Filsafat dan Agama; Dua Persisian

Marilah kita ziarah pada sebuah masa yang telah lampau; alaf waktu medan hidup manusia belum tersentuh dengan label dalam makna modern. Di mana disana formasi sosial belum terdefenisikan lewat jejaring struktur yang terlalmpau kompleks. Di sana, dimensi ruang belum tersekat oleh defenisi kelas social yang ajeg. Hidup masih berjalan pada usaha mencari sesuatu yang hakiki dan ilahiat. Ruang ini; tercipta alam kebebasan untuk mengaktualkan seluruh potensi manusia. Dengan tujuan pencapaian sebuah tata hidup yang harmonis dan kekal. Tempat inilah yang kita kenal dengan tanah Yunani.

Yunani dengan situasinya; model dan ciri karakteristik kehidupan masyarakat yang harmonis, terdapat alam kebudayaan subur untuk tumbuh berkembangnya produk khas dari potensi akliah manusia; filsafat. Potensi yang jauh melampaui dari kepemilikan seluruh mahluk hidup alam semesta. Dengan kemampuan inilah, manusia menerbangkan kepak imajinya untuk menyusuri kelokan labirin yang paling elok, sampai pada yang paling misterius sekalipun. Untuk pertama kalinya, manusia harus mengakui bahwa ada keberadaan yang terhampar luas terbentang di depannya. Sebuah dunia siap untuk dijelajahi. Inilah saat filsafat bermula menjadi jalan manusia untuk mencari makna kebijaksanaan yang hakiki.

Filsafat adalah tradisi pemikiran. Serangkaian “narasi” dimana di sana  bertutur sapa dipertemukan. Terbentang dalam perlintasan sejarah umat manusia. Hendak mencari keterhubungan antara manusia disatu titik dengan “panorama kebajikan” dititik seberangnya; sebuah kebajikan primordial. Bentang relasi yang terdapat usaha sadar antara manusia dengan realitas hakiki. Dengan tujuan mencari kebermaknaan hidup. Filsafat adalah bagaimana hidup bisa selaras dengan tata kosmik.

Filsafat juga bisa menjadi medan lapangan perebutan. Di dalamnya filsafat menjadi daerah pertarungan antara dua wajah antagonistik. Setidaknya ini yang dikatakan Betrand Russell, seorang filsuf Inggris.  Agama dan Sains, persilangan kontrari yang senantiasa menampilkan sebuah epos pertarungan untuk menarik seluruh perhatian manusia. 

Demi memberikan pemecahan dalam membawa manusia untuk mencapai ketinggian harkat dan akal budinya. Maka filsafat adalah ruang netral dimana memasukinya, siapa pun harus bersiap menanggalkan seluruh identitas yang dimiliki. Sekalipun pada ruang-ruang privativ. Melepaskan seluruh nilai subjektiv kemudian bergegas datang dengan kevulgaran. Filsafat adalah daerah yang tak  bertuan; petak ruang yang seringkali dijadikan otoritas dalam menentukan segala sesuatunya pada tafsir yang tunggal.

Dengan demikian, filsafat akan memberikan dan membentuk sebuah sense yang ada dalam manusia, untuk mau menerima seluruh kekurangan dari apa yang kita pahami sebagai hal yang benar. Oleh sebab dalam  filsafat akan kita temukan keanekaragaman yang jamak, sebuah panorama yang saling memberikan warna dari keseluruhan apa yang ada di dalamnya. Sebuah tempat dimana ruang bathin mau tak mau harus menerima wajah-wajah kebenaran yang tak pernah tampil dalam bingkai yang ajeg.

Jika filsafat adalah lapangan yang netral, area yang tak memiliki otoritas kebenaran, maka dengan apakah kita harus memberikan penilaian terhadap  persentuhan kita dengan realitas? Filsafat terkadang menyesakkan. Selalu menyebabkan ketegangan, darinya selalu mengundang dilema-dilema kemanusiaan. Mungkin saja sampai masuk meronrong dimensi bathin; kemapanan iman dan keyakinan

Awal dari tragedi 

Semesta kehidupan manusia bukan petak bujur sangkar tempat  dimainkan dramaturgi. Sehingga laku dan peran sejak azali dilekatkan pada identitas-identitas yang ajeg.  Dengan tokoh yang masuk dalam panggung,  menyuguhkan narasi dengan skenario teater. Bertujuan dengan untuk menyenangkan hati sang sutradara tunggal dibalik layar kendali. Sekali pun tak mampu menjangjangkaunya dengan cerapan indera dan imaji, seperti apa rupa dan kehendak yang di inginkannya.

Peristiwa inilah yang mengundang perdebatan dikalangan filsuf dan ahli kalam dalam mendedah kemuskilan-kemuskilan yang dihadapi. Disana ada dua model corak berfikir yang bertentangan. Dua system berpikir yang masing-masing berbeda pada pem-posisian otoritas kebenaran. Di ufuk yang paling timur, memiliki corak yang ditimpali dengan teks-teks ke-wahyu-an sebagai the one truth dan daya rasio sebagai sekumpulan kubangan doxa-doxa. Sementara pada sebuah era yang telah melepaskan eksistensi manusia pada pemagaran para padri agama dan otoritas sabda kudus gereja, mempertontonkan satu jejaring pemikiran yang bebas menjejalkan kakinya pada penemuan-penemuan baru. Tentu berdasarkan pada kebebasan rasio sebagai pemandu ziarahnya. Salah satu dari dua system berpikir inilah yang diserap dan digunakan pada alam berpikir sebahagian cendikia Islam pada perjumpaannya dengan kultur hellenisme. Datang menggelayungi semesta kehidupan masyarakat Islam pada masanya.

