Menulis barangkali adalah
pekerjaan yang berat. Dalam aktivitas itu ada situasi yang mengharuskan kita
untuk membayangkan sesuatu. Di sana ada usaha untuk membangun, menyusun ataupun
menata sebuah ide, gagasan. Oleh sebab itulah akhirakhir ini saya kerap kali
gagal dalam usaha untuk menulis tentang sesuatu. Dan inilah faktanya; saya
belakangan ini mengalami regresi dalam minat maupun menemukan gagasan. Dalam
bahasa yang sering saya pakai; saya kehilangan gagasan yang mirip kembang api,
kejutan percik api seperti dalam ledakan.
Bagaimana saya harus
menyebutnya; kejutan percik api dalam ledakan. Di mana kembang api selalu punya
daya gugah, memukau dan barang tentu mengagetkan. Kembang api, kita
mafhum, selalu diawali dengan letusan dan diakhiri dengan ledakan. Kembang api,
pasca ledakan pertama selalu disusul dengan ledakan yang kedua, ketiga,
keempat, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya padam, lenggang kemudian
disusul dengan sunyi.
Kejutan dalam ledakan. Dan
kembang api punya itu, daya kejut yang mirip pegas. Menghentak. Dan di sana
selalu ada kontinyuitas. Ledakan yang saling bersusulan dengan pola ledakan
yang berbeda, sementara pada setiap ledakannya selalu punya jedah; renggang
waktu kosong sepersekian detik untuk disusul dengan ledakan selanjutnya.
Dengan begitu pada kembang api, yang biasa membuat saya terkagetkaget punya dua
hal; kontinyuitas dan ruang jedah.
Dan itulah sebabnya saya mengandaikan menulis adalah pekerjaan yang berat. Karena menulis berarti menjadi seperti kembang api. Di sana saya butuh daya pijarpijar ide yang berjalin, situasi merangkai antara ledakan satu gagasan dengan gagasan lain. Rangkaian yang berkelanjutan. Yang mana dalam situasi yang eksplosif itu selalu mengantarkan pada situasi yang saling susul menyusul; ruang jedah. Dan dua hal ini yang akhirakhir ini tak saya alami.
Tentang perihal yang
dialami; pengalaman, adalah peristiwa yang mensyaratkan adanya situasi yang
sadar dalam sesuatu. Yaitu situasi yang dengan kenyataan, antara kita
dengan alam kenyataan, tentang diri yang berkesadaran dengan dunia semesta.
Barangkali pengalaman yang saya andaikan di sini dekat dengan pengertian
yang bermakna eksitensialis. Yakni pengalaman akan diri atas kenyataan, dengan
turut serta kesadaran yang bergumul di dalamnya. Sehingga harus saya katakan di
sini, pengalaman jenis ini, di saatsaat belakangan ini, juga jarang saya alami.
Menulis juga menurut saya
adalah tindak aktif dalam kesunyian. Dalam menulis, yang saya sebut laku
kembang api itu, yang mengharuskan dua hal; kontinyuitas dan ruang untuk jedah,
bisa berarti juga adalah laku sebagaimana seorang pesuluk. Yang berjalan di
atas jalan kesunyian dalam tata ruang yang ramai. Sunyi bukan selamanya
bermakna sepi. Sebab kesepian adalah keadaan yang tragis, sebab kesepian
berarti segalanya hilang menanggalkan kita dalam kesendirian.
Sedangkan sunyi adalah kesendirian yang bermakna sesuatu yang memiliki kendali, yang mana kitalah yang memilih untuk menanggalkan segalanya. Maka kesunyian adalah peristiwa yang dahsyat di mana dunia hanyalah kenyataan yang bisa saja kita tanggalkan sewaktu waktu. Maka menulis adalah laku yang memilih untuk masuk dalam keadaan yang subtil, tata galaksi yang hening di antara hiruk pikuk untuk sunyi. Dan pada titik inilah menulis bisa berarti tempuh jalan suluk yang berima antara kesunyian dan keramaian.
Menulis dalam pengalaman
saya juga berarti adalah agama. Sebagaimana yang dibilangkan oleh Alfred North
Whitehead, agama selalu bermula dari kesunyian. Gauthama, seorang budhis
diawali dengan kesunyian di bawah pohon bodhi, dan di sanalah ajaran budha
bermula. Ibrahim, seorang rasul yang hanif, mengawali agamanya dalam kesunyian
dikala bulan menggelantung. Dalam sunyilah Ibrahim mencari tuhannya.
Dan Islam, jikalau Sang Rasul Muhammad bin Abdullah tidak melakukan laku sunyi di Gua Hira, bisa jadi Islam akan tiada besar hingga sekarang. Maka barangkali tepat jika saya katakan bahwa menulis adalah agama. Sebab dalam menulis seseorang harus mampu memasuki ruang yang saya sebutkan tadi; ruang sunyi.
Seperti awal bahasa saya, menulis berarti menjadi kembang api; di dalamnya ada konstruksi, ledakan yang susul menyusul, ruang jedah, kemudian kepukauan kemudian akhirnya adalah hening. Dan memang kembang api adalah kejadian tentang ledakan dan kejutan; semuanya pasti takjub. Dalam keheningan.