Danny, Kerja, dan Kebebasan


”KERJA bagai kuda.” Entah dari mana istilah ini berasal. Kenyataannya, suatu waktu, sambil melucu istri saya pernah melontarkannya. Satir memang, mengingat ia sering menghabiskan lebih banyak waktu bekerja di luar ketimbang saya yang lebih banyak berleha-leha di rumah.

Kami berdua bukan aparatur sipil negara, tapi rasa-rasanya kami membutuhkan kepastian lebih pasti  mengenai penghasilan di akhir bulan dibanding kebanyakan pegawai negeri sipil.

Bagi sepasang keluarga muda ada tiga hal pokok yang mesti diperhatikan baik-baik. Kalau perlu mesti diperjuangkan mati-matian: tempat hunian, penghasilan tetap, dan  pekerjaan yang pasti.  

Ketiga kebutuhan ini saling melengkapi. Satu saja tidak dapat direalisasi, hancur berantakan keduanya.

Saat menulis ini saya sedang membaca Dataran Tortilla karangan John Steinbeck. Belum selesai memang, tapi cerita Steinbeck sudah memukau saya dari awal. Dataran Tortilla, sejauh yang saya baca berkisah tentang Danny dan ketiga sahabatnya yang tinggal di sebuah rumah warisan tak begitu megah di sebuah kawasan bernama dataran Tortilla, Monterey, Amerika Serikat.

Danny dan sahabat-sahabatnya adalah penganguran. Hidup mereka berjalan apa adanya. Bebas dan tak terduga, mengalir dan bergerak sesuai ide-ide konyol yang mereka cetuskan begitu saja.

Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, kadang mereka meminta sisa-sisa makanan restoran, menukar barang curian dengan sepotong roti, mencari kayu pinus untuk dijual, atau meminjam uang demi sebotol anggur untuk mereka nikmati bersama.

Bahkan mereka bisa saling menipu satu sama lain demi mengisi perut kosong dan mabuk-mabukkan.

Di luar kekonyolan mereka, sehari-hari persahabatan adalah segalanya. Empati sesama orang susah dan bernasib kurang mujur membuat mereka bagai kerumunan srigala. Susah senang tidak ada bedanya.  

Danny, dan sahabat-sahabatnya, Pilon, Pablo, dan Jesus Maria selalu mewakili semangat kelas proletariat Steinbeck yang kerap muncul dalam karang-karangannya. Mereka semua diidentikan sebagai masyarakas kelas bawah, tapi juga orang yang tak ambil pusing dengan soal-soal tagihan listrik, uang sekolah, kredit kendaraan, pajak, tabungan masa depan, pasangan hidup, tempat tinggal, dlsb.

Singkatnya, Danny bersama sahabat-sahabatnya adalah suatu dunia tanpa kerja. Tidak ada sekalipun Steinbeck menceritakan tokoh-tokohnya terikat pekerjaan dengan jam-jam kerja bagai penjara. Justru mereka dalam arti tertentu adalah para free man yang tak terikat beragam soal.

Setiap tokoh adalah pribadi yang unik dengan keluguan dan cara berpikir masing-masing. Mereka seolah-olah manusia-manusia yang tidak hidup dalam lintasan sejarah: pikiran mereka hanya untuk menikmati waktu sebebas-bebasnya, saat ini dan di sini.

Dengan kata lain, Danny dan kawan-kawannya adalah antitesa bagi masyarakat kapitalistik. Antinomi dari masyarakat berbudaya tinggi. Lawan dari kelas ningrat yang memuja-muja status sosial. Dan bahkan mereka adalah suatu dunia yang sulit diimajinasikan melalui cara pandang masyarakat dominan.

Dunia kiwari mesti belajar dari kehidupan Danny dan sahabat-sahabatnya. Bagaimana ia melihat dunia melalui kacamata kebebasan tanpa terikat kepada sistem, institusi, kekuasaan, kelompok, dan ideologi tertentu yang banyak menuntut pertanggungjawaban. Danny dan sahabat-sahabatnya adalah suatu sistem kehidupan sendiri yang memiliki kemampuan mengatur hidupnya secara mandiri dan otonom tanpa dominasi apa pun.

Jika hari ini banyak orang ditawan pekerjaan yang menyesakkan, Danny dan sahabat-sahabatnya malah memilih suatu pengertian kerja yang lain. Dalam kehidupan Danny tidak ada jadwal kerja, tidak ada pimpinan kerja, tidak ada tempat kerja, dan juga tidak ada aturan kerja, semuanya diasalkan kembali melalui otonominya. Bebas menentukan waktu dan tempat dalam rangkaian acak kejadian-kejadian yang ia alami.