Maka sebutlah epik yang telah tergariskan sejarah manusia, dari masa seorang Socrates harus memilih jalan untuk meneguk racun cemara sebagai keteguhan sebuah pilihan. Iman pada jalan yang senyap dan terjal ditengah-tengah sahabat dan murid-muridnya. Dalam ruang penjara, ia mati. Tangisan pun melepaskannya. Baginya yang paling memiris hati adalah tunduk patuh pada keyakinan yang buta; pada sabda-sabda padri agamawan tanpa kemerdekaan berpikir. Apalagi gagasan yang didasari oleh argumentasi yang tidak kokoh. Nalar yang menelikungi kebenaran. Pada kisah ini, Socrates mencintai kebenaran dengan cara kematian, dibandingkan masuk terpenjat dan dijejali keterasingan yang paling nyata, yakni terpenjara pada iman yang tak jelas.

Pada alaf yang lain, pada waktu yang berselang, kediktatoran agamawan abad pertengahan menjadi marak. Saat dimana penjatuhan hukuman bagi orang-orang yang melakukan bid’ah. Ditenggarai oleh karena melakukan satu kesalahan fatal pada masa itu, kesalahan yang membuat sang terdakwa harus digantung pada tiang pancungan. Sampai terkadang dibakar dalam keadaan hidup adalah hal yang lumrah. Menentang gereja adalah iman yang melenceng. Hanya dikarenakan orang-orang seperti Galileo Galilei dan Copernicus mempertanyakan keabsahan kebenaran yang dianut oleh pihak gereja, tentu mengenai keyakinan pada bumi yang diimani sebagai poros sentral alam semesta.

Pada belahan dunia yang berbeda, Islam telah berjaya. Sebutlah seorang failusuf yang meregang nyawa diusianya yang masih muda, tiga puluh delapan tahun umurnya. Konon ia mati ditangan eksekutor seorang algojo dimasa dimana Islam menjadi agama yang sedang menikmati masa-masa emasnya. Ia syahid sebagaimana apa yang dialami orang-orang sepertinya di zaman sebelumnya. Ihwal yang sama hanya dikarenakan melakukan aktifitas yang dianggap berbahaya; berfilsafat. Yakni melakukan upaya kritis kontemplatif, usaha untuk menemukan realitas yang paling sublim dalam  tatanan wujud alam semesta. Dimana buah dari aktifitas yang dimaksud terkadang membuat gerah orang-orang yang memiliki keyakinan yang mapan. Suhrawardi harus membayar dengan nyawanya demi menegakkan pekerjaan yang paling luhur dari seluruh aktifitas manusia; berkontempasi dalam membangun keimanan yang utuh. 


Tatal; entah kesekekian kalinya, tentang Iman.


Siang ini langit begitu terik. Suara itu datang dengan timbul tenggelam, hampir mendekati jelas penuh. Tapi siapa pun yang kerap  beberapa kali mendengarnya pasti tahu betul siapa milik suara yang hampir mendekati bunyi sengau itu. Suara itu terkadang, di beberapa waktu tertentu berasal dari atas mimbar, tapi kali ini berbeda; suara itu datang dari hanphone atau bisa jadi radio yang diputar pada frekuensi tertentu. Tapi yang jelas suara itu, suara seorang penceramah, saya yakin betul, suara yang saya dengar itu, diseberang rumah yang lapuk itu, suara milik Alm. KH. Zainuddin MZ.

Zainuddin MZ telah wafat, namun bila gajah mati meninggalkan gadingnya, maka Zainuddin MZ mati meninggalkan sepercik iman pada para pendengarnya. Dan hari ini, iman itu datang pada siang yang benderang, yang mana ceramahnya lebih abadi dibanding si empunya. Iman itu datang dan diperdengarkan ditengah keluarga kecil dengan rumah yang mendekati defenisi gubuk itu. Siang ini, di keluarga itu- yang di bawah atapnya terputar rekam suara da’i sejuta ummat itu, yang dibawah atapnya tak ada penandaan akan kesan seperti sebuah rumah selayaknya; TV, Refrigerator, ac, mesin cuci, seterusnya dan seterusnya, yang hampir seluruh bangunannya tersusun atas susun seng-seng bekas- mengisyaratkan bahwa iman bukan soal untuk di perdebatkan, yang mana iman dengan legowo mesti di terima tanpa  harus mengikutsertakan keraguan.

Mungkin iman seperti inilah yang di kehendaki oleh kalangan sufis, iman yang datang dengan tanpa keraguan, sekalipun itu menghendaki penjelasan, sebab iman yang disertai penjelasan adalah iman yang belum penuh seluruh, yang mana kejelasan masih dalam rangkai yang terpotong. Iman dalam  bentuk seperti ini adalah iman yang menerima kehadiran yang ilahiat, dengan tuhan sebagai yang berada pada segala kehadiran yang temporal. Dengan begitu, maka hidup hanyalah bagaimana menjalankan apa yang telah diyakini betul untuk menjalani lakon yang telah diberikan.

Entah apakah keluarga kecil itu tahu, bahwa apa yang mungkin saja mereka yakini pernah menjadi diskursus yang hidup sampai saat ini. Perbincangan tentang hal yang absolut; ihwal yang akhirnya membentuk gugus yang diyakini sebagai pegangan hidup. Iman sebagai pegangan hidup, agaknya bukanlah sebuah kongklusi yang final, yang sebelumnya lahir dari bentuk pikir yang rigoris. Iman seperti ini, nampaknya dimulai dan diakhiri dengan kepastian yang bisa berujung pada konsep yang tunggal, dan sejarah punya kisah tentang itu, bahwa demi yang tunggal itu, manusia membangun tiang pancang dan tembok kokoh untuk melindungi keyakinan yang absolut.

Maka pada keluarga kecil itu, saya teringat tentang sebuah pengertian iman yang lain, bukan iman yang padu kemudian berhenti pada titik yang pasti, melainkan iman yang seringkali harus patah ditengah jalan dan ditata pada langkah yang selanjutnya, dan begitu seterusnya, sebuah jalan yang tak punya ujung, iman yang bukan sekedar komitmen untuk benar, melainkan iman yang sedianya bisa bangkit untuk di susun kembali, dimana merupakan suatu penerjunan diri ke dalam suatu proses yang sepenuhnya berlangsung dalam hidup, dengan segala gejolaknya.

