Nelayan Itu (Tidak) Berhenti Melaut


Judul Buku: Nelayan Itu Berhenti Melaut
Penulis: Safar Banggai
Editor: Alfin Rizal
Penerbit: Pojok Cerpen
Tahun Terbit: 2019
Cetakan ke: Pertama  
ISBN: 9786025350337

DUA cerpen awal kumcer ini saya baca di sebuah warkop ketika hari jelang sore. Setelah membelinya, saya memilih rehat dari kerumunan kendaraan yang menggila di atas bara aspal. Makassar, jelang sore adalah kota sibuk. Di jalan raya, seolah-olah semua sedang diburu sesuatu mendesak yang seketika sesak.

Saya tidak bisa menahan tidak sesegera mungkin membaca buku karangan Safar Banggai. Kiprah kepenulisannya sedikit banyak sering saya lihat melalui layar Fb. Safar orang Luwuk Banggai. Ia kini mengabdikan dirinya di dunia kepenulisan Yogyakarta. Di sana Safar menghibahkan dirinya sepenuh-penuhnya untuk dunia literasi.

Sebagian masyarakat Banggai, daerah asal Safar, banyak hidup di atas lautan. Hidup sebagai nelayan dan mati sebagai nelayan pula. Sebagian besar mereka sudah turun temurun hidup bersama laut.

Semua tema dalam kumcer Safar ini mengambil latar masyarakat pesisir—peristilahan yang kurang tepat mengingat masyarakat Banggai lebih banyak tinggal di atas air lautan. Satu tema yang unik mengingat sependek pengetahuan saya, tema masyarakat laut masih jarang dinarasikan melalui sastra. Apalagi, mengingat ini adalah Banggai, suatu daerah yang seringkali luput dari perhatian masyarakat daratan.

Nelayan Itu Berhenti Melaut sudah dari awal menanam rasa penasaran. Bagaimana mungkin nelayan yang berhubungan secara organik dengan lautan berhenti melaut? Apa sebab utama, nelayan, salah satu ”profesi” tertua di Nusantara memunggungi semesta tempatnya mencari kehidupan?    

Berbekal rasa penasaran saya mulai membaca cerpen pertama yang kebetulan bertitel sama dengan kumcer ini. Rasa kopi khas warkop langganan menambah sensasi imajinatif menangkap dunia fiksi ciptaan Safar melalui gaya kalimat padat dan langsung.

Nelayan Itu Berhenti Melaut adalah cerita dengan tokoh nahas. Seorang pemuda yatim piatu bernama Atam. Ia berhenti melaut lantaran cintanya ditolak. Siti, perempuan dambaan Atam, ogah menjadi tambatan jangkar cinta Atam.

Siti lebih menyukai pria tampan sekaligus berasal dari kota.

Cinta Atam cinta buta sekaligus pincang. Atam buta mencintai Siti, gadis berpendidikan tinggi dari keluarga terpandang di Kampung Nelayan. Atam hanya pemuda nelayan miskin yang lebih sering pulang tanpa ikan tangkapan.

Cinta Atam disebut pincang karena tak membantunya mampu memangkas jarak stratifikasi sosial yang jauh di antara keduanya.

Cintanya kepada Siti seperti orang laut Banggai melihat daratan. Jauh sekaligus asing.

Tapi walaupun begitu, kisah Atam tidak berhenti seketika. Cinta Atam cintanya orang-orang lautan. Keras dan pantang mundur. Seolah-olah mengafirmasi prinsip masyarakat nelayan: masalah di lautan jangan dibawa sampai ke daratan. Begitu juga sebaliknya. Selama ia belum menuntaskan cintanya di daratan, selama itu pula ia enggan menghirup aroma laut. 

Nasib sial lain Atam juga dialami dalam kisah Mengubur Kenangan. Setelah ia ditolak Siti kali kedua ia dipecundangi anak Pak Haji. Anak Pak Haji dalam Mengubur Kenangan bahkan diceritakan enggan melihat Atam. Ia bakal tertawa melihat ompong dua gigi di wajah Atam.

Kisah kehilangan dua gigi Atam diceritakan Safar melalui mitos khas masyarakat nelayan. Sering dipercayai, ketika seseorang bermimpi dua giginya tanggal, menandai akan ada orang terdekat segera mangkat.

Di kisah Mengubur Kenangan, melalui Atam, Safar seolah-olah sedang melawan irasionalitas mitos. Atam dikisahkan mencabut sendiri giginya setelah terbangun dari mimpinya. Ia ogah mimpi serupa bakal terulang. Itu artinya tidak ada bakal mati hanya karena urusan dua gigi tanggal dalam mimpi.

Persamaan kisah cinta Atam dalam dua cerita di atas—Nelayan Itu Berhenti Melaut dan Mengubur Kenangan—adalah cinta yang dilatarbelakangi perbedaan status sosial. Baik Siti maupun Anak Pak Haji bukanlah cinta yang dilatarbelakangi nuansa lautan tanpa batas dan embel-embel, melainkan sudah disapu budaya kota: harta dan kedudukan sosial.

Cerita Dua Perempuan Untuk Satu Lelaki tersirat mengutarakan problem sering dialami kaum perempuan nelayan. Ada anekdot barang siapa menjadi pelaut kemungkinan memiliki lebih satu istri dari pulau berbeda. Jika tidak, masih ada risiko lain. Selain ditinggal pergi kerja ke luar negeri, istri-istri nelayan harus siap apabila sang suami ditelan kedalaman laut lepas.

Efek dari kehilangan suami bisa berbuntut panjang terutama bagi kebutuhan tubuh. Begitulah pengalaman si Aku dalam kisah ini. Yang menarik ia tidak sendiri. Sahabat dekat si Aku mengalami nasib serupa. Suatu hari si Aku tidak tega melihat sahabatnya kebelet berhubungan badan. Sesama perempuan, ia paham perasaan sahabatnya.  Itulah sebabnya setelah mendapatkan persetujuan, demi sahabatnya, ia rela berbagi tubuh suaminya.

