JURUSELAMAT. Seperti dituliskan Eka Kurniawan melalui esai-blognya, dalam
sejarah, manusia mengenal dua sosok tragis: Socrates dan Yesus Kristus.
Socrates dikekalkan Platon sebagai orang yang rela memanggul kematian demi mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Dan Yesus dalam sejarah Kekristenan adalah juru selamat yang mengorbankan dirinya demi menjamin keselamatan umatnya.
Socrates dikekalkan Platon sebagai orang yang rela memanggul kematian demi mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Dan Yesus dalam sejarah Kekristenan adalah juru selamat yang mengorbankan dirinya demi menjamin keselamatan umatnya.
Dua sosok tragis ini,
baik melalui fiktif atau juga dalam sejarah, adalah dua narasi yang
mengidealisasi suatu model kehidupan yang kontradiktif.
Socrates pertama-tama
mati demi kehidupan yang tak ia temukan di tengah kiprah masyarakatnya. Sedangkan Yesus, seperti diketahui, sosok yang mati memanggul salib sebagai
protes terhadap dekadensi masyarakat yang ia temui.
Kelak nampaknya
seorang Socrates berkebalikan dari Yesus yang lahir dalam keadaan yatim
tanpa seorang bapak. Socrates bisa dibilang adalah figur bapak yang mati
melahirkan kebenaran tanpa kehadiran figur seorang ibu, bersedia meminum racun.
Sementara Yesus, di kisah tragedinya, menampilkan seorang figur ibu yang
mengikutinya dari belakang melihat sang anak berjalan ditawan pasukan romawi
memanggul beban seluruh umat manusia.
Betapa pedihnya hati
seorang perempuan, betapa sakitnya tragedi.
Tapi, apakah hanya
itu, atau juga kematian yang tragis? Kematian, dalam hal ini tidak saja
meninggalkan luka, namun juga sejarah.
Dengan kata lain,
sejarah adalah apa yang kita dudukkan sebagai kisah: suatu yang disebut
Clarissa Pinkola Estes –seorang scholar psikologi— sebagai cerita bagi jiwa.
Itulah sebabnya,
setiap cerita di sekitar sosok-sosok yang memainkan peran tragedi dalam
sejarah, juga sebenarnya simbol yang sangat manusiawi.
Bagiamana itu mungkin?
Bukankah dalam sejarah, yang manusiawi justru kadang kalah. Bahkan nyaris tidak
memiliki harapan. Hidup digilas kekuatan tiranik dan despotik.
Namun di situlah letak
perhatiannya. Yang manusiawi berarti hidup dalam keadaan yang sebenarnya.
Merasakan getirnya dilecehkan, juga direndahkan. Merasai bahwa kenyataan
bukanlah fantasi dunia tanpa cacat. Di situlah juga berarti yang manusiawi
adalah makhluk yang mampu membumbungkan harapan, melalui kematian sekalipun.
Di titik itulah saya
kira, sosok tragis melampaui idealisasi tindakan heroisme. Dia bukanlah
sosok-sosok yang mewakili manusia tanpa harapan. Melainkan manusia yang
mewakili bagaimana Tuhan memerhatikan kepedihan manusia.
Di kehidupan kini yang
tragis tidak lebih dari pada orang-orang kalah tanpa kekuatan kisah di
belakangnya. Bahkan sosok yang tragis nyaris hilang dalam imajinasi masyarakat
hari ini.
Tentu yang tragis di
sini bukan arti selain daripada kisah yang menyentuh. Kisah yang menyayat
sekaligus menggetarkan jiwa. Menggugat tapi juga menggugah.
Kehidupan kiwari,
nampaknya harus banyak belajar dari sosok yang dibesarkan tragedi dalam
sejarah. Di situ tidak sekedar bagaimana sosok semisal Yesus, harus berjalan
panjang memanggul kayu salib, melainkan rela berkorban demi menanggung
penderitaan umat manusia.
Kayu salib dalam
ungkapan lain tidak sekadar simbol penderitaan, melainkan tanggung jawab rela
mengambil alih peran bagi orang-orang yang tersisihkan. Suatu suara mewakili
umat yang mengalami pahitnya dikucilkan.
Juga sosok tragis
Socrates, dikekalkan tidak saja menjadi sosok sentral dalam arti figur seorang
guru. Tapi, siapa pun harus tahu, di balik kebenaran yang dinyatakan ada risiko
yang mesti ditanggung.
Kisah orang-orang
modern adalah kisah tanpa kayu salib. Kisah tanpa mau mengambil risiko
pencarian. Dua ciri yang alih-alih mesti dipahami sebagai kisah universal jiwa
yang bersetia dalam kebenaran dan rela berkorban. Tapi, malah orang-orang yang
kehilangan pesona terhadap kekuatan persona.
Kuatnya individualisme
naif merupakan anomali sejarah yang jauh dari sosok-sosok seperti Yesus juru
selamat. Dengan kata lain, nyaris di masa sekarang masyarakat adalah satuan
atomik tanpa sosial relationship. Masyarakat malah hilang dan nyaris tidak bisa
menjadi peristiwa interaktif: suatu pengertian yang mencerminkan karakter
masyarakat yang saling mengandaikan.
Di sisi lain, tidak
seperti Yesus atau bahkan Socrates, pemahaman hari ini justru adalah pengertian
yang sulit dikatakan sebagai pengetahuan yang memiliki dasar. Kemampuan
epistemologi masyarakat kiwari justru adalah model pengetahuan yang khawatir
mau mengambil risiko pencarian.
Itulah mengapa,
fenomena- fenomena seperti yang ditunjukkan oleh radikalisme dan
fundamentalisme orang-orang beragama, adalah jenis pengetahuan tanpa dasar
pencarian yang mendalam. Nyaris tanpa mau melatih kesabaran, dan juga tanpa
tradisi panjang melalui dialog ilmu pengetahuan.
Itulah juga mengapa,
iman akhir-akhir ini adalah jenis keyakinan yang mudah menghardik akibat rapuhnya suatu dasar,
iman yang takut mendapatkan ujian-ujian sebagaimana persona sejarah dalam
tragedi yang mereka alami.
Kemampuan berinteraksi
manusia tanpa kekuatan persona pada akhirnya akan berakhir menjadi nihilisme.
Hilangnya pegangan. Mustahilnya suatu pencarian.
Malam ini, seperti
juga perayaan Maulid Nabi, seorang sosok lahir ke dunia dengan tanggung jawab
besar di pundaknya. Tanggung jawab yang kelak akan dipanggulnya dengan
menukarnya melalui kematian.
Seperti Muhammad,
kelahirannya bukan sebatas peristiwa biologis belaka. Namun adalah peristiwa
ideologis pula. Dengan kata lain, kelahirannya mesti didudukkan sebagai
lahirnya tanggung jawab di setiap hati umatnya, untuk mengambil alih dan
melanjutkan kayu salib yang dipikulnya: suatu risiko yang mesti diemban dengan
semangat kasihnya.
Kini, dia datang
melalui perut seorang ibu perawan dan tanpa bapak, lagi-lagi dengan kisah di
seputar tragedi yang bakal menyertainya kelak. Seperti Muhammad sang nabi
terakhir, kelahiran sang anak yatim sesungguhnya adalah peristiwa yang revolusioner.
Selamat
Natal.