Iman seperti ini, mungkin bukanlah iman yang dipahami sebagai sebentuk pegangangan pasti bagi orang-orang yang menghendaki defenisi. Dimana terkadang dan barangkali sudah jadi sifat defenisi; membatasi. Sebab kita tahu, pekerjaan defenisi menghendaki penyingkiran akan adanya pengertian yang berbeda untuk di universalkan. Dan disinilah sebabnya, sesuatu yang universal menghendaki hilangnya semangat partikularitas. Seperti keluarga kecil itu; iman bukan soal yang rapat dan mapat pada defenisi teologis yang tak menerima perbedaan pengertian iman. Sebab barangkali bagi mereka iman itu sederhana. Seuatu yang tinggal dijalani.[]

Karunrung, 26 Maret 2012.

Pengantar; Jejak Dunia yang Retak

… Di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tetapi tidak gampang untuk diam… kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu pada saat seperti ini, hanya ada mendung atau hujan., atau kebisuan, mungkin ketidakacuhan. Semuanya teka-teki…
(Goenawan Mohammad)

Apa yang paling indah dari merangkai pengalaman yang dengannya kita mampu menyublim pelajaran. Suatu perjalanan hidup yang temporal, yang lekang oleh waktu, ruang adalah dimensi yang harus dilewati. Manusia berusaha keluar dari sifat temporalnya menuju ihwal yang mengisyaratkan akan sesuatu hal yang transenden. Dikatakan demikian karena terkadang pada pengalaman; hiruk-pikuk keramaian, sunyi-sepi kesendirian, di mana manusia bisa bermetamorfosa menjadi makhluk “yang lain” dengan aktivitasnya yang hendak mengalami hal-hal yang transenden.

Dahulu, orang Yunani menyebut aktivitas  semacam itu dengan Theoria. Theoria bagi orang-orang Yunani erat kaitannya dengan tema-tema kosmologis. Melakukan theoria, merupakan kegiatan tertinggi manusia, karena berarti mengaktifkan logos, suatu percikan Ilahi yang ada dalam diri manusia. Orang-orang yang melakukan aktivitas theoria kerap dinamakan sebagai filosof.  Sebab, biasanya filosof punya hal yang lain yang tak dimiliki oleh orang kebanyakan, yakni pengalaman akan hal yang sublime.

Kami tidak ingin menyebut diri sebagai filosof dengan pengalaman keseharian, tapi penulis meyakini bahwa setiap pengalaman yang mempunyai kedalaman memiliki sisi filosofis. Pengalaman yang berserakan dihadirkan menjadi sesuatu yang utuh dalam rentetan kata-kata. Kami pula meyakini bahwa tutur perlu untuk dituliskan agar ia tidak terlupakan dan berlalu begitu, agar ia “abadi”, sehingga besar harapan kami bahwa kehadiran buku sederhana ini dapat berkontribusi di setiap ruang dimana ia hadir.

Penulis menyadari bahwa rekam jejak dalam buku ini, mungkin “ada yang retak”. Karena bermula dari ide-ide yang tidak utuh dan sederhana serta berserakan, yang diperoleh dari pertautan penulis dengan habitusnya. Ide dalam buku ini jauh dari kesempurnaan karena ide memang tidak pernah utuh sebab ide yang utuh petanda stagnasi. 
Sebagaimana  judul buku ini: Jejak Dunia yang Retak.
Mengapa dunia Retak ?

Dunia adalah tempat kita hidup, namun dunia tak mesti dipahami sebagai entitas yang taken for granted hasil kreasi Tuhan, tapi dunia juga dapat dipahami sebagai perwujudan pengalaman manusia terhadap apa yang sedang dihadapi. Realisasi daya kreasi manusia terhadap alam yang didiami, dengan membentuk realitas baru yang belum tercipta sebelumnya. Maka dunia di sini bukanlah dunia yang diterima begitu saja, melainkan hasil karsa dari keterlibatan manusia sebagai subjek dengan dunia.

Pada momentum inilah kehendak manusia sebagai subjek memiliki peran, berusaha mengartikulasikan harapan dan cita-citanya untuk dibumikan menjadi hal yang kongkret. Namun pada zaman sekarang, kata Henri Levebre, tak ada ruang yang absen dari politik, dan kita pun tahu kapitalisme dengan peran politisnya banyak mendominasi kehendak umum manusia. Membentuk kesadaran massal berdasarkan agenda-agenda politis dalam rangka memonopoli dunia, yang pada akhirnya manusia kehilangan kehendak dasarnya, tergantikan dengan nalar kapital yang diinternalisasi berdasarkan permainan sistem yang berkelindan melalui hegemonisasi. Maka dari itu, dunia tak lagi milik Tuhan semata, melainkan harus berbagi jatah dengan kapitalisme, “tuhan” era modern.

 Dunia yang retak adalah dunia yang terkonstruk oleh subjek, di mana nilai kemanusiaan telah terkikis. Dunia yang memposisikan manusia layaknya mesin, dengan kata lain manusia tidak lebih dari struktur materi semata. Keretakan dunia dinikmati begitu saja tanpa sebuah jeda untuk interupsi dan melihat kembali, lalu bertanya. Apakah dunia ini sudah berjalan sebagaimana semestinya?. Dunia yang retak mungkin seperti yang disinyalir oleh Anthony Giddens sebagai dunia yang tunggang-langgang; lepas kendali.

Kumpulan tulisan ini, hendak merekam jejak retakan yang dianggap lumrah yang sebenarnya bukan hal yang biasa. Kehadiran buku ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah menemani, memberi serta berbagi pengalaman kepada kami. Kepada kedua Orang tua dan Keluarga. Kepada para mentor; Ahmad Syauwq, Sulhan Yusuf, Hamzah Fansury, Ipal, ustad Zainal (Alm), yang banyak mengajari kami untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kepada Sahabat; Sabara Nuruddin, Alto Makmuralto, Waliyul Hamdi, Muhammad Nur, Syamsuriadi Tambur, Safaruddin, Arman Syarif, Joe Fals, Rahmat Zainal, Idham, Sasli, Andi lambau, Ilman Derajat, Juned, fery Fefrika, Rido, Zainal As’ad, Bahrawi Zakaria, Adhy Manyipi, Ashari Burhan, Sukaina Nainawa, Asranuddin Pattopoi serta teman-teman yang tidak sempat disebutkan satu persatu, pastinya bahwa kehadiran kalian menemani kami berdiskusi, bercanda, menertawakan hidup itu sangat berarti.

