Ramadan

PENGALAMAN puasa adalah pengalaman manusia menemukan otentisitas “sang aku”. Ia cara manusia membebaskan diri “dari” sesuatu dan “untuk” sesuatu. Agama menyebutnya  “sang aku” yang menahan  diri dari  godaan hawa nafsu, sekaligus juga untuk meraih apa yang dibilangkan agama sebagai puncak puasa: takwa.

Dengan kata lain, puasa adalah mekanisme  diri untuk kembali ke keaslian parasnya dengan taqwa sebagai puncaknya.

Mengupayakan keotentikan diri selama berpuasa sepadan dengan bunyi hadis qudsi yang mengatakan barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya. “Sang aku” yang ril disebutkan ceruk yang mampu membawa pemahaman manusia  mengenal siapa Tuhannya. Dari sang diri yang otentik, manusia dapat membangun kontak dengan Tuhannya. Bahkan diri yang otentik adalah tempat pancaran Tuhannya.

Barangkali karena itulah ramadan berarti membakar. Itulah juga arti selama berpuasa segala kecenderungan yang bersumber dari ego individual dihilangkan dengan cara berpuasa. Ibarat membakar logam untuk menemukan emas murni. Puasa adalah cara diri menempa pembakaran demi menemukan keaslian diri.

Selama ramadan, demi mencari diri otentik, “sang aku” mesti mengedepankan “kemauan Tuhan”. Mengapa “kemauan Tuhan”? Karena selama berpuasa, dalam setiap aktifitas, tidak layak memperturutkan kemauan ego disamping mengedepankan “kemauan Tuhan”. Selama berpuasa kita diwajibkan meninggalkan seluruh pekerjaan yang mengutamakan diri manusia. Semuanya mesti mengutamakan “kemauan Tuhan.” “Sang aku” diwajibkan menahan hawa nafsunya semata-mata agar jiwa melakukan semua perintah Tuhan.

Dari kacamata sufistik selama berpuasa “diri individual” dikekang dan ditiadakan demi “diri ilahiah”. Ego manusia dilenyapkan untuk memancarkan “diri-Nya”. Dengan begitu, diri ilahiah adalah diri yang “terhubung” langsung secara ruhaniah dengan Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain setiap tindakan manusia adalah cermin tindakan Tuhan. Para sufi menyebutnya berakhlak dengan akhlak Tuhan.

Itulah sebabnya, jika sebelumnya bulan Sya’ban adalah bulan milik Rasulullah, maka bulan Ramadan semata-mata bulannya Allah. Semua tindakan kita diusahakan merupakan representase kemauan Tuhan. Karena itu sering dikatakan setiap amalan selama Ramadan akan langsung dibawa ke hadapan Allah tanpa ada penghalang sedikitpun.

Dalam wacana filsafat fenomenologi, ramadan ibarat waktu destitute time-nya Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis Jerman. Destitute time, bisa dibilang merupakan situasi “kekosongan atas kekosongan”, atau dalam konotasi Heidegger sebagai keterputusan manusia terhadap “benda-benda” yang mengikat dirinya.

Menurut Heidegger, dalam situasi ini manusia akan menemukan kedaan natural atas dirinya. Manusia akan menemukan “dasar” dirinya dalam keberadaannya yang penuh. Di kondisi ini manusia mengalami dirinya dengan maksud mencari makna terdalam sekaligus menjadi tempat makna itu sendiri. Menurut kaca mata Heidegger, selama berpuasa manusia memutuskan “keaukannya” dari ikatan-ikatan artifisial yang memalsukan dirinya.

Itulah sebabnya, di batas akhir selama sebulan berpuasa, ada hari khusus untuk merayakan pembebasan “sang aku” setelah keluar dari perjuangannya menaklukkan sang ego. Di hari itu, semua manusia akan mengucap takbir dan menyebut diri telah kembali kepada makna asalnya: fitrah.

Di kondisi fitrahlah, manusia menemukan makna otentiknya. Menjadi manusia seutuhnya.