Ia bahkan seperti ungkapan filsuf-filsuf eksitensialis: bebas merealisasikan dan mengekspresikan kehendaknya.

Dengan begitu, cara hidup Danny adalah cara hidup yang menghancurkan dunia kerja, yang merupakan bagian dari skema besar atas nama akumulasi modal. Ia menolak menjadi bagian dari sistem, diperas tenaga dan waktunya demi keuntungan yang tidak diperuntukkan untuknya.

Singkatnya, Danny dan sahabat-sahabatnya enggan didehumanisasikan. Menolak sistem kerja yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri.

Sampai di sini, saya kembali merenungkan celoteh istri saya di atas: ”kerja bagai kuda”. Jangan-jangan kita selama ini bagian dari berjuta-juta manusia yang diperlakukan bagai kuda. Dihisap tenaganya, dilucuti pikirannya. Tercerabut dari hakikat diri sendiri.

Dialogi Pesona Sari Diri


Judul: Pesona Sari
Penulis: Sulhan Yusuf
Penerbit: Liblitera
Edisi: Pertama, 2019
Tebal: 530 hal
ISBN: 978-602-646-23-1

--Apresiasi buku Pesona Sari Diri karangan Sulhan Yusuf

ALKISAH, seorang pria tampan terpesona melihat cerminan parasnya di permukaan air. Ia lama termangu seolah-olah paras yang ia lihat tiada bandingan sebelumnya. Dalam kisah sastra Yunani klasik, cerita ini diabadikan dalam Methamorposes karangan Ovid. Diceritakan lebih jauh, Narcissus, nama pria rupawan ini, dikutuk dewa karena angkuh terhadap Echo. Ia menolak cinta Echo dan lebih memilih mencintai sosok yang ia lihat di atas permukaan air, yang tiada lain adalah dirinya sendiri.

Narsisme, nama penyimpangan mental dalam psikologi diambil dari kisah Narcissus di atas. Barang siapa yang terpesona dengan dirinya sendiri, memuja-muja secara berlebihan dirinya, dikatakan mengidap narsisme. Kiwari, narsisme sangat gampang ditemui. Fenomena selfie berlebihan adalah contoh mutakhir betapa masyarakat sekarang sadar tidak sadar banyak mengidap mental disorder berupa narsisme.

Buku Pesona Sari Diri karangan Sulhan Yusuf ini, bukan bicara gejala narsisme. Walaupun berpangkal kepada ”diri” sebagai dasar semua karya tulisnya, di buku ini malah secara impilisit mengejek orang-orang pengidap narsisme. Banyak orang terpukau dengan ”diri” fisiknya: paras rupawan, gaya hidup, jabatan, harta dlsb., tapi lupa mengingat ”diri” nonfisiknya: jiwa, ruh, dan akalnya. ”Diri” yang belakangan disebut ini, alih-alih diberikan perhatian lebih, malah dilupakan oleh masyarakat mutakhir belakangan.

Problem mendasar tak kalah dahsyatnya di masa sekarang  adalah masalah otentisitas diri. Banyak masalah di negeri ini yang disinyalemen karena kegagalam masyarakat mengenal dirinya. Pemahaman atas “diri” kian runyam karena kuatnya “otoritas kebanyakan” dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi individu. Orang-orang hanya akan berarti jika ia bersama “massa” dominan dari pada menemukan makna dari perenungan dirinya sendiri.

Dalam esai ketiga di buku ini, Sulhan Yusuf menggunakan istilah unik mengenai  diri, yakni sari diri. Seringkali dalam percakapan kita mengenal istilah jati diri. Istilah ini menunjuk kepada inti kepribadian manusia yang terbentuk dalam waktu panjang. Sebagaimana pohon jati, inti kepribadian inilah yang sejati, kuat, dan asli, karena membawa karakter dasar manusia. Seringkali ada pertanyaan “siapakah engkau?”, atau ungkapan permenungan “siapakah aku?”, yang keduanya sama-sama mencari tahu “jati” diri otentik seseorang.

