”Kegilaan”, saya kira adalah jalan alternatif, agar hidup lebih “berisi”, terutama ketika menghadapi keadaan yang dinormalisasi mirip sekarang; di aras politik, perbedaan prinsip demokrasi terancam berkembang ke arah totalitarianisme massa. Di saat bersamaan, demi stabilitas, kekuasaan negara kerap menempuh cara kekerasan menumpas kritisisme sekaligus mengampanyekan rezim autokrasi; di medan budaya, pasar—banyak orang menyebutnya kapitalisme—melalui budaya high consumption, menormalisasi masyarakat menjadi ”pelahap” simbol-simbol; di tataran global, tidak usah dikatakan, kebangkitan dua fundamentalisme kanan (pasar dan agama) jadi tren pemerintahan dunia.
Di aras dunia harian, gaya hidup
mengatasnamakan ”kebersamaan”; cara berpikir, praktik kerja, gaya belajar;
bahkan cara berseragam jadi fenomena lawas, tapi tidak pernah dilihat sebagai
jalan lapang terciptanya masyarakat—meminjam istilah Herbert Marcuse—masyarakat
satu dimensi.
Dalam kajian cultural studies,
masyarakat satu dimensi adalah gejala kebudayaan yang membuat dunia harian
terperangkap ke buih-buih permukaan simbolik, yang massal tapi juga mudah
”pecah”. Normalisasi dunia harian ini, kerap diandaikan oleh pengkritik kajian
budaya sebagai budaya populer, suatu gaya hidup yang distandarnisasi melalui
industri media hiburan.
Kegilaan, dianggap berbeda
karena itu aib, persis seperti digambarkan Eka Kurniawan dalam cerpennya Tak
Ada yang Gila di Kota Ini, mesti enyah dan dihilangkan demi menciptakan
kehidupan normal sesuai tafsir banyak orang, yang malangnya itu tidak
sepenuhnya mampu kita kendalikan.
Tafsir dalam cerpen Eka itu
menjadi seporadis diartikan sepihak menempatkan kegilaan di posisi subordinat.
Lebih dari pada itu, kegilaan di cerpen itu yang menjadi objek kekerasan, bukan
saja secara seksual, melainkan juga menjadi
objek pameran tontonan kelas berduit.
Itu artinya, kegilaan,yang dalam
dunia harian kerap dientengkan, dalam Tak Ada yang Gila di Kota Ini, diangkat
Eka untuk dipermasalahkan. Melalui tindakan tokoh-tokohnya kegilaan menjadi
konsep yang digugat dan ditafsir ulang. Siapa yang gila sebenarnya, orang-orang
yang mempertontonkan orang gila secara seksual, atau orang gila itu sendiri.
Kegilaan, di satu sisi, walaupun
itu jadi tafsir otoritas medis, bagi orang-orang tertentu digambarkan menjadi jalan
keluar dari pakem-pakem normal kehidupan. Kegilaan dalam arti ini adalah jenis
kegilaan lain, yakni suatu kualifikasi berpikir dan bertindak di luar dari
kebiasaan umum. Kita bisa menggantinya dengan istilah semisal ”kreatif”, ”inovatif”,
”out of the box”, ”produktif”, atau ”jenius”, yang semuanya mengesankan suatu
polah di atas rata-rata.
Mungkin terkesan serampangan
jika “kegilaan” diartikan sepadan dengan istilah di atas, tapi dunia
menggambarkan, sejarah dunia justru bergerak maju dari kepala orang-orang penentang
zaman. Orang-orang yang berani mengambil risiko berpikir dan bertindak berbeda,
meski dikecam dunia.
Socrates, filsuf canon Yunani
antik, dikatakan Alan Badiou, filsuf kontemporer Perancis, sebagai salah satu
figur yang rela menanggung risiko dari gaya berfilsafatnya. Selain revolt (pemberontakan),
logis (logika), dan universal (menyeluruh), risiko adalah ikhwal yang mesti
ditanggung dari setiap modus pencarian kebenaran. Selama berfilsafat, yang
memang sudah menjadi way of life nya, Socrates tidak sedikitpun gentar demi melahirkan
”suara” kebenaran, meski di akhir hidupnya ia dikalahkan melalui suara
mayoritas.