Eksplorasi tubuh juga ditemui dalam Perempuan Yang Membuang Jala—hal yang sama dalam Makan Mayat Manusia, cerpen kedua. Di kisah ini tubuh perempuan digambarkan anomali. 10 tahun tubuh Dewi, tokoh kisah ini, tidak mampu melahirkan keturunan. Kontras dengan kemampuan tubuh Atam, suami Dewi, yang perkasa di atas ranjang.

Tubuh Dewi dalam hal ini adalah korban. Sebagai perempuan ia jadi objek seksual Atam. Sebagai istri, tubuhnya enggan beregenasi. Mandul.

Puncak anomali tubuh perempuan, dikisahkan Safar, setelah tubuh Dewi mencerna ramuan sanro atas inisiatif suaminya. Tubuh Dewi menunjukkan gejala tak biasa. Tak dikira, Dewi mengandung dan melahirkan ikan ketambak.

Seperti dapat ditemui dalam masyarakat perairan sungai—di Sulawesi selatan, percaya tidak percaya ada perempuan yang melahirkan buaya—Safar mengingatkan kepada pembaca mengenai kejadian-kejadian aneh yang kerap ditemui pada masyarakat pinggiran sungai.

Cerpen terakhir buku ini menuturkan kesenjangan antara tradisi masyarakat laut dengan kebudayaan di luarnya—yang juga ditemukan dalam Leppa. Hubungan ini ditunjukkan dari sosok peneliti dengan masyarakat laut. Sang peneliti asing mewakilkan kemajuan peradaban yang menatap asing asal usul masyarakat lautan. Sayangnya kesenjangan itu membuat masyarakat lautan sebagai objek ilmu pengetahuan dengan kesimpulan penelitian yang aneh: asal usul masyarakat laut adalah ikan-ikan.

Kesimpulan aneh ini membalikkan prasangka yang selama ini disematkan kepada peradaban modern. Ternyata orang berpendidikan juga masih diliputi takhayul. Mana ada asal-usul suatu masyarakat berasal dari ikan-ikan?  

Pada akhirnya 12 cerpen ini nyatanya adalah hasil tangkapan penulis dari masyarakat nelayan tempat ia sendiri berasal. Nyatanya nelayan itu tidak berhenti melaut.  

Eka Tak Ada Mati


Judul: Cinta Tak Ada Mati
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Kedua, 2018
Tebal: 153 halaman
ISBN: 978-602-03-8635-5

PAMUNGKAS Cinta Tak Ada Mati adalah Cinta Tak Ada Mati. Cerpen ketiga sekaligus judul keseluruhan 13 cerpen Eka ini.

Kisah CTAM bercerita tentang kesetiaan seorang lelaki kepada perempuan yang dicintainya bertahun-tahun lamanya.  Mardio, nama lelaki itu, rela menghabiskan usianya hanya karena cintanya kepada Melatie, perempuan yang dicintainya sejak dari masa kanak-kanak. Hingga ia berusia tua, dan juga Melatie yang lebih memilih seorang dokter dan hidup damai dengan cucu-cucunya yang lucu-lucu, tidak membuat cinta Mardio kadaluwarsa. Cinta Mardio bahkan dalam ukuran tertentu sudah menyerupai cinta Platonik.

Kisah CTAM merupakan cerpen terpanjang dalam kumcer ini. CTAM juga ditutup dengan ending yang memukau sekaligus di luar imajinasi pembaca—terutama saya.

Satu hal yang membuat cerita ini menjadi menarik adalah penceritaan kisah yang mampu mengulur endingnya hingga di waktu yang paling tidak diduga. Dalam hal ini Eka alih-alih menyudahi ceritanya di bagian ketika Melatie diketahui meninggal dan membuat Mardio berhenti mencintainya, melainkan Eka masih meneruskan dan memperdalam penceritaannya dengan membuka kemungkinan-kemungkinan alur baru dan endingnya.

Dalam hal ini walaupun kisah CTAM hanya berpusat kepada ide mengenai jalan kisah Mardio yang mati-matian mencintai Melatie, nyatanya Eka tidak kehabisan “gagasan tambahan” dalam mengembangkan ceritanya. Dengan kata lain, jika saja Eka tidak bersetia pada gagasan utama cerita ini, mungkin saja cerita ini bakal berkembang menjadi novelet atau bahkan, novel.

Nampak sekali bagaimana Eka bukan sekadar menggunakan judul ”cinta tak ada mati” sebagai penandaan atas cinta Mardio yang tidak lekang walaupun Melatie sendiri sudah terlebih dahulu mati.

Cinta tak ada mati dengan kata lain, juga sebagai metafora bagaimana yang namanya cinta sejati memiliki konsekuensi melampaui tubuh kekasihnya. Ia merupakan sekelumit prinsip yang bahkan tidak jelas batas akhirnya.

Bahkan, cinta sejati kalau dapat dikatakan buta, adalah kekuatan yang memiliki kemampuan menghilangkan batas-batas dan embel-embel.

Salah satu isyarat bagaimana cinta itu menjadi rumit untuk tidak dikatakan buta, dialami Mardio khusus pada ending cerita ini. Jawaban atas ini dimaksudkan Eka ketika Mardio ”mencari” sisa-sisa cintanya pada tubuh mantan suami Melatie. Mardio rela bergumul dengan tubuh pria demi merasakan cinta Melatie.

”’Paling tidak izinkanlah aku memperoleh yang tersisa dari perempuan itu.’ Air matanya bercucuran deras, dan di tengah kesedihan penuh nostalgia ia mencium bibir si dokter, mencari jejak-jejak Melatie di sana, melepaskan yang tertahan sepanjang enam puluh tahun.” (hal.59)

Dalam kehidupan nyata apakah ada orang seperti Mardio yang dengan setia tergila-gila memendam hasrat cinta dan cita-cita kepada satu perempuan? Hingga umur memakan tubuhnya sampai ringkih?

Secara tersirat, CTAM mendudukkan perempuan sebagai figur penting dalam relasinya dengan tokoh utama ceritanya. Satu hal yang juga sama-sama berlaku dalam Kutukan Dapur, cerita pembuka dari kumcer yang dicetak ulang ini.

Dalam Kutukan Dapur bahkan memuat sisi kekuasaan perempuan walaupun ia mesti bekerja dari wilayah yang tidak pernah diduga banyak orang: dapur.

Kutukan Dapur adalah cerita yang mendialogkan dua perempuan dari dua generasi yang jauh. Tokoh kisah ini bisa dikatakan diisi oleh dua perempuan sekaligus, yakni Maharani dan Diah Ayu.

Maharani adalah sosok perempuan modern dengan segala keterbatasannya jika berada di dalam dapur. Ia selama bertahun-tahun hanya mampu membuat anak, menyiapkan sarapan pagi, makan siang, dan malam. Namun, hal itu tidak membuatnya dapat mahir memanfaatkan bahan-bahan dapur demi menghasilkan makanan yang berkesan di lidah.

Itulah sebabnya di awal cerita ini, Maharani dikisahkan sudah berada di perpustakaan untuk mencari resep-resep masakan, yang tanpa ia sadari dalam pencariannya itu terseret dalam khazanah sejarah yang menceritakan seorang sosok perempuan di masa lalu, yang melalukan pemberontakan kepada orang-orang Belanda dari belakang sepetak dapur.

Namanya Diah Ayu, yang dalam pencarian Maharani adalah perempuan pemasak yang dipekerjakan tuan Belandanya, yang ulung memanfaatkan bumbu-bumbu masakan. Ia bahkan mampu meracik makanan dengan menyamarkan racun di dalamnya. Suatu hal yang ia lakukan secara serempak setelah ia mengajarkan pembantu-pembantu juru masak suatu resep rahasia yang mampu membunuh orang.

Hingga terjadilah kejadian yang aneh. Di hari Kamis ditemukan banyak orang Belanda mati tanpa diketahui sebab musababnya.

Dalam cerita, kematian misterius itu sudah direncanakan dari dapur-dapur juru masak pribumi melalui makanan yang diajarkan Diah Ayu.

Catatan sejarah ini, akhirnya memberikan kesadaran baru bagi Maharani. Ia menyadari perlawanan perempuan jika mendapatkan perlakuan tidak adil, dapat dibangun dari dapur sekalipun.

Sadar tidak sadar, Kutukan Dapur dan nantinya bakal pula ditemui dalam cerita Lesung Pipit, menjadi pembanding bagi kepenulisan Eka yang tidak sedikit yang menuduhnya penulis misoginis. Suatu hal yang ditemui dari Cantik itu Luka,  ataupun Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Alhasil Kutukan Dapur dan Lesung Pipit adalah dua cerita yang mengusung semangat perlawanan perempuan kepada tirani budaya patriarki. Uniknya, ketimbang memanfaatkan embel-embel atau penandaan modernisme, Eka malah memulainya dari wilayah dan hal yang sering dianggap musuh feminisme: dapur dan keperawanan.  

Dapur dan Keperawanan dalam dua cerita Eka ini dengan kata lain bukan seperti imajinasi feminisme Barat yang kerap dijadikan biang keladi dari kemunduran kaum perempuan, justru dalam ceritanya, dua penandaan perempuan ini diradikalisasi sedemikian rupa yang menjadi modus dari perlawanan perempuan.

Kelihaian Eka dalam menghidupkan suasana psikis tokoh ceritanya ditemukan dalam cerita berjudul Surau.

Inti cerita Surau sebenarnya berisi pergolakan iman si Aku ketika berhadapan dengan Surau, tempat ibadah yang jarang dikunjunginya. Dalam perjalanan pulang, si Aku tak dinyana mesti berteduh di teras Surau yang tidak jauh dari rumahnya lantaran terjebak hujan.

Di sinilah bermula ”percakapan” si Aku dengan hatinya. Ia dilema apakah harus salat atau tidak mengingat kebetulan tak ada yang bisa diperbuatnya selain menunggu hujan reda.

Surau adalah cerpen Eka tanpa dialog. Ibarat pantomim, si Aku adalah satu-satunya pusat perhatian pembaca dalam rangka apa yang bakal terjadi di akhir cerita nanti.

Surau dalam artian tertentu malah bernada ”main-main” karena memperagakan ilustrasi iman yang dinamis bergerak di antara ketaatan terhadap agama dengan rasa enggan mentaatinya.

Dalam CTAM, menurut saya ada dua cerita yang sulit dipisahkan dari orde baru, satu hal yang sudah tampak dari awal-awal kepenulisan Eka. Dua cerpen ini, secara olok-olok menjadikan orba sebagai permainan penceritaan Eka. Dua cerpen itu adalah Mata Gelap dan Pengakoean Seorang Pemadat Indis.

Dalam Mata Gelap, tanpa mesti disebutkan, jelas terasa bagaimana Eka mengambil orba sebagai basis ceritanya. Barang siapa yang membacanya bakal mudah menangkap tanda-tandanya dari semisal kata-kata ”si Jin Berkepala Tujuh”, “skandal politik”, “sejuta orang dibunuh dalam huru-hara politik”, “bukti-bukti otentik”, “mati tanpa kuburan”, dlsb.

Walaupun tafsirnya bisa kemana-mana, tapi jelas dari jalan ceritanya, kisah ini nyaris menceritakan secara gamblang perilaku orba ketika berhadapan dengan sejarah kelam peristiwa 65.

Sementara melalui Pengakoean Seorang Pemadat Indis, gaya penulisan yang menggunakan ejaan Soewandi ketimbang menggunakan ejaan resmi negara, diduga bukan semata-mata seolah ditulis langsung oleh si penutur kisah cerita ini. Berdasarkan analisis Benedict Anderson, bisa jadi mengapa Eka menggunakan gaya penulisan demikian—yang diubah dari versi terbitan pertamanya—merupakan politik bahasa Eka terhadap warisan orba.