Esai dengan judul Memberilah Dengan Sari Diri, lebih metafor lagi dari istilah jati diri. “Sari diri” jika membaca esai ini disimpulkan sebagai kemampuan manusia memberikan pemberian terbaik kepada calon penerima. Dalam praktik beri-memberi, Sulhan menganjurkan berilah pemberian kepada orang lain sebagaimana itu adalah dirimu sendiri. Posisikanlah orang lain adalah dirimu yang layak mendapatkan hal terbaik. Sesungguhnya pemberian yang layak, sama halnya bagaimana madu lebah menghasilkan rasa manis bagi lidah pengecapnya.

Anjuran moral demikian banyak ditemukan di hampir semua esai buku ini. Yang tidak kalah menarik adalah esai berjudul Generasi Sofa dan Kentang. Esai ini tanpa tedeng aling-aling mengkritik perilaku individual generasi milenial. Mayoritas generasi sekarang adalah generasi digital native yang dibesarkan di tengah teknologi digital berupa smartphone. Melalui smartphone, generasi milenial dapat ”berkeliling” dunia walau tanpa kemana-mana. Sangat gamblang perilaku demikian dinyatakan Sulhan sebagai generasi yang tinggal duduk di atas sofa sambil mengemil keripik kentang dan telah merasa melakukan banyak hal melalui smartphonenya.  

Generasi sofa dan kentang jika bukan satire, malah dapat disebut ironi. Bagaimana mungkin dari segi usia produktif, generasi milenial lebih banyak berdiam diri menekuri gawainya berjam-jam tanpa henti. Ironi ini justru semakin terasa gaungnya jika generasi sofa dan kentang diidentikkan dengan generasi yang emoh keluar dari zona nyamannya. Saking nyamannya, generasi milenial justru menjadi generasi tanpa tanggung jawab sosial.

Fenomena hijrah dialami hampir di semua lapisan sosial belakangan ini, juga tidak luput dari nukilan buku ini. Menariknya, konsep hijrah tidak semata-mata diartikan sebagai peristiwa perubahan keimanan seseorang menjadi lebih religius belaka. Dalam salah satu esainya, Sulhan Yusuf memberikan konsep lain dari hijrah berupa tonggak perubahan yang terkait dengan perubahan tatanan sosial secara fundamental. Tujuan hijrah sebagaimana Rasulullah melakukannya adalah pembangunan masyarakat egaliter dan setara. Artinya, puncak hijrah seseorang seperti bagaimana nabi melakukannya adalah revolusi sosial.

Nuansa kritis yang ditemukan dalam esai bertemakan hijrah di atas dapat pula dijumpai pada esai lainnya.  Dalam Sepak Bola, Religiusitas, dan Spiritualitas, penulis mengangkat fenomena cara masyarakat beragama dari tilikan religiusitas dan spiritualitas. Menurut penulis, dua hal ini berbeda untuk mengatakan tidak saling memunggungi. Religiusitas adalah doktrin agama yang diwarisi dari para nabi atau padri agama, sementara spiritualitas adalah penghayatan doktrin agama yang dialami pelaku agama itu sendiri. Religiusitas umumnya menampakkan dirinya dari ciri-ciri fisik agama, sedangkan spiritualitas seringkali diukur dari akhlak penganutnya.

Syahdan, Pesona Sari Diri memang bukan bermaksud berkhotbah. Ia malah ditulis seperti orang yang sedang mengobrol. Ringan, jenaka, satire dan kadang-kadang ironi. Karena gaya bahasanya demikian, tidak ada kesan otoritatif dari teks buku ini untuk memaksakan suatu pemahaman kepada pembacanya. Malah buku ini, diam-diam mengajak pembacanya untuk melakukan satu hal yang luput dilakukan selama ini: “Siapakah Aku ini?”

*Telah terbit di Harian Fajar, Minggu 21 Juli 2019


Petualangan Si Lugu dan Voltaire


Judul Buku: Candide
Penulis: Voltaire
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: 2016
Cetakan ke: Pertama 
ISBN: 978-602-424-160-5

”Untuk apa dunia ini diciptakan?” tanya Candide.

”Untuk menjengkelkan kita,” jawab Martin.


CANDIDE diam-diam adalah novel yang jenaka, tapi juga dibubuhi ironi. Voltaire, penulis buku ini tentu punya maksud tertentu mengapa ia menulis dengan banyak satire di dalamnya.

Cek per cek, ternyata buku ini adalah wujud lain dari pandangan filsafatnya. Dicek lagi lebih dalam, buku ini bukan menceritakan sembarang kisah. Selain menyiratkan kritikan terhadap Leibniz, Voltaire dengan gaya menulis tempo cepat tengah mendedahkan suatu pemahaman berkaitan dengan kosmologi bahwa dunia tidak seperti yang kerap diharapkan. Antara idealitas dan realitas kadang saling memunggungi, bahkan meniadakan.

