophis. Kaum sophis masih menggunakan kata walaupun punya motif ekonomik di balik maksud ia bekerja, sementara orangorang pembenci peradaban biasanya adalah orangorang yang bekerja dengan aksiaksi kekerasan.

Kekerasan dalam lorong gelap sejarah biasanya dilakukan oleh para penguasa  otoriter. Di hadapan penguasa, katakata tak punya tempat, karena bila kata diterima, berarti ada ruang dialog di dalamnya. Sementara dialog berarti cara bawahan untuk mempertanyakan keputusankeputusan penguasa. Sebab kata adalah asal mula negoisasi. 

Itulah mengapa banyak penguasa tak ingin dialog, karena mereka membenci katakata, karena mereka membenci pikiranpikiran. Maka di sepanjang sejarah, di mana ada pusatpusat kata berkembang, di mana ada tempattempat pemikiran bersemai, dan itu dapat membuka dialog bagi penguasa, maka kekerasan adalah tradisi yang diambil penguasa untuk memberangus.

Sampai di sini, orangorang yang membenci katakata, biasanya punya satu hal; malas bertukar pendapat.