Modernitas, Masyarakat Berisiko, dan Subpolitik




Orang-orang Jerman saat meruntuhkan Tembok Berlin
Tembok ini sebelumnya membagi
dua wilayah Jerman menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat




ERA modernitas berbeda dari masa masyarakat pra pencerahan yang ditandai dari kemampuan masyarakat melakukan refleksi.



Semenjak identitas individu menguat, manusia menemukan suatu pendasaran dalam dirinya untuk mememungkinkannya melakukan tindakan-tindakan antara proyeksi dan refleksi.



Dalam keadaan itu manusia sebagai agen atas kehidupannya, tidak lagi sepenuhnya menempatkan penemuan kesadarannya kepada institusi-institusi di luar darinya, melainkan dilakukan dengan cara dialektis antara kemampuan berpikirnya dengan himpunan-himpunan struktur di lingkungannya.


Itu artinya, konsep mengenai diri merupakan korpus terbuka yang bisa berubah, dibentuk, dan dinegoisasikan ke dalam tegangan tarik menarik antara diri dengan lingkungan sosialnya.

Kata Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris, refleksi modernitas ini disebutnya sebagai sebuah ”proyek refleksi”, yang berarti betapa meluasnya dampak modernisasi itu sebenarnya, sampai-sampai perubahan ke arah pembaruan tidak saja mencakup wilayah material kehidupan berupa pembangunan infrastruktur, sistem ekonomi, dan tatanan sosial politik, melainkan merasuk sampai ke tingkat pengalaman hidup seseorang.

Kesimpulan atas pernyataan di atas berarti tidak ada pakem fix berkaitan dengan identitas seseorang, seperti sudah disebutkan sebelumnya. Diri atau personalitas seseorang yang disebut identitasnya merupakan hasil eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim.

Ini seperti proses individuasi ketika seseorang menyerap unsur-unsur perubahan berupa pandangan dunia, gaya hidup, filsafat nilai, dan keyakinan agama, menjadi sikap pribadinya.

Proses bagaimana masyarakat menentukan refleksifitasnya bukan berarti tanpa masalah oleh sebab faktor-faktor tak terduga dari perubahan itu sendiri.

Dunia modern dikatakan Giddens bakal dihadang ”sequestrasion of exprerience”, yakni semacam tercerabutnya pengalaman eksistensial manusia ke dalam sistem-sistem abstrak ciptaannya sendiri.

Kapitalisme, demokrasi, agama, atau ideologi merupakan sistem abstrak yang membuat manusia hidup di dalam keterpisahan terhadap kenyataan konkretnya.

Karl Marx di dalam kritiknya terhadap kelas borjuis melayangkan suatu ide yang dia sebut alienasi. Konsep ini selain merupakan hasil dari sistem kerja kapitalisme yang mencuri nilai lebih dari tenaga kelas pekerja, sebenarnya secara tidak langsung menciptakan demarkasi antara kerja konkret buruh dengan sistem kapitalisme yang nyatanya begitu jauh dari pengalaman kerja para buruh.

Kapitalisme sebagai suatu ideologi, mengapa demikian kebal kritik karena merupakan jaringan , hubungan, dan sistem ekonomi yang secara ontologis memisahkan dirinya dari suatu mata rantai panjang agar tidak berhubungan langsung dengan tenaga kerja yang merupakan hal konkret dalam aktivitas produksi. 

Di era modern, pola-pola seperti ini dinyatakan Giddens yang dapat menyebabkan  masyarakat terjebak kepada sistem-sistem besar yang cukup imperatif mengambil peran langsung masyarakat itu sendiri.

Itu artinya, mengapa keterasingan masyarakat sangat mungkin terjadi oleh karena semakin besar dan meningkatnya peran sistem abstrak bagi kehidupan masyarakat.

Masyarakat, dengan kata lain, akan kehilangan kendali atas dirinya selama ia menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada sistem abstrak yang berada di luar dari dirinya.

Uniknya, menurut Giddens, keterasingan masyarakat di dalam sistem abstrak bakal menciptakan dan meningkatkan rasa aman yang semakin besar pula.

Kepercayaan masyarakat kapitalis menanam investasi, pajak negara, iuran BPJS, jaminan sosial, atau bahkan keimanan kepada komunitas jemaah tertentu, merupakan bentuk-bentuk hubungan masyarakat yang percaya kepada sistem abstrak sebagai jaminan keselamatannya. 

Semakin abstrak dan berperannya sistem itu, semakin besar pula rasa aman yang tertanam dalam diri seseorang.

Tapi, meski demikian, menurut Giddens rasa aman ini di waktu bersamaan bakal melenyapkan probelm eksistensial masyarakat. Masyarakat, dalam hal ini, akan menjadi entitas yang sepenuhnya bagai hidup di dalam surga lantaran semua problem dihadapinya sudah sepenuhnya diambil alih sistem abstrak.

Keadaan inilah yang membedakan modernitas klasik dengan era kiwari dari segi orientasinya. Masyarakat dalam modernitas klasik senantiasa mencari persamaan (hak, identitas, kelas, upah) sebagai orientasinya yang berbeda dengan orientasi masyarakat sekarang yang lebih mengutamakan keselamatan.

Ulrich Beck, seorang sosiolog Jerman melihat mengapa solidaritas masyarakat kontempporer senantiasa menciptakan peluang kerja sama demi keselamatan dan bukan persamaan semata sebagai cita-citanya, sebagai konsekuensi dari apa yang ia sebut risk society.

Risk society atau masyarakat berisiko merupakan keadaan masyarakat yang hidup di dalam risiko-risiko pembangunan. Keadaan ini disebut Beck sebagai tahap perkembangan lanjutan dari era kehidupan modern yang bergerak dan digerakkan industrialisasi.

Masyarakat berisiko bukan diskontuinitas seperti dibayangkan sosiolog seperti Lyotard atau tokoh posmodernisme lainnya, melainkan suatu keadaan masyarakat modern yang mengalami lonjakan secara massif kualitatif dari segi semakin tidak pastinya kepastian-kepastian yang ditawarkan zaman itu sendiri.

Mengapa ini dapat terjadi, oleh sebab karena pudarnya paksaan-paksaan struktural seperti dialami dalam masyarakat modern sebelumnya. 

Terpisahnya paksaan struktural atas individu, menimbulkan ruang refleksi yang besar agar individu dapat bertindak bebas. Kebebasan bertindak yang disebut Beck semakin reflektif inilah yang membuat sulitnya prediksi-prediksi atas arah perkembangan masyarakat.

Itu artinya, di tengah ketidakpastian itu, masyarakat yang mengalami individuasi mesti menanggung sendiri risiko-risiko yang dialaminya. Tanggung jawab individu mau tidak mau menjadi satu-satunya pilihan ketika seluruh jaminan sosial yang dahulu ditanggung negara hilang dan beralih ke tingkat individu.

