Puasa, Perlawanan dan Pembebasan

"Wahai orang-orang yang beriman! Kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan ke atas orang-orang yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertakwa" (al-Baqarah, 2:183). 

Puasa adalah ibadah yang menjadi perintah Allah bagi umatnya. Ibadah ini menempati posisi penting di antara seluruh ajaran agama Islam. Namun, sejarah puasa bukanlah ibadah yang sepenuhnya terdapat dalam Islam saja. Dituliskan pada ayat di atas tersirat kabar bahwa puasa sudah dijalani oleh umat-umat terdahulu sebelum Rasul hadir. 


Nabi Musa pernah mendapatkan wahyu agar dirinya berpuasa selama empat puluh hari sebelum diturunkan kitab Taurat untuknya. Puasa yang dijalani Musa pada saat itu adalah puasa khusus yang diperuntukkan untuknya sebagai persiapan ruhani sebelum menerima wahyu dari Tuhan. Puasa di sini dimaknai sebagai ibadah yang berdimensi individu.

Kaum Nasrani juga menjalankan ibadah puasa. Dalam mazhab ortodoks misalnya, puasa besar dianggap sebagai puasa yang paling penting. Masanya selama 50 hari dan berakhir pada kebiasaannya pada hari raya kiamat. Mereka juga berpuasa selama 40 hari yang dinamakan puasa kelahiran, bermula dari 25 November hