Agama atau "Agama"?

Ketika Ali Syariati mengomentari pengertian agama yang dinyatakan Emile Durkheim sebagai semangat kebangsaan dan kolektif masyarakat yang ditransformasikan ke dalam simbol-simbol, ritus, dan tradisi keagamaan, sosiolog abad 20 ini juga menunjukkan dua kategori agama yang sering tampil dalam sejarah masyarakat. Bahkan menurut Ali Syariati, di antaranya, dua kategori agama ini sering mengalami pertentangan dan perlawanan. Dengan kata lain, pertentangan yang sering dihadapi agama bukanlah entitas di luar dirinya sendiri, melainkan antara agama melawan agama.

Sebagai seorang sosiolog, Ali Syariati meradikalkan pembagian agama berdasarkan fungsi kritik dan transformatifnya di dalam masyarakat. Artinya, sejauh fungsi normatif agama tidak memberikan kontribusi dan mendorong perubahan sosial, maka agama itu menjadi paham yang dekaden dan disfungsional.

Selain itu, fungsi kritik dan transformatif dari agama, secara teoritik akan memberikan perbedaan fondasional terhadap paham-paham yang berbeda yang pernah ada dalam masyarakat, yang juga memiliki kepentingan yang sama sebagai semesta makna yang mengatur kehidupan kolektif masyarakat.

Kategori ini dirumuskan Ali Syariati berdasarkan pengalaman sejarah dan sosiologis saat pertama kali Islam datang di tanah Arab. Situasi kesejarahan ini, bertolak dari kehidupan Muhammad sebagai agen sadar yang mengubah nilai dan motif-motif individual masyarakat Arab menjadi gerakan kolektif dalam konteks transformasi sosial.

Islam yang pertama kali dibawa Muhammad merupakan agama yang mengandung fungsi kritik dan transformatif sekaligus. Dua fungsi ini secara evaluatif bekerja sebagaimana ideologi menilai dan memutuskan apa yang benar dan seharusnya dilakukan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan tujuan diciptakannya kehidupan bersama.

Islam awal Muhammad, berdasarkan fungsi kritiknya banyak mengguyah sendi-sendi masyarakat yang tidak adil akibat spirit egaliterianismenya. Ketidakadilan, penyembahan berhala, barbarianisme, diktatur kesukuan, dan dehumanisasi adalah perhatian utama Islam awal Muhammad yang ditransformasikan secara radikal untuk menciptakan kehidupan yang jauh lebih beradab.

Islam awal Muhammad, akibat sifatnya yang demikian, secara konfrontatif berhadapan dengan tradisi dan adat kebiasaan yang telah lama menjadi sistem paradigma dan tindakan masyarakat Arab.

Paradigma Arab jahiliah yang saat itu berciri feodal, "kapitalistik", dan arogan, mau tidak mau diradikalkan dengan ajaran kemanusiaan yang dikandung Islam awal. Konfrontasi ini tidak sekadar konsekuen terhadap perubahan paradigma lama masyarakat Arab, tapi juga mengubah aspek praktis dari cara hidup masyarakat jahiliah Arab saat itu.

Kritik yang dinyatakan dalam Islam awal Muhammad, dengan kata lain bukan saja alih-alih merevolusi secara elementer alam berpikir masyarakat Arab, namun juga mengubah tatanan kepentingan kehidupan sosio-politik-ekonomi saat itu.

Itulah sebabnya, mengapa perlawanan dari pemuka suku-suku saat itu tidak terlalu memusingkan apa dan bagaimana ajaran Islam awal yang dibawa Muhammad, konsep ketuhanan macam apa yang dikemukakan saat itu, dan bagaimana tata cara menjalankan agama yang dibawa, melainkan mereka lebih khawatir terhadap dampak praktis Islam yang mengguncang otoritas politik kesukuan dan kepentingan ekonomi yang saat itu dijadikan sebagai sumber-sumber prestise dan pendapatan.

Islam awal Muhammad ini dalam matriks agama Ali Syariati disebut sebagai agama revolusioner. Agama revolusioner, secara sosiologis dinyatakan Ali Syariati sebagai agama pembebasan yang secara organik mendorong penganutnya untuk berpikir dan bergerak maju mengubah pengalaman kolektif yang sebelumnya dekaden menjadi "modern".

Sementara di sisi lain, keterangan agama melawan agama, mesti dipahami melalui konteks sejarah masyarakat yang secara politis dikuasai oleh agama yang hipokrit.