Kepada anak-anak LDSI Al-Muntazhar yang sedang menanti, Komunitas Maya Tanah Merah, Komik, Muqaddimah, Madipala FIP UNM, LKIMB UNM, HMI (MPO), Paradigma Group, BEM dan MAPERWA UNM, SMART EM. Terima kasih khusus untuk mas Eko Prasetyo dan Daeng Dul Abdul Rahman atas kesediaanya memberi prolog dan epilog pada buku ini.   

Wassalam,
Makassar, 30 April 2012

Kita dan Revolusi (Untuk yang "Menanti" di sudut Jipang)

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana..
Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang..-Fairouz-

Disana tiada batas pada deret angka-angka. Tiada batasan umur. Tiada pula keterpilahan ruang. Menyatu menjadi  centang perentangan dialektis menuju pada titik yang sama. Kami melabeli titik itu dengan pilihan kata tunggal; Revolusi. Sebuah petanda yang dipilih dari ikhtiar, kata yang ditempatkan diujung makna yang bukan untuk ruang kosong.  Ini bukanlah kata eksposisi, bahasa yang memaut makna dan mati pada waktu setelah sejarah merentang. Melainkan kata yang simbolis. Seperti bahasa Ali Syariati: Suatu bahasa simbolik adalah bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah dikembangkan manusia1. Bahasa yang abadi dengan dimensi makna yang berlapis dan bertingkat. Dari kata inilah gerak kami bermula.

Revolusi acap kali datang disaat suasana menjadi seperti sebuah surau yang suram, gelap. Dimana  pada level metafora menjadi petanda kejahiliaan. Tata hidup manusia  yang terpenjara dari tapal-tapal yang memenjarakan, memisahkan  antara yang nyata dan yang semu.  Situasi kelupa akan bersik cahaya “benar” yang universal. Revolusi punya kekuatannya sendiri, memiliki sumbunya disetiap tempat, tinggal siapa yang menjadi pemantik. Itu saja awal revolusi; pemantik.

Seperti latar abad pencerahan, revolusi memiliki pemantiknya. Orang-orang yang melabrak dogma gereja. Ketika gereja menjadi candu, memutarbalikkan yang “imanen” ke hal yang “transenden”, yang “rendah” menuju lapis langit yang “jauh” dari peri hidup masyarakat. Mematikan nalar yang terpasung oleh berjubel-jubel kitab suci. Kondisi pun menjadi kalut, masyarakat hanya menuai hidup dibawah podium-podium para pendeta. Saat-saat inilah bermunculan orang-orang yang resah, galau, khawatir tentang hidup yang dikotomis, kehidupan yang menata yang “disana” lebih penting dari yang “disini” dan yang “sekarang”. Maka dimulailah era itu, era  “pencerahan”. Situasi dimana manusia  menjadi pendulum sejarahnya sendiri. Situasi yang membilangkan bahwa bukan Tuhanlah penentu hari ini dan esok, sebab manusia dicipta berdasarkan kehendak mutlaknya sendiri.

Revolusi juga bukan segerombolan orang-orang yang hiruk pikuk dengan slogan-slogan perjuangan. Revolusi tak sekedar jargon retoris. Revolusi setidaknya bisa kita pahami dari apa yang dirunutkan  Weber, Dimana sang manusia besar, ide dan keterlibatan yang besar, menempati ruang sejarahnya sendiri. Simaklah sejarah Revolusi, selalu memiliki manusia besarnya masing-masing.  Lantas apa yang menjadi arah ideal dari sebuah perubahan yang berayun? Barangkali  ide, gagasan yang disemai, disuburkan dengan proses dialektis mendapati fungsinya sebagai pelopor sebuah gerakan yang mana massa rakyat turut memegang kemudinya. Setidaknya itulah bahasa Ali Syariati,  bahwa tugas primer seorang intelektual adalah membangun massa rakayat. Syahdan, Revolusi adalah keterjalinan diantara komponen-komponennya.

Maka tibalah kita dimasa sekarang dan mendatang. Dari mana kita mesti mulai?2 Kita bukanlah orang-orang yang hidup di zaman masa lalu. Tidak berdiri ditepian zaman, bahkan kita berada ditengah-tengahnya. Kitalah zaman itu, zaman yang tunggal. Melihat dari mata yang sama, bertindak dari tindakan yang sama. Revolusi kita tidaklah sama dalam bahasa reaksi Marxian, bahwa akan tiba masa dimana para penjarah akan dijarah3. Revolusi kita tidaklah secara naratif dari apa yang tercermin dalam perkataan Bakunin pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.4 Itu adalah ideology yang semu, Oleh tutur lisan Marx Kesadaran Palsu. Pranata pikiran yang berisikan ajaran yang secara esensial justru menghadirkan para diktator tak bermoral. Kaum religius yang mewah dengan pundi-pundi amal serta sarjanawan yang terperangkap dari kehendak para tetua.

Revolusi barangkali adalah menelanjangi diri sendiri, bersedia menghadapkan diri pada fragmen-fragmen yang kontradiksi, telanjang pada diri-diri yang banyak hingga kita tahu ternyata kita bersama sekaligus menentang. Ada sekaligus meniadakan. Revolusi adalah bahasa vulgar, bahasa yang simbolis, menautkan setiap peristiwa-peristiwa besar dalam perilaku yang sederhana. Setidaknya Revolusi tidak sekedar menjatuhkan seorang diktator dari tahktanya, lebih jauh dari itu berusaha menjatuhkan “diri” dari tahktanya. Selayaknya dalam kondisi yang paling sublim revolusi adalah mengubah hal yang biasa menjadi tak biasa. Karena mungkin saja sehelai daun yang jatuh lebih dahsyat dari jatuhnya seorang kaizar 5.