Candide dilihat dari satu sisi seperti kisah petualangan Don Quixote karya Miguel Cervantes. Bahkan keluguan karakter Candide—namanya saja sudah berarti lugu, mengingatkan saya kepada Schweik, si tentara polos dan tolol ciptaan Jaroslav Hasek. Petualangan dan keluguaan inilah yang banyak mewarnai kisah Candide. Uniknya, keluguan ini bukan keluguan kacang-kacangan. Voltaire mendudukkannya dalam kaitannya dengan filsafat.

Filsafat seringkali dianggap sebagai ilmunya orang-orang yang besar rasa ingin tahunya. Dalam fenomenologi, barang siapa ingin berfilsafat ria, seseorang mesti berperilaku seperti anak-anak kali pertama menyaksikan sesuatu. Polos plus takjub dengan fenomena yang belum pernah disaksikan tiada duanya. Lantaran ketakjuban inilah filsafat baru dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu.

Candide—sesuai namanya adalah murid lugu dari Pangloss, si jenius filsafat yang hidup di dalam istana. Ia bahkan disebut sebagai filosof paling hebat di seantero Imperium Suci Romawi. Mereka berdua diibaratkan Socrates dengan muridnya, Platon, yang kerap berdiskusi mengenai apa saja. Hanya saja, Candide dan Pangloss versi satire a la Voltaire. Belakangan ketika jalan cerita semakin panjang, akan semakin tampak mengapa Voltaire terkesan mengejek filsafat rasionalis melalui dua figur yang secara ironi mempelajari filsafat.

Kisah petualangan Candide didorong peristiwa yang sebenarnya tidak terduga. Ia ditemukan berciuman dengan Cunegonde, putri seorang baron bernama Thunder-ten-tronch setelah tanpa sengaja berpapasan di balik sebuah ruangan. Malang nasib mereka berdua. Pasca kejadian mesum itu, Candide diusir dari istana tempatnya hidup, dan Cunegonde, yang digambarkan cantik, rupawan, dan bertubuh montok, jadi korban amarah ibunya.

Pasca Candide terusir dari istana, petualangannya tidak akan pernah dapat ia tebak. Semula ia menjadi tentara yang membawanya ke dalam perang yang ia tak pahami seluk beluknya. Ia ditangkap dan kemudian dibebaskan dari hukuman 2000 resimen karena dipandang raja sebagai orang dengan kemampuan ahli metafisika. Kemudian ia melarikan diri dan sampai di Portugis dengan sebelumnya berjuang dengan kapal yang karam. Di perjalanan itu ia bertemu kembali Pangloss, guru filsafatnya yang ternyata menjadi gelandangan.  Di Lisabon mereka dihukum otoritas setempat. Pangloss mati digantung sedangkan Candide masih beruntung diselamatkan seorang nenek dengan kisah pilu tentang sejarah hidupnya.

Paris, Peru, Portugal, Venezia, Konstantinopel adalah garis panjang petualangan Candide. Ia digambarkan Voltaire persis sebagai bidak catur yang bergerak tanpa kendali sama sekali. Kemana mata angin nasib berembus ke sanalah Candide berada.

Tampaknya, ini bukan seperti petualangan sungguhan yang digerakkan keinginan kuat mengembara. Alih-alih Candide adalah ejekan jika dikaitkan dengan kehendak rasional manusia, sebab petualangannya banyak didorong oleh faktor x di luar dari kenginannya.  

Petualangan Candide yang diombang-ambing peristiwa yang tak dikehendakinya merupakan antinomi bagi filsafat yang menyakini segalanya telah diatur secara presisi. Tidak ada yang melenceng sama sekali. Apa pun kejadiannya, entah keburukan atau sebaliknya, semuanya adalah panorama takdir yang sudah diatur sebaik-baiknya.

Dengan kata lain, optimisme, jantung dari filsafat yang melihat jagad raya sepenuhnya adalah kebaikan, hanyalah secercah kilatan yang tidak menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Justru, Candide si naif, banyak menemukan pengalaman yang bersebarangan tidak seperti diajarkan guru filsafatnya.

Petualangannya yang sesungguhnya merupakan kisah pelarian dari satu marabahaya ke marabahaya lainnya, malah membuka cangkang pemahamannya: pembunuhan, peperangan, pemerkosaan, eksekusi mati, perbudakan, adalah satu sisi dunia yang tidak selamanya dapat dinafikan begitu saja.

