Ketika Ali Syariati mengomentari
pengertian agama yang dinyatakan Emile Durkheim sebagai semangat kebangsaan dan
kolektif masyarakat yang ditransformasikan ke dalam simbol-simbol, ritus, dan
tradisi keagamaan, sosiolog abad 20 ini juga menunjukkan dua kategori agama
yang sering tampil dalam sejarah masyarakat. Bahkan menurut Ali Syariati, di
antaranya, dua kategori agama ini sering mengalami pertentangan dan perlawanan.
Dengan kata lain, pertentangan yang sering dihadapi agama bukanlah entitas di
luar dirinya sendiri, melainkan antara agama melawan agama.
Sebagai seorang sosiolog, Ali
Syariati meradikalkan pembagian agama berdasarkan fungsi kritik dan
transformatifnya di dalam masyarakat. Artinya, sejauh fungsi normatif agama
tidak memberikan kontribusi dan mendorong perubahan sosial, maka agama itu
menjadi paham yang dekaden dan disfungsional.
Selain itu, fungsi kritik dan
transformatif dari agama, secara teoritik akan memberikan perbedaan fondasional
terhadap paham-paham yang berbeda yang pernah ada dalam masyarakat, yang juga
memiliki kepentingan yang sama sebagai semesta makna yang mengatur kehidupan
kolektif masyarakat.
Kategori ini dirumuskan Ali
Syariati berdasarkan pengalaman sejarah dan sosiologis saat pertama kali Islam
datang di tanah Arab. Situasi kesejarahan ini, bertolak dari kehidupan Muhammad
sebagai agen sadar yang mengubah nilai dan motif-motif individual masyarakat
Arab menjadi gerakan kolektif dalam konteks transformasi sosial.
Islam yang pertama kali dibawa
Muhammad merupakan agama yang mengandung fungsi kritik dan transformatif
sekaligus. Dua fungsi ini secara evaluatif bekerja sebagaimana ideologi menilai
dan memutuskan apa yang benar dan seharusnya dilakukan masyarakat berdasarkan
kebutuhan dan tujuan diciptakannya kehidupan bersama.
Islam awal Muhammad, berdasarkan
fungsi kritiknya banyak mengguyah sendi-sendi masyarakat yang tidak adil akibat
spirit egaliterianismenya. Ketidakadilan, penyembahan berhala, barbarianisme,
diktatur kesukuan, dan dehumanisasi adalah perhatian utama Islam awal Muhammad
yang ditransformasikan secara radikal untuk menciptakan kehidupan yang jauh
lebih beradab.
Islam awal Muhammad, akibat
sifatnya yang demikian, secara konfrontatif berhadapan dengan tradisi dan adat
kebiasaan yang telah lama menjadi sistem paradigma dan tindakan masyarakat
Arab.
Paradigma Arab jahiliah yang
saat itu berciri feodal, "kapitalistik", dan arogan, mau tidak mau
diradikalkan dengan ajaran kemanusiaan yang dikandung Islam awal. Konfrontasi
ini tidak sekadar konsekuen terhadap perubahan paradigma lama masyarakat Arab,
tapi juga mengubah aspek praktis dari cara hidup masyarakat jahiliah Arab saat
itu.
Kritik yang dinyatakan dalam
Islam awal Muhammad, dengan kata lain bukan saja alih-alih merevolusi secara
elementer alam berpikir masyarakat Arab, namun juga mengubah tatanan
kepentingan kehidupan sosio-politik-ekonomi saat itu.
Itulah sebabnya, mengapa
perlawanan dari pemuka suku-suku saat itu tidak terlalu memusingkan apa dan
bagaimana ajaran Islam awal yang dibawa Muhammad, konsep ketuhanan macam apa
yang dikemukakan saat itu, dan bagaimana tata cara menjalankan agama yang
dibawa, melainkan mereka lebih khawatir terhadap dampak praktis Islam yang
mengguncang otoritas politik kesukuan dan kepentingan ekonomi yang saat itu
dijadikan sebagai sumber-sumber prestise dan pendapatan.