Agama yang hipokrit bukan sekadar konseptualisasi teoritik Ali Syariati belaka. Dengan kata lain, pemilahan tipologi agama hipokrit Ali Syariati dikemukakan atas pengalaman sejarah masyarakat yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang agama legitimasi.

Itu artinya apa yang disebut Ali Syariati sebagai agama legitimasi, memang benar-benar ada dan beroperasi di dalam sejarah masyarakat selama ini.

Sejauh ceramah-ceramahnya, tidak ada defenisi pasti dari apa yang diandaikan Ali Syariati sebagai agama legitimasi. Yang masih samar-samar adalah agama legitimasi sering disinonimkan Syariati dengan keyakinan-keyakinan syirik. Bahkan disebutnya keyakinan inilah yang kerap menggunakan jubah agama demi mengkampanyekan agenda terselubungngnya.

Namun, apabila merujuk kembali dari indikator fungsi kritik dan transformatif dari agama di atas, maka dengan sendirinya akan memberikan pengertian baru atau berbeda tentang agama legitimasi itu. Maksudnya, sejauh agama tidak membawa perubahan apa-apa terhadap kesejahteraan masyarakat, maka itulah yang dimaksudkan Syariati sebagai agama legitimasi.

Bahkan, Syariati menyatakan, berdasarkan cara kerjanya, agama legitimasi sering memanipulasi ajaran agama untuk melanggengkan status quo kekuasaan yang berlaku.

Maka dari itu, berdasarkan tidak adanya fungsi kritis dan transformatif, agama legitimasi justru bertujuan membuat keadaan semakin alienatif dan regresif.

Agama legitimasi, jika dikembalikan kepada fungsinya, adalah agama yang secara paradigmatik mempertahankan dogma dan ajaran-ajaran lama demi memperalat umat dalam kaitannya dengan kepentingan tokoh-tokohnya.

Agama jenis kedua ini secara ontologis bukan entitas yang terpisah dari agama itu sendiri. Melainkan berada dalam agama, dan dikandung di dalamnya. Hal ini sesuai yang dikatakan Syariati, bahwa agama legitimasi kadang dijalankan dengan cara sembunyi-sembunyi dalam agama itu sendiri. Dalam sejarah Islam awal, agama legitimasi identik dengan pengikut nabi yang digolongkan al Quran sebagai golongan munafik.

Agama legitimasi dengan begitu adalah agama yang mendomplengi agama itu sendiri demi tujuan-tujuan individual, dan sekaligus berlawanan dengan misi subtansi agama itu sendiri.

Artinya, jika Islam awal Muhammad mempunyai misi pembebasan masyarakat dari tradisi dan kebudayaan yang alienatif, maka Islam legitimasi adalah agama yang memanfaatkan keadaan alienatif masyarakat demi mempertahankan kepentingan dan keuntungannya di dalam tatanan kepentingan masyarakat.

Sebagai teori sosial, matriks tentang dua wajah agama ini dinyatakan Ali Syariati saling kontradiktif dan senantiasa mengalami tegangan. Bahkan, di dalam kenyataan sejarah, dua agama ini –seperti yang sudah disebutkan di atas—sering berlawanan dan saling merebut posisi, kepentingan, dan manfaat di masyarakat.

Bukan saja itu, dua wajah agama ini, tidak bergerak dan beroperasi dengan sendirinya. Sebagaimana Islam awal dibawa dan digerakkan Muhammad sebagai agen perubahannya, maka agama legitimasi juga memiliki “nabi-nabinya” yang secara konfrontatif menggunakan agama Muhammad demi melegalkan tujuan dan hasrat individualnya.

Ilmu atau Ideologi?


John Locke (1632-1704)
Filsuf berkebangsaan Inggris
Bapak liberalisme, terkenal dengan
konsep Tabula Rasa-nya


ILMU dan ideologi dua hal yang berbeda, walaupun keduanya bisa saling berkelindan. Ilmu ditelusuri dari fakta-faka, ilmiah, dan sifatnya mesti objektif nan bebas nilai.

Sementara ideologi justru berbeda, berkebalikan sifatnya, bisa bukan atas fakta-fakta, sifatnya nonilmiah, dan bertendensi subjektif.

Pengertian umum ini kadang masih diyakini ilmuwan Barat akibat konteks sejarah pemikiran yang mendasarinya. Dominannya cara pandang saintis yang merelatifkan pandangan-pandangan metafisika, sedikit banyak membuat antinomi ini masih berlaku hingga sekarang.