AWAL abad modern, keutuhan manusia dialamatkan kepada kemampuan berpikirnya. Je pense donc je suis, ungkap Rene Descartes. Aku berpikir karena itu aku ada.

Tapi, di era kiwari keotentikan diri selalu ditandai dengan konsumerisme. I buy therefore I am. Aku berbelanja maka aku ada. Diri otentik bukan ditandai dari perjuangannya mengendalikan hawa nafsu. Malah sang ego dipermak melalui tindakan berbelanja.

Dengan kata lain, otentisitas diri manusia modern bukan melalui perjalanan panjang membangun jarak dengan benda-benda, melainkan upayanya untuk menimbun barang-barang melalui praktik konsumeristik. Melalui semua itu, manusia modern merasa yakin telah memperbarui dirinya dengan barang-barang baru yang dibelinya.

Bahkan, keotentikan manusia kiwari banyak mengalamatkan dirinya kepada citra-citra imajinatif. Melalui dunia informasi identitas manusia menjadi jauh lebih problematis akibat bingkai dunia maya yang banyak menyuguhkan fantasi dan glorifikasi.

Arus informasi yang deras tak terkendali, menurut Heidegger hanya menciptakan apa yang ia katakan sebagai idle talk (obrolan kosong), yakni kondisi komunikasi dalam perbincangan yang tidak membicarakan apa-apa. Tidak ada makna sekali pun di dalamnya. Kata Peter Sloterdjik dalam Heidegger and the Media, “media membicarakan semua hal, namun tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa pun” (remotivi.or.id)

Di dalam idle talk, “sang aku” kehilangan dasar kontekstualnya akibat aliran deras informasi. Pemahaman “sang aku” terhadap dirinya yang otentik mengalami kegoyahan lantaran hilangnya ruang permenungan. Tak ada sama sekali waktu yang kosong dari hiruk pikuk interaksi.

Dari pengalaman itu, puasa yang bermakna transformasi ego “diri individual” menuju “diri ilahiah”  tidak sama sekali membekas sebagai praktik moral masyarakat modern. Selama berpuasa akibat “sang aku” yang masih terikat kepada dunia yang serba artifisial ia pada akhirnya hanya menjadi sebatas makna ritual ketimbang transformasional.

Lalu, apa sesungguhnya makna fitrah di hari fitri kelak? Sementara “sang aku” masih ditawan sang ego. Di medan budaya, ego menjelma menjadi pribadi yang gamang dengan identitas dirinya, di medan ekonomi, “sang aku” menyeruak membeli dan menimbun barang-barang, di medan politik “sang ego” membangun sekat sentimentalisme sempit demi kekuasaan, dan di medan hidup sehari-hari praktik kehidupan sosial lebih mudah menyimpan benci daripada menebar rahmat.

*Telah terbit di Kalaliterasi.com

Filsuf

FILSUF. Bagi Alain Badiou –seorang filsuf marxis- ikhtiar dari filsafat adalah hasratnya untuk menemukan kebenaran. Tiada filsafat yang mendakukan dirinya selain daripada ketertarikannya mencandrai kebenaran.

Menurutnya, dalam hasrat kebenaran, filsafat memiliki 4 elemen; yang pertama adalah revolt (pemberontakan), kedua, logis (logika), berturut-turut kemudian, universalitas, dan risiko.

Kisah Socrates kisah seorang revolusioner. Ia menjadi sosok yang menggerakkan pemberontakan. Filsafat di tangan Socrates menjadi medium kritik bagi situasi yang dihadapinya saat itu. Dia menjadi media pembebasan dari alam berpikir mitologi yang dipenuhi sosok dewa-dewa.

Artinya, mitos dan sosok dewa-dewa yang menopang alam berpikir masyarakat Yunani menjadi momen pemberontakan bagi Socrates. Kebudayaan dan tradisi Yunani yang berwatak irasional, dengan kata lain adalah medan Socrates mengubah cara pandang masyarakat Yunani menjadi jauh lebih merdeka.