Kehancuran alam, kemiskinan, pengangguran massal, kelangkaan barang, kepunahan, pandemi penyakit, dan kelainan genetika, merupakan beberapa risiko atas modernitas, yang kian hari menjadi risiko individu tanpa ada jaminan masa depan negara.

Beck bahkan mengatakan risiko merupakan hal fundamental di dalam masyarakat industri lanjutan, meski itu tidak akan merata akibat kelas sosial yang berbeda dan bertingkat.

Artinya, dalam taraf tertentu risiko bisa terakumulasi di tingkat grass root tanpa sama sekali naik menyentuh kelas atas, disebabkan kemampuan kelas atas yang memiliki sumber daya melimpah.

Risiko bukan berarti tidak akan dirasakan bagi kelas atas, akan tetapi jika mereka mendayagunakan kekuatan modal, jaringan, teknologi, dan pendidikan, risiko-risiko berupa penyakit, kemiskinan, pencemaran alam, dan kelangkaan barang, misalnya, dapat segera diselesaikan.

Dalam bidang politik, risiko modernitas Beck disebutnya sebagai ”subpolitik”, yang berarti munculnya kekuatan baru yang lebih reflektif dari pemerintahan pusat. Itu artinya pemerintah mengalami desakralisasi atas kekuasaannya bersamaan dengan meguatnya kekuasaan dari elemen lain, berupa kelompok ilmuwan, medis, atau kelompok agama.

Beck mengatakan kemunculan subpolitik ini juga berarti hilangnya kemampuan pemerintah pusat dalam menangani problem-problem modernitas itu sendiri. Ini disebabkan karena semakin mawas dirinya kelompok subpolitik dalam menanggapi serta menanggulangi persoalan yang dihadapi.

Dampak lanjutan dari hal ini menurut Beck akan menimbulkan ”unbinding of politics” , yang berdampak atas berpindahnya kekuasaan pusat ke kelompok-kelompok subpolitik di bawahnya.

Di tanah air, risiko-risiko modernitas gampang ditemukan di kenyataan sehari-hari. Penggusuran akibat kapitalisasi ruang, kehancuran hutan dan sumber air bersih, banjir, konflik kelas, pandemi virus mematikan, serta kemunculan subpolitik yang semakin mendesentralisasi pusat, adalah beberapa contoh bagaimana risiko modernitas tidak dapat dihindarkan.

Pandemi, Sampar, dan Kepandiran Abad 21



Sampar (La Peste)
Karangan Albert Camus
dialihbahasakan NH. Dini

BARU kali ini saya dibuat deg-degan atas suatu penyakit. Tidak seperti virus SARS dan MERS dua nama penyakit yang serba mengapung di telinga, corona nampak berbeda akibat gembar-gembor pemberitaan media, dan penanganan pemerintah yang seolah-olah sedang menghadapi wabah Tuberkulosis .

Sekarang jenis penyakit jadi aneh-aneh setelah manusia dibuat kaget. Kok, ada penyakit imporan hewan yang bikin keder.

Bukankah manusia lebih sering mengekspor segala capaiannya ke luar wilayah kehidupannya? Lah, ini malah kita kayak dijajah binatang. Kali ini hewan tertentu memberikan serangan balik setelah tubuh mereka jadi olahan kuliner dengan menyebarkan virus ke umat manusia.

Sejak tiga hari lalu, tubuh saya seperti mengalami kelainan terutama di sekitar kerongkongan. Ini gejala saat Anda akan mengalami flu yang membuat wilayah antara hidung dan tenggorokan seperti ditumbuhi selaput lendir.

Tidak ingin menerima keadaan ini begitu saja, semenjak ada sinyal tubuh bakal mendera suatu penyakit, tanpa perlu menunggu lama saya rajin mengkonsumsi suplemen vitamin c.

Tidak tanggung-tanggung dalam sehari saya bisa menghabiskan tiga butir kapsul. Corona membuat kewaspadaan saya meningkat, seolah-olah penyakit ini sudah mengantre di depan pintu rumah, dan hanya tinggal menunggu waktu kapan ia bakal mengetuk pintu.

Apalagi tiga hari belakangan ini, selaput lendir yang saya miliki membuat saya cukup khawatir. Jangan-jangan covid 19 dimulai dari tanda-tanda semacam ini.

Pertama ia mulai dulu bersemayam di dalam leher, semacam prakondisi untuk menyusun strategi saat bakal menginvasi tubuh korbannya.

Kedua dia bakal melipatgandakan dirinya dan mulai memberikan signal kepada tubuh yang merangsang otak menaikkan sistem imunnya.

Di saat ini, seperti dua pihak yang terlibat sengketa, keduanya bakal saling tarik ulur menegoisasikan kedua kepentingannya. Dalam keadaan ini demam merupakan tanda peperangan ini.

Jika tubuh Anda menang, maka Anda berhak mengusirnya dari dalam, tapi jika tubuh Anda kalah bersaing, covid bakal menguasai Anda dan menyebar memeriahkan kemenangannya.

Sialnya, sambil berpikir positif, selama tiga hari ini daya ingat saya tidak sama sekali membantu untuk melacak di mana dan siapa-siapa yang sudah saya ajak bertemu belakangan ini. Ingatan saya seperti hilang meluber seiring bekas air sisa cuci piring ke dalam lubang saluran pipa, pekerjaan yang sudah mulai malas saya lakukan dua hari ini.

Makanya, saya kerap berpikir mulai saat ini, siapa pun dalam keadaan seperti sekarang mulailah menyisihkan waktu seperti saat seorang penulis menuliskan catatan-catatan kerjanya di buku harian.

Anda tidak akan saya minta menjadi seperti seorang gadis  malang, yang tiap malam mengisi buku diari sambil menangis hanya karena gagal meyakinkan orang tua menerima lamaran sang pacar. Anda cukup duduk di meja makan, atau di atas tempat tidur sampai mulai mencatat apa-apa saja yang sudah Anda lakukan, dan yang paling penting, kemana dan dengan siapa Anda bertemu hari ini.

Tidak perlu saya jelaskan apa kegunaan catatan ”rekam jejak” Anda di atas, terutama bagi keadaan seperti saat ini. Setidaknya dengan cara itu, Anda akan dibuat seperti seorang pengarang yang betah menghabiskan 1576 kata dalam semalam sekali menulis.

Berabad-abad lamanya umat manusia melawan berbagai macam jenis penyakit, di samping selama itu pula umat manusia mengembangkan pengetahuannya mengenai dunia obat-obatan.

Kadang, umat manusia kalah dari virus sederhana hanya karena pengetahuan yang kurang memadai atasnya, sekaligus kalah lagi karena perkembangan teknologi medis yang masih sederhana. Penyakit dan teknologi dunia medis ciptaan peradan manusia adalah dua sisi yang saling berlomba dalam rangka mengisi rekam jejak capaian umat manusia.

Flu Spanyol ((1918-1919), 500 juta korban), Cacar ((10.000 SM-1979), 300 juta korban), Campak ((abad 7 SM-1963), 200 juta orang), Black death ((1340-1771), 75 juta orang), merupakan tonggak-tonggak sejarah penyakit mematikan bagaimana tubuh manusia bersisian hidup sangat dekat dengan marabahaya.

