Asketisme Leo Tolstoy

AWALNYA melimpah, selebihnya hidup dalam asketisme.

Setidaknya itu yang dialami Leo Tolstoy. Bak seorang manusia suci mengalami sebuah pergolakan batin. Barangkali ia rindu pada apa yang menjadi harapan semua orang yakni hidup di dalam rahmat Tuhan.  

Tapi, terkadang kerinduan membutuhkan satu pengorbanan besar di mana hidup harus dipandang dengan cara tak biasa. Leo Tolstoy mengalami pengalaman batin mendorong ia menanggalkan segalanya:  gelar, status sosial bahkan berhektar-hektar tanah yang ia miliki.

Transformasi hidup kerap dimulai dari kegoncahan iman. Hingga akhirnya suatu pilihan mesti dibayar dengan harga yang mahal. Keberanian mengubah bukan berarti tanpa risiko. Dalam hal ini Leo Tolstoy meninggalkan kemapanan hidup demi menemukan ihwal yang subtil dalam kehidupan.

Syahdan, ia hidup dikepung harta benda tak terhingga. Ia menjadi tuan tanah dengan ratusan petani pekerja. Hidup di dalam rumah bak istana raja.  Lengkap dengan lakon hidup teratur di dalamnya.
Namun ia menemui batu besar dalam dirinya. Sebuah pertanyaan mendasar yang belum mampu ia tuturkan dalam deret argumentasi yang teoritik. Ia menulis;

”Pertanyaan -yang memenuhi benakku pada usia 50 tahun membuatku hampir bunuh diri- adalah pertanyaan paling sederhana…”

Dalam satu tarikan napas:

”…yang tertanam di dalam jiwa setiap orang, mulai anak yang bodoh hingga orang dewasa yang paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa jawaban yang tak bisa ditangung seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah apa yang akan terjadi dari apa yang kulakukan hari ini atau yang akan kulakukan besok? Apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?”

Di usia 50 ia terdorong keluar dari pemikiran mapan. Pemikiran yang dimulai pada masa kanak-kanak berupa iman Kristen ortodoks. Masa kecil yang disokong sakramen-sakramen upacara misa dan puasa-puasa ketat.

Dengan kata lain, di usia 50 ia mengambil jedah. Dengan pertanyaan ini, ia menampik hidup untuk sebuah jawaban yang entah. Sebuah permulaan yang meneruskan satu sikap hidup yang bakal mengubah segalanya.

Hidup dalam ukuran seorang Tolstoy; menulis, meminum anggur, pesta dansa, dan wanita, di mana hidup sebagai seorang muda dijalani dengan pandangan hidup anti kristus. Menjadi seorang pada tahun-tahun di mana menghabiskan waktu di meja judi adalah kehidupan yang dinilai normal namun sekaligus menjemukkan;

”…aku tak bisa memikirkan tahun-tahun itu tanpa kengerian, perasaan muak sekaligus kepiluan. Aku telah membunuh banyak lelaki….aku kalah dalam permainan kartu, memeras tenaga para petani, menjatuhkan mereka dalam hukuman…Aku menipu, merampok, berzina…dan orang-orang sezamanku dianggap dan menganggapku sebagai orang yang termasuk bermoral.”

Namun interupsi itu datang. “Apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?” Sebuah pilihan untuk hijrah.

Hijrah? Mungkin adalah keniscayaan gerak. Proses yang harus dialami seluruh manusia. Di mana konsekuensinya adalah sebuah jalan tak punya ujung. Dan di sana ada pilihan. Maka seorang Tolstoy mengerti; hidup adalah perjalanan yang dirunut untuk dilangkahi. Ia, seorang tua, bermula dari sebuah pertanyaan yang eksplosiv; apa hujung dari apa yang kita sebut sebagai hidup?




ADA adagium masyur dari Socrates; hidup tak terperiksa adalah hidup yang tak patut dijalani.  Dan mungkin saja di suatu waktu,  kita mendapati kenyataan yang tak bisa kita duga sebelumnya, kemudian membuat kita terhenyak. Berusaha melihat secara terbuka untuk mencari jalan keluar dari apa yang terjadi. Dan di sini, pada titik ini, barangkali adagium dari Socrates kemudian berlaku. Di mana sebuah permenungan kemudian menjadi aktifitas yang menuntut laku sunyi; refleksi diri.

Namun, di mana zaman tengah tumbuh melesat, melakoni hidup seperti orang-orang soliter menjadi kian sulit. Di luar sana, pada apa yang kita katakan sebagai kehidupan, sedang terburu buru membawa dirinya pada titik entah. Di mana waktu dan ruang dimobilisasi sedemikian cepat, sehingga membuat hidup menjadi hal yang begitu cepat menguap.  Barangkali itulah hukum modernitas, segala begitu cepat berlalu, semuanya begitu licin dipertahankan.

Dari diri Tolstoy kita bisa belajar harta benda, status sosial, dan kekuasaan tak membuatnya harus takluk. Suatu waktu ia bakal tahu, apa yang ia miliki bisa menjerumuskannya pada situasi yang mencuri kedaulatannya.

Setidaknya dari seorang Tolstoy maupun Socrates kita bisa belajar, modernitas atau zaman yang ugalugalan ini, dengan percepatan komoditas, mobilisasi waktu, pemapatan ruang,  di mana terjadi pembalikan pada seluruh tatanan nilai, membuat kita harus tahu dan percaya tentang satu hal; di luar sana, nilai kedaulatan kita sebagai manusia tengah direcoki.[]