Itulah sebabnya, tiada filsafat yang tidak mengandung perlawanan kepada keadaan sebelumnya. Inti filsafat dalam hal ini adalah konfrontasinya dengan pikiran-pikiran umum.

Filsafat dari dimensinya ini adalah pernyataan-pernyataan yang merevisi paradigma lama dengan mengajukan pandangan baru melalui kekuatan dimensi yang kedua: logika.

Logika filsafat Socrates adalah kekuatan logis dari subjektivitas rasio yang menjadi penopang seluruh argumentasinya. Ia tidak saja menjadi sumber pengetahuan, melainkan menjadi alat praktis yang berkemampuan membebaskan masyarakat dari kekuatan yang menyesatkan pikiran.

Tanpa elemen logika, filsafat di tangan Socrates tidak jauh berbeda dengan cara berpikir lama. Sebaliknya, melalui penalaran logis, menandai pikiran Socrates yang koheren dan efektif. Dengan begitu kebenaran filsafat menjadi terang dan gamblang. Di hadapan logika, tradisi diemansipasi dari kesesatan-kesesatan berpikir.

Selain itu, otoritas tradisi yang selama ini ditopang melalui kekuatan mitos, melalui penalaran logis filsafat, memungkinkan terbukanya kemerdekaan berpikir daripada ketundukan terhadap tradisi tanpa dalil-dalil yang kuat.

Dengan begitu paras filsafat yang logis dengan sendirinya mengandaikan dirinya sebagai ajakan universal kepada kebenaran. Ini artinya, setiap pernyataan filosofis mempertanggungjawabkan dirinya sebagai ajaran yang universal. Melalui bahasa, setiap kebenaran pada dirinya adalah kebenaran bagi setiap orang.

Universalitas filosofis sebagai pernyataan umum setara dengan kedudukan logika yang menjadi medium penalaran. Denngan kata lain ini sekaligus hujjah bagi dirinya yang merupakan hak bagi setiap orang ketika mengedepankan akal sehatnya. Universalitas filsafat, singkatnya adalah jalan bagi tercapainya kebenaran fundamental sebagai standar umumnya.

Artinya, sejauh manusia memaksimalisasi peran akal sehatnya, maka dengan sendirinya akan melingkupi universalitas filsafat itu sendiri. Dengan rumus yang sama, universalitas filsafat seluas pula dengan akal sehat manusia.

Terakhir, risiko adalah implikasi nyata dari kebenaran filsafat. Setiap sudut pandang yang diambil dari cara berpikir filsafat, dengan sendirinya memiliki konsekuensi berupa risiko semenjak berkonfrontasi dengan keyakinan umum.

Dalam kisah Socrates, konfrontasi filosofisnya membawanya pada risiko berupa tidak adanya kepastian mutlak selama penggalian filosofisnya masih berjalan. Risiko filsafat dalam hal ini adalah implikasi dari kebenarannya yang mengubah sudut pandang hingga membuatnya dalam keadaan yang terus bergerak. Dengan kata lain, melalui penyelidikan mendalam, secara epistemologis, kebenaran filsafat adalah sesuatu yang terus bergerak dan berubah. Risikonya adalah seseorang dituntut berkemampuan menerima segala jenis kemungkinan-kemungkinan yang menyertainya.

Secara sosial, Socrates menghadapi kecaman dari keyakinan umum yang menganggapnya sebagai orang yang patut dikucilkan. Ia mengalami pengasingan sebagai risiko sosial akibat menanggung universalitas filsafatnya. Bahkan, risiko Socrates yang paling utama dari kebenaran filsafatnya, adalah menanggung kematian.

Syahdan, menurut Alain Badiou, di era kontemporer, hasrat kebenaran filsafat mengalami empat tantangan sekaligus melalui empat dimensinya: dunia yang terspesialiasi melalui diferensiasi sosial (pluralisme), penyebaran informasi yang tidak koheren satu dengan lainnya (nonlogis), dunia yang menyediakan kebebasan sebagai prinsip kehidupan (kemustahilan pemberontakan), dan keengganan masyarakat mengambil risiko kebenaran dengan memilih hidup mapan (risiko). Empat tantangan ini, menurut Alain Badiou mesti segera diselesaikan untuk mengubah keadaan filsafat yang semakin kehilangan relevansinya. Lalu, bagaimanakah tugas filsuf itu sebenarnya?