---

1.      Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim
2.      Ali Syariati, Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam
3.      Michael Newman, Sosialisme Abad 21
4.      Bakunin, www.google.co.id/ Bakunin,  diakses pada 24 Februari 2011
5.      Tri Wibowo BS, Gunung Makrifat

Makassar, 25 Februari 2011

Yang Agama


Apa yang kelak datang pada akhir penghayatan tentang 'ada'? 

Konon katanya, agama bermula dari kesunyian. Konon, agama merupakan titik akhir dari pen-sunyi-an. Ataukah konklusi dari penghayatan. Bentuk keinsyafan dari ego yang ditangguhkan. Yang mana cikal ujungnya berakhir kesadaran. Bilamana di sana kesadaran harus tangguh pada sesuatu yang tak terkenali, dalam situasi inilah manusia berada pada situasi yang kurang lengkap. Insan yang tiada keutuhan. Sehingga dengan posisinya  yang demikian agama mengajarkan satu hal yang utama; kerendahan hati.

Jikalau agama adalah hayat kesunyian, namun ia pun harus memahami kenyataan yang lain dari keberadaannya. Perihal alam yang berbeda dari dirinya; alam rimba ektensia, alam lain yang bermaterialkan konkrit. Suatu bentangan yang bersusunkan lapislapis bentuk yang tiga dimensi.Yang selanjutnya ia mau tak mau harus berhadapan dan mendapati dirinya pada dunia yang begitu kontras. Pada titik inilah agama terkadang harus bersilangan dengan hal yang fana; alam duniawi.

Dunia yang sekarang bukan lagi dunia yang sama ketika pertama kali agama datang. Dunia sekarang merupakan dunia dengan adabadab yang berbeda. Tempat yang menghapus bentukbentuk ke-abadi-an. Kita barangkali telah khatam, di mana agama selalu menyusun dunianya yang menampik sesuatu yang tak tetap. Selalu datang dengan cogitan yang meneguhkan 'ada', dengan penyingkiran terhadap yang badani. Yang mana badani merupakan episentrum dari hirukpikuk yang mendatangkan dosa.

Dari sinilah barangkali datangnya soal. Pada tepian antara sunyi-abadi dengan ramaipikuk-badani, agama harus menjatuhkan palunya bilamana keduanya harus dipilih. Antara badani ataukah abadi, antara dunia ekstensia ataukah kesunyian, antara absolut ataukah kefanaan. 

Antara keangkuhan-kesunyian ataukah kerendahan hati pada alam yang tak pernah tetap? 

Sekarang dunia tidak sedang jalan di tempat. Segala sesuatunya bagai bus yang kehilangan kendali. Dunia yang menyatakan dirinya untuk tidak tinggal begitu saja. Tempat yang mendapati dirinya dalam situasi terburuburu. Barangkali pula ini locus masalahnya, dunia yang tak lagi sama, tanah besar yang menjadi tempat tumbuh kembangnya kemajuan. Budaya, politik, ekonomi, bahasa, sikap hidup, ideologi, ilmupengetahuan, teknologi serta sejumlah lainnya saling silap untuk mentata dunia, sedang agama mendapati dirinya sebagai hal yang terasing. Yang mana karena tak lagi sama, maka agama memulai agendanya; gerakan 'pemurnian'. 

Dan kita pun akhirnya maklum, keabadian yang menolak kontaminasi dunia, biasanya dengan dalih pemurnian mentasdik dunia sebagai hal yang mesti tunduk?[]

Pare, awal pagi 020313 

Sikap Nilai HMI

Merujuk pada Anthony Giddens. Saat ini kita berpacu dalam “dunia yang tunggang langgang”, terbirit-birit, berputar pada poros yang sama. Saat ini, dunia mengalami percepatan dan penyempitan, mode kehidupan berubah kemudian mengalami keterperosokan dalam lingkaran dendam dan kebencian yang menuai distopia dimana-mana. Situasi kontemporer ini terasa ketika kita memperhatikan dengan seksama kehidupan berbangsa. Indonesia sebagai entitas kebangsaan yang berpijak pada pancasila sebagai gugus moral dalam menjalankan praktik kehidupan yang menjelma dalam daily politics, situasi yang terbilang sebagai pembalikan dalam tubuh kebangsaan kita. Dimana-mana kekerasan mengambil bentuk dalam peristiwa yang berbeda, menggandakan diri dalam proses politik, perpecahan terajut dalam proses yang kian hari kian menggrogoti tubuh bangsa.

Konkatenasi ini akhirnya menyentuh salah satu penopang dari sebuah bangsa, yaitu kaum muda, sebagai generasi yang hampir memakan porsi terbesar dalam jumlah, tentunya kaum muda juga berperan dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Tidaklah berlebihan kalau situasi kontemporer saat ini “merusak” para kaum muda dengan proses politik, kaum muda terjebak dalam situasi yang mengharuskan mereka untuk ikut campur tangan dalam kondisi perpolitikan yang keropos. Indonesia mengalami pembusukan, kaki-kaki bangsa yang di topang oleh kesamaan identitas, kesatuan bahasa, dan visi kedepan yang ditopang oleh moralitas yang mengejewantah dalam pancasila, semua ini mengalami kemunduran ketika imperatif moral dalam konstitusi akhirnya menemui kebuntuan, ketika konstitusi di rombak dengan amandemen, kekeroposan ini terbukti ketika langgam kebangsaan di gantikan dengan langgam komunal. Etnisitas menjadi perekat dalam mengatasi kekosongan, jarak yang panjang antara bangsa dan orang-orang yang membayangkan diri sebagai bagian dari sebuah bangsa.