Dalam salah satu adegan perjalanannya, Candide bertemu Martin, seorang penganut manicheisme, filsafat tua Persia yang melihat alam semesta dikuasai dua kekuatan yang saling bertentangan. Mereka berdiskusi mengenai kebaikan dan keburukan sampai limabelas hari berturut-turut di atas kapal dengan kesimpulan seperti hari pertama. Di sini dengan penggambaran macam demikian, filsafat bagi Voltaire bukan usaha percakapan yang bertele-tele, tapi lebih mengedepankan tindakan nyata.

Bagaimana mungkin tanpa putus limabelas hari, diskusi hanya membawa kesimpulan yang tidak berkembang sama sekali. Sia-sia belaka.

Candide, walau bagaimanapun secara tidak langsung menarasikan betapa manusia terlampau lugu jika tidak menarik pemahamannya di dalam kenyataan itu sendiri. Ibarat seseorang yang berdiri di atas menara tanpa pernah tahu dengan pasti bentuk dan rupa pasir pantai sesungguhnya.

Manusia mesti bergerak melalui tindakannya, tanpa mesti terlarut dalam eksplanasi filosofis yang kelewat panjang.

Setelah tiba di Istanbul dan melewati duka lara di sepanjang perjalanan mereka, Candide, Martin, dan si guru filsafat yang ternyata tidak mati, Pangloss, akhirnya menghentikan diskusi-diskusi filsafat mereka.

”Mari kita bekerja tanpa banyak berdiskusi…. Itulah satu-satunya cara agar hidup kita ini lebih tertanggungkan.”

Merasakan Kibasan Bertarung Dalam Sarung


Judul Buku: Bertarung Dalam Sarung
Penulis: Alfian Dippahatang
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: 2019
Cetakan ke: Pertama  
ISBN: 978-602-481-100-6

PENDEKATAN saya dengan buku ini tidak seperti buku-buku lain. Di toko buku, saya cenderung memilih buku karena tema utamanya. Terkadang juga mencari unsur kebaruan dari buku-buku yang lebih belakangan terbit. Atau mengejar karangan-karangan dari penulis-penulis yang saya favoritkan—tapi seringkali semua itu gugur selama persediaan kantong terbatas :).

Bertarung Dalam Sarung saya pilih—dari sekian banyak pilihan—bukan karena alasan-alasan di atas, walaupun ia tergolong judul baru dalam khazanah kesusastraan Tanah Air (Dari segi ini bayangkan berapa banyak judul buku baru dicetak setiap harinya?).

Bertarung Dalam Sarung ditulis oleh orang yang berasal dari daerah yang sama dengan saya: Bulukumba. Walaupun nama Alfian Dippahatang sudah lebih dulu santer dikenal di jagad kepenulisan Makassar maupun nasional.

Bulukumba, biar bagaimanapun adalah semesta yang lain bagi saya. Saya lahir di tanah para expert pembuat Pinisi, tapi merasa jauh dengan adat istiadatnya, budayanya, orang-orangnya. Saya dibesarkan jauh di tanah rantauan. Sejak kanak-kanak Bulukumba hanyalah titik kecil yang sering saya dengar dari percakapan orang tua. Di Kupang, Bulukumba hanyalah nama asing .

Didorong motif kedaerahan itulah, saya memutuskan berhak mengoleksi buku kumcer pertama Alfian ini. Barangkali saja, sedikit banyak ada tradisi mayarakat Bulukumba diceritakan dalam kumcer ini.

Akan menarik bagaimana melihat hubungan penulis dalam melihat daerahnya sendiri melalui karya sastra. Terlebih lagi, bagi saya, kebudayaan masyarakat Bulukumba merupakan dunia khas dengan adat lokalitasnya. Dua hal ini, yakni sastra dan lokalitas, akan lebih menarik jika dipertautkan.

Walaupun mesti diakui, dua buku sebelumnya, Semangkuk Lidah dan Dapur Ajaib, adalah dua karangan awal Alfian, namun tetap saja, Bertarung Dalam Sarung-lah yang lebih menarik perhatian saya. Faedahnya bagi saya, langsung tidak langsung melalui sastra dapat membuka sudut baru mengenai Bulukumba (dan atau Sulawesi Selatan) dari segi-segi fiksi yang ditawarkan buku ini.