Islam awal Muhammad ini dalam
matriks agama Ali Syariati disebut sebagai agama revolusioner. Agama
revolusioner, secara sosiologis dinyatakan Ali Syariati sebagai agama
pembebasan yang secara organik mendorong penganutnya untuk berpikir dan
bergerak maju mengubah pengalaman kolektif yang sebelumnya dekaden menjadi
"modern".
Sementara di sisi lain,
keterangan agama melawan agama, mesti dipahami melalui konteks sejarah
masyarakat yang secara politis dikuasai oleh agama yang hipokrit.
Agama yang hipokrit bukan
sekadar konseptualisasi teoritik Ali Syariati belaka. Dengan kata lain,
pemilahan tipologi agama hipokrit Ali Syariati dikemukakan atas pengalaman
sejarah masyarakat yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang agama legitimasi.
Itu artinya apa yang disebut Ali
Syariati sebagai agama legitimasi, memang benar-benar ada dan beroperasi di
dalam sejarah masyarakat selama ini.
Sejauh ceramah-ceramahnya, tidak
ada defenisi pasti dari apa yang diandaikan Ali Syariati sebagai agama
legitimasi. Yang masih samar-samar adalah agama legitimasi sering disinonimkan
Syariati dengan keyakinan-keyakinan syirik. Bahkan disebutnya keyakinan inilah
yang kerap menggunakan jubah agama demi mengkampanyekan agenda
terselubungngnya.
Namun, apabila merujuk kembali
dari indikator fungsi kritik dan transformatif dari agama di atas, maka dengan
sendirinya akan memberikan pengertian baru atau berbeda tentang agama
legitimasi itu. Maksudnya, sejauh agama tidak membawa perubahan apa-apa
terhadap kesejahteraan masyarakat, maka itulah yang dimaksudkan Syariati
sebagai agama legitimasi.
Bahkan, Syariati menyatakan,
berdasarkan cara kerjanya, agama legitimasi sering memanipulasi ajaran agama
untuk melanggengkan status quo kekuasaan yang berlaku.
Maka dari itu, berdasarkan tidak
adanya fungsi kritis dan transformatif, agama legitimasi justru bertujuan
membuat keadaan semakin alienatif dan regresif.
Agama legitimasi, jika
dikembalikan kepada fungsinya, adalah agama yang secara paradigmatik
mempertahankan dogma dan ajaran-ajaran lama demi memperalat umat dalam
kaitannya dengan kepentingan tokoh-tokohnya.
Agama jenis kedua ini secara
ontologis bukan entitas yang terpisah dari agama itu sendiri. Melainkan berada
dalam agama, dan dikandung di dalamnya. Hal ini sesuai yang dikatakan Syariati,
bahwa agama legitimasi kadang dijalankan dengan cara sembunyi-sembunyi dalam
agama itu sendiri. Dalam sejarah Islam awal, agama legitimasi identik dengan
pengikut nabi yang digolongkan al Quran sebagai golongan munafik.
Agama legitimasi dengan begitu
adalah agama yang mendomplengi agama itu sendiri demi tujuan-tujuan individual,
dan sekaligus berlawanan dengan misi subtansi agama itu sendiri.
Artinya, jika Islam awal
Muhammad mempunyai misi pembebasan masyarakat dari tradisi dan kebudayaan yang
alienatif, maka Islam legitimasi adalah agama yang memanfaatkan keadaan
alienatif masyarakat demi mempertahankan kepentingan dan keuntungannya di dalam
tatanan kepentingan masyarakat.
Sebagai teori sosial, matriks
tentang dua wajah agama ini dinyatakan Ali Syariati saling kontradiktif dan
senantiasa mengalami tegangan. Bahkan, di dalam kenyataan sejarah, dua agama
ini –seperti yang sudah disebutkan di atas—sering berlawanan dan saling merebut
posisi, kepentingan, dan manfaat di masyarakat.
Bukan saja itu, dua wajah agama
ini, tidak bergerak dan beroperasi dengan sendirinya. Sebagaimana Islam awal
dibawa dan digerakkan Muhammad sebagai agen perubahannya, maka agama legitimasi
juga memiliki “nabi-nabinya” yang secara konfrontatif menggunakan agama
Muhammad demi melegalkan tujuan dan hasrat individualnya.