Kiwari semakin canggih gaya hidup peradaban semakin canggih pula jenis penyakit menyertainya, walaupun itu tidak menjamin kecanggihan cara berpikir manusia.

Yoval Noah Harari dalam literasi seri Sapiensnya menulis bakal memanasnya perseteruan ilmuwan dengan para ahli agama menghadapi ujian-ujian peradaban.  Dua kubu ini akan sengit mencari solusi-solusi teknis dan praktis ketika memecahkan soal-soal semisal kemiskinan, seksualitas, genetika, krisis peradaban, dan penyakit.

Saya akui geram melihat ketololan kelompok jemaah agama yang bersikap enteng menghadapi covid 19 ini. Di video Whatsapp beredar sekelompok jemaah agama di Gowa, Sul- Sel yang mengaku kebal corona.

Mereka seperti yakin hidup di masa Firaun, dan menganggap pandemi saat ini merupakan sihir ciptaan konco-konco Firaun, dan mendaku hanya dengan iman yang kuatlah jalan keluar atas penyakit ini.

Itu artinya, covid 19 bukan tentara Allah seperti diyakini selama ini setelah mereka meneriakkan takbir berkali-kali untuk menegaskan merekalah tentara Allah yang sebenarnya. Corona tidak usah dikhawatirkan oleh sebab dari namanya tidak sama sekali berbau Arab. Sesuatu yang bukan Arab mesti dilawan segesit-gesitnya, dan dengan atas nama Tuhan semua itu mesti dilakukan.

Kelompok ini kurang lebih sama perhitungannya dengan perwatakan dalam kisah La Peste karya Albert Camus, kisah mengenai wabah pes di Kota Oran, Prancis, yang awalnya tenang-tenang saja kemudianbermunculan tikus-tikus yang linglung kemudian mati dan diikuti angin panas dan hadirlah sampar.

Novel ini sedikit banyak menggugat dalil-dalil di belakang keyakinan bahwa dunia telah diciptakan dalam tujuan spesifik oleh Tuhan, atau sebaliknya, tidak ada tujuan spesifik atas penciptaan alam semesta ini.

Dalam Sampar hasil terjemahan N.H Dini ini, kelompok agamawan dinarasikan melalui sosok seorang pendeta yang memilih tinggal di kota Oran bermodal keyakinan bahwa apa yang dihadapi Oran merupakan bagian dari ujian Tuhan.

Itu mengapa, hanya bermodal keyakinannya semata, ia memilih membantu kota Oran menghadapi wabah pes, walaupun ia akhirnya mati tanpa diketahui oleh sebab yang pasti.

Dua sosok lain dalam Sampar adalah sang Ilmuwan dan sang Pemikir yang meski berbeda titik tolak dari sang agamawan, memiliki motivasi berbeda dalam melihat wabah Pes yang dikenal dalam sejarah Eropa sebagai ”Kematian Gelap” itu.

Narasi Sampar, jika dikalkulasikan untuk masa sekarang akan tetap relevan, mengingat perseteruan antara kelompok-kelompok umat manusia yang diperwatakkan di dalamnya.

Pengetahuan adalah kunci, meski pernyataan ini meski dilengkapi dengan pertanyaan lanjutan pengetahuan macam apa?

Ada jenis pengetahuan ketika manusia sangat percaya bahwa sejak tahun 60-an dunia tempat kita hidup saat ini juga ditempati oleh para alien yang datang dari galaksi lain.

Ada juga ragam pengetahuan yang mendaku dunia tempat kita tinggali ini hanyalah sebuah lempengan tanah panjang, dan di tempat-tempat tertentu terdapat puncak gunung tertinggi tempat para dewa-dewi tinggal sehari-hari.

Meski memang tidak sedikit ada pula ragam pengetahuan yang menolak dua perspektif di atas dengan cara benar dan salahnya keyakinan itu mesti diuji secara akal sehat dan ilmiah.

Abad modern, rasa-rasanya hanya merupakan narasi kebudayaan dari belahan bumi lain yangtidak berlaku di sini. Bagaimana tidak, ketika zaman menuntut untuk berpikir terbuka, memiliki empati, kerja kolaboratif, dan hidup cerdas,  kita justru sebaliknya, menjadi kelompok masyarakat yang bebal dan denial.

Bukan saja pandemi global seperti covid 19, saat ini pandemi kepandiran juga mesti menjadi perhatian kita semua. Semoga semuanya cepat teratasi.

---
Sudah tayang di Kalaliterasi.com


Memanggil MPO


HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi
Politik di Indonesia


Hmi-Mpo yang Mulai Tercemar dan Tersusupi. Esai kritik Alto Makmuralto ini—jika tidak pantas disebut pledoi—betul-betul mewakili unek-unek saya mengenai perjalanan HMI MPO yang seret satu dekade belakangan.

Saya orang yang kerap ogah menulis latar belakang ke-MPO-an di riwayat organisasi curriculum vitae jika sesekali mengisi forum diskusi. Label MPO di belakang singkatan HMI itulah sebabnya. Saya merasa takut lebih-lebih tidak pantas menuliskannya karena dimensi moralitas MPO sudah bikin keder sejak awal.

Suatu waktu melalui diskusi via chatting whatsapp, dengan nada bercanda saya mengajukan pertanyaan jebakan kepada salah seorang senior MPO: kanda, tahu apa kutukan MPO pasca Basic Training?

Senior yang saya tanyai bingung. Tidak mengerti arah pertanyaan saya.

”Siapapun ia, apapun latar belakangnya, sekalipun memang seorang preman mahasiswa, jika dinyatakan lulus dari Bastra, dia seketika itu langsung ”dibaptis” menjadi ustaz. Itu kutukannya, kanda.”

Tentu saja  saat itu saya tidak memberikan jawaban persis seperti kalimat barusan, yang memang terjadi beberapa tahun lalu.

Yang pasti saat itu, saya langsung diingatkan bahwa panggilan yang menjadi tradisi di MPO itu merupakan ciri khas dan perbedaan fundamental dengan organ lain.

Namun, kenyataannya, saat saya lulus Bastra sematan sepihak itu membuat saya tidak nyaman. Coba bayangkan, saya yang belum lama menjadi mahasiswa baru saat itu sudah dipanggil ustaz oleh senior-senior di Komisariat.

Sepertinya saya akan terlalu cepat sadar saat itu juga. Masa muda saya kok akan cepat berlalu sebelum saya benar-benar menikmatinya. Apakah ber-MPO demikian serius sehingga sejak saat itu seluruh tindak tanduk saya mesti berperilaku seolah-seolah saya adalah ustaz sebenarnya.

Bukankah saya juga layak seperti teman-teman lain yang berperilaku enteng-enteng saja dan bisa berbuat apa saja, tanpa beban moral organisasi.