Sudah diketahui, normalisasi ejaan oleh orba yang mengganti ejaan Soewandi menjadi EYD, adalah politik bahasa orba demi menyingkirkan warganya dari khazanah literatur orde lama. Secara khusus, tujuan itu dimaksudkan agar anak-anak bangsa ogah membaca buku-buku sejarah masa lalu selain versi bikinan sejarah orba yang ditulis dengan ejaan berbeda.   

Satu hal yang berkesan dari kumcer Eka ini adalah cerita Jimat Sero. Cerita yang mengangkat praktik klenik di kehidupan modern. Cerita ini pertama kali saya baca via online dalam salah satu situs yang mengoleksi cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan Kompas. Membacanya dalam versi bukunya membuat sensasi yang berbeda mengingat ketika pertama kali membaca cerita ini via dumay, terbersit dalam hati saat itu untuk mencari versi cetaknya—yang saat itu sulit ditemukan.

Michel Foucault melalui pembacaannya terhadap sejarah peradaban Barat, menemukan seksualitas dan kegilaan adalah wacana yang kuat kaitannya dengan episteme. Episteme adalah pengetahuan khas yang melatarbelakangi praktik berpengetahuan dan kebudayaan masyarakat suatu zaman. Menurut Foucault episteme setiap zaman berbeda-beda tergantung seberapa dominan kekuasaan berperan di dalamnya. Bahkan bagi Foucault episteme adalah produk kekuasaan itu sendiri.

Dalam CTAM, tema kegilaan dan seksualitas diracik Eka melalui judul Tak Ada Yang Gila di Kota Ini. Ibarat merefleksikan pendakuan Foucault mengenai seksualitas dan kegilaan, dalam Tak Ada Yang Gila di Kota ini menceritakan bagaimana kegilaan dan seksualitas tidak lepas dari kontrol kekuasaan. Demi menjaga normalisasi masyarakat, orang-orang gila dan seksualitas menjadi korban pendisiplinan kekuasaan.

Dengan kata lain, kegilaan dan seksualitas, seperti pendakuan Foucault adalah wacana yang senantiasa dibicarakan melalui normatifitas pengetahuan kekuasaan. Itu artinya apa yang pantas dan layak disebut kegilaan dan seksualitas hanyalah sejauh dari apa yang ditafsirkan kekuasaan.  

Dikisahkan dari Tak Ada Yang Gila di Kota Ini setiap orang gila diberlakukan seperti binatang liar dan tidak layak mendapatkan perhatian. Di masa-masa tertentu, mereka dicari, dikejar, dan ditangkap dan kemudian dibuang jauh ke dalam hutan. Perlakuan ini dilakukan demi menjaga ”kebersihan” dan ”kesalehan” kota dari praktik perzinahan yang menjadikan orang-orang gila sebagai sasarannya.

Paradoksnya, di kota itu, jauh dari amatan warganya, seksualitas justru dipraktekkan secara diam-diam nirip pertunjukkan bawah tanah seperti pertunjukkan duel antara dua gladiator. Uniknya pertunjukan seksualitas itu menggunakan orang gila sebagai ”aktrisnya”.

Pertunjukkan seksualitas dengan memanfaatkan orang gila ini justru adalah sarana kritik dalam cerita Eka ini. Siapa yang sebenarnya lantas dikatakan gila? Orang-orang gila yang dibuang dan dikucilkan atau orang-orang yang terlibat dalam pertunjukkan gila itu sebenarnya? 

Cinta Tak Ada Mati walaupun bukan merupakan kumcer terbaru Eka dan merupakan cetakan ulang, menandakan karya-karyanya selalu ditunggu para pembacanya. Dengan ilustrasi sampul depan dari tangan dingin seniman sekaliber Eko Nugroho semakin mempertebal efek imajinatif dari kumcer Eka kali ini.

Syahdan Cinta Tak Ada Mati semakin membuktikan posisi Eka di jagad kesusastraan Tanah Air sebagai pengarang nomor wahid saat ini. Memang Eka Tak Ada Mati.

Kooong dan Eksistensialisme Iwan Simatupang


Judul: Kooong
Penulis: Iwan Simatupang
Penerbit: Pustaka Jaya
Edisi: Kedua, 2013
Tebal: 100 hal
ISBN: 978-979-419-386-0

”Kalau kami boleh bertanya, kau sendiri mau kemana seterusnya Pak Sastro?”
”Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakanlah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan.”

KOOONG seluruhnya berbicara tentang kebebasan manusia. Namun uniknya, kebebasan itu diceritakan Iwan Simatupang melalui dua tokoh yang saling melepas-tangkap: Pak Sastro dan burung perkututnya. Masing-masing dua tokoh ini akan kelihatan kontrasnya ketika memaknai kebebasan, inti dari karangan Simatupang ini.

Kooong dibuka dengan adegan Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Ia membeli burung itu  pasca anak semata wayangnya mati. Tanpa sadar sepulang dari TKP tempat anaknya tergilas kereta api, ia melewati suatu pasar penjaja bermacam-macam burung. Singkat cerita lantaran daya rayu si penjual, Pak Sastro mau tidak mau terperdaya membawa pulang seekor burung perkutut.

Burung perkutut yang dibeli Pak Sastro berbeda dari burung sejenisnya. Tidak sekali pun ia mengeluarkan bunyi. Ia hanya diam membisu dengan gerak-gerik selayaknya burung perkutut. Di titik ini tahulah Pak Sastro bahwa ia ditipu si penjual burung.

Awalnya burung ini dikatakan mahal lantaran memiliki bunyi yang khas dan unik sebagai burung perkutut. Tapi semenjak ia berpindah tangan tidak sekalipun ia mengeluarkan suaranya.