Saat Socrates hidup, kegilaan
menjadi idiom sepihak diartikan kekuasaan. Selain ”gila”, ia dituduh bid’ah dan
sesat karena dianggap menyalahartikan tradisi. Ia di tempat-tempat umum,
melakoni polah hidup khas yang kelak disebut ”metode bidan” mengajak publik
rajin menggunakan akal sehatnya. Meskipun mengajak publik berpikir sehat dan logis,
anehnya itu dianggap berbahaya oleh otoritas kekuasaan. Socrates dianggap
meremehkan tradisi, dewa-dewa, dan demokrasi. Ia lalu disidang dan setelah itu dihukum
mati.
Sudah terlalu sering kisah
Socrates diketahui publik, meski di waktu bersamaan saking keseringan kisahnya
tidak menarik lagi didengarkan. Begitu pula kisah-kisah serupa, karena
diceritakan berulang-ulang membuat kisahnya menjadi kebiasaan, normal, dan
garing. Seperti galibnya, apa yang sudah menjadi kenormalan apalagi pakem,
tidak akan menerbitkan sebersit inspirasi dari sana.
Tapi, kisah ”kegilaan” seperti
risiko kematian Socrates, tidak pernah akan habis menyampaikan mata air
pencerahan, terkhusus bagi orang-orang penyuka ”kisah kegilaan”. Hanya
orang-orang gila menyukai cerita-cerita gila. Hanya laron yang menyukai cahaya
lampion, meski rela sayap-sayapnya terbakar.
Sufisme, dalam hal ini adalah
tradisi yang menarik dielaborasi, karena mendudukkan ”kegilaan” sebagai salah
satu konsep sentralnya. Kurang lebih seperti tradisi pencarian kebenaran filosofis,
kegilaan dalam sufisme menjadi mode of being bagi pelakon tasawuf. Ia dipakai
sebagai konsep kunci untuk memahami bagaimana sufisme memberlakukan pengetahuan
tidak sekadar ”dibenakkan” tapi sekaligus ”dibatinkan”.
Bahlul bin Amr Ash Shairafi dan
Nasruddin Khoja, misalnya, merupakan nama kesohor dunia sufisme, yang menjadi
perspektif bahwa segala ikhwal mesti diangkat derajatnya dari wilayah
konseptual menjadi tindakan aktual. Jadi bukan saja berpikir ”gila”, tidak
sampai di situ, mereka sampai bertindak ”gila”.
”Di negeri cinta, akal digantung”,
begitu frase puitik dari Jalaluddin Rumi, yang mengandaikan setiap upaya
mencapai hakikat kebenaran, lebih dari sekadar simpulan berbagai silogisme,
atau hasil dari argumen proposisi rasional, melainkan suatu pelampauan loncatan
kerja akal menuju kesaksian jiwa. Kebenaran, itu artinya, berarti suatu
kontinyuitas laku akal yang dipancari cahaya melalui kedalaman jiwa dalam
perilaku harian.
Itulah jawabannya, mengapa tindakan-tindakan
kebenaran kerap menuntut risiko di luar akal sehat. Cara pandangnya lahir dari
permenungan mendalam yang menghujam dalam jiwa. Lahir dari keberanian untuk mendobrak
ide, pemikiran, keputusan, dan kebiasaan yang telah menjadi pakem yang sulit
diubah.
Syahdan, di masa lalu, hiduplah
Diogenes, filsuf yang sehari-hari hidup di dalam gentong air sebagai rumahnya.
Cara hidupnya yang dirancang sesederhana mungkin kerap membuatnya dituduh gila.
Bukan cara hidupnya yang seperti gelandangan saja, yang membuatnya dituduh
gila, tapi juga oleh cara berpikirnya yang melawan arus utama.
Sekali tempo di suatu pesta
meriah, Diogenes datang dan mengencingi orang-orang kaya dan membuat mereka
marah. ”Seharusnya kalian jangan memarahi saya yang gila ini, orang gila wajar
saja kencing di mana saja, kan!” kata Diogenes, mengkritik balik.
Seandainya, Diogenes hidup di
zaman ini, kira-kira siapa yang bakal ia kencingi?
Telah tayang di Belopainfo.id