Sebagai contoh, agama yang sebagian besar dibangun dari pandangan metafisis tidak dimungkinkan untuk dijadikan optik atas suatu soal akibat sifatnya yang tidak ilmiah. Bahkan, kecenderungan metafisika yang dimiliki agama disamakan sebagai ideologi yang alih-alih mampu dipertanggungjawabkan sebagai ilmu yang ilmiah daripada sifatnya yang dogmatis.

Titik puncak dari pandangan seperti ini banyak ditemukan di kalangan pemikir abad pencerahan Eropa. Pemikir seperti --untuk menyebut beberapa-- David Hume, John Locke, Sigmund Freud, August Comte, hingga Karl Marx adalah orang-orang yang mengidentikkan pemikirannya dengan penolakkan terhadap segala hal yang berbau metafisika.

Keyakinan terhadap ilmu (sains) yang dipercayai mampu memberikan perubahan, justru mengalami perbedaan mendasar dari pikiran-pikiran Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20.

Selain memperkenalkan analisis transformasi masyarakat melalui piramida kebudayaannya, Ali Syariati memberikan pengertian lain tentang ideologi berdasarkan faktor-faktor etimologisnya. Walaupun mengalami simplifikasi --berbeda dengan cara pendefenisian selama ini yang cenderung melihat ideologi dari bagaimana terbentuknya-- cara sederhana ini membantu kita untuk lebih mudah memahami ideologi itu sendiri.

Secara teknis-etimologis, ideologi terbentuk dari dua suku kata: ideo dan logos. Ideo berarti pemikiran, khayalan (dari sinonimitas inilah pengertian ideologi dari cara pandang marxis diambil), konsep, dan atau keyakinan. Sementara logos berarti ilmu, sabda, dan atau pengetahuan. Singkatnya, ideologi berarti penganjur keyakinan yang didasarkan atas pengetahuan tertentu.

Dalam konteks kelas masyarakat, ideologi bisa berarti pemahaman yang subjektif dari golongan tertentu. Menurut Ali Syariati, ideologi bisa diwujudkan tergantung pemahaman yang ditaati oleh suatu kelompok, ras, atau bangsa tertentu.

Dari segi sifatnya, ideologi lebih cenderung menarik penganutnya kepada komitmen tertentu. Bahkan ideologi behubungan langsung dengan ketertarikan yang menyebabkan berubahnya pikiran penganutnya. Hal ini berbeda dengan ilmu yang tidak sama sekali mununtut komitmen apa-apa selain keterkaitan di antara ilmu itu sendiri.

Sebagai contoh, Ali Syariati mencontohkan tidak adanya pengaruh apa-apa dari penemuan hukum gravitasi bagi fisikawan. Hukum objektif yang ditemukan sebagai gaya gravitasi tidak mengubah isi pikiran dan sikap sama sekali dari seorang fisikawan.

Hal ini karena hukum gravitasi adalah hukum objektif sebagaimana pengamatan yang ditemukan atasnya. Pikiran sang fisikawan ibarat cermin yang hanya memantulkan gejala-gejala yang ditemuinya. Dengan kata lain cermin tidak memengaruhi objek, dan sebaliknya, objek tidak mengubah cermin sama sekali.

Melalui kontestasi ilmu demikian, Ali Syariati mengurai dua macam penilaian yang secara kategoris akan memperlihatkan secara dikotomik perbedaan ilmu dan ideologi secara metodelogis.

Pertama, judgement de faite. Model penilaian ini adalah tahap penentuan nilai yang bersifat kategoris. Judgement de faite hanya beroperasi ketika suatu realitas dijelaskan berdasarkan ciri, bentuk, sifat, hubungan, dan modelnya, yang hanya bersifat analitik. Keyakinan ini sering dibangun dengan bunyi proposisi "sesuatu ini adalah...", "itu adalah...", atau "maka ia adalah..."

Judgement de faite dengan begitu hanya bekerja dengan maksud menyatakan fakta sebagaimana fakta itu sendiri tanpa melibatkan penilaian lain di luar dari dirinya.

Model penilaian yang kedua adalah judgement de valeuer. Penilaian ini disebut Ali Syariati sebagai penilaian tentang nilai.

Artinya, penilaian model kedua ini berusaha membangun pertanyaan-pertanyaan atas temuan-temuan dari penilaian tahap sebelumnya. Misalnya, hukum objektif gravitasi sebagai fakta yang dinyatakan sebagai suatu hukum yang mengikat benda-benda di bumi agar tidak melayang ke angkasa, dinilai apakah pengertian itu memiliki dampak etis bagi masyarakat?; baikkah hukum itu?; apa berbahayanya hukum gravitasi?; apa manfaatnya?; apa negatifnya?; dlsb.