Walaupun demikian, kehadiran burung sangat biasa ini sudah lebih dari cukup bagi Pak Sastro untuk mengisi lubang kekosongan jiwanya. Pak Sastro adalah satu-satunya penduduk di desanya yang selamat pasca peristiwa banjir bah. Istrinya mati hanyut entah ke mana. Ia seorang diri berhasil membangun kembali kehidupannya di atas puing-puing reruntuhan desanya. Pelan-pelan desanya menjadi ramai kembali. Ia menjadi tokoh di kampung itu.

Sampai akhirnya, suatu waktu datang kabar dari Jakarta. Anak semata wayangnya yang merantau di Ibu Kota mati digilas kaki-kaki besi kereta api. Sekali lagi Pak Sastro merasakan kehilangan yang sangat. Kesekian kalinya ia menjadi orang kesepian.

Itulah sebabnya, semenjak memiliki burung perkutut jiwa Pak Sastro berangsur-angsur pulih. Burung itu seolah-olah memiliki efek terapi bagi jiwa Pak Sastro. Burung itu pelan-pelan menyedot perhatian Pak Sastro. Ia seperti mendapatkan kawan berbagi isi hati. Meski burung itu biasa-biasa saja. Tidak berbunyi sama sekali.

Sampai datang suatu waktu tidak biasa. Entah apa sebab kandang burung pekutut Pak Sastro terbuka begitu saja. Sang burung akhirnya raib. Ia terbang menyongsong cakrawala. Untuk kesekian kalinya Pak Sastro kehilangan burung berharganya. Lebih tepatnya, ia kehilangan yang sangat untuk ketiga kalinya.

Maka, dari sinilah kisahnya bercerita: Pak Sastro mengembara mengikuti isi hatinya mencari burung peliharaannya. Perilakunya ini membuat geger seisi kampung. Apa pentingnya seekor burung? Jika hilang bisa beli lagi. Apa lagi Pak Sastro adalah orang kaya di kampungnya.

Namun, burung perkutut peliharaan adalah satu hal, dan ketentraman yang datang darinya adalah hal lain. Pak Sastro mencari yang kedua. Itulah sebabnya, ia memerlukan burung perkutut biasa itu. Ia bisa membeli burung lain. Tapi, ini soal ”ikatan” dengan burung yang berhari-hari ia ”alami”: Seekor burung yang terikat secara emosional, bahkan kejiwaan bagi Pak Sastro.

Demi mencari perkututnya Pak Sastro meninggalkan kampungnya sambil menitipkan seluruh harta bendanya kepada pak lurah—yang nanti membuat masalah di desanya karena tanah dan harta Pak Sastro disalahgunakan penduduk saat mengelolanya—dan pergi menyusuri langit-langit cakrawala berharap menemukan burung perkututnya.

Pencarian Pak Sastro sesungguhnya adalah pencarian kebebasan. Hal ini akan ditemukannya setelah ia menemukan insight dalam pencariannya. Sesungguhnya burung perkutut dicarinya hanyalah objek. Sedangkan, jauh di lubuk hatinya, kesejatian yang dicarinya bukanlah entitas yang bisa diobjektifkan seperti benda-benda.

Pemahaman ini tidak datang begitu saja dalam kesadaran Pak Sastro. Melainkan setelah ia lama bergelut dalam pencariannya. Dalam karangan Simatupang ini, burung perkutut yang dicari Pak Sastro hanyalah metafora berkenaan dengan kebebasan. Burung secara alegoris menandai suatu subjek yang menyadari tidak ada dinding apa pun di bawah kolong langit ini. Selama cakrawala masih terbentang jauh, maka sejauh itulah kebebasan mesti ditemukan.

Kesadaran Pak Sastro yang akhirnya menyadari bahwa otentisitas manusia bukanlah ditentutakan oleh benda-benda—dalam hal ini adalah burung perkututnya—menandakan kebebasan manusia adalah sesuatu yang melampaui objek-objek.

Di beberapa bagian akhir, cerita berganti sudut pandang kepada si burung perkutut. Menariknya, di bagian-bagian inilah pandangan eksistensialisme Simatupang dinarasikan.

Di bagian tertentu dinarasikan bagaimana si perkutut ketika bebas terbang dari satu pohon ke pohon lainnya, dan kemudian menjauh dari rumah Pak Sastro, secara langsung menyadari efek kebebasan yang baru saja ia alami. Walaupun ia sempat berpikir akan kembali di dalam kandang dengan jaminan makanan teratur, namun kebebasan yang dia rasakan begitu menantang menariknya lebih jauh.

Langit biru terbentang luas seolah-olah menawarkan sejumlah pengalaman tak terpemanai ketimbang hidup nyaman di dalam kandang.

Kebebasan dan Kemerdekaan

Baik Pak Sastro maupun burung perkutut peliharaannya sama-sama mencari dan menemukan kebebasan. Namun, keduanya berbeda dari segi esensi kebebasan. Bagi perkutut yang terbang karena menerima begitu sangkarnya terbuka, adalah kebebasan. Sementara bagi Pak Sastro, kebebasan dicapainya setelah ia menyadari batas-batas eksistensinya dan berusaha mencari dan menemukannya merupakan kemerdekaan bagi dirinya.

Di sinilah menariknya Simatupang menggunakan dua perangkat cerita dalam mengilustrasikan kebebasan. Binatang dapat saja dikatakan hidup bebas, tapi sudah pasti tidak akan merdeka karena kebebasan dia miliki sudah dari awal disediakan alam. Sementara manusia makhluk unik. Kebebasannya tidak paralel dengan kemerdekaannya. Kebebasan adalah prasyarat kemerdekaan, walaupun kemerdekaan adalah entitas yang mesti dicari dan diperjuangkan.



BUKU ini awalnya adalah naskah dengan nama samaran Kebo Kenanga—sesuatu yang disengaja dan menjadi prasyarat dari Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan IKAPI atas anjuran UNESCO pada tahun 1969. Naskah buku ini menurut pengakuan orang yang merekomendasikan atas permintaan Yayasan Pustaka Taruna, adalah naskah sisa yang tidak mendapatkan juara apa-apa dari sayembara yang dilaksanakan sebelumnya.