Ziarah dan Ego


ZIARAH. Ziarah, jika ia adalah tali jangkar, barangkali di ujungnya juga adalah perjumpaan.

Tapi, ia juga sekaligus ikatan penting bagi jiwa manusia. Jiwa manusia ketika ia dibelah, kedua-keduanya adalah potongan dari dunia yang transenden. Di dunia itu, jiwa manusia diingatkan dari mana ia berasal. Di tempat itu jiwa manusia kembali diteguhkan, untuk apa ia mesti berpulang.

Dengan begitu, ziarah adalah tangga di antara dua dunia, namun juga sekaligus ikatan perjumpaan kepada rumah sejatinya.

Kedudukan manusia seperti dinyatakan para mistikus mempunyai jiwa yang menancapkan kaki-kakinya di dunia spiritual. Makhluk bidimensional kata Ali Syariati, seorang sosiolog Islam. Manusia dalam percakapan Ali Syariati ini sekaligus mendakukan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua lapisan diri.

Lapisan pertama, adalah kulit manusia yang berinteraksi melalui unsur-unsur biologisnya. Para ahli membilangkan manusia dari sisi ini adalah zoon politicon: makhluk yang berinteraksi dengan kebutuhan-kebutuhan praktisnya di dunia publik; sebagian lagi menyebutnya homo economicus sebagai eksistensi yang berkemampuan hidup melalui interaksi tukar tambah; juga sebagian lagi menyebutnya makhluk berbudaya, yakni makhluk yang hidup melalui makna-makna yang ia ciptakan.

Di lapisan pertama, manusia menggunakan kepingan jiwanya demi utuhnya keberadaannya secara fisik-biologis. Tapi kadang, lapisan kulit pertama seringkali menjatuhkan manusia ke dalam tanah yang lempung. Kata Ali Syariati, kesejatian manusia dilahirkan dari tanah yang berlumpur. Akibatnya, ia alih-alih menjadi simbol jatuhnya eksistensi manusia.

Namun, "apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". Ruh dengan kata lain adalah entitas asal dari jiwa manusia. Dituliskan melalui metafora Al Quran, Ia, Wujud di atas wujud, meniupkan dirinya kepada manusia yang terikat tanah. Sesuatu yang menjadi asal tapi juga jurang kejatuhannya.

Ali Syariati mendudukkan ayat di atas sebagai narasi penciptaan yang mendudukkan manusia sebagai makhluk yang memiliki lapisnya yang kedua: ruh spiritual. Melalui inilah, seperti kisah burung-burung dari syair-syair Fariduddin Attar, jiwa manusia mengepakkan sayapnya menuju puncak-puncak tertinggi untuk mengenal asal dirinya.

Dengan kata lain, manusia yang tercipta dari tanah, asalnya yang kotor menjadi juga tumpuannya untuk bangkit melalui kejatuhannya. Ia mesti merangkak naik menuju dunia spiritual tempat kepingan sebelah jiwanya yang lain.

Barangkali karena itulah, kata "sujud" dalam narasi di atas lebih menggambarkan suatu arti yang menunjukkan kejatuhan eksistensi manusia sekaligus cara ia merangkak naik. Sujud adalah penanda jiwa manusia mengartikan dirinya yang rendah tapi juga jalan baginya menggapai ketinggian kedudukan spiritualnya.

Itulah sebabnya, kata Ali Syariati jiwa manusia mesti dibebaskan melalui cinta. Hanya melalui cintalah sujud menjadi cara manusia menunjukkan kebangkitannya dihadapan eksistensi Maha Cinta. Suatu cara yang disebutnya jalan kemerdekaan manusia bagi jiwanya.

