membangun dunia

Seingat saya pada beberapa tahun yang lampau, saat kegiatan di salah satu kampus di sebuah forum diskusi, saya ditanya, pada saat yang tak diduga. Perihal buku yang saya terbitkan:Jejak Dunia Yang Retak, pernyataan yang fundamen, atau tepatnya pertanyaan yang elementer. Saya ditanyai tentang mengapa saya menulis buku ini, atau lebih dasariah lagi, mengapa saya menulis?

Di waktu itu, di saat saya disuguhi pertanyaan demikian, diktum Sokrates tentang pada situasi tertentu terkadang pertanyaan jauh lebih berbahaya dari pada sebuah jawaban, saya alami. Pertanyaan yang tidak saya taksir datangnya itu memang berbahaya. Apalagi menyangkut hal yang elementer. Sebab bertanya, berarti membuka peluang untuk menggugat tatanan, memberikan ruang untuk membongkar apa yang sudah mapan. Dan itu berarti mengganggu kebakuan yang stabil, mengganggu apa yang sudah terkunci rapat dalam benak. Memang pertanyaan itu sungguh membikin saya terkejut.

Untuk menjawab itu, apalagi dalam situasi sebagai pembicara, mewajibkan saya harus tepat memberikan jawaban kepada penanya. Ketepatannya bukan jenis presisi pada ilmu eksak yang harus sama persis antara hasil pembilangan dengan apa yang dibilangkan, melainkan melampaui itu, pasalnya ini pertanyaan yang cenderung filosofis, mengapa saya menulis? Ketepatannya adalah antara jawaban saya dengan ekspektasi yang diinginkan adalah ruang yang menghendaki sipenanya terpuaskan secara maknawi. Apalagi ini masalah nilai, sesuatu yang tidak bisa dihitung berdasar penggaris kuantitatif. Ini tentang berpengaruhkah jawaban saya terhadap pengalaman sipenanya kelak.

Maka saya jawab saja sesuai dengan harapan mudahmudahan ia mengerti. Mudahmudahan jawaban saya memberikan peluang untuk memahami. Seingat saya jawabannya seperti ini, dengan sedikit retoris: menulis saya andaikan perlakuan mencipta, tepatnya mencipta sesuatu, dalam inggris sesuatu adalah thing, dan dalam makna ini adalah bisa jadi segala hal. Singkat yang ingin saya bilang,  saya ingin menulis dengan mencipta sesuatu. Keinginan saya membangun dunia. Lewat tulisan.

 Jawaban saya dikala itu barangkali cenderung mendekati analogi. Dan memang karya tulis di mata saya cenderung analog dengan makna dunia. Teks bagi saya sama halnya susun bata yang dibangun untuk mendirikan dunia hunian yang tentu sifatnya privativ. Dalam rumah, sayalah empu yang bebas memanfaatkan bilah ruang yang ada. Jadi teks disini, dalam pengertian saya adalah rumah yang intim dengan saya. Di sana tak ada otoritas selain saya, apalagi ada hirarki yang bertingkat untuk menguasai.

Mudahmudahan dia mengerti, tentang maksud saya yang ingin membangun dunia, dari teks, dari alam pikiran saya. Yang mana di sanalah saya meneguhkan eksistensi saya. Dari sana saya ada, paling tidak dalam dunia yang saya bangun. Sehingga ini berarti saya dalam situasi yang bebas. Barangkali ini bermaksud katarsis, tetapi ini bukan pelarian, sebab orang yang berlari cenderung tak punya bekal yang ia bawa. Sementara ini tidak, saya punya teks yang sekehendak hati bisa saya pilih, yang merupakan modal saya untuk berjarak dengan dunia ril, pada saat saya sedang membangun dunia teks saya.

Mudahmudahan ia mengerti kenapa saya membangun dunia dari teks. Jikalau saya menjawab kembali, seingat saya seperti ini jawaban yang diutarakan kala itu: dunia, tempat yang kita huni, pusat seluruh kehidupan bekerja, adalah hunian yang penuh sesak. Penuh dengan hiruk pikuk. Setiap darinya ramai oleh segala hal. Sementara saya, terkadang membutuhkan tempat yang berbeda, barangkali sebuah tempat yang sunyi. Dititik ini, dunia sebagai konteks hidup, saya tolak, untuk pergi dari penuh sesak yang amat. Dan saya memilih teks. Untuk disusun menjadi dunia pribadi saya. Ini mirip dengan seorang diri yang membangun rumah jauh di atas gunung yang tinggi. Untuk mencari hunian yang senyap. Tempat yang tak dilalui lintasanlintasan penat yang tak berujung. Kirakira begitu gambarannya.

Kalau hal ini dia sudah mengerti, itu berarti dia juga paham tentang dunia apa yang saya maksud. Hunian yang penuh dengan kepadatan dan kompleksitas yang akut. Yang mana dari dunia itu saya bangun tembok pemisah. Karena dengan membangunnya, itu berarti satu hal. Yakni saya ingin terpisah sekaligus bersamasama. Terpisah dari kompeksitas yang akut, bersama dalam arti, saya juga tak sepenuhnya pergi. Ini barangkali seperti yang dibilangkan Gramsci: bersamasama sekaligus menentang.

Jika sedikit rumit dipahami, begini maksud saya: dunia yang saya tolak adalah dunia yang sudah terlanjur terpancang kuasa. Tatanan yang di dalamnya sudah terlanjur tersubtitusi dengan kekuasaan. Kekuasaan yang repetitif merepsesi kekerasan, kekejian, ketakutan, keangkeran dsb. Disini jika tatanan cenderung bermakna harmonis, maka kekuasaan dalam pengertian ini bermakna dan bekerja merusak apa yang dibutuhkan oleh tatanan: keberaturan. Sehingga, akhirnya tatanan menjadi medan yang chaotik, hunian yang penuh dengan potensialitas kehancuran.

Dunia itulah yang ingin saya tentang dengan membangun dunia dari teks. Dunia semacam itulah yang kerap saya hindarkan. Melalui teks, melalui dunia baru yang saya bangun.

Mudahmudahan sipenanya paham dari maksud saya. Jika toh tidak, bukankah saya tak pernah mengajaknya untuk mengenali hasil dunia saya. Bagaimana dengan anda?[]