Sematan ustaz ala MPO secara moral demikian imperatif.   Saya dibuat kikuk menempatkan diri saat berperilaku. Jangankan mendekati perempuan non muhrim, merokok, dan  mengenakan celana sobek di lutut saja beratnya bukan main.

Itulah sebabnya, pasca Bastra saya dan beberapa teman main kucing-kucingan berlari memutari gedung, jika dari jauh akan bertemu salah satu senior Komisariat yang dikenal alim.

Ia senior yang paling sering membangunkan kami salat malam saat Bastra, dan mengawal kultum saat salat subuh berjemaah. Pengakuannya, MPO-lah yang mengubah nasibnya dari ”alam kegelapan” menuju ”kehidupan terang benderang”.

Ia dikenal seantero fakultas sebagai preman kampus, dan jika musim ospek tiba banyak mahasiswa baru pasti digasak dan akan diinjak-injaknya.

Pasca Bastra seperti diceritakannya, ia mendapatkan titik kesadaran baru. Hidupnya seolah-olah seperti mesin komputer yang di-restart ulang. Candu rokok ia tinggalkan, kebiasaan meminum anggur ia tobati, menjauhi perempuan ia lakukan.

Praktis, perubahan ini membuat kawan-kawan pergaulannya bingung. Ibunya sendiri dibikin heran atas ulah anaknya yang pulang kampung menangis bertobat meminum air cucian kakinya.

”Itu semua karena MPO.” Ucapnya seolah-olah kata-kata itu telah ia siapkan dari awal.

Cerita titik balik itu bikin kami terpana dan menyadari betapa angkernya itu yang namanya Bastra.

”Saya kerap dikira teroris jika pergi membeli buku di MP.”

MP yang ia maksud adalah Mal Panakukang, dan kata teroris yang ia ucapkan menunjuk kepada cara ia berpenampilan sehari-hari yang mirip pasukan Taliban Afghanistan.

Begitulah MPO, dan kelak cita-cita ideal MPO membentuk masyarakat Tamaduni saya tahu dari mulut senior mirip teroris ini.

Sematan ustaz di masa lalu saat ini saya sadari sebagai strategi perkaderan. Pelabelan itu saya amini sebagai cara terbaik senior-senior saat itu untuk menghormati kami yang masih lugu dan butuh bimbingan pasca Bastra.

Dengan  kata lain, term ustaz itu menjadi semacam doa. Syukur-syukur kalau panggilan itu tidak membuat malu saat kita sedang bergaul bebas. Tiba-tiba saja di tengah keramaian antum dipanggil ustaz.

Sebenarnya takdir ke-MPO-an saya diawali dengan peristiwa remeh-temeh. Bisa dikatakan tidak ada sama sekali niat baik menuntut ilmu dengan bermaksud mengikuti Bastra.

Kejadian saat itu sambil tertawa sering kami sebut kecelakaan sejarah. Kami berdua (teman saya ini sudah berkarier sebagai komisioner KPU) —yang saat Isya nongkrong bermain gitar di kosan—tiba-tiba diajak seorang senior jalan-jalan keluar.

”Ada acara makan-makan di dalam kampus,” katanya sambil mengeluarkan motor bebek Astrea dari parkiran. Betapa semangatnya kami mendengar ucapannya hanya karena saat itu keadaan kantung sedang kere-kerenya. Tanpa berpikir panjang kami menyahuti panggilan menyenangkan itu.

Pergilah kami berbonceng tiga masuk ke area kampus Pascasarjana UNM dan berhenti di gedung paling belakang dengan penerangan remang-remang.

Tidak ada tanda-tanda keramaian apalagi pesta makan. Bau nasi pun tidak tercium sama sekali, di mana hanya ada beberapa laki-laki yang tidak kami kenali berdiri tidak berjauhan seperti sedang menunggu sesuatu.

”Kanda, mana acara makan-makannya?”

”Tunggu saja sebentar lagi. Sedang dipersiapkan.”

Betis kami dibuat pegal berjongkok menunggu acara dimaksud. Rokok batangan yang kami beli patungan juga sudah mulai ngos-ngosan. Orang-orang mulai berdatangan. Satu dua orang di antaranya saya kenali sebagai Maba.

Sepertinya mereka juga dalam keadaan lapar mengharapkan acara segera dimulai saja.

Tidak lama datang senior-senior yang saya kenali di tingkat fakultas berboncengan membawa papan whiteboard, karpet, dan tas seperti sedang mengungsi. Rasanya ada yang salah saat itu. Senior yang mengajak kami hanya senyum cengar-cengir seperti memohon sesuatu saat saya meliriknya.

Tidak usah saya teruskan cerita ini. Kail umpan berhasil memancing kami.

Anda sudah bisa menebak bagaimana kelanjutan ceritanya. Kami berdua ternyata digiring mengikuti Bastra tanpa ada perlawanan berarti. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Sejak saat itu genaplah saya menjadi peserta Bastra.

Diam-diam saya bersyukur atas kejadian itu. MPO-lah jalan pembuka bagi saya merasakan dinamika aktivisme kampus. Berkat MPO pulalah saya bagai ”singa podium” di kelas perkuliahan. Keberanian saya mengeluarkan gagasan di forum-forum datang setelah saya lulus Bastra.

Walaupun begitu, Anda jangan tanya saat itu betapa ”belepotannya” kata-kata saya saat menyatakan sesuatu. Yang penting berani dulu, meski terkadang saya menyesal tidak ada satupun gagasan saat itu yang saya pikirkan terlebih dahulu. Semuanya keluar begitu saja. Saya berpendapat dengan berpikir setelah saya menyatakannya.

Ketika saya mulai menikmati aktivitas berlembaga di Intra kampus, saat itu juga saya diamanahi jabatan sebagai sekretaris komisariat hanya karena kondisi anggota komisariat ya, itu-itu saja. Jabatan struktural pertama saya ini lumayan bikin repot. Masih semester tiga sudah diserahkan mengurusi surat menyurat ala HMI yang ketat aturan itu.

Saat inilah kali pertama saya menggunakan perangkat komputer yang bagi saya masih asing. Dalam keadaan gaptek itu mengetik surat yang mesti memperhatikan garis lurus antara ”Kepada Yth” dengan ”Yang bertanda tangan” di bawahnya begitu menyiksa. Urusannya bisa berjam-jam hanya karena urusan surat selembar.

Hubungan saya dengan MPO bagaikan cinta dan benci, atau lebih cocok dibilang ”Kehadiran Anda tidak membuat MPO beruntung, apalagi ketiadaan Anda dari MPO tidak sama sekali membuat Himpunan rugi.”

Bayangkan, dari hubungan yang tidak signifikan itu kami-kami yang mengikuti materi ”konstitusi” dibikin tidak berarti apa-apa. Ada tidak ada kehadiran kami, tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi Himpunan. Coba pikirkan betapa digdayanya Himpunan diucapkan saat itu.