Tapi, kelak jika jiwa kembali jatuh di asalnya yang rendah (tanah yang kotor), di saat itulah jiwa manusia terjerat ego. Dia justru melupakan tanah seberang tempat asalnya yang sejati.

Era kiwari, ego manusia lebih banyak mengambil alih jiwa. Di kerendahan lempung tanah, ego manusia sulit merangkak naik menuju alamat abadinya. Melalui sesat pikir jabatan, nama tenar dunia, ikatan harta berlebihan, sentimentalisme agama, dan cinta terhadap kekuasaan, membuat jiwa terperangkap jauh di kubangan ego.

Syahdan, seperti pendakuan Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa, manusia modern lantaran ditawan ego adalah orang-orang yang ditinggal pergi cinta. Dia menyebutnya manusia yang lebih menyukai "dicintai" dari pada "mencintai". Akibatnya, orang-orang modern sukar berempati terhadap orang lain. Mereka lebih suka menerima dari pada memberi.

Dengan kata lain, manusia modern hari ini lebih banyak membangun ikatan melalui pengertian lapisan kulit pertamanya. Mereka sibuk mengedepankan interaksi materialnya daripada mengutamakan kulit kedua yang menghubungkannya dengan suatu tatanan transendental "di atasnya".

Di konteks demikian itu, ziarah menjadi penting. Dia adalah jalan yang membangkitkan memori manusia untuk menengok asalnya. Melaluinya, sekali lagi ego yang memenjara jiwa dibebaskan dari ikatan-ikatan material menuju kebangkitannya.

Secara moral, ziarah juga berarti upaya saling mengunjungi, saling mendatangi dengan mengedepankan empatik terhadap sesama. Ziarah dengan kata lain menjadi modal sosial yang menghubungankan jaringan interaksi yang semakin hari mengalami atomisasi.

Hari-hari esok, ketika ramadan tiba, selama itu perhelatan ziarah akbar akan mengajak jiwa-jiwa manusia kembali pulang ke kampung halamannya. Dia diingatkan, jangan sekali-kali pernah jatuh akibat genangan lumpur, tapi tengoklah lapisan jiwa paling dalam melalui perjalanan ruhani. Di situ suatu alamat pulang sudah dari awal disematkan untuk saling berempati sekaligus tangganya menuju keabadian.


Alienasi

ALIENASI. Siapapun ketika menjadi buruh, ia kehilangan kebebasan hakikinya. Buruh adalah warisan panjang dari zaman yang timpang. Ia adalah narasi orang -orang yang kalah. Orang-orang yang tercerabut kemerdekaannya.

Sudah semenjak lama ketika roda sejarah berputar: budak, hamba sahaya, dan kini kelas pekerja, diteruskan ambisi suatu golongan masyarakat yang mensegregasinya menjadi golongan-golongan. Dari sejarah demikian itu, buruh dipekerjakan, dikuasai, dan dihisap melalui suatu aktivitas kerja.
Tapi, kemerdakaan bukanlah berkah bagi kelas pekerja. Dengan kata lain, ia bekerja bukan dalam keadaan yang sejati. Tidak dalam keadaan merdeka.

Marx membedakan, pekerjaan yang merdeka itu karena didorong oleh suatu ikhtiar yang bebas. Tanpa tekanan dan intimidasi. Sedangkan buruh di bawah sistem kapitalisme menjadi mahluk determinis. Ia bekerja atas dasar tekanan dan paksaan.

Itulah sebabnya, kerja di bawah bayang-bayang kapitalisme justru tidak manusiawi. Ia menjadi proses alienatif. Kerja yang sejatinya sebagai realisasi kemanusiaan akhirnya berubah menjadi momok yang eksploitatif.

Pertama, ia tercerabut dari hasil kerjanya. Seorang pekerja sepatu, sehari-hari menghasilkan sepatu. Di pabrik-pabrik ia mengeluarkan satu-satunya yang dimilikinya: tenaga. Dari itu tercipta sepatu yang sehari-hari dijual pabrik di etalase-etalase. Namun, sepatu itu bukan miliknya, walaupun itu lahir dari tangannya.