Sampai saya menulis ulasan ini, belum semua kumcer BDS saya tuntaskan. Awalnya saya hanya melihat-lihat judul-judul yang terpampang melalui daftar isi. Sembari dengan bebas berusaha menerka-nerka bagaimana jalan ceritanya kelak. Nama penulisnya menjadi taruhannya di sini, mengingat ada beberapa catatan penghargaan penulisan yang diraih pemuda asli Bulukumba ini.

Akhirnya saya hanya sampai menuntaskan 6 karangan pertama dan 1 judul yang saya pilih secara acak.  Berturut dimulai dari karangan bertitel Ustaz To Balo, Nenek Menerawang dan Ibu Memburu, Jangan Keluar Rumah Saat Magrib, Kelong Paluserang dan Kebohongan Masa Kecil, Bukan Sayid, Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata, dan pilihan acak tadi: Mayat yang Menceritakan Kematiannya (dan dua cerita lain yang saya baca kemudian).

Sampai di sini mafhum akan segera dipahami. Ulasan ini tidak akan keluar dari konteks cerita yang sudah saya baca di atas. Artinya, jika disebut resensi, catatan ini bukanlah ulasan lengkap mengenai keseluruhan isi buku ini. Biarlah tugas itu diambil alih peresensi-peresensi lainnya. Toh ini hanya dilatarbelakangi kesukaan menulis apa saja yang bisa saya tulis tentang buku-buku yang saya baca—walaupun tidak semua buku, tentunya.

Mungkin ada pengaruh ekspektasi awal saya mengenai buku ini. Sebab, saat membaca cerita Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata, seketika rasa bosan menghinggapi. Sontak pengalaman membaca saya tidak berkesan seperti saat membaca karangan-karangan pengarang lainnya.

Cerita Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata dituliskan Alfian melalui dua kisah yang terpisah tapi masih dalam satu cerita. Ketika dibelah cerpen ini menceritakan Rungka, seorang anak hasil hubungan gelap ibunya, yang ingin menggali dan mengambil kembali tubuh ibunya dari kuburan.

Diceritakan semenjak kepergian ibunya, Rungka  menjadi bulan-bulanan Puto, ayahnya. Hampir semua pertengahan cerpen ini diisi ”dialog” Rungka dengan Ibunya, yang diceritakan hanyalah tanya jawab tanpa saling terhubung lantaran perbedaan dunia antara keduanya. Rungka sering datang ke makam ibunya, dan di saat-saat itulah ia sering ”bercakap-cakap” dengan ibunya melalui sebilah bambu yang ditancapkan di tanah kuburannya.

Kisah kedua, Alfian mengisahkan latar belakang kelahiran Rungka. Ibu Rungka diceritakan berkeputusan bersetubuh berkali-kali dengan Tamrin, saudara Puto secara diam-diam. Tindak gila ini bermaksud agar Ibu Rungka dapat mempersembahkan seorang anak dari hubungannya dengan Puto. Puto dikisahkan mandul, dan Ibu Rungka ingin memiliki momongan dengan atas nama Puto tapi dengan mengambil benih dari Tamrin saudaranya.

Cerita Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata terlalu betele-tele dari segi dialog, dan terkesan tidak alami seakan-akan betul-betul terjadi—ini yang membuat saya sebagai pembaca merasa bosan. Dari segi ini, saya bertanya-tanya apakah ada seorang anak yang bakal menggali kuburan ibunya setelah merasa tidak bahagia hidup bersama ayahnya? Perbuatan tidak lazim ini, apa pun alasannya belum ada presedennya dalam kehidupan nyata.

Cerita ini ditutup dengan ending yang aneh untuk tidak mengatakan biasa-biasa saja apalagi jelek. Ukurannya dapat dilihat dari Rungka yang begitu saja menginggalkan mayat ibunya ketika ia mendengar suara Puto dari jauh yang memaki-maki entah untuk siapa. Jika menimbang-nimbang dimensi psikis Rungka yang diceritakan sangat ingin membawa pulang ibunya setelah menggali kembali kuburnya, seharusnya apa pun yang terjadi ia tidak begitu saja meninggalkan mayat ibunya. Dalam cerita ia malah mengabaikan perasaan cintanya kepada ibunya sendiri.