Dalam kondisi politik yang tidak bersandar pada moralitas konstitusi, kehidupan politik menjadi sangat liquid dalam artian bahwa semangat untuk menegakkan politik dengan ideologi sudah berhenti. Francis Fukuyama dalam hal ini membilangkannya kedalam kematian sejarah, tidak berlebihan bahwa situasi tanpa gagasan besar atau pikiran mengenai perubahan untuk mewujudkan sebuah tatanan akhirnya melahirkan peradaban yang sentimentil dan hanya merayakan permukaan. Moment kesementaraan dalam politik ini terjadi dalam tubuh bangsa kita sendiri, pancasila sebagai totalitas dalam menjalankan politik di pinggirkan. Peminggiran ideologi seperti ini berakibat pada melemahnya komitmen kebangsaan dan konstitusi kehilangan landasan moralnya, amandemen menghasilkan penghapusan nilai dan identitas menjadi kososng, masuknya gejala internasionalisme dalam berbagai bentuk pada akhirnya memperparah pengeroposan yang terjalin dari dalam.

Henri Lefebvre pernah merumuskan sebuah adagium, bahwa pada dasarnya tidak ada ruang yang absen dari politik, menilik dengan cara seperti ini untuk melihat kenyataan politik di Indonesia adalah baru, ruang-ruang politik kita dijejali hanya dengan kesemuan pada permukaan, politik tidak menjadi semacam senjata untuk menaklukkan masa depan, politik absen pada nilai. Politik hanya menjadi hingar-bingar dan perayaan yang sementara. Mari kita arahkan politik sebagai senjata ideologis pada kaum muda, bahwa mereka memasuki ruang-ruang politik pada segala level, tetapi mereka di rusak oleh mekanisme politik dan menghablur dalam permainan yang tidak tahu dimana ujung-pangkalnya.

HMI MPO sejak awal merumuskan politik berdasarkan nilai. Hal ini terbaca dalam traktat ideologisnya yang bernama Khittah Perjuangan. Terangkum dalam tafsirnya dan visi kedepan yang mengharuskan untuk di laksanakan. Bila merujuk pada pendekatan Luhman, maka boleh dibahasakan HMI MPO adalah entitas yang selayaknya autopoietic. Konsep autopoietik ini merujuk kepada diversitas-diversitas sistem-sistem dari sel biologis. Struktur yang di dalamnya plasma-plasma menjadi pusat dari sel-sel. Metafora ini, menjelaskan bahwa HMI MPO sebagai tatanan organik, dari model seperti ini, kami hendak membawa para pembaca kepada cara pandang yang bertugas secara fungisional untuk melihat HMI MPO sebagai sebuah batang tubuh organisasi. Bila kaca mata ini kita gunakan, maka dengan serta merta akan memberikan kepada kita pandangan yang sifatnya dialektis, sebab pada pandangan Luhman, sebuah organisasi dengan segala diversitasnya akan saling mengalami proses pengaruh-mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya pada tingkatan maupun bagiannya.

Sebagai sebuah plasma yang inheren dengan sub-sub sistemnya, maka HMI MPO tentunya memiliki sistem dasar yang menjadi fungsi integritas bagi jaringan kerja sistem-sistemnya. Islam sebagai plasma dasar, di dalam habitus organisasi yang memiliki fungsi sebagai gugusan system of thought bagi organisasi, bisa jadi mengalami proses konvergensi dengan tata gugus pemikiran lain yang berasal dari luar batasannya. Jika perihal ini terjadi, Islam sebagai autopoietic telah menagalami kondisi self organizing. Self organizing adalah bentuk pengorganisasian tentang bentuk diri yang melakukan dua model kerja sekaligus. Model kerja yang pertama, yakni Islam dalam pengertian HMI MPO akan melakukan proses pembatasan sistem-sistemnya dan kedua menerapkan pengorganisasian strukrur internalnya sendiri. HMI MPO lahir dalam sebuah alur konjuktural sejarah. Kaum muda menjadi subjek bagi Khittah Perjuangan. Segala praktik hidup di dasarkan pada aksioma yang telah di bangun dari landasan ini, terutama bagaimana menafsirkan keindonesiaan dan kebangsaan dalam bingkai ideologi islam, menyelamatkan kaki-kaki bangsa kita dari kehancuran dan menjadikan Islam sebagai karunia bagi semua yang ada dimuka bumi adalah tugas terpenting, dimana saat ini dignitas tidak lagi digenggam dalam tangan dan kedaulatan terampas. []

Tulisan ini pernah dimuat di pbhmi.net


Di Tengah Madah; Alegoristik

'Madah masih saja terus berlari. Langkahnya semakin berat. Dan malam masih sama; gelap berkalang kabut. Selebihnya dingin.'

Sudahkah engkau tahu, tentang pengandaian yang mengandung kompleksitas permasalahan bilamana sebuah isyarat akan tesampaikan? Mengenai medan masalah yang secara teoritis mempunyai lapis kedalaman untuk diselami? Yang mana kemertian terkadang jatuh tergelincir pada situasi yang subtil; ketidaktahuan. Dapatkah engkau memahaminya? Perihal  dari apa yang saya tenggarai? Barangkali saja engkau sudah terlanjur tidak mengerti, tentang triadikal itu. Tentang konsep yang berunut panjang dilingkungan ahli bahasa. Mengenai sebuah pesan yang mendatangkan permasalahannya jika ia dituturkan?

Bahasa adalah isyarat pesan. Sebuah pengandaian untuk mengungkapkan kenyataan. Seperti itulah barangkali yang kupahami tentang bahasa. Barangkali juga dahulu pada masa yang lampau, masa ketika manusia menjadi asing, kenyataan hanyalah ia yang belum terkenali. Selubung cangkang yang berkalang tebal misteri. Kemudian manusia datang dan menyadari. Tentang selubung kenyataan yang sama sekali anonim. Dimana disituasi demikian, situasi yang bias pada ketertutupannya, manusia pun takjub. Kemudian akhirnya ia berbahasa.

Dan di sanalah bahasa menjadi bentuk pengungkapan dari apa yang tersaksikan. Menjadi media bagi kita untuk memediasi ruang antara. Sebuah ruang yang kita sebut konsepsi, dengan tujuan menengahi persentuhan kita saat berhubungan dengan kenyataan.