Sekarang, ketika MPO  dilihat dari jauh, ia bagai anak pengidap stunting. Umurnya melesat jauh tidak diimbangi dengan perkembangan tubuhnya. Ia menjadi anak cebol yang terhambat pertumbuhannya.

Tidak terlalu berlebihan jika saya katakan anak cebol ini jadi semakin parah oleh sebagian orang yang mengeksploitasinya sampai kurus kering. Tubuh MPO diisap saripatinya sampai tulang sum-sum paling dalam.

Di esai Alto Makmuralto, sangat lugas apa masalah mendasar saat ini di Himpunan. MPO jadi jalan pintas mendekati kehidupan elit politik Tanah Air. MPO jadi wahana saling jegal menjegal sampai di tingkatan Bastra. MPO jadi sarana mencapai tujuan pragmatis sebagian kader-kadernya.

MPO jadi nilai tukar demi mendapatkan proyek-proyek pemerintahan. MPO jadi tumbal sesat menyesatkan. MPO jadi tempat membajak kader-kader potensial. MPO jadi bumper suksesi politik.  MPO jadi organisasi…, duh!

MPO dari hari ke hari seperti organisasi jadi-jadian!

Ini tulisan pertama saya tentang MPO lantaran merasa terpanggil –cieh—untuk menyambut kritik keras dari mantan Ketua Umum PB, Alto Makmuralto.

Antum, jika MPO yang ulul albab, sudah mesti singsingkan lengan baju! Mesti insaf diri!

MPO hanya bisa diselamatkan mulai dari lapisan grass root nya. Di Komisariat UNM—termasuk juga FEIS—saya mendengar suara sayup perbaikan.

MPO memanggil, ustaz!

---
Telah tayang di Kalaliterasi.com

Dorong Elite Membaca Buku


Muhidin M. Dahlan
Penulis "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur"


---Tanggapan atas esai Muhidin M. Dahlan


ESAI Muhidin M. Dahlan bertitel Jangan Paksa Masyarakat Membaca Buku di kolom Apresiasi Fajar (15/02) demikian memukul. Kritik keras Gus Muh, sapaan akrab Muhidin, ini mesti ditanggapi serius, terutama bagi elemen penggerak literasi.

Inti sari esai Gus Muh itu menurut saya merupakan pisau bedah atas tradisi literasi yang coba dikembangkan elemen penggerak literasi, yang diyakini Gus Muh salah sasaran.


Selama ini, literasi menjadi trend wacana yang jika perlu apa pun tema perbincangannya perlu dikait-kaitkan dengan literasi.

Mendadak buku menjadi penting dan setiap masyarakat mesti didekatkan dengan dunia buku. Menyanggupi ”panggilan peradaban” itu, hampir semua elemen perubahan, terutama di Makassar, mengubah kiblat perhatiannya ke dalam satu isu bersama: literasi.


Di dunia aktivisme, perkubuan penggerak literasi, sejauh pengamatan saya, setidaknya bertransformasi menjadi dua model pendekatan. Pertama, komunitas yang bergerak masuk ke dalam dunia kaum terpelajar dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan menulis.

Kedua, perkumpulan yang melangkahkan ”kaki-kaki perubahannya” ke publik lebih luas, bahkan sampai di pelosok pedesaan dengan menyebarkan buku sebanyak-banyaknya. Kritik Gus Muh melalui esai itu dengan gamblang dia tujukan ke dua model perkubuan literasi ini.


Program utama dua perkubuan literasi di atas sama-sama dimotivasi agar semua golongan masyarakat dapat membaca buku. Kategori Gus Muh dalam esainya memilahnya menjadi tiga simpul utama: petani, buruh, dan nelayan. Tiga simpul ini kelas mayoritas di Indonesia, yang artinya mereka-merekalah yang menjadi sasaran program perkubuan buku di atas.


Mengikuti logika esai Gus Muh, tidak bisa dibayangkan jika seorang petani, atau nelayan membaca buku sementara prasyarat-prasyaratnya, yakni waktu luang, ketahanan fisik, konsentrasi, dan perangkat pengetahuan, tidak mereka miliki. Kata Gus Muh, petani lebih membutuhkan penyuluh pertanian daripada membaca buku, karena hal itu akan banyak menyita waktu dan tenaga mereka yang sudah habis terpakai  bekerja di sawah.


Jadi jelas siapa yang mesti merespon buku sedimikian rupa kalau bukan para pekerja itu? Kaum elite, lebih tepatnya, calon kelas elite tulis Gus Muh, yang mesti diberikan porsi besar untuk didekatkan dengan dunia buku.


Itu artinya, perkubuan literasi selama ini memamah mentah-mentah data-data menyangkut peringkat literasi yang dikeluarkan lembaga-lembaga yang sering dikutip-kutip itu, sehingga lupa membaca keadaan di lapangan. 

Memang benar negeri ini peringkat literasinya masih jauh dari harapan, tapi apa yang sebenarnya ditawarkan Gus Muh adalah suatu model sekaligus metode, alih-alih menjauhkan masyarakat dari buku, melainkan sebaliknya, kiat jitu yang bertolak dari kebudayaan tua masyarakat Indonesia.


Kebudayaan Bugis Makassar, mendudukkan kemampuan mendengarkan sebagai kegiatan membaca. Tradisi membaca lontara di tanah Sulawesi menggunakan metode lisan (suara) sebagai medium transformasi pengetahuan bagi masyarakat. 

Kebudayaan Jawa, dalam fase perkembangan tertentu, memperkuat tradisi lisan melalui tradisi menonton melalui pertunjukkan wayang. Di antara proses transfer ilmu itu, dibutuhkan para expert—Gus Muh menyebutnya para elite—yang berperan ”membunyikan” teks-teks kitab kepada publik saat upacara-upacara khusus.


Kedudukan para ahli ini sangat signifikan dalam kegiatan membaca kitab. Dalam tradisi lontara atau kitab sansekerta para bissu atau kaum brahmana menjadi ”figur intelektual” yang berperan membunyikan, menerjemahkan, menjelaskan, dan mentransmisikan bahasa teks ke dalam konteks para pembacanya (pendengar). Kelompok elite ini yang disebutkan Gus Muh memiliki prasyarat-prasyarat otoritatif dalam mencandra teks daripada masyarakat selainnya.


Bisa dipahami alasan kegelisahan Gus Muh terhadap penggerak literasi. Di lapangan, selain salah sasaran, kenyataannya tidak ada perkubuan literasi yang mengambil posisi ”tukang” transmisi teks ke dalam masyarakat. Sebagian besar dari mereka malah bersikap ambivalen. 

Di kampus-kampus, mahasiswa yang calon para elite, merupakan kelompok yang paling malas membaca buku. Perkubuan literasi boleh jadi ruyak di kampus-kampus, tapi para penggeraknya sendiri tidak disiplin membangun tradisi baca tulis. 


Perkubuan literasi selama ini hanya direspon sebagai trend semata dibanding sebagai etos hidup, apalagi berbuah sistem kerja. Belum disebut pegiat literasi jika tidak membuat perpustakaan keliling, kelas menulis, atau lapakan buku. 