Keanehan kedua ditunjukkan dari perlakuan Puto atas mayat Ibu Rungka yang ditinggal lari begitu saja oleh anaknya. Puto tiba-tiba malah menendang  mayat Ibu Rungka, dan dinyatakan telah membunuh Tamrin. Dari sisi ini, saya merasa janggal apa dasar utama perlakuan Puto atas pembunuhan Tamrin (di sini saya tahu Alfian ingin menggiring imajinasi pembaca bahwa tindakan kasar Puto karena mengetahui hubungan gelap Tamrin bersama Istrinya) dan sikap kasarnya kepada mayat istrinya, mengingat disepanjang cerita ia bukanlah figur utamanya. Apa hubungannya dari jalan cerita yang berkisah tentang harapan Rungka untuk menemui mayat ibunya dengan sikap Puto yang kasar itu, yang malah menjadi bagian ending ceritanya.

Yang juga mengganjal dari cerita ini adalah tidak dinarasikannya sebab kematian Ibu Rungka. Ia dari awal sudah diceritakan meninggal tapi tidak sama sekali ada petunjuk mengapa ia mati. Kekosongan sebab ini malangnya bukan menjadi jalan cerita yang saya yakini akan lebih menarik untuk dikisahkan oleh karena pembaca dari awal sudah disuguhi tokoh yang terlebih dahulu mati. Alfian justru bercerita mengenai dialog-dialog antara Rungka dan Ibunya, serta Ibu Rungka dan Tamrin—yang dalam dialog ini justru masih menggantung tentang apa alasan Ibu Rungka enggan bertobat, sesuatu yang dikehendaki mati-matian oleh Tamrin dengan cara mendesaknya?

Satu hal yang juga tidak prinsipil mesti dinarasikan secara langsung adalah adegan seksual Ibu Rungka dan Tamrin. Bahkan di bagian mereka bersetubuh terkesan diceritakan vulgar dan merendahkan perempuan. Alfian mungkin lupa, cerita dengan menyebut langsung suatu detail peristiwa bakal mengurangi efek imajinatif pembacanya. Justru, saat Alfian menceritakan adegan persetubuhan Ibu Rungka bersama Tamrin dengan spesifik tertentu, alih-alih membuatnya menarik, malah sebaliknya, cenderung mesum setingkat dengan cerita-cerita seksual di situs-situs cerita seks orang dewasa.

Hal lain lagi yang mesti diperhatikan dari cerita ini adalah hubungan judul dengan isi dalamnya. Sepanjang saya membaca kembali cerpen ini, saya malah tidak menemukan isyarat satu pun mengapa Ibu Rungka enggan bertobat, padahal disebutkan dalam judulnya, bertobat tak seperti mengedipkan mata. Lantas jika sebuat cerpen seringkali menerangkan motif-motif para tokoh ceritanya, malah di cerita ini tidak ada sama sekali satu pun motif yang menjelaskan seperti yang menjadi judul cerpen ini.

Sebagaimana Faisal Oddang, Alfian juga nampak memiliki obsesi memanfaatkan kekayaan budaya sebagai elemen penting dalam setiap ceritanya. Beberapa nampak terasa semisal dalam cerita Kelong Paluserang dan Kebohongan Masa kecil. Dalam cerita ini tradisi nyanyian pengantar tidur anak yang sering dilakukan ibu-ibu Bugis- Makassar menjadi salah satu adegan dalam cerita yang diangkat. Dengan kata lain, elemen lokalitas dalam cerita ini bukan sekadar embel-embel yang menjadi ornamen dalam cerita.

Berbeda misalnya dari beberapa cerita yang saya baca di atas, unsur lokalitas malah hanya diberlakukan sebagai tempelan belaka, alih-alih menjadi kekuatan ceritanya. Hal ini dapat dibuktikan dari cara Alfian menyusupkan warna lokalitas hanya dari segi penggunaan diksi belaka. Dengan kata lain, jika diksi lokal itu diubah dengan bahasa Indonesia atau dihilangkan tidak akan mempengaruhi jalan isi cerita bersangkutan. Berbeda misalnya,  jika unsur lokalitas itu dinarasikan menjadi bagian atau inti cerita, maka jika ia dihilangkan maka akan dengan sendirinya mengubah dan atau merusak isi cerita itu sendiri.

Dalam hal ini jika nuansa lokalitas menjadi jualan Alfian, menurut saya itu belum sepenuhnya disanggupi. Walalupun akan kita temukan juga dimensi lokalitas di satu dua ceritanya, semisal Bertarung Dalam Sarung yang memang tradisi sigajang laleng lipa’ menjadi tulang utama ceritanya.