Sepatu itu pada akhirnya bukan lagi materi yang padat. Bukan lagi seperti semula sebagai bahan-bahan yang disentuh tangannya. Ia, kata Marx, tiba-tiba "menguap begitu saja di angkasa". Kapitalisme-lah yang mentransformasikannya: semula hasil pekerjaan sang buruh, tapi dia "menguap" di etalase pasar.

Kedua, sang buruh menjadi manusia yang kehilangan dimensi sosialnya. Waktunya banyak ia berikan untuk pabrik. Selama lebih dua belas jam ia tak bisa menikmati waktu senggangnya. Ia tak bisa bersosialisasi sebagai anggota masyarakat: berinteraksi, berbelanja, jalan-jalan, menonton film, liburan, sekolah, dlsb. Singkat kata, ia menjelma mahluk asosial. Terasing dari lingkungan sosialnya.

Pada akhirnya akibat dua kenyataan di atas, sang buruh teralienasi dari dirinya sendiri. Dia tidak mampu merasakan produk kerjanya sendiri lantaran sistem jual beli pasar mentransformasikan sepatu yang dibuatnya menjadi lebih mahal dari upah yang diterimanya. Manusia yang sejatinya mahluk sosial, akibat jam kerja padat dan panjang, membikinnya berjarak dari hakikat dirinya. Dia menjadi asing atas dirinya sendiri.

Kerja macam demikian di era modern menjadi mesin raksasa yang menggerakkan sejarah. Di pabrik-pabrik, buruh bekerja bersebelahan dengan mesin-mesin yang mengambil alih tenaga manusia; di kantor-kantor: para karyawan bekerja mengolah berkas-berkas melalui meja birokrasi berlapis-lapis; di institusi-institusi pendidikan, tenaga pengajar memeras otak melalui mesin kurikulum; dokter-dokter, guru-guru, jurnalis, para hakim, sastrawan, pengacara, pramugari, seniman, programer dlsb. (profesi yang belakangan dikatakan Antonio Negri sebagai buruh immaterial), ketika semuanya hanya “menukarkan” keahlian dan tenaga di bawah sistem akumulasi modal, maka di situ-lah hak milik lenyap diambil alih “sistem raksasa” yang disebut kapitalisme.

Syahdan, kerja di hari ini tidak lagi menjadi medium maksimalisasi nilai kemanusiaan, justru sebaliknya: modal.

Modal dengan begitu adalah pokok tapi juga sekaligus momok. Dia berfungsi melipatgandakan kekayaan, alat tukar, tapi ia juga sebagai alat eksploitasi.

Dalam sejarah kontemporer, modal bertransformasi menjadi informasi: sesuatu yang beberapa dekade belakangan menggerakkan, menghubungkan, dan menguasai interaksi orang-orang, menjadi modal utama ketika dia disebut “kecerdasan umum”. Kecerdasan umum (general intellect) seperti yang dibilangkan Marx adalah kecerdasan kolektif yang diprivatisasi lantaran dia menjadi standar universal mengetahui segala jenis pengetahuan teoritis dan praktis tentang sesuatu.

Itulah sebabnya misalnya, Mark Suckerberg melalui perusahaannya banyak meraup keuntungan bukan lantaran aplikasi yang diciptakannya, melainkan karena facebook menjadi standar universal dalam berkomunikasi. Dengan kata lain, ia merebut segala ruang komunikasi dan memonopoli jalur informasi dari jenis aplikasi sepertinya. Dia menguasai pengetahuan dan melegitim “hak kekayaan intelektual” dari segala yang berkaitan dengan facebook.

Pendidikan sebagai tempat pengetahuan kolektif, di dalam skema kapitalisme kontemporer, menjadi bagian dari skema terbentuknya “kecerdasan umum”. Ia bertindak sebagai wadah yang memproduksi bahasa, simbol, dan teks dalam rangka tindak lanjut dari produksi kapitalisme yang semula bersifat material menjadi simbolis. Melalui fungsi ini, intitusi pendidikan menjalankan fabrikasi menyiapkan tenaga-tenaga kerja ahli sesuai pekerjaan perusahaan-perusahaan.

