Marilah kita ziarah pada sebuah masa
yang telah lampau; alaf waktu medan hidup manusia belum tersentuh dengan label
dalam makna modern. Di mana disana formasi sosial belum terdefenisikan lewat
jejaring struktur yang terlalmpau kompleks. Di sana, dimensi ruang belum
tersekat oleh defenisi kelas social yang ajeg. Hidup masih berjalan pada usaha
mencari sesuatu yang hakiki dan ilahiat. Ruang ini; tercipta alam kebebasan
untuk mengaktualkan seluruh potensi manusia. Dengan tujuan pencapaian sebuah
tata hidup yang harmonis dan kekal. Tempat inilah yang kita kenal dengan tanah
Yunani.
Yunani dengan situasinya; model dan ciri karakteristik kehidupan masyarakat
yang harmonis, terdapat alam kebudayaan subur untuk tumbuh berkembangnya produk
khas dari potensi akliah manusia; filsafat. Potensi yang jauh melampaui dari
kepemilikan seluruh mahluk hidup alam semesta. Dengan kemampuan inilah, manusia
menerbangkan kepak imajinya untuk menyusuri kelokan labirin yang paling elok,
sampai pada yang paling misterius sekalipun. Untuk pertama kalinya, manusia
harus mengakui bahwa ada keberadaan yang terhampar luas terbentang di depannya.
Sebuah dunia siap untuk dijelajahi. Inilah saat filsafat bermula menjadi jalan
manusia untuk mencari makna kebijaksanaan yang hakiki.
Filsafat adalah tradisi pemikiran. Serangkaian “narasi” dimana di
sana bertutur sapa dipertemukan. Terbentang dalam perlintasan
sejarah umat manusia. Hendak mencari keterhubungan antara manusia disatu titik
dengan “panorama kebajikan” dititik seberangnya; sebuah kebajikan primordial.
Bentang relasi yang terdapat usaha sadar antara manusia dengan realitas hakiki.
Dengan tujuan mencari kebermaknaan hidup. Filsafat adalah bagaimana hidup bisa
selaras dengan tata kosmik.
Filsafat juga bisa menjadi medan lapangan perebutan. Di dalamnya
filsafat menjadi daerah pertarungan antara dua wajah antagonistik. Setidaknya
ini yang dikatakan Betrand Russell, seorang filsuf Inggris. Agama
dan Sains, persilangan kontrari yang senantiasa menampilkan sebuah epos
pertarungan untuk menarik seluruh perhatian manusia.
Demi memberikan pemecahan dalam membawa
manusia untuk mencapai ketinggian harkat dan akal budinya. Maka filsafat adalah
ruang netral dimana memasukinya, siapa pun harus bersiap menanggalkan seluruh
identitas yang dimiliki. Sekalipun pada ruang-ruang privativ. Melepaskan
seluruh nilai subjektiv kemudian bergegas datang dengan kevulgaran. Filsafat
adalah daerah yang tak bertuan; petak ruang yang seringkali
dijadikan otoritas dalam menentukan segala sesuatunya pada tafsir yang tunggal.
Dengan demikian, filsafat akan memberikan dan
membentuk sebuah sense yang
ada dalam manusia, untuk mau menerima seluruh kekurangan dari apa yang kita
pahami sebagai hal yang benar. Oleh sebab dalam filsafat akan kita
temukan keanekaragaman yang jamak, sebuah panorama yang saling memberikan warna
dari keseluruhan apa yang ada di dalamnya. Sebuah tempat dimana ruang bathin
mau tak mau harus menerima wajah-wajah kebenaran yang tak pernah tampil dalam
bingkai yang ajeg.
Jika filsafat adalah lapangan yang netral,
area yang tak memiliki otoritas kebenaran, maka dengan apakah kita harus
memberikan penilaian terhadap persentuhan kita dengan realitas?
Filsafat terkadang menyesakkan. Selalu menyebabkan ketegangan, darinya selalu
mengundang dilema-dilema kemanusiaan. Mungkin saja sampai masuk meronrong
dimensi bathin; kemapanan iman dan keyakinan.