Para penggerak ini lupa bahwa mereka calon ahli, kelas elite yang bakal menengahi publik dari teks-teks ilmu pengetahuan yang demikian abstrak itu. Mereka lupa berbenah diri demi menjadi teladan, agen, figur, dan sosok yang mesti paling sering bersentuhan dengan semesta perbukuan.


Esai Gus Muh, singkatnya, sedang ”menyubit” pihak yang paling bertanggung jawab mengenai urusan dunia perbukuan. Mereka adalah kelompok elite tidak insaf diri yang sedang ”menembak” menggunakan peluru kosong sekaligus salah sasaran.

Pegiat ini tajam ke luar, tapi tumpul ke dalam. Mengkampanyekan agar masyarakat gemar membaca, tapi jarang sekali terlihat intens membaca buku. Merindukan dunia publik sadar literasi, tapi pegiatnya sendiri ogah-ogahan terhadap buku. Yang dibutuhkan sekarang bukan buku sebanyak-banyaknya, melainkan  waktu membaca buku sebanyak-banyaknya, dan itu pekerjaan khusus calon ”kelas elite”, bukan masyarakat.


--

Pernah tayang di Kolongkata.id

Esai Pengantar Kebebasan Berpendapat



Judul buku: Kebebasan Berpendapat 
dan Berorganisasi (Persepsi Mahasiswa UNM)
Penulis: Muhammad Ridhoh
Cetakan: Pertama, Januari, 2020
Penerbit: Sampan Insitute
ISBN: 978-623-92109-2-2


BUKU di tangan Anda ini demikian menarik karena didorong oleh suatu  kebutuhan mendesak. Ari—demikian saya memanggilnya—menyebutnya sebagai ”situasi objektif tentang kebebasan sipil” yang ia temukan dan sadari selama menempuh aktivisme kampus.

Memang terkesan simplistis mengurai penerapan kebebasan sipil dari ruang lingkup kampus dibanding kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Tapi, selain karena ini awalnya merupakan hasil riset Ari untuk menulis skripsinya, mesti dimaklumi kampus sejauh ini adalah satu-satunya ruang publik yang menjadi wahana uji coba demokrasi sebelum sampai di gelanggang sebenarnya. Oleh karena itu, frasa kampus adalah miniatur negara, dapat kita kontekskan ke dalam buku ini.

Kebebasan sipil, kebebasan berorganisasi, dan demokrasi adalah tiga kata kunci yang dieksperimenkan Ari ke dalam kampus. Akan sangat menarik mengikuti alur kajian buku ini jika dilihat dari dua ekstrem yang sulit bertemu ketika berbicara mengenai tiga konsep kunci di atas.

Ekstrem pertama adalah tatanan birokrasi perguruan tinggi yang memiliki kecenderungan statis karena diatur seperangkat sistem kerja dan aturan. Sedangkan ekstrem kedua adalah ekosistem kemahasiswaan yang dinamis oleh sebab didorong idealisme kemanusiaan yang diterangi seperangkat kesadaran dan keyakinan mengenai kehidupan ideal.

Dua ekstrem di atas akan bertolak belakang bukan di dalam irisannya menyangkut ilmu pengetahuan. Untuk urusan ini, baik perguruan tinggi (dosen) dan mahasiswa, sama-sama dituntut untuk memajukan kehidupan seperti yang termaktub dalam tri dharma perguruan tinggi. Kesan berbeda jika dua ektrem ini diperhadapkan kepada panggilan kemanusiaan yang kerap  menuntut perhatian lebih. Dengan kata lain, ada pengertian lebih mendalam dari perbandingan antara intelektualisme dan aktivisme.

Seluruh peran dosen di perguruan tinggi berkiprah demi menumbuhkan intelektualisme mahasiswa. Walaupun demikian, ia tidak bisa bergerak jauh atas panggilan tanggung jawab moralnya karena hanya bertanggung jawab dari sisi akademik belaka. Dengan kata lain, ia hanya menuntun mahasiswa berilmu demi ilmu, tidak lebih.

Dari sini sudah kelihatan, apa yang dimaksud dengan aktivisme itu sebenarnya, yakni suatu panggilan kemanusiaan yang dikonkretkan ke dalam kerja-kerja keilmuan dan advokasi. Aktivisme dengan kata lain, adalah suatu kemampuan mengubah ilmu ke dalam kerja praksis kemanusiaan.

Di dalam konteks aktivisme itulah kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berdemokrasi menemukan wahana sekaligus momentumnya. Mahasiswa, dalam hal sebagai kelas masyarakat terididik, dengan kata lain menjadi satu kelas yang mampu menggunakan ketiga modal asasi itu jauh lebih terarah dan terukur karena ditunjang dengan modal pendidikannya.

Itu sebab, ditinjau dari konteks ini, kebebasan di tangan mahasiswa tidak berhenti sekadar menjadi kebebasan psikis apalagi fisik. Seperti diutarakan nanti melalui buku ini, selain kebebasan fisik dan psikis, ada namanya kebebasan moral, yakni kebebasan yang mengandaikan keberadaan consciousness (kesadaran) dan voluntary (kerelaan).

Dua unsur kebebasan moral ini selaras dengan teori politik Aristoteles mengenai dasar hakiki manusia dengan binatang. Perbedaan di antara manusia dan binatang menurut Aritoteles terletak di dalam logos (akal budi), bukan phone (bunyi). Binatang memiliki kemampuan phone jika ia merasakan sakit, tapi hanya manusia-lah yang mampu membahasakan rasa sakitnya melalui logos. Kambing akan mengembik (berbunyi) jika ia disakiti, tapi manusia lebih dari itu, rasa sakitnya diperlakukan tidak adil akan ia salurkan ke dalam sistem bahasa berkat terang akal budinya (logos).

Berdasarkan kategori Aristotelian di atas, mahasiswa menjadi bagian masyarakat yang paling berpeluang mengedepankan maksim kebebasannya atas lambaran kesadaran moralnya. Mahasiswa tidak sekadar berbunyi, tapi mampu mengargumentasikan bunyi ketidakadilan ke dalam tuntutan-tuntutan wacana.

Hal ini bukan mengenyampingkan peran masyarakat sendiri yang menjadi mayoritas ketika merasakan ketidakadilan, melainkan hanya mahasiswalah kelas masyarakat yang tidak memiliki banyak tuntutan hidup selain dari pada menyuarakan keresahan masyarakat luas.

Kebebasan belakangan ini semakin sulit didudukkan di dalam wacana politik yang mengandaikan eksistensi logos. Pasca Reformasi, kebebasan berpendapat dipakai berbagai pihak untuk melegalkan kebebasannya. Meski dilindungi undang-undang, bukan berarti kebebasan berpendapat dapat dinyatakan bebas sebebasnya. Di tambah semakin massifnya media sosial, kesadaran berdemokrasi kian tumbuh seiring semakin pudarnya peran logos di dalamnya.