Namun adakah yang memahami betul, pun engkau? Bahwa bahasa bisa mendatangkan soal? Bahwa bahasa juga bisa menjadi hulu perkara? Jika disana mengandung kompleksitas yang akut. Yang mana dirinya menjadi soal. Jika tanda antara 'yang menandai' dan dengan 'yang ditandai' mengalami bias, mengalami kesenjangan. Dimana bukan saja kesenjangan, melainkan diantaranya tiada memiliki hubungan sama sekali. Tentang ini mereka, kalangan ahli bahasa itu, menyebutnya sebagai kasus kesemenamenaan; arbiter.

Maka dari kesemenaan itu, ketidakmengertian bisa datang meliputi. Serempak dan menipu. Sebab siapa duga, bahasa dengan maksudnya yang murni hendak menyatakan dunia kenyataan, justru menjadi soal sendiri. Akhirnya bahasa muncul dalam kevulgarannya yang paling ekstrim; banalitas. Dan disanalah saatsaat makna menjadi langka. Disaat inilah bahasa harus dikuak. Sebab bahasa telah bergeser melencengi tugasnya. Saat ini juga dimana makna yang telah langka harus diperjuangkan.

Namun, masihkah engkau menyimak? Persoalannya; mungkinkah bahasa tampil sebagai perwujudan kenyataan itu sendiri atau bilamana ia menjadi jejaring yang memerangkap kenyataan? Dahulu, pada alaf yang lain, bahasa dipakai dan disambut sebagai optik kenyataan. Bertugas menjadi ceruk untuk menampilkan kenyataan. Oleh karenanya, kenyataan lewat bahasa dapat tersajikan dan tesampaikan. Namun pada sekarang, dunia dengan erosi dimanamana, hadir dengan peradangan yang akut betul. 

Yang mana bahasa tiada fungsi selain untuk mendompleng kuasa. Dan malangnya, bahasa yang demikian, yang mengandung kecacatan fungsi itu, oleh apa yang kita sebut kuasa, bisa berfungsi massif. Tujuannya; penghisapan. Bukan dengan yang lain, melainkan bahasa. Sebab benarlah sudah bahwa bahasa juga bisa mendatangkan satu soal baru; keterasingan. Dimana dia tiada kita duga bersama; bahasa pun justru menjadi selubung kenyataan.

'...Madah masih terus berlari. Langkahnya semakin berat.
Berkalang kabut; yang ia lihat tiada selain gelap'
Masihkah engkau disana?

Pare, harimalam 130313


Kelupaan H di Tengah Madah; Mencari Rumah

Tirulah dari apa yang hendak engkau persamakan. Bukankah peniruan bilamana disana engkau bisa setara. Suatu sanksi jika disana ada keutamaan, sementara dirimu masih berkalang enggan.

Madah, Madah, Madah.

Sastra saya pahami adalah dunia yang menampik untuk tunggal; paham. Bilamana sastra berusaha di mapankan dalam bentuknya yang mono, maka konsepsi hanya bisa mencelos, bahkan bisa jadi tampil dalam bentuknya yang otoriter; rejim pikiran. Sebab konsep terkadang menghendaki jalur yang sempit. Kemapatan antara dua persisian yang mesti rapat; ide dan dunia. 

Maka, sastra bukan saja pada dua tepian realitas, dimana terkadang antara keduanya; imagi dan kenyataan, hanyalah mediasi untuk kedalaman seseorang.

Demikian pula sastra tidak menghendaki adanya kepurnaan. Sebab sastra tidak bertugas untuk memberi konklusi. Dan sastra justru hadir pada tampilannya yang murni; jedah batin yang terputus dari kenyataan. Dan disanalah interupsi diperlukan; kontemplasi. Dimana subjek harus memasukinya; ruang yang menuntut keterpisahan. Bukan dengan konsepsi, melainkan suatu yang bersebarangan dari dan dengannya; ego. Walaupun ia bisa terjatuh pada pemadatanpemadatan dari nilai yang sudah tertanam secara konvensional. 

Dari sanalah barangkali kita bisa memberikan pengandaian terhadap triadikal itu; id, ego dan superego. Yang mana selalu ada yang menghendaki untuk teridentitaskan, membuncah dari kedalaman. Namun pada persentuhan terakhirnya mengharapkan penyesuaianpenyesuaian dengan dunia di luar; hukumhukum. Kemudian disinilah kebebasan biasanya mengandung kompleksitas beserta pengandaianpengandaian yang bersilangan.

'Ma[h]dah mantap,, Matanya.. Matanya tajam...'

Seperti apa yang terlupakan; h. Jatuh dan tibatiba dan rapat pada Madah. Disana, pada Madah, proyeksi tentang kedalaman yang terpenggal begitu saja. Terpotongpotong dalam ruasruas waktu yang santer. H, ia bukanlah bentuk material dari bilik konsepsi. Ia datang begitu tibatiba, serempak meloncati, dan kemudian tetap. Kedatangannya sesuatu yang tak diduga. Perihal yang melintasi tanpa singgah tinggal dalam alam pikir.

'Ma[h]dah berlari,, Ia membelah malam.' 

Saya pernah mendengar ini; waktu internal dan waktu eksternal. Pengandaian ini mengisyaratkan dua peng-alam-an yang berbeda. Dua rujukan yang bersilangan. Bahwa masingmasing memiliki sistem yang berlainan dan saling bernegasi, terus dan terus.

'Ma[h]dah, Ma[h]dah...masih saja berlari setelah kematian di bawahnya; Abah.

Madah bisa saja memilih keduanya, antara rumah inferiornya atau bisa saja bergegas menuju rumah eksteriornya. Namun madah tahu; di luar sana dunia sedang kembang kempis, membangun megah rumahrumah ekterior. Dengan material yang tak pernah ada ditemukan sebelumnya; teknologi, dimana berlombalomba dengan dirinya pada percepatan yang sulit dibendung. Madah sanksi; kita lupa kemana harus kembali, kemana rumah yang harusnya kita datangi.