Awal dari tragedi
Semesta kehidupan manusia bukan petak bujur
sangkar tempat dimainkan dramaturgi. Sehingga
laku dan peran sejak azali dilekatkan pada identitas-identitas yang
ajeg. Dengan tokoh yang masuk dalam panggung, menyuguhkan
narasi dengan skenario teater. Bertujuan dengan untuk menyenangkan hati sang
sutradara tunggal dibalik layar kendali. Sekali pun tak mampu menjangjangkaunya
dengan cerapan indera dan imaji, seperti apa rupa dan kehendak yang di
inginkannya.
Peristiwa inilah yang mengundang perdebatan
dikalangan filsuf dan ahli kalam dalam mendedah kemuskilan-kemuskilan yang
dihadapi. Disana ada dua model corak berfikir yang bertentangan. Dua system
berpikir yang masing-masing berbeda pada pem-posisian otoritas kebenaran. Di
ufuk yang paling timur, memiliki corak yang ditimpali dengan teks-teks
ke-wahyu-an sebagai the one truth dan
daya rasio sebagai sekumpulan kubangan doxa-doxa. Sementara
pada sebuah era yang telah melepaskan eksistensi manusia pada pemagaran para
padri agama dan otoritas sabda kudus gereja, mempertontonkan satu jejaring
pemikiran yang bebas menjejalkan kakinya pada penemuan-penemuan baru. Tentu
berdasarkan pada kebebasan rasio sebagai pemandu ziarahnya. Salah satu dari dua
system berpikir inilah yang diserap dan digunakan pada alam berpikir sebahagian
cendikia Islam pada perjumpaannya dengan kultur hellenisme. Datang menggelayungi
semesta kehidupan masyarakat Islam pada masanya.
Maka sebutlah epik yang telah tergariskan
sejarah manusia, dari masa seorang Socrates harus memilih jalan untuk meneguk
racun cemara sebagai keteguhan sebuah pilihan. Iman pada jalan yang senyap dan
terjal ditengah-tengah sahabat dan murid-muridnya. Dalam ruang penjara, ia
mati. Tangisan pun melepaskannya. Baginya yang paling memiris hati adalah
tunduk patuh pada keyakinan yang buta; pada sabda-sabda padri agamawan tanpa
kemerdekaan berpikir. Apalagi gagasan yang didasari oleh argumentasi yang tidak
kokoh. Nalar yang menelikungi kebenaran. Pada kisah ini,
Socrates mencintai kebenaran dengan cara kematian, dibandingkan masuk terpenjat
dan dijejali keterasingan yang paling nyata, yakni terpenjara pada iman yang
tak jelas.
Pada alaf yang lain, pada waktu yang
berselang, kediktatoran agamawan abad pertengahan menjadi marak. Saat dimana
penjatuhan hukuman bagi orang-orang yang melakukan bid’ah. Ditenggarai oleh
karena melakukan satu kesalahan fatal pada masa itu, kesalahan yang membuat
sang terdakwa harus digantung pada tiang pancungan. Sampai terkadang dibakar
dalam keadaan hidup adalah hal yang lumrah. Menentang gereja adalah iman yang
melenceng. Hanya dikarenakan orang-orang seperti Galileo Galilei dan Copernicus
mempertanyakan keabsahan kebenaran yang dianut oleh pihak gereja, tentu
mengenai keyakinan pada bumi yang diimani sebagai poros sentral alam semesta.
Pada belahan dunia yang berbeda, Islam telah
berjaya. Sebutlah seorang failusuf yang meregang nyawa diusianya yang masih
muda, tiga puluh delapan tahun umurnya. Konon ia mati ditangan eksekutor
seorang algojo dimasa dimana Islam menjadi agama yang sedang menikmati
masa-masa emasnya. Ia syahid sebagaimana apa yang dialami orang-orang
sepertinya di zaman sebelumnya. Ihwal yang sama hanya dikarenakan melakukan
aktifitas yang dianggap berbahaya; berfilsafat. Yakni melakukan upaya kritis
kontemplatif, usaha untuk menemukan realitas yang paling sublim
dalam tatanan wujud alam semesta. Dimana buah dari aktifitas yang
dimaksud terkadang membuat gerah orang-orang yang memiliki keyakinan yang
mapan. Suhrawardi harus membayar dengan nyawanya demi menegakkan pekerjaan yang
paling luhur dari seluruh aktifitas manusia; berkontempasi dalam membangun
keimanan yang utuh.