Dengan kata lain, judgement de valeur, adalah jenis penilaian yang memperkarakan secara etis dan epistemologis nilai atas faka itu sendiri.

Menurut Ali Syariati dua penilaian ini sering sulit dipisahkan, oleh itu mesti mampu dibedakan.

Sebagai contoh, dalam membincangkan gerakan ekstremis agama, atau fundamentalis agama ataupun pasar di Indonesia, dalam kerangka judgement de faite, maka kita harus menyatakannya dengan cermat seperi apa pengaruhnya terhadap nasionalisme negara, bagaimana dia berkembang, bagaimana gerakan ekstremis agama menguasai cara pandang sebagian masyarakat Indonesia, apa dampaknya mestilah objektif sebagaimana kejadian-kejadian yang sebenarnya.

Dengan kata lain, kita mesti menahan penilaian dan sentimen pribadi ketika menggambarkan keseluruhan fakta yang ada. Ketika hal ini tidak diindahkan, maka itu akan merusak secara objetif dan metodelogis fakta-fakta yang kita temui.

Di tahapan kedua, yakni judgement de valeur, barulah sang pengamat dimungkinkan menguji temuan-temuannya dengan menganalisis, mengevaluasi, dan memutuskan, apakah ektremisme atau fundamentalisme agama memiliki kebaikan, kekuatan positif, ataukah berdampak progresif terhadap kemajuan Indonesia ataukah tidak. Apakah ekstremisme agama memberikan manfaat yang jauh lebih berfaedah; apakah kekuatan itu menguatkan rasa cinta tanah air atau malah sebaliknya?

Tahap pertama (judgement de faite) kita hanya berusaha memaparkan fakta berdasarkan temuan-temuan yang ditemukan, sementara di tahap kedua (judgement de valeur) kita berusaha mengkaji fakta-fakta berdasarkan perangkat nilai dan kebenaran yang mungkin kita terima atau tidak sama sekali dipakai.

Menurut Ali Syariati, di tahap kedualah ilmu berubah menjadi jauh lebih ideologis. Di tahap inilah temuan-temuan itu dikaji dalam konteks apa manfaat teoritis dan praktisnya bagi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.

Hatta, masih menurut Ali Syariati, ilmu di tahap kedua inilah yang membedakan ideologi dengan jenis pengetahuan lainnya.

Rausyanfikr atau Ilmuwan?

Rausyanfikr bukan terma yang sepenuhnya tepat disinonimkan dengan istilah free thinker, atau dalam terjemahan Inggrisnya yang disebut intellectual. Selain secara genetis dua istilah ini lahir dari alam pikir dan cara pandang yang berbeda, Dr. Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20, menyebutkan beberapa kategori perbedaan di antara keduanya.

Pertama, rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan) berbeda dari ilmuwan yang menemukan "kebenaran" tinimbang "kenyataan". Dalam hal ini, "kebenaran" berbeda dari "kenyataan" yang mana "kenyataan" sering kali hanyalah apa yang sering tampak dipermukaan. Sementara kebenaran adalah capaian atas sesuatu yang "digali" di dalam selimut kabut "kenyataan".

Seorang rausyanfikr banyak mencurahkan pikiran-jiwanya untuk menemukan kebenaran lebih dari hanya gejala-gejala faktuil.

Kedua, ilmuwan bekerja atas dasar menampakkan fakta sebagaimana adanya. Sikap etis ini membuat seorang ilmuwan berjarak dari fakta yang diamatinya. Di titik ini sikap etis kadang berseberangan dengan sikap politis seorang ilmuwan. Sementara seorang rausyanfikr, jauh lebih dari pada memaparkan fakta. Dia menilai fakta sampai kepada titik penilaian sebagaimana seharusnya fakta itu sebenarnya.

Imuwan menggunakan bahasa universal. Akibatnya ilmuwan kadang susah menempatkan bahasanya pada kepentingan atau keberpihakan terhadap kaum tertentu. Bahasa ilmuwan adalah bahasa yang selain universal juga kerap abstrak. Di titik ini bahasanya tidak praktis dan tidak adaptabel dengan kebutuhan masa kini.

Sedangkan rausyanfikr berbahasa dengan bahasa kaumnya. Ali Syariati menyamakan kedudukan ini sebagaimana nabi-nabi. Ibarat nabi, rausyanfikr berbicara seakan-akan menggunakan lidah kaumnya. Bibir kaumnya, atau bahkan cara berpikir kaumnya. Ini tiada lain untuk mengikuti tingkat pemahaman kaumnya yang tidak semuanya mampu menyerap bahasa teknis keilmiahan.