Hal yang sama juga ditemui dalam cerita Bissu Muda. Malah bisa dikatakan cerita ini lumayan berhasil mengangkat tradisi sebagai bagian penting narasinya. Dengan kata lain tradisi yang mewakili unsur lokalitas dalam cerita ini hadir sebagai unsur intristik yang menjadi batang tubuh ceritanya.

Hal menarik dari Bissu Muda adalah konflik yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini tegangan itu diwakili dari konflik Suhdi sebagai bissu muda yang mesti mengemban amanah nilai-nilai bissu dengan dorongan perasaannya yang menyukai seorang pria yang sebenarnya adalah pantangan bagi seorang bissu. Dari sisi ini timbul pertanyaan, bagaimanakah adat tradisi mendudukkan unsur intristik manusia berupa hasrat seksualiatasnya yang sebenarnya manusiawi? Apakah ia mesti dikorbankan demi tegaknya kemapanan adat atau sebaliknya?

Seperti pada umumnya karangan yang mengedepankan nuansa lokalitas, hanya ada dua pilihan ketika ia diangkat dalam karya sastra: mengafirmasinya atau justru menolaknya dengan cara melayangkan kritik terhadapanya. Unsur lokalitas, baik adat istiadat, kearifan lokal, dan tradisi, biar bagaimanapun adalah seperangkat ajaran yang bakal berhadap-hadapan dengan kehidupan modern yang cenderung melihat tradisi sebagai dunia lama yang mesti ditanggalkan di kehidupan kini dan  masa depan.

Kalau melihat beberapa pertimbangan di atas, cerpen Bertarung Dalam Sarung adalah cerita yang sedikit banyak berhasil memberlakukan tradisi sebagai sesuatu yang layak dikritik. Dengan kata lain, cerita ini telah menjadi medium wacana  dalam mendudukkan tradisi di hadapan kaca mata orang-orang modern melihat masa lalu.

Inti cerita Bertarung Dalam Sarung adalah adegan pertarungan dua orang lelaki Bugis yang berusaha mempertahankan harga dirinya melalui tradisi sigajang laleng lipa’. Tindakan ini didorong kisah percintaan antara Cenning  dengan dua lelaki Bugis bernama Tarung dan Bombang. Kisah yang juga mengangkat tradisi perjodohan ini berakhir dengan kematian dua lelaki Bugis.

Yang unik, gaya penuturan kisah ini diutarakan melalui sudut pandang tokohnya yang berupa selembar sarung Bugis. Sepanjang kisahnya, penceritaan sarung banyak mengutarakan keluh kesahnya terhadap pilihan orang tua Cenning menjodohkan anaknya. Malangnya pilihan itu harus diputuskan melalui adat sigajang laleng lipa’ untuk memutuskan siapa yang layak mendapatkan anaknya. Dari perspektif ini, Alfian secara tidak langsung mengajukan kritik terhadap tradisi yang dinilai tidak beradab ini.

Dengan kata lain, keluhan tokoh sarung mempertanyakan cara Ibu Cenning menggunakan sigajang laleng lipa’ demi memutuskan suatu keputusan, adalah juga mewakili perspektif yang lebih manusiawi ketika menghadapi persoalan yang sama. Akhir cerita ketika dua lelaki Bugis yang tewas saling tikam adalah kesimpulan bagaimana tradisi macam demikian hanya menyisakan kekalahan bagi semua pihak. Dalam hal ini Cenning tidak dapat menikahi pemuda pilihannya, begitu pula Ibu Cenning tidak dapat mengawinkan anaknya dengan pemuda dikehendakinya, lantaran keduanya sama-sama tewas mempertahankan harga diri.

Tradisi demikian ibarat kata pepatah menang jadi arang kalah jadi abu. Begitulah intinya.

Kumcer Alfian Dippahatang ditulis dalam jarak tahun yang tidak berjauhan (2017-2018) dengan tema tidak jauh dari kebudayaan Sulawesi Selatan, yang karenanya memiliki sisi negatif berupa minimnya ruang refleksi atas tema besar yang sering diangkatnya—yang belakangan jadi tren bagi penulis-penulis yang memiliki latar kebudayaan unik (satu hal penting jika ingin dilirik oleh dunia luar/internasional).

Walaupun demikian, sebagian besar cerpen yang mendapatkan penghargaan dalam kumcer ini,  minimal sudah bisa menjadi salah satu alasan mengapa buku ini layak dibaca. Meskipun itu bukan jaminan kumcer ini mendatangkan kepuasan bagi pembacanya.

***

Tayang sebelumnya di Kalaliterasi.com