Di sisi lain, berdasarkan pengalaman pribadi dan penulis, kampus secara teknis bergeser tidak sekadar menjadi institusi pendidikan dan kebudayaan, tapi juga sebagai institusi perdagangan. Sudah dari setidaknya dua dekade, semenjak lahirnya undang-undang perguruan tinggi, kampus berangsur-angsur mengonsolidasikan kekuatan ekonominya tanpa mengikutkan elemen-elemen perubahan terutama, mahasiswa. Semenjak tanggung jawab pemerintah dicabut atas dorongan undang-undang, kampus menjadi otonom dalam menyelenggarakan pendidikan dan keuangannya.

Dalam konteks ini, dapat dimengerti mengapa di sebagian besar kampus di Tanah Air muncul perlawanan atas kebijakan kampus yang tidak populer. Salah satu kebijakan kampus yang paling tidak populer adalah semakin tingginya biaya kuliah di samping tidak ada perubahan penyelenggaraan pendidikan. Biaya kuliah boleh naik, tapi tidak dengan pelayanannya, begitu kira-kira intinya.

Di UNM sendiri, perlawanan atas kebijakan tidak populer kampus sering mendapatkan rintangan internal dari dua unsur. Rintangan pertama datang dari unsur birokrasi selaku pengambil kebijakan, dan rintangan kedua adalah mahasiswa apatis yang mayoritas mudah ditemui di dalam kampus. Kedua unsur rintangan ini sama-sama dapat dijelaskan melalui kacamata tiga konsep kunci yang sudah disebutkan di atas.

Maksudnya, melalui tiga konsep sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditelisik di mana posisi keberpihakan birokrasi dan mahasiswa di dalam kehidupan demokrasi kampus. Apakah demokrasi telah menjadi sistem diskursif dan praksis menyediakan ruang gerak kebebasan berpendapat dan beroganisasi bagi seluruh elemen perubahan, atau justru sebaliknya, ia hanya menjadi  wacana di dalam kelas belaka!

Tidak perlu menunggu lama lagi, silakan Anda telusuri jawaban pertanyaan di atas dalam buku ini. Satu hal yang mesti secepatnya dilakukan adalah mengapresiasi usaha Ari ini. Tidak banyak mahasiwa mampu mengubah riset studinya menjadi buku seperti di tangan Anda ini. Bravo perjuangan.

Tiga Pertanyaan dari Sapiens


Penampakan Homo Sapiens
di museum Prancis


”Akhirnya, dan mungkin paling mengganggu, internet membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tidak mampu melakukan diskusi yang berfaedah.” Tom Nichols dalam The Death of Expertise.


SEJAK internet menjadi wahana belajar, dan kian hari semakin canggih, rasa-rasanya otak manusia di saat itu mulai berkeinginan berhenti berpikir. Kalimat ini bisa saya tulis dalam bentuk yang lain semisal, ketika internet menjadi sahabat para pelajar, rasa-rasanya para guru akan segera berhenti bekerja dan memilih masuk ke hutan dan kembali bertani saja. Sekolah hanya akan menjadi sia-sia jika lalu lintas pengetahuan dan arus informasi, kian hari membuat internet dikukuhkan sebagai guru pertama.

Kali pertama para ahli purbakala menemukan tulang belulang manusia purba, saat itu juga Homo Sapiens ditasbihkan sebagai makhluk paling efisien. Homo Sapiens disebut-sebut sebagai generasi penjelajah dan mampu bermigrasi berjarak ribuan mil  menggunakan kedua kakinya.

Volume otaknya yang lebih kecil dari saudara dekatnya adalah sebab utama mengapa ini bisa terjadi. Otaknya yang kecil membuat kepalanya jauh lebih ringan dan membuat Homo Sapiens jauh lebih mudah berjalan dengan menggunakan dua tungkai kakinya.

Saya bisa membuat daftar 1001 fungsi kedua tangan, dan setengah dari jumlah itu apa manfaat dari dua kaki yang dimiliki manusia, sama seperti bagaimana para nenek moyang ini mulai belajar menggunakan kedua tangannya untuk meneguk air, mencari kutu, dan membuat api.

Para sejarawan meyakini, Homo Sapiens adalah makhluk berteknologi pertama dengan kemampuan elementer berupa keahlian menggesek dua batu panas dan menghasilkan api dari peristiwa itu. Api, sebelum bahasa tercipta, temuan paling canggih bagi kehidupan lawas mereka. Seperti kedua tangan kita, saya memiliki 10 jawaban ketika Anda bertanya apa fungsi api bagi kehidupan purba saat itu.

Saat ini api bukan benda yang mencengangkan sebab ia dapat ditemukan berkali-kali dalam kehidupan seseorang. Jika Anda perokok, api sangatlah penting, tapi itu tidak membuat Anda merasa takjub sama sekali. Otak Anda sudah terbiasa dengan fenomena api yang setiap hari Anda ciptakan menggunakan korek api, kecuali Anda ingin menciptakannya menggunakan dua batu, dan berhasil memercikkan bara api pada gesekkan ke 714.

Seorang sosiolog bernama Max Weber bahkan mengatakan dunia modern bukan dunia seperti di mata masyarakat lawas melihatnya, yang takut dan terpesona dengan kebesaran alam. Semenjak manusia mengerahkan secara maksimal kemampuan berpikirnya, dunia fenomenal seperti hujan atau keluarnya magma dari gunung berapi dipandang sebagai peristiwa biasa belaka. Oleh sebab Anda sudah mampu menarasikannya ke dalam kalkulasi-kalkulasi sains.

Akal sehat Anda sudah lama dididik sehingga tanpa ragu Anda akan mengatakan ada hukum sebab akibat di balik dari setiap peristiwa, apa pun itu. Keheranan Anda akan segera sirna jika Anda meluangkan waktu demi mencari tahu apa hukum sebab akibat dari fenomena meledaknya gunung berapi, atau mengapa hujan di kota-kota dapat menjadi indikator untuk mengukur kualitas pekerjaan suatu pemerintahan.

Bagi seorang nelayan, pekerjaannya akan jauh lebih berhasil jika hukum sebab akibat itu ia praktikkan saat membaca gelagat alam berupa bentuk rasi bintang, posisi bulan, kekuatan ombak, dan arah angin. Dia bisa menjadi seorang ilmuwan hanya karena membuat jenis pertanyaan semisal apakah ada hubungan sejumlah ikan di lautan akan berkurang ketika musim kemarau datang, atau mengapa tiap hari udara kian panas seolah-olah hutan-hutan sudah kehilangan fungsinya.

Cara berpikir di atas bisa anda kembangkan di berbagai peristiwa kehidupan saat ini, kecuali Anda telah kembali kepada kehidupan purba masa lalu dan takjub kali pertama api bisa menakut-nakuti seekor hewan buas.

Saya membuka tulisan ini dengan mengatakan internet sebagai biang kerok orang-orang mulai malas memanfaatkan otaknya daripada kedua jempolnya. Seolah-olah saat ini orang-orang memiliki cara berpikir dengan memaksimalkan kemampuan menjelajah internet yang dimulai dari kekuatan otot jemarinya. Memikirkan ini ada benarnya, dan bukan dalam arti metaforis bahwa dunia saat ini memang sudah ada dalam genggaman tangan.

Sekarang, seperti seorang nelayan membaca gelagat alam, coba Anda ajukan tiga macam pertanyaan dari hasil Anda membaca gerak-gerik masyarakat informasi, dan coba kita lihat apakah tulisan ini punya manfaat untuk Anda.

Saya berhasil membuat tiga pertanyaan seperti juga Anda berupa, pertama, mengapa orang-orang senang menghabiskan waktunya berselancar di dalam dunia maya? Kedua, apa keuntungan dan siapa bakal dirugikan jika internet merebut perhatian orang-orang terdekat Anda? Ketiga, siapa yang harus bertanggung jawab jika internet berhasil membuat orang-orang kehilangan kemampuan berpikirnya?

Pertanyaan nomor satu adalah pertanyaan paling gampang yang bisa saya jawab oleh karena hampir setengah jumlah penduduk di dunia senang menggunakan internet. Statista, lembaga riset statistik Jerman, mencatat terdapat 3,49 miliar pengguna internet di seluruh dunia dari total 7,7 miliar penduduk per 2019.

Dari setengah jumlah penduduk ini, bisa kita bagi bahwa sebagian dari mereka ada yang menggunakan internet untuk mendukung pekerjaan mereka, sebagian lagi hanya dipakai untuk perdagangan jarak jauh, dan sisanya dari itu adalah penduduk yang memang suka menghabiskan separuh waktu hidupnya berselancar di dunia maya.

Saya satu dari pembagian kelompok terakhir, yang artinya bagian dari orang yang menggunakan internet demi hiburan semata. Tidak ada gunanya saya membela diri di sini karena saya bukanlah pekerja profesional atau pelaku bisnis yang membutuhkan jaringan internet di mana pun saya berada.

Memang seringkali saya berusaha mencari sumber-sumber pemahaman melalui internet ketika menghadapi soal-soal yang menantang pikiran, dan saat itu buku kadang tidak bisa menjadi pilihan utamanya. Tapi tetap saja, aktivitas ini menjadi mubazir karena tidak lama lagi aktivitas itu akan berubah dengan memilih dunia media sosial yang jauh lebih menggelitik secara imajinatif untuk ditengok.

Ada saat-saat ketika media sosial menjadi dunia penuh tanda tanya yang membuat Anda penasaran, kini apa yang sedang terjadi di sana? Siapa yang kini tengah menjadi trending topik? Isu apa yang sedang panas-panasnya? Dan, apa yang mesti saya lakukan ketika menceburkan diri di dalamnya? Coba Anda perhatikan, dengan pertanyaan ini saja, Anda gampang diyakinkan bahwa tidak ada seinci pun kehidupan saat ini yang lekang dari dunia maya, apalagi jika dering notifikasi menjadi jenis bunyi-bunyian paling sering dan selalu Anda ingin dengarkan.

Bunyi-bunyian yang selalu Anda harapkan itu datang dari perjalanan panjang tapi singkat. Ia berasal dari tumpukan arus informasi yang bergerak di antara sirkuit-sirkuit data dalam satu jaringan raksasa internet. Sebelum sampai ke Anda, bunyi notifikasi itu bergerak di antara lalu lintas miliaran informasi yang melintasi batas-batas benua, kota, negara, dan penyedia layanan sebelum akhirnya sampai ke benda mungil dalam genggaman Anda.

Metafora Tom Nichols dalam The Death of Expertise-nya menyebut hubungan fenomena pengguna internet dengan arus tumpukan miliaran informasi itu sebagai ”orang yang tersesat di mesin pencari”. Bilah pencari yang diset di setiap gawai  merupakan gerbang tanpa arah panah yang jelas. Tom Nichols mengandaikannya semacam hutan belantara tanpa aturan, tanpa batas, tanpa peringkat, dan tanpa filter. Anda jika berusaha mencari kebenaran di dalam dunia maya, Tom Nichols katakan Anda bakal tesesat di belantara miliaran informasi.

Nah, sekarang sudah mulai terjawab mengapa orang senang berselancar di dunia maya  selain bahwa dunia maya merupakan dunia yang betul-betul lain dari kehidupan sehari-hari. Dunia maya, karena ia mirip hutan, membauat orang terlambat sadar bahwa semakin lama ia semakin sulit menemukan jalan keluar dan paradoksnya, Anda akan semakin menikmati keliaran yang ditawarkan rimba kebebasan informasi. Jika Anda bukan seorang ahli dengan kemampuan mengenal peta lokasi, maka sekali Anda masuk ke dalamnya, Anda bakal sulit melihat kembali di mana kali pertama Anda masuk.

Salah satu perbedaan mendasar manusia purba dan manusia modern, adalah kecakapan linguistiknya. Manusia purba masih sulit mengerahkan kemampuan otaknya untuk melakukan percakapan panjang dibanding manusia modern yang sudah dilengkapi kemampuan berbahasa.

Manusia purba mengenal bahasa sebatas bunyi-bunyian yang mereka artikan secara komunal, partikular, dan terbatas. Berbeda dengan makhluk masa kini yang menset kemampuan linguistiknya lebih luas, universal, dan tak terbatas. Bahkan hari ini, setiap orang dituntut mengenal bahasa dari benua-benua lain sekalipun tempat-tempat itu belum pernah ia kunjungi sama sekali.

Saya tidak ingin katakan ketika seseorang hanya mengenal satu bahasa itu berarti cara ia hidup masih tergolong purba, sekalipun ia seorang pemimpin gerombolan jamaah agama . Tapi, itulah kelebihan bahasa masa kini dari bahasa dikembangkan manusia purba, yang hanya terbatas dalam lingkungan kelompoknya saja. Bahasa masa kini tidak akan membuat Anda seperti manusia purba jika Anda hanya tinggal di kawasan terpencil. Anda masih memungkinkan dapat mengetahui berbagai hal dari negeri  jauh ketika Anda memiliki rahasianya: internet.

Masih ada dua jawaban jika Anda masih mengingat dua pertanyaan di atas, walaupun saya menduga jawaban atas pertanyaan pertama tidak sama sekali tepat dan memuaskan Anda. Sekalipun jika Anda masih ragu, saya tidak menyarankan Anda untuk memercayai seluruh jawaban yang sudah saya upayakan di atas. Andaikan Anda masih takjub dengan dua pertanyaan lainnya, saya tidak menyarankan Anda agar secepat mungkin mencarinya di bilah mesin pencari.

Tugas  Anda adalah mengerahkan sejauh mana otak Anda mampu mengantisipasi kemalasan dan rayuan dunia maya, sama seperti bagaimana betapa seriusnya seorang manusia purba menciptakan api melalui dua batu digenggamannya.




Telah tayang di Kalaliterasi.com