Sejarah pastilah sekumpulan kisah yang terajut ikatan waktu
dan barangkali abstrak dalam kepala. Setidaknya itu, Duhai sobat yang dengan
kata engkau menafsirkan rasa lewat imajimu. Tak disadari kita menjadi Sang
Alkhemis, manusia dengan imaji masing-masing. Tentunya engkau masih mengingat
buku yang lapuk oleh tangan kita; yang bergantian mengejanya. Buku yang
bertutur tentang Santiago, anak yang menggembala dengan domba-dombanya mencari
hakiki hidup. Berbaring dengan tebal buku diselimuti alam, dimana gemintang
adalah syair-syair yang selalu ia senangi. Pernahkah engkau ingat itu Sobat?
Kita mungkin berjalan dengan Al Khemis masing-masing, cuman bedanya kita tak
memiliki domba untuk digembalakan, kita adalah imaji dengan domba yang abstrak.
Setidaknya engkau masih menyimpan memori. Ingatan
memori yang terperangkap jauh dari kepala kita. Dimana dalam sudut
kamar-kamarmu yang laksana kapal pecah, disanalah kita menghabiskan waktu dan
kata untuk bertukar rasa. Menjerat diri dalam hiruk pikuk yang entah kita
pahami. Dengan satu lembaran tebal Sang pemimpi, kita menjejalkan batu-batu
untuk naik di langit kepala masing-masing. Mulailah kita memiliki endapan masa
depan untuk melabrak zaman yang edan. Dari buku itu pun kita selalu menjalani
hari dimana kue-kue perasaan menjadi perayaan. Alangkah indahnya kenangan itu?
Tibalah engkau memiliki impian dengan belahan yang jiwa. Merangkai nasib untuk
masa yang bergelimangan air mata. Mulailah kita memiliki bumi yang berbeda.
Tetapi aku hargai pilihanmu, pilihan yang bagimu adalah hidup yang konsekuen,
hidup yang olehnya aku belajar. Wahai sobat ingatlah kita setidaknya pernah satu senyuman,
satu kemarahan dan satu atap. Sedianya engakau jangan sisihkan pada hari tuamu
kelak..Bicarakan tentang kami, satu yang revolusi baginya jalan dan satu yang
olehnya revolusi bukanlah letupan. Duhai kawan, kita adalah luapan dari kisah yang
belum usai.
Tulisan tahun 2009; berdasarkan ingatan