Naskah ini sempat tekatung-katung tanpa penerbit hingga tahun 1973 barulah Ajip Rosidi—orang yang semula merekomendasikannya agar diterbitkan—yang saat itu mengetuai IKAPI yang mengusahakan kembali agar diterbitkan. Belakangan ketika ditelusuri, penulis naskah ini yang diduga terpengaruh Iwan Simatupang adalah Iwan Simatupang Sendiri.

Iwan Simatupang adalah salah satu pencetus gaya baru dalam perkembangan prosa di Tanah Air. Namanya melejit setelah Ziarah, novelnya yang legendaris itu banyak memengaruhi perkembangan sastra Indonesia.

Prolog Pesona Sari Diri


Pesona Sari Diri

INI pengakuan belaka ketimbang sebuah prolog.

Altruisme. Semuanya dapat diasalkan dari kata ini. Terma yang sulit berkompromi, tapi malah kerap menggembosi alam bawah sadar saya. Setiap kali bersua dengan penulis buku ini, kata ini kerap melesat mewarnai perbincangan kami.

Begitulah, kata ini adalah cara pandang, sikap moral, dan sekaligus panggilan kemanusiaan bagi penulis buku ini. Terma yang sudah menjadi airmata darah bagi Kak Sul, begitu ia akrab kami sapa.

Tidak ada salahnya jika di sini saya ceritakan sedikit latar belakang kemunculan sebagian besar esai di buku ini.

Sekali tempo, kelas literasi sudah berjalan setahun kurang lebih. Kelas ini awalnya digagas di mukim beliau. Di perpustakaan pribadi beliau tepatnya. Seingat saya kelas perdananya dimulai bertepatan 17 Agustus 2015 silam. Di hari kemerdekaan itu, kelas dibuka dengan cara yang amat sederhana. Tidak lebih dari 10 orang.

Selang setahun, di angkatan kedua, timbul gagasan membuat media cetak versi kelas KLPI. Tujuannya sederhana belaka: saluran tulisan teman-teman di kelas menulis dan bisa menjadi bacaan waktu senggang bagi mahasiswa yang menjadi sasarannya.

Tapi, bagaimana model, jenis, dan gayanya belum begitu terang. Ide terlanjur dilempar, gagasan terlanjur dimasak. Akhirnya, di titimangsa 24 Januari 2016 kali pertama, Kala, nama yang kami sepakati, terbit. Terbitan perdana itu menayangkan dua esai sekaligus: Bersua Seno Gumira Ajidarma karangan Sulhan Yusuf, dan Menulis itu Dua Hal, tulisan saya sendiri.

Perlu digarisbawahi. Kala tidak sepenampakan media cetak umumnya. Ia bukan zine media alternatif komunitas yang kerap dibubuhi gambar, atau buletin dengan sejumlah halaman tertentu. Kala juga bukan koran kampus versi pers mahasiswa. Kala hanya selebaran. Kertas HVS A4 yang dicetak landscape dengan print seadaanya. Hasil keluaran itulah yang digandakan melalui fotocopi.

Selebaran yang tidak mentereng itu cukup kami bagi-bagikan kepada teman-teman sekelas di KLPI. Kami biarkan ia digandakan sebanyak-banyak oleh siapa saja yang kebetulan menyukainya. Menyebar bak akar serabut rhizoma membentuk cabang-cabang baru, di mana pun dan kapan pun.

Lalu, apa hubungannya dengan sebagian besar tulisan-tulisan di buku ini? Di sinilah pangkal akarnya. Terutama setelah terbitan Kala ke-9. Di halaman terakhir kami bersepakat menyediakan kolom khusus bernama Unjuk Rasa. Kolom ini kami khususkan untuk Kak Sul. Di kolom mini itu kami berikan akses sebebas-bebasnya bagi Kak Sul untuk menulis apa saja.  Seunjuk-unjuknya. Terutama apa yang ia rasakan.

Di kolom itu walaupun bebas memiliki tingkat kesulitan tertentu. Ini tantangan bagi Kak Sul berkaitan bagaimana menuangkan gagasan dengan hemat kata-kata. Medium yang terbatas hanya kolom kecil tidak lebih dari setengah halaman adalah sebabnya.

600 kata. Ini aturan bakunya. Lewat dari itu tidak bakal cukup menempati kolom Unjuk Rasa. Saya sering kali keteteran mengubah ukuran font untuk menyesuaikan panjang tulisan yang tidak dimuat kolom. Memang beberapa kali ada tulisan Kak Sul yang melebihi ketermuatan kolom. Ini menandai betapa pun dibatasi jumlah katanya, kebebasan Kak Sul dalam menuangkan gagasannya sulit dibendung.

Sampai akhirnya Kala versi cetak beralih medium menjadi online. Walaupun nampak masih sederhana, Kala versi mutakhir ini rutin menerbitkan karya tulis teman-teman dari KLPI. Begitu juga Kak Sul, setelah kolom Unjuk Rasa dibuatkan khusus versi onlinenya, tulisan beliau rutin menyapa pembaca di tiap akhir pekan—hal yang sama ia lakukan di beberapa media cetak dan online nyaris di waktu yang bersamaan yang juga diterbitkan dalam buku ini.

Sampai sekarang, Unjuk Rasa masih tayang. Tanpa pernah putus.

Begitulah kisahnya. Jika pembaca menemukan penanda di akhir tulisan yang beralamat Kalaliterasi, sesungguhnya semua itu awalnya berasal dari selebaran nan sederhana. Secarik kertas bertendensi ideologis yang kemudian beralih wahana.


PESONA sari diri saya kira adalah pembuktian. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada penulis sendiri. Ini mungkin cenderung personal. Tapi, apa yang lepas dari personalitas? Tanpa personalitas yang kukuh— suatu titik subjektifitas—semuanya bakal mudah menguap. Saya kira beragam tulisan buku ini adalah energi luar biasa yang dilambari dari kekuatan diri yang dahsyat.

