Kampus sedang tunggang langgang. Kampus mendapati
dirinya dalam keadaan terburu-buru. Kebijakan diambil tanpa pikir
panjang, tanpa dialog, yang penting bagaimana bisa menang. Gedung
dipertinggi otak dijepit di ketiak. Di dalamnya, budaya pencerahan
berlahan-lahan jumpalitan; terguling-guling. Tenaga pengajarnya malas
mengembangkan seni kemanusiaan lewat diskursus-kreatif. Mahasiswanya demam tinggi; biasanya jika orang sedang terkena demam akut,
jadinya senang meracau, ngomong sembarangan. Kawan, seisi kampus dalam
kondisi bahaya!
Bahaya pertama, mari kita lihat situasinya, lingkungan
yang paling dekat dari kita; teman-teman kita. Adakah mereka yang resah?
Jika tidak, maka itu sebuah kesalahan. Seorang mahasiswa harus memiliki
ide besar, ide tentang perubahan. Ide besar ini bagi seorang mahasiswa dalam
aktivitasnya, selalu dijadikan teropong untuk memandang situasi yang
dihadapinya. Jika situasi tidak selaras dengan harapan yang datang dari ide
besarnya, maka dari sana datang keresahan. Dari keresahan itulah mahasiswa
mengambil jarak dengan situasi untuk merekayasa situasi lingkungannya.
Ide besar dalam pengertian ilmiah sering disinonimkan
dengan ideology. Dalam ideology ada tiga susun elemen
pembentuknya. Salah satu elemen di dalamnya adalah pedoman bagaimana
cara memberlakukan manusia. Cara pemberlakuan kita terhadap sesama
pasti bergantung dari pengetahuan yang kita miliki tentang apa itu
manusia. Jika manusia dipahami seperi benda mati, maka cara kita memberikan
pemberlakuan terhadapnya sudah tentu sebagaimana benda mati diperlakukan; seenaknya
saja.
Pendidikan sekarang bisa kita analisis dengan menggunakan
unsur yang pertama dari ideologi. Pemberlakuan terhadap manusia (peserta didik)
di forum kelas bisa menjadi sampelnya. Dari sisi transfer pengetahuan; metode
yang digunakan dalam pertemuan masih menggunakan pendekatan
fatalism: pendekatan pedagogi. Pendekatan pedagogi contohnya bisa kita
lihat pada penerapan di sekolah-sekolah tingkat awal, semisal
taman kanak-kanak. Untuk menanamkan pengetahauan kepada anak-anak
kelas, guru-gurunya kerap menggunakan cara menyuap. Dialog yang terjadi
adalah dialog yang searah. Tidak ada dialog yang timbal balik. Komunikasi yang
terbangun sifatnya menegaskan adanya tingkatan kelas, yang mana guru sebagai
“google” yang maha tahu. Dalam keadaan seperti situasi ini, anak-anak diartikan
sebagai wadah yang kosong.
Situasi di atas sangat wajar jika kejadiannya terjadi pada kelas
anak-anak TK. Tetapi ini adalah masalah besar; kejadiaannya ada
pada jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa bukan lagi anak kecil yang mengetahui
realitas dunia melalui transmisi bahasa ibu. Di mana mahasiswa jika kita maknai
sebagai terma kata kerja maka di dalamnya termuati pengertian yang aktif.
Sehingga dalam kenyataannya mahasiswa berposisi sebagai agen yang turut
bertanggung jawab terhadap situasi yang dihadapinya. Sikap bertanggung jawab
terhadap situasi sudah pasti lahir dari kepemilikan akan seperangkat
pengetahuan yang dimiliki.
Bahaya yang kedua adalah ada pada tenaga pengajarnya.
Tenaga pengajar sekarang adalah produk dari sistem yang telah berkuasa selama
tiga puluh tahun lebih. Mereka selama hidup menjalani rutinitas yang telah
dikelola oleh penguasa sekehendak hati. Penguasa selama itu punya satu cara
efektif dalam mengontrol warganya agar bisa disesuaikan dengan tipe masyarakat
yang diinginkan, yakni kontrol pemikiran.
Pemikiran terkadang dalam sebuah sistem dianggap berbahaya jika di
sana ada gagasan yang mengusung ide-ide perubahan. Pemikiran yang
demikian adalah tipe pikiran yang menampik adanya stagnansi. Pemikiran yang
stagnan biasanya merupakan pikiran yang selalu terhenti pada titik
yang dianggap final, di sana tak ada gagasan
tentang pembaharuan. Dari pikiran seperti inilah yang dalam tinjauan
psikologis adalah pikiran yang sakit.
Kemutlakan kekuasaan bisa berarti stabilitas. Negara dengan
kekuasaannya dalam merencanakan stabilitas agar tidak goyah biasa punya seribu
satu cara untuk menegakkan keseragaman pikiran. Maka pendidikan harus mengikut
kehendak kuasa. Dan di sana, dari apa yang kita sebut pendidikan, sebuah agenda
tengah dibangun secara pelan-pelan; rekayasa sosial. Menciptakan hidup yang
dikontrol langsung oleh kekuasaan. Dan malangnya, tenaga pengajar kita telah
dididik di bawah sistem besar itu. Sistem besar dengan agenda utamanya;
keseragaman.
Keseragaman inilah yang akhirnya menjalar pada ruang
edukasi. Secara pelan-pelan tersimpan dibawah alam bawah sadar dan masuk
melalui jejaring sistem pendidikan. Hingga akhirnya kita pun tahu, semenjak
berseragam sekolah dasar hingga jenjang tinggi pendidikan, kita punya sebuah
masalah besar; pikiran yang disusun rapi dibawah tema keseragaman.
Mahasiswa sekarang tumbuh berkembangnya tepat ditengah ruang
kebudayaan virtual. Di sana ada dunia yang dibangun di atas citra imagi
dan hasrat. Dunia di mana identitas selalu diungkapan dengan hasrat yang
defenitif: belanja. Maka sebuah perayaan akan makna sebuah identitas adalah hal
yang tak lagi disandarkan pada sebuah ide yang besar.
Di tengah situasi itu, ada waktu yang dikelola. Ada ruang
yang memediasi kehendak. Di sana makna waktu adalah perayaan yang ditandai
dengan makna konsumtif. Di mana pemanfaatan waktu senggang adalah
bagaimana ruang batin diarahkan pada perangkap eksterior: mall. Di tempat
inilah gegap gempita perjuangan dikebiri dan dikangkangi. Di mana pada
Mall bukan saja bangunan dengan etalase mentereng, lebih daripada itu, disana
sebuah simbol telah tegak sebagai petanda akan matinya kemerdekaan subjek.
Sedang di alam yang silam, waktu senggang adalah dasar dari
terbentuknya kebudayaan. Di sana waktu yang dimiliki ditandai dengan usaha
pembentukan karakter. Lewat dialog serta upaya reflektif. Makna waktu termuati
dengan aktifitas yang produktif. Di sana, pada alaf yang silam, waktu
senggang (skolae), bisa berarti usaha pembebasan manusia.