Keempat, seorang ilmuwan dituntut agar netral ketika menjalankan pekerjaannya. Sebagai suatu profesi, ilmuwan malan lebih sering menjauhkan diri dari konflik kepentingan yang dapat mengancam pekerjaannya dalam dunia akademik. Sedangkan rausyanfikr malah harus melibatkan diri pada ideologi. Itu artinya seorang rausyanfikr sehari-hari dalam profesinya menceburkan diri dalam "sejarah" masyarakatnya.

Itulah sebabnya, sebagai sosiolog, Dr. Ali Syariati melihat transformasi sosial hanya bisa dijalankan ketika rausyanfikr ikut terlibat di dalamnya. Sejarah, kata Syariati dibentuk hanya oleh kaum rausyanfikr.

Artinya dari kategori di atas, rausyanfikr lebih dari sekadar ilmuwan yang sibuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Atau alih-alih menjadi seorang sarjanawan yang telah menempuh tingkatan studi tertentu.


Rausyanfikr secara kategoris membedakan dirinya sebagai kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, membaca dan menemu-tangkap aspirasi masyarakatnya, kemudian merumuskan skema kerja sebagai gerakan alternatif dengan bahasa yang dapat ditangkap indera masyarakat dalam memecahkan suatu soal fundamen yang dialami.

Bahasa dan Politik Ingatan dari Benedict Anderson

Pasca pindah sekolah menengah pertama, di hari pertama di kelas baru, saya sempat mendapatkan tertawaan akibat dialek bahasa yang berbeda. Gaya saya berbicara nampak asing bagi telinga orang Sulawesi Selatan. Maklum, ketika itu saya baru pindah dari Kupang, suatu kota dari gugusan pulau di Nusa Tenggara.

Waktu itu entah untuk mengetahui kemampuan murid baru, guru matematika kala itu bertanya atas suatu soal yang sedang dibahas di atas papan tulis. Sontak saya kaget akibat murid yang dimaksud dari pertanyaan itu tiada lain adalah saya. Dengan terbata-bata saya menjawab seadanya seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tepat di kala itulah hampir semua kelas menertawai saya. Menertawai dialek saya tepatnya.

Buka saja dialek, kesulitan selanjutnya di kelas baru, terutama adalah bahasa Bugis itu sendiri. Seketika saya langsung menyadari, ada jarak antara saya dengan bahasa percakapan sehari-sehari bagi orang-orang Bugis. Jika di Kupang kami dipertemukan hampir semuanya dengan bahasa Indonesia, tapi di lingkungan baru saya, hampir setiap percakapan didominasi oleh bahasa daerah.

Perbedaan akibat bahasa yang berbeda, dengan sendirinya membuat saya menjadi terasing secara komunikasi. Lebih jauh dari itu, bahasa yang belum saya kenali membuat saya menjadi orang yang berbeda secara pengetahuan dan kultural.

Praktis, di hari-hari pertama, dengan lingkungan baru, dan bahasa yang berbeda, membuat dunia sosial saya tidak jauh dari penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri. Sejauh bahasa Bugis digunakan, secepat itu pula saya dibatasi secara jarak dan sosial.  

Yang paling penting dari itu, di lingkungan baru saya mesti dan  membutuhkan beragam pengetahuan  yang berkaitan dengan soal-soal praktis. Masalahnya adalah bahasa selalu menjadi batas pengetahuan. Tanpa mengerti arti suatu bahasa, otomatis tidak ada suatu makna yang secara operasional dapat membantu saya menggunakannya dalam berkomunikasi.

Pengalaman ini lama saya alami, bersamaan dengan mulainya saya mengenal jenis huruf lontara ketika menghadapi mata pelajaran bahasa daerah. Otomatis saya harus menghapalnya. Juga saya harus mahir menulisnya ketika diajukan pekerjaan rumah bahasa daerah.

Masih segar dalam ingatan, ketika memasuki mata pelajaran bahasa daerah, hal yang saya lakukan hanya diam mendengarkan kemudian hanya melihat huruf-huruf lontara ditulis begitu saja tanpa saya pahami. Yang paling memalukan semua tugas hingga ujian akhir sekolah untuk bahasa daerah, barangkali akibat kasihan, dikerjakan diam-diam oleh teman sebangku saya.

Saya terkesan dengan semua itu. Terutama keadaan diri saya yang merasa menjadi orang asing di kampung sendiri. Bahasa Bugis dengan sendirinya membuat saya menyadari, betapa saya teralienasi dengan bahasa ibu saya. Lidah pertama yang seharusnya saya ketahui.