Inilah juga mengapa ilmu pengetahuan dalam skema kapitalisme pada akhirnya diprivatisasi melalui intitusi-intitusi pendidikan (inilah dasar mengapa tenaga ahli melalui ijazah menjadi indikator pekerjaan).

Belakangan, pendidikan justru berubah mengenaskan. Alih-alih membebaskan manusia dari “situasi asal” menjadi “situasi merdeka”. Di saat yang lain, ia menjadi sumber kecemasan: biaya yang tinggi, kurikulum yang padat, penyelenggaraan yang semrawut, tenaga pengajar yang tidak kontekstual, penelitian-penelitian pesanan dan sekolah-kampus yang jadi elit.

Ia dengan kata lain menjadi asing bagi orang banyak. Ia menjadi lingkungan privat. Bahkan, pendidikan akhirnya menjadi tidak membahagiakan.

Pendidikan dengan begitu, sama halnya dengan aktivitas kerja buruh yang mengasingkan dirinya. Murid-murid, mahasiswa-mahasiswa, di jam-jam belajarnya, seolah-olah buruh pabrik yang terasing. Ilmu yang diprivatisasi, mengasingkan dirinya dari ilmu yang tidak kontekstual. Ilmu lantaran diproduksi melalui “teks kekuasaan” kenyataannya membikin pembelajar tercerabut dari fenomena hidupnya sehari-hari. Ilmu menjadi tidak praktis.

Pada akhirnya, pendidikan melalui intitusinya menjadi “ruang publik” yang sama sekali tidak “publik.” Di dalamnya, nasib publik sama sekali samar-samar mulai hilang. Lantas justru menjadi menara gading. Terasing.

Idola

IDOLA. Eike agak kesulitan mencari cara tepat menuliskan perbedaan idola dan kebenaran. Mengingat belakangan, idola dan kebenaran dianggap identik. Bahkan dalam politik, idola dilihat sebagai representasi kebenaran itu sendiri.

Padahal idola kadang mengecoh. Ia bahkan tidak pernah bermakna apa-apa selain empity: kekosongan.

Dalam ilmu sosial (sosiologi), ada teori dramaturgi yang diperkenalkan Erving Goffman. Teorinya membilangkan setiap manusia menarasikan dirinya berdasarkan peran yang ingin ia bangun di atas panggung. Dunia sosial adalah panggung dunia peran. Begitu pendakuan Goffman.

Sayangnya, manusia memiliki sisi yang sering ia sembunyikan di belakang panggung. Di atas panggung barangkali ia memainkan peran protagonis, tapi sebaliknya berbeda ketika di belakang panggung. Ia menjadi mahluk yang sama sekali berbeda dari perannya di atas panggung.

Idola adalah peran yang disesuaikan di atas panggung. Ia disusun, dibentuk dan direkayasa. Di hadapan sorot mata orang-orang, idola adalah persona yang mengidealkan ekspektasi orang banyak. Ia kasatnya sedang bermain peran sesuai harapan orang-orang yang melihatnya.

Ketika dibelah, dunia interaksi manusia ditopang melalui dua panggung peran. Pertama, Erving Goffman menyebutnya front stage; ia adalah sisi depan panggung. Ruang pertunjukkan yang disaksikan banyak orang. Di front stage inilah, setiap idola bermain peran. Ibarat teater; sang idola mempermainkan karakter ciptaan sebagai image. Kedua adalah back stage: ini adalah sisi panggung yang tersembunyi dari pantauan orang-orang. Di sisi inilah, peran berhenti dimainkan. Sang idola kembali kepada karakter dasarnya.

