Di zaman modern seperti
sekarang, dengan penggunaan media komunikasi dan teknologi secara massif,
terutama di kota-kota besar saat ini, hadir golongan muda yang disebut sebagai
kaum digital Natives. Istilah ini merujuk pada lapisan muda
masyarakat yang semenjak kecil dididik dan dibesarkan serta terbiasa dengan
alat teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital. Seperti lapisan
masyarakat di berbagai dunia lain, kaum digital natives lebih
peka dengan konsep kemajuan yang di tawarkan oleh era informasi seperti
sekarang ini. Mereka bermain games, mengoleksi lagu-lagu dalam
format mp3, duduk berjam-jam di depan laptop, sebagian sibuk
ber-BBM-an, dan tentu saja sebagaian besarnya mahir dan pandai berselancar
dalam dunia maya.
Kaum Digital Natives secara
karakter berbeda dengan golongan yang secara umur di atas mereka. Anak-anak
muda yang dibesarkan di dalam era digital lebih peka dan cekatan dalam merespon
kemajuan teknologi dibandingkan dengan golongan yang disebut dengan digital
immigrant. Sementara yang tua cenderung lebih lamban dan secara
kebudayaan masih dalam tinggkatan yang berorientasi kebelakang. Lebih
jauh, kaum digital natives lebih mendahulukan “citra”
dibandingkan “teks”, lebih senang “bermain” daripada “serius” serta lebih
mengedepankan “aksi” daripada “pengetahuan”.
Ledakan Informasi
Konsekuensi secara
kebudayaan dari kemunculan generasi digital natives akhirnya
akan berdampak pada gejala budaya yang bertentangan dengan budaya adihulung.
Yang mana gejala kebudayaan yang dimaksudkan disini adalah apa yang dalam
kajian cultural studies disebut dengan budaya populer.
Kebudayaan populer atau pop culture adalah nampakan budaya
kontemporer yang dibentuk berdasarkan logika media yang cenderung mengandalkan
massa sebagai sokongannya. Contoh yang paling memungkinkan untuk melacak gejala
kebudayaan generasi digital natives adalah kegandrungan
terhadap alat komunikasi elektronik yang sudah identik dengan mode of
life sehari-hari. Dimana hampir secara massal kita jumpai pada
keseharian, bagaimana dalam pergaulan sehari-hari generasi digital
natives banyak menggunakan alat-alat super canggih dalam menunjang
aktivitasnya.
Memang tak bisa kita tolak
banyak manfaat dari penggunaan alat-alat super canggih yang dalam kenyataan
hidup memudahkan kita dalam seluruh aktivitas kehidupan saat ini. Tak bisa kita
bayangkan kehidupan ini, jika alat-alat canggih yang sering digunakan hilang
dari pengalaman sehari-hari. Tak bisa kita sangsikan alat-alat demikian
memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dengan super cepat, dimana
jarak tak lagi relevan untuk dijadikan ukuran. Pun juga hal demikian membuat
masyarakat bisa dengan cepat mengetahui perkembangan dunia hanya dengan sekali
berselancar dengan alat komunikasi yang dimiliki.
Namun dari semua kemajuan
yang di rasakan oleh pengguna alat-alat canggih seperti smartphone, gadget, I
pad, tablet, laptop dsb, di tengah perkembangan informasi yang
melimpah ruah serta dinamika jaman yang semakin cepat, membuat orang-orang yang
demikian menjadi serba dangkal. Memang jaman tak bisa ditolak bahwa telah
terjadi pergeseran menyikapi masalah-masalah yang dihadapi. Masyarakat dituntut
untuk selaras dengan kemajuan jaman yang serba canggih dan serba cepat.
Namun keadaan yang memprihatinkan adalah masyarakat kehilangan ruang
refleksvitas untuk mendaur secara seksama masalah-masalah hidup yang dialami.
Minimnya atau hilangnya
ruang intropeksi ini pada akhirnya akan berdampak pada penumpukan informasi
yang tak sanggup untuk dikelola. Begitu banyak dari sekeliling masyarakat
bertebaran pengetahuan dan informasi yang diterima dari seluruh penjuru. Bahkan
dengan bantuan alat-alat canggih yang dapat mengakses informasi dengan cepat
pada akhirnya membuat masyarakat tak lagi memiliki waktu untuk mendaur ulang
informasi yang diterimanya untuk dimanfaatkan pada kehidupan nyata. Akibat dari
situasi seperti ini berdampak pada gejala depresi yang menekan kondisi
psikologis masyarakat. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis,
gejala demikian disebut dengan implosive, yakni meledaknya secara
internal seluruh informasi yang ada pada sistem memori seseorang, yang mana
efek ledakannya bukan mengarah keluar sebagaimana ledakan eksplosive, melainkan
jauh masuk pada sistem diri manusia diakibatkan menumpuknya informasi yang
tertanam pada seseorang.
Dalam kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, masyarakat menjadi sekumpulan orang yang cepat
menanggapi persoalan hidup dengan cara reaksioner. Di mana dalam merespon
perubahan sosio kebudayaan, masyarakat kehilangan daya sublimasi terhadap
kemajuan yang mendadak di hadapi. Akhirnya dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat maju dengan aksesoris alat-alat canggih tetapi secara psikis
mengalami regresi akibat ketidakmampuan dalam mengelolah seluruh informasi yang
diterimanya.
Apa yang kita hadapi
sekarang sudah sepatutnya disadari sebagai gejala kebudayaan yang bisa membawa
kondisi masyarakat kepada hal-hal yang tidak kita kehendaki. Salah satunya
adalah kecenderungan masyarakat yang kehilangan ruang edukasi oleh sebab telah
habis dilahap oleh seluruh yang berbau entertainment.
Pernah terbit dalam kolom
opini Harian Fajar 261213