Semenjak di Kupang, bahasa Bugis hanya saya alami secara pendengaran. Mamak dan bapak sering menggunakannya sebagai percakapan sehari-hari. Tentang bagaimana saya mengucapkan dan menggunakannya, itu lain soal. Kegunaan praktis bahasa daerah kala itu belum saya temui seperti saat saya mulai bermukim di kampung halaman.

Walaupun bahasa Bugis hanya dipakai di lingkungan rumah, tapi ingatan saya atas itu membantu saya ketika mulai mempelajari satu demi satu kata yang paling sering saya dengar digunakan dalam omongan sehari-hari.

Dalam keadaan itu kemampuan mendengar dan mengonfirmasi dalam bahasa Indonesia menjadi strategi saya untuk mempelajari bahasa Bugis. Setiap orang yang saya dengarkan menggunakan bahasa Bugis, saya cari artinya melalui cara seseorang membilangkannya. Sering juga saya melihat bagaimana mimik mukanya, atau dalam aktivitas apa dia menggunakan kata ini dan mengapa bukan kata itu. Walapun tidak membantu sepenuhnya, namun cara ini membuat saya lama-lama mulai mengerti satu kata demi satu kata.

Pergaulan sangat membantu ketika itu. Saya masih ingat ketika diajari hitungan angka satu sampai sepuluh oleh teman sebangku saya. Kata calla yang ternyata bisa bermakna lebih dari satu. Kata kursi yang disebut kadera. Juga kata macca yang sering dipakai untuk menunjuk teman saya yang pintar kala itu. Dan macam-macam lainnya.

Melalui bahasa, pengetahuan kultural saya mulai terbentuk perlahan-lahan. Saya bisa mengerti alam berpikir orang-orang di kampung saya. Cara hidupnya, kebiasaan-kebiasaanya, tradisinya, dan pada akhirnya kebudayaan orang-orang Bugis.

Hingga suatu waktu saya juga menyadari bahwa selama ini saya tidak tahu apa-apa tentang budaya leluhur saya. Pengalaman atas bahasa yang berbeda membuat saya mengetahui bahwa sejarah leluhur orang-orang Bugis sangat berbeda dengan sejarah yang diajarkan kepasa saya di kala masih di Kupang.

Sampai nanti saya benar-benar yakin, sepenuhnya saya hilang dari kebudayaan leluhur saya. Saya sulit mengidentifikasi asal usul diri saya. Itu dimulai ketika saya harus mengenal "kembali" sanak famili saya yang hanya sekali dua kali saya temui semenjak masih di tanah rantau.

Mengenal keluarga besar juga sama dengan mengenal tradisi, kebudayaan. Dari keluargalah saya juga belajar sedikit demi sedikit adat istiadat orang Bugis. Cara hidupnya, bagaimana mesti marah, sedih dan senang, bagaimana memberlakukan orang. Seperti juga seperti apa ketika harus menempatkan diri di antara banyak orang. 

Sampai akhirnya selama bertahun-tahun pengalaman demi pengalaman, dialek dan penggunaan bahasa daerah sudah mulai mampu saya gunakan. Namun, sampai sekarang masih ada yang mengganjal, selain semakin jarang menggunakan bahasa daerah, saya merasa belum yakin betul dengan tradisi orang-orang Bugis yang semakin jarang saya temukan. Sebab utamanya sederhana, saya tidak tumbuh besar di kampung halaman sendiri.

***

Pengalaman saya ini, belakangan menjadi nampak lebih problematis ketika saya menjadi ingat pemikiran Benedict Anderson tentang kaitan politik dengan bahasa nasional. Walaupun berbeda konteks dan motifasinya terhadap pengamalan bahasa daerah, saya dapat menyimpulkan pentingnya bahasa dengan ingatan suatu generasi terhadap sejarah negerinya sendiri.

Temuan penting Anderson berhubungan langsung ketika dia kembali ke Indonesia pasca reformasi, dan melihat secara langsung ingatan generasi muda yang mulai kehilangan pengetahuan atas sejarahnya sendiri akibat perubahan ejaan yang diberlakukan rezim Orde Baru.

Perubahan ejaan dari ejaan Soewandi menjadi EYD ternyata berdampak buruk terhadap keberlanjutan ingatan publik dan menurunnya kreativitas anak muda Indonesia. Peralihan ejaan Soewandi menjadi EYD, disebut Anderson memiliki agenda politik untuk memutus ingatan masyarakat terhadap sejarah masa lalu bangsanya sebelum rezim Orde Baru berkuasa. Dengan kata lain, dengan ejaan baru, itu sama artinya dengan apa yang disebut Anderson sebagai agenda penghapusan sejarah.