Itulah sebabnya, esai-esai dari buku ini tiada arti tanpa kemendasaran “diri”. “Diri” di sini tentu tidak semata-mata entitas biologik belaka. Bukan pula sekadar hubungan fisiologis yang menghasilkan gerak mekanik laiknya mesin. Namun, jauh dari tilikan materialistik, “diri” adalah suatu asal tempat berpijak “kesadaran”. Titik alamat yang menimbulkan keinsafan insani (cukup diri).

Maka, ketika keinsafan ini menjadi aktual, beragam fenomena tidak lagi menjadi data-data indrawi yang berhamburan di selaksa ruang waktu, melainkan berubah, bertransformasi, bergerak, berpindah, dan berkembang dalam kemendasaran diri penulis. Melihat, mengamati, merefleksi, dan menuangkannya ke dalam tulisan adalah buah dari semua itu.

Sudah jelas, beragam fenomena yang ditangkap dari tulisan-tulisan di buku ini adalah suatu kerja kecendekiawanan yang sesungguhnya. Tanpa bermaksud memberikan definisi ketat, dalam arti general, penulis adalah seorang cendekiawan yang tidak serta merta pelipir di tepian kejadian-kejadian belaka. Banyak contoh dari tulisan di buku ini yang membuktikan bahwa penulis begitu peduli terhadap jatuh bangunnya apa yang dikenal sebagai peradaban.

Dengan kata lain, kepedulian itulah yang mendorong penulis menulis peradaban. Atau paling tidak sedang menyusun bab-bab panjang demi lahirnya peradaban:

Peradaban diri. Kiwari, problem yang tak kalah mendasar adalah masalah kemendasaran subjek. Banyak masalah di negeri ini yang disinyalemen karena kegagalam masyarakat mengenal dirinya. Pemahaman atas “diri” kian runyam karena kuatnya komunalisme yang meringsek aspek-aspek kehidupan. Bukannya skeptis kepada kekuatan kerja sama, hanya saja tanpa kemendasaran diri sebagai pijakan keinsafan, kerja sama yang kerap menguat menjadi kolektifisme hanyalah kumpulan massa yang beringas tanpa arah yang jelas.

Di bab awal bertajuk Sari Diri, esai-esai yang terhimpun dibawahnya memiliki perhatian besar terhadap rusaknya konsep diri. 31 esai ini nyaris tanpa pernah bergeser menyoroti problem-problem kemanusiaan dengan memberikan percak-percik nilai positif dari mahluk yang bernama manusia.

Bahagia, rendah hati, cinta, kesederhanaan, kedermawanan, keihlasan adalah beberapa nilai-nilai utama yang diangkat penulis menjadi rekomendasi bagi zaman yang serba berubah ini.

Syahdan, sehimpun esai di peradaban diri Sari Diri, nyatanya adalah refleksi kuat penulis terhadap fenomena menguatnya individualitas tanpa kepedulian, dan beringasnya komunalisme tanpa penghargaan atas hak individu. Semua esai ini secara bolak-balik melihat dari kedua sisi ini.

Itulah sebabnya, pembaca akan banyak menemukan bagaimana penulis mendudukkan nilai keuatamaan manusia di atas sebagai jalan keluar problematika kemanusiaan saat ini.

Peradaban religi. Ketika agama menjadi politik dan politik menjadi agama, esai-esai di bawah atap Teras Religiusitas malah berbalik arah untuk mengembalikan semangat asal agama yang kian hari nyaris absen dalam kepublikan bangsa ini.

Kisah para nabi, sufi, ramadan, natal, masjid, adalah beberapa persinggahan bagi pembaca untuk kembali meneguk mata air spiritualitas agama. Beberapa esai ini sama halnya dengan esai-esai yang berada pada bab sebelumnya, berpijak kepada soal-soal yang melanda manusia beserta kehidupan bersamanya.

Perbedaan mencolok dari bab ini adalah, pembaca akan menemukan perspektif khas penulis ketika berbicara agama. Melalui gaya bercerita tanpa bermaksud bekhotbah, esai-esai di bawah tajuk ini ditulis dengan jarak yang bisa dibilang dekat dari fenomena yang ditulisnya.

Satu hal yang tanpa disadari adalah, ada beberapa esai menjadi tawaran dari penulis untuk menjalankan agama tidak sekadar sebagai simbol belaka, melainkan ikut juga menghayati makna esoteris dari agama itu sendiri.

Dalam esai Haji dan Pembebasan, misalnya, di situ penulis secara eksplisit mendasarkan isi ceritanya kepada dua pengertian agama: agama pribadi dan agama sosial. Di esai ini penulis memproblematisir gelar haji yang sudah mentradisi bagi siapa saja yang berpulang haji. Apakah makna haji bagi agama personal seseorang? Apakah haji menjadi kewajiban disematkan sebagai gelar seseorang di ranah agama sosial? Apakah ada hubungannya gelar haji yang menjadi simbol agama sosial dengan kesalehan individu di ranah agama personal?

Jika motivasi pertanyaan ini diperluas, secara tidak langsung esai-esai di tajuk ini layak dijadikan bahan refleksi mengingat gejala keberagamaan hari ini yang ketat di wilayah esensial tapi sangat tidak fungisional bagi kontribusi kemanusiaannya.

Peradaban masyarakat. Dirangkum dalam sehimpun bab Beranda Publik, penulis banyak mengulas dunia politik, fenomena anak muda, sepak bola, masalah perkotaan, dan tentu saja tema literasi.