Pada persilangan waktu; Ma[h]dah masih berlari.

Pare, hari siang 120313

Chavez


Chavez kritis. Ia bernapas meradang. Kemudian, di pembaringannya ia mangkat. Di usia 58.

Chavez bersusah payah melawan kanker: sakit yang menggerogoti sisa usianya. Beberapa kali operasi berjalan. Dokter terbaik berjibaku. Di rumah sakit Kuba, tempat sekutunya domisili, Castro, menjadi tempat terakhir sebelum akhirnya ia dipulangkan. Venezuela.

Dari atas dipan bilik rumah sakit militer ia masih memimpin rakyatnya. Instruksi-instruksi: bagaimana pun juga pemerintahan harus tetap bergerak. Negara, institusi politik yang ia kuasai tak mengenal ampun. Batapa pun sakit, negara adalah segalanya.

Namun, Selasa di suatu sore, 16.25, waktu berubah genting. Sesuatu mesti dikabarkan. Maduro, wakil Chaves mengumumkan: ”Kami telah menerima sebuah informasi yang paling tragis dan memilukan. Hari ini, pukul 04.25 sore, Presiden Hugo Chavez Frias meninggal dunia.” Suaranya tersedak, wakil presiden itu menangis. Selang detik kemudian Venezuela berkabung.
Chavez telah tiada.

kepergiannya tiada meninggalkan sesuatu selain dua hal: sosialisme dan negaranya tercinta.
Venezuela, seperti halnya negeri-negeri pewaris sosialisme: kesetiaan rakyat, pemerintahan demokratis, dan setiap inci tanah kemerdekaan, mau tak mau memiliki agenda total. Ketika Chavez memerdekakan Venezuela dari komparador kapitalis, sosialisme harus sampai ke rumahrumah warga. Tiada lagi warga melarat. Sosialisme satu-satunya juru selamat.

Syahdan, kolektivisme bukanlah prinsip yang nihil. Chavez belajar dari pengalaman masa lalunya. Kolektivitas adalah sisi terang yang mengatasi kemiskinan. Gagasan ini ia rawat semenjak dari militer. Baginya, militer bukan garis diametral yang menjauh dari entitas tempat mengabdi: rakyat. Militer dipahami sebagai sosialisme yang mengacung moncong senapan kepada penjarah tanah air. Militer sesungguhnya sosialisme berseragam. Ia  mekanisme pertahanan negara menghadapi ancaman apapun. Termasuk jenderal-jenderal sayap kanan berpolah korup. Chavez meyakini militer yang korup adalah musuh kemanusiaan.

Dari sosialisme jenis demikianlah ia hendak menata kembali Venezuela. Kemudian: kudeta militer dikerahkan. Walau akhirnya ia mengumumkan;

”Kamerad, sayang sekali untuk saat ini misi yang kami rancang gagal dijalankan di ibu kota. Beberapa di antara kita yang berada di Caracas tidak merebut kekuasaan. Di manapun kalian berada, kalian telah melakukan hal terbaik, tetapi sekarang adalah masa untuk merenung. Kesempatan baru akan muncul dan negara ini harus diarahkan ke masa depan yang lebih baik.”

Ia gagal.

Ia menunggu sembari menyusun rencana lain.

Venezuela dikeruk aksi pemerintahan korup. Oligarkhi kian liat. Agen-agen neolib bercokol di pemerintahan. Minyak melimpah, namun kemiskinan kian meluas. Saat-saat seperti ini revolusi satu-satunya jalan.

Kini, permasalahannya berbeda. Sosialisme bukan semata-mata rumusan mengelola negara. Bukan jargon yang harus dikhatamkan begitu rupa. Sosialisme tidak bakal tumbuh di tanah kering. Sosialisme tidakuntuk dijiplak.

Dengan kata lain, tidak seperti bangsa phobia perubahan, revolusi harus berangkat dari ingatan terdalam sejarahnya sendiri. Dan sosialisme, pada tafsirnya yang lain, di mana Chavez telah gagal memiliki isyarat: marxisme sudah uzur.

Itulah sebab, sosialisme dibersihkan dari kekolotan Leninisme. Apa yang menjadi aturan pakai, revolusi Venezuela kembali dengan tema besar: Revolusi Bolivarian. Dan akhirnya, dari partai, serempak sosialisme yang dinspirasi revolusi Bolivarian menjadi pekerjaan 24 jam. Kemudian dimulailah agenda besar itu: penyejahteraan berkala.

Hingga kini pasca pengumuman itu, 4000 lebih dewan-dewan komunal menemukan kenyataan, dan bisa jadi masalah; Chavez betul-betul mati.

Spekulasi di balik kematiannya bermunculan. Chavez diracun. Agen CIA dalangnya. Itu asumsi kalangan internal pemerintahan Venezuela. Walau demikian, umur Chavez tak sepanjang sosialismenya. Tanpa Chavez setelahnya, Revolusi Bolivarian bakal dirundung ujian.

Revolusi di manapun adalah batas antara ”yang konservatif” dengan ”yang revolusioner”. Revolusi bagai gerbong yang membutuhkan masinis. Apapun skenarionya mesti ada seseorang berdiri di depan menyisihkan lengan baju. Dan semuanya harus percaya. Tetapi kepercayaan bukanlah tanpa risiko, terlebih ketika sang masinis mangkat tanpa usul pengganti.

Walaupun demikian, bagi negeri-negeri sosialis keyakinan terhadap sosialisme ibarat jubah yang membutuhkan sosok, sekalipun ia sudah mangkat. Sosialisme dan sosok mesti abadi. Ia kedap perubahan.

Seperti Lenin maupun Mao, di Venezuela, sosialisme mau tak mau harus menjadi tubuh yang awet. Tujuannya kelak agar ingatan tak mudah disalib lupa. Sebagai simbol sebagai monumen ingatan. Di negeri sosialisme setiap pemimpin sesungguhnya berumur panjang.