Temuan ini membukakan mata orang-orang kala Anderson menyampaikan pidato tentang nasionalismenya di sekira tahun 2001, bahwa dengan mengontrol ejaan melalui bahasa yang disempurnakan, sebenarnya dengan sendirinya paralel dengan penguasaan atas pengetahuan (ingatan/pikiran) bangsa Indonesia. Sudah tentu yang dimaksud Anderson juga adalah menyitir sikap praktis generasi muda yang dengan gampang meninggalkan dan lebih memilih bacaan yang telah disempurnakan alih-alih ejaan sebelumnya yang dirasa lebih gampang dan “enak” dieja dan dibaca.

Selain keterputusan sejarah, perubahan ejaan juga dengan sendirinya membuat penyeragaman pengetahuan melalui ejaan yang disempurnakan. Padahal menurut pendakuan Anderson, sebelum bahasa nasional “ditertibkan” dan disempurnakan, bahasa Indonesia jauh lebih kreatif, majemuk, dan beragam. Dengan kata lain, bahasa yang disempurnakan merupakan cara yang disadari Orde Baru berimplikasi kepada hilangnya keberagaman cara berpikir demi membangun konsensus demi menunjang pemerintahannya. Jelas di sini, bahasa dalam pemahaman Anderson bukan sebagai kebutuhan pragmatis untuk berkomunikasi, melainkan lebih jauh dari itu sebagai medium kekuasaan dapat berlaku semena-mena terhadap isi pikiran suatu bangsa.

Perpisahan

Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk memahami perpisahan. Itulah sebabnya setiap jalan pisah, akan begitu menyakitkan dan hanya menyisakan kepiluan.

Apalagi kematian, manusia tidak sanggup memahaminya selain daripada itu adalah lorong paling yatim. Kita sendiri akan menjalaninya tanpa tahu apa-apa. Tanpa mengerti apa-apa selain pada akhirnya hanya dengan menjalaninya kematian dapat dimengerti.

Sesungguhnya, seperti perkataan Imam Ali, kematian ada dalam hidupmu yang ditaklukkan, dan kehidupan ada pada kematianmu yang menaklukkan.Sungguh orang-orang berbuat kebajikan, tak benar-benar mati.

1 Orang Bodoh ditambah 1 Orang Bodoh?

Ada prinsip sederhana yang seringkali diingatkan mamak ketika saya masih bersekolah tentang cara praktis agar dapat memiliki otak encer: bertemanlah dengan orang-orang pintar, lebih baik bodoh di antara mereka daripada pintar di antara orang-orang bodoh.

Kelak ketika mulai dewasa, saya menduga anjuran ini mirip dengan nasehat agama untuk mengajak umatnya agar berkumpul dengan orang-orang saleh.

Mendengar nasehat itu membuat saya yakin seratus persen bahwa ketika bergaul dengan orang-orang pintar pasti dengan sendirinya saya akan tertulari kecerdasan seperti orang yang tertulari flu burung dari entah siapa yang baru saja melancong dari negeri Cina nun jauh di sana.

Anehnya ketika mendengar nasehat ini, saya seperti disadarkan bahwa diri saya bukan anak yang cerdas. Entah mengapa nasehat itu menjadi semacam sugesti bahwa saya memang bukan orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Itulah sebabnya, mamak selalu mengingatkan dengan nasehat demikian.

Tapi jika diingat-ingat, semasa bersekolah otak saya memang pas-pasan. Dari SD hingga SMA, saya tidak pernah mendapatkan rangking. Bahkan nilai-nilai raport saya jarang membuat bapak dan mamak terkesan.

Ketika SD saya memiliki sahabat yang sekaligus tetangga rumah. Kami bertiga seringkali berangkat ke sekolah bersama-sama, terutama ketika menjelang kelas enam. Yang membuat pertemanan kami semakin dekat ketika kami harus mengerjakan PR secara berkelompok di salah satu rumah teman kami.

Saat itu mengerjakan PR memang saya artikan semata-mata sebagai pekerjaan rumah belaka. Saat itu tidak ada konsep belajar yang saya ketahui sebagai pelajaran tambahan di luar sekolah yang bertujuan untuk melatih dan mendidik melalui tugas-tugas sekolah. PR hanyalah PR jika itu berarti saya dengan gembira bisa keluar rumah ketika magrib baru saja usai. Dan ini berarti sesuai pergaulan  yang dianjurkan mamak, berkawan dengan orang yang lebih unggul dari diri saya.