Di bab ini penulis menempatkan perhatiannya lebih dekat ke soal-soal keseharian sebagai seorang warga negara. Sering kali bahkan dengan nada humor—hal yang sering ditemukan di obrolan warung kopi—penulis mengulas soal pemilihann kepala daerah, misalnya, dengan bebas tanpa mencederai pihak lain. Jika dikaitkan dengan wacana demokrasi, dari tulisan yang tersebar dari bab ini (dan juga bab lainnya) nampak memang penulis sedang menggunakan hak politiknya. Namun berbeda dari orang kebanyakan, hak politik ini—dalam hal menyampaikan pendapatnya—tidak dilakukan dengan cara serampangan, melainkan dinyatakan melalui opini dengan medium tulisan.

Kebebasan berpendapat dari penulis, seperti yang tampak dari esai-esainya ini, cukup longgar membicang apa saja, terutama kepada hal-hal yang menjadi bahan perbincangan umum. Ini mempermudah dari caranya menuangkan gagasan dan perspektifnya. Apalagi penulis memiliki interes politik yang sama sekali berbeda dari cara pandang politik kiwari dan bukan menjadi partisan dari kelompok politik tertentu. Satu-satunya interes politik penulis jika itu dapat disebut demikian adalah betapa ngototnya penulis membangun peradaban yang dilambari nilai universal kemanusiaan.

Dari sisi ini, dapat dipahami mengapa literasi menjadi satu-satunya induk pengabdian penulis yang belakangan menjadi lebih intens digelutinya. Bukan karena semata-mata tercengang dengan data-data belakangan yang menempatkan bangsa ini dalam angka literasi yang rendah, tapi sekaligus juga sebagai bagian dari kritiknya terhadap keadaan saat ini.

Tidak berlebihan jika dari sisi ini kecendekiawanan penulis kerap terasa. Kepeduliannya yang besar kepada plus minusnya keadaan masyarakat saat ini hanyalah satu tanda kecendekiawanan selain dari kritisismenya yang dituangkan dari esai-esainya ini.

Pesona Peradaban. Ini adalah bab akhir dari Pesona Sari Diri. Di bab ini pusatnya adalah idealitas kemanusiaan. Banyak kisahnya dipulangkan kepada sosok-sosok agung dan puncak. Ibarat cermin, di bab inilah tempat refleksi pembaca mencari perbandingan parasnya. Apakah pembaca selaras dengan figur-figur ideal dalam bab ini atau malah sama sekali tidak memiliki kecocokan terhadapnya.

Manusia, dalam pendekatan psikologi naratif dinyatakan sebagai kisah. Setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing. Laiknya kisah, manusia mengalami tiga babakan episode: pembuka, pertengahan, dan penutup. Dalam babakan episode ini, setiap perilaku manusia bakal menentukan seperti apa ending kisahnya. Baik buruknya, tergantung bagaimana ia mendudukkan narasinya.

Narasi yang baik ketika ia berpijak kepada idealitas tertentu: entah sosok sejarah, budaya, agama, atau politik. Tanpa itu, kisah jiwa manusia bakal mengembara tanpa visi dan misi.

Di bab ini, pembaca ibarat menemukan jangkar kapalnya. Ia menjadi pengikat jiwa agar memiliki jalan kisah ideal. Dari Muhammad sampai Ali bin Ali Thalib, Muhammad Iqbal sampai Ali Syariati, Khomeini sampai Tjokroaminoto, bahkan dari Ahok sampai Rocky Gerung adalah panorama idealisasi paras kemanusiaan.

Seperti bab pertama, di bab terakhir ini menghimpun 31 esai. Namun tidak saja tokoh besar yang dikenal umum sebagai figur-figur ideal, di bagian ini akan kita temukan bagaimana penulis menangkap seperangkat idealitas dari orang-orang dekatnya yang telah banyak memberinya pengaruh positif bagi diri penulis. Ini wajar saja, sebab penulis bukan lagi melihat aspek-aspek kemanusiaan di dalam diri tokoh-tokoh besar saja, tapi menyadari pula setiap manusia terkandung hal yang sama, sekali pun itu adalah orang terdekatnya.      


SUATU waktu saya terlibat percakapan dengan penulis, di tempat yang sering disebut tempat persemadiannya—dikenal sebagai TB Papirus. Singkat cerita saya coba bertanya mengapa Kak Sul tidak mengambil jalan seperti orang-orang yang sudah cukup modal sosial: mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Saya tahu, di Bantaeng, kampung halamannya, beliau sudah dianggap sebagai tokoh yang aktif memberdayakan masyarakat. Jika dihitung-hitung beliau punya kans besar jika berminat menjadi anggota parlemen di daerah. Pertanyaan saya ini iseng saja mengingat waktu itu sedang musim pencalonan. Hanya untuk menambah bahan percakapan saja.

“Sekarang saya ibaratnya sedang menyiapkan jalan pulang, Bung Bahrul.” Begitu jawaban Kak Sul saat itu. Seperti biasa jawaban ini langsung disambung dengan candaan khasnya.  

Dari situ saya semakin paham apa yang dimaksudkannya dengan altruisme itu. Semakin kesini, sikap moral Kak Sul semakin mempertegas kedudukannya sebagai seorang wise. Ini-lah yang membedakan Kak Sul dari sikap kebanyakan orang. Ketika semua orang sibuk mencari panggung membesarkan nama, citra, dan harta, ia malah memilih jalan berlainan: suatu jalan yang hanya bisa ditempuh dengan semangat altruisme itu tadi.

Lalu apa yang dimaksudkannya dengan “jalan pulang” itu tadi? Saya tidak pernah mengejarnya melalui pertanyaan tambahan. Seketika saja saya bisa menangkap kata bersayap yang sering ia pakai dipercakapan-percakapannya itu. Cukuplah saja saya kutipkan penggalan syair Lagu Seruling sufi cum penyair Jalaluddin Rumi di bawah ini:

Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan. Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu, Ratapku membuat lelaki dan wanita mengadu. Kuingin sebuah dada koyak disebabkan perpisahan. Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang berada jauh dari tempat asalnya. Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.

ALTRUISME. Semuanya dapat diasalkan dari kata ini. “Jalan pulang” melalui kata-kata.