Akibat panggung depan dan panggung belakang sama sekali berbeda, maka ia sesungguhnya merepresentasikan dua sosok yang juga berbeda. Ia menampilkan dan menyembunyikan dua sosok sekaligus di atas panggung. Di atas panggung sang sosok menampilkan “aku ideal” sekaligus menyembunyikan “aku real” bersama-sama. Sementara di belakang panggung “aku real” menunda “aku ideal” yang banyak berperan di atas panggung.

Dua panggung ini dengan kata lain adalah medan kontradiktif yang menunda sekaligus mengacaukan peran sesungguhnya “aku ideal” dan “aku real”. Saling bertukarnya dua peran ini pada akhirnya mengacaukan juga siapa yang sebenarnya menjadi image sesungguhnya.

Itulah sebabnya kamus Meriram-Webster’s menguraikan sembilan makna idola sebagai representative or symbol of an object of worship (perwujudan atau simbol dari sebuah objek peribadatan). False god (tuhan palsu), a likeness of something (sesuatu yang menyerupai), retender (orang yang suka berpura-pura), impostor (penipu yang lihai), a form or appereance visible but without substance (bentuk atau penampilan yang terlihat namun tak bermateri), an enchanted phantom (momok, hantu, setan yang memesonakan), an object of extreme devotion (obyek yang sangat digemari), ideal (idaman), a false conception (konsep yang salah), fallacy (pikiran yang keliru).

Asal usul kata idola berasal dari bahasa Yunani eidolon yang berarti “image” atau “form”. Dalam filsafat Yunani, filsuf yang memandang rendah “image” adalah Platon. Dia menganggap, filsafat harus menangkap “isi” bukan “image”. Kebenaran hakiki dalam hal ini menurut Platon bukanlah “citra” atau “penampakan” benda-benda melainkan “substansi” benda itu sendiri.

Itulah sebabnya, di masa Platon hidup, dirinya memandang sinis pekerjaan seorang seniman. Seorang seniman, menurut Platon hanyalah orang-orang yang mempertunjukkan “image”, “citra” dan “bentu-bentuk” di atas panggung. Teater mereka hanyalah “menduplikasi” substansi dari segala sesuatu.

Alkisah, di masa hidup Nabi Musa, pengikutnya pernah “dikritik” Al Quran akibat menciptakan tuhan palsu berupa lembu emas. Kala itu, ketika Musa pergi selama 30 hari, seseorang bernama Samiri menciptakan patung lembu untuk mengembalikan keyakinan umat Musa kepada keyakinan sebelumnya. Singkat cerita tidak sedikit yang teperdaya ajakan Samiri untuk menyembah patung buatannya.

Konsep idola jika ditelusuri asal usulnya, ditemukan dari kisah umat Nabi Musa di atas. Di kisah itu, Tuhan direplika Samiri melalui patung lembu emas. Bahkan tidak sekedar direplika, lembu emas justru menjadi Tuhan itu sendiri. Momen ini juga diabadikan Al Quran untuk menarasikan suatu pengertian yang kelak disebut idolatry.

Idolatry dalam kisah Nabi Musa adalah pembendaan tuhan melalui pencitraan lembu emas. Tuhan diidentikan menjadi lembu emas. Pemujaan terhadapnya disebut pemberhalaan. Era kiwari, idolatry tidak sekedar memuja benda-benda, melainkan sosok minus pokok. Sosok tanpa pokok itulah yang disebut idola.

Dengan kata lain, ia adalah empity: kekosongan.

Tapi, sayangnya sudah dibilang sebelumnya, dunia sosial adalah dunia peran. Idola yang hari ini tampak di panggung-panggung hanyalah “bentuk-bentuk”, “citra-citra” semata. Dia bukanlah wakil absah dari suatu keyakinan. Ia, sekali lagi hanyalah kekosongan.

Lalu bagaimanakah keyakinan dapat dibuktikan keabsahannya sebagai suatu prinsip kebenaran? Dalam kitab Raudhah Al-Wa’idhin Imam Ali bin Abi Thalib menyeru: “Kebenaran tak dikenal dari orangnya (pelakunya). Kenalilah kebenaran maka kau akan mengenal pelakunya.”