Rumah yang dituju adalah rumah ketua kelas kami. Seorang perempuan yang selalu mendapat peringkat pertama. Rumahnya lumayan jauh dengan berjalan kaki. Kami sering pergi dengan membawa buku tulis yang masih kosong dari PR yang diwajibkan. Satu-satunya harapan kami, saya tepatnya, adalah ketua kelas ini. Dari dialah nanti saya bisa menulis ulang PR yang pura-pura kami kerjakan bersama.

Di rumahnya kami selalu disambut baik orang tuanya. Mungkin kami dinilai sebagai anak-anak yang rajin belajar. Seringkali kami dibuatkan kue dan segelas teh ketika harus gelontoran di atas lantai mengerjakan soal-soal menghitung. Nur nama teman saya itu begitu cekatan menjawab soal-soal. Taufik, tetangga sebelah rumah saya juga nampak baik-baik saja mengikuti alur rumus yang dicontohkan Nur kepadanya. Masalahnya, adalah saya, rumus-rumus itu nampak hanya menjadi simbol-simbol yang membingungkan.

Di antara kami bertiga, saya sering merasa menjadi orang yang paling lambat menggunakan otak ketika berhadapan dengan rumus-rumus. Saya sering berandai-andai, mungkin saya memiliki otak yang paling buruk di antara mereka.

Sepertinya, pelajaran yang bersentuhan dengan angka-angka sangat tidak klop di kepala saya. Otak saya sepertinya lebih afdol kalau itu menghadapi pelajaran-pelajaran semisal bahasa indonesia, kesenian atau semacamnya.

Itulah sebabnya, ketika memasuki kelas enam, saya hanya hapal sampai perkalian empat dan lima, itupun dengan bersusah payah. Sementara rumus-rumus untuk menghitung bidang-bidang tak ada satupun yang bertahan lama di kepala saya.  

Sampai akhirnya saya kadang memikirkan jangan-jangan nasehat mamak di kala itu tidak berlaku. Saya tidak pernah merasa tertulari kecerdasan dari teman-teman saya. Kecerdasan mungkin tidak seperti penyakit.

Lain kasusnya jika saja kalau saya bersahabat dengan orang-orang yang bodoh. Bermain bersama, pulang bersama, dan mengerjakan PR bersama. Kecerdasan saya sudah pasti tidak akan bertambah dua kali lipat. Justru yang ada kebodohan saya akan jauh lebih meningkat. Dua orang bodoh di tambah satu orang bodoh tetaplah tiga orang bodoh.

Kecerdasan tidak dapat menular. Tapi malangnya, kebodohan sangat gampang berpindah dari kepala satu ke kepala lainnya. Ibarat penyakit, kebodohan sangat gampang menulari orang-orang yang kurang menggunakan akal sehatnya.

Sekarang, cara orang-orang bodoh menulari kebodohan jauh lebih praktis dengan menuduh dan menyalahkan siapa saja yang berbeda pikiran dengannya. Cara ini jauh lebih ampuh dibanding ketika orang cerdas menilai orang bodoh. Kecuali sebaliknya, tidak ada orang bodoh mampu mengenali orang cerdas.

Rumusnya masih sama: orang tolol hanya mampu mencium bau yang sama dengan orang yang tolol. Satu orang tolol ditambah satu orang yang sama, hasilnya tetap saja sama. Dua orang tolol.

Tapi coba kalau prinsip di atas dibalik menjadi: janganlah berkawan dengan orang-orang bodoh, lebih baik cerdas bukan di antara mereka, daripada bodoh di antara orang-orang yang sama. Pasti ceritanya menjadi berbeda!

Akibat kebodohan cepat menular, maka lakukanlah dia seperti penyakit. Hal pertama yang mesti di lakukan, jangan mencari orang bodoh untuk membantu Anda, sebab tiada orang bodoh mengenali apa sesungguhnya kebodohan itu sebenarnya. 

Hanya orang pintarlah yang tahu siapa yang tolol, siapa yang tidak. Ingat prinsip di atas, orang-orang tolol pasti gemar menilai orang menjadi bodoh bersama-sama. Itulah sebabnya, jika ada orang tolol yang Anda temui, maka tinggalkanlah dia secepat Anda ingin menyembuhkan penyakit Anda.

Dan memang demikian, ketika seseorang mulai sadar sedang digerogoti kebodohan, maka sebenarnya dia tidak benar-benar tolol!