Perlu
diketahui sebelumnya, prasangka dalam hermeneutika Gadamer bersifat netral
sejauh itu dipahami sebagai perantara pemahaman manusia untuk memahami keadaan
dan dunianya.
Bahkan
dalam pikiran Gadamer prasangka memiliki kedudukan yang siginifikan lantaran
tidak ada pemahaman yang terlepas dari prasangka. Prasangka dalam hermeneutika
Gadamer, dari sifatnya demikian adalah “kaca mata” bagi seseorang untuk
mengenali dan menggali dunia kehidupannya.
Secara
konseptual Gadamer membagi dua jenis prasangka: pertama, prasangka yang legitim
dan yang kedua, prasangka yang tidak legitim. Dua jenis prasangka ini mesti
didudukkan ke dalam konsep Gadamer tentang otoritas dan tradisi.
Bagi
Gadamer otoritas dan tradisi adalah dua komponen prasangka. Dengan kata lain
tindakan memahami, dalam hal ini prasangka, berarti tindakan yang tidak mungkin
lepas dari tradisi dan otoritas yang menyertainya. Pemahaman manusia dalam
memahami sesuatu selalu dipengaruhi otoritas dan tradisi tertentu.
Gadamer
mengambil contoh fenomena masyarakat Abad Pertengahan yang digerakkan otoritas
dan tradisi Kekristenan di dalam membentuk horizon pemahaman masyarakat. Kasus
Galileo, misalnya, adalah contoh bagaimana faktor otoritas dan tradisi
Kekristenan melihat penemuan-penemuan Galileo sebagai hal yang menyimpang dari
kepercayaan umum masyarakat gerejani.
Dari
tilikan kebudayaan lokal, prasangka dapat ditemukan dari cerita-cerita yang
berkembang di masyarakat berupa mitos asal usul, pandangan cksmologi, dan
eskatologi yang menjadi elemen dasar
masyarakat ketika merepresentasikan kehidupannya. Melalui semua itu masyarakat
mengidentifikasi serta mengelola interaksinya demi menunjang keseimbangan di dalamnya.
Sebagai
misal masyarakat Bugis Makassar yang memprasangkai asal usul manusia dan kebudayaan
pertama dari mitos I lagaligo. Atau juga masayarakat adat Kajang di bulukumba
yang meyakini kebudayaan mereka dimulai dari kehadiran seorang yang bernama
Ammatoa sebagai manusia pertama di dunia. Melalui kedua narasi mitos ini, dua
kebudayaan yang disebutkan membangun prasangka yang menjadi sumber pemahaman
mereka.
Berangkat
dari persoalan otoritas di atas, Gadamer memberikan tilikan bahwa otoritas dan
tradisi adalah sumber pemahaman yang menyerupai otoritas rasio di abad
Pencerahan. Dengan kata lain, seperti kedudukan sains hari ini sebagai sumber
pengetahuan, otoritas dan tradisi bagi Gadamer juga adalah sumber pengetahuan
yang melandasi pemahaman manusia.
Tradisi
sebagai sumber pengetahuan dicontohkan Gadamer melalui sains itu sendiri
sebagai tradisi. Dalam hal ini sains dirawat melalui kebiasaan-kebiasaan ilmiah
yang merupakan kaidah yang memberikan arah bagi proses pencarian kebenaran.
Kebiasan-kebiasaan ilmiah ini menurut Gadamer adalah tradisi yang dimiliki
sains seperti yang ditunjukkan melalui tradisi riset.
Melalui
hal-hal di atas, nampak jelas bahwa hermeneutika Gadamer menjadikan prasangka
melalui otoritas dan tradisi sebagai komponen yang senantiasa menyertai
pemahaman. Dengan kata lain, melalui prasangka menurut Gadamer justru
memungkinkan terjadinya pemahaman. Melalui dua komponen prasangka, yakni
otoritas dan tradisi itulah sang pembaca teks mesti membedakan yang mana
prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim.
Hermeneutika
Gadamer adalah jenis hermeneutika produktif dalam pengertian manusia memiliki
peluang untuk membentuk pemahaman baru dari teks yang ditafsirkannya. Tujuan
ini tidak sama sekali berarti sang penafsir keluar dari otoritas dan tradisi
yang melingkupi pemahamannya. Sang penafsir karena bagi Gadamer adalah orang
yang hidup di dalam tradisi dan otoritas, tidak mungkin keluar dari kedua
komponen pemahaman yang dimaksud. Dengan kata lain, pemahaman bagi Gadamer
adalah peleburan dari apa yang dia sebut horizon-horizon tradisi, otoritas, dan
penafsir itu sendiri.
Implikasi
kedudukan manusia yang berada dalam sejarah berarti tidak ada pengetahuan yang
bersifat objektif selain dia merupakan terbentuk dalam konteks sejarah
tertentu. Manusia di dalam sejarah berarti juga kebenaran itu tidak diterima
dari luar sejarah, melainkan hasil dari interaksi sang penafsir dengan
perjumpaan-perjumpaan yang dialaminya dalam sejarah dan bergerak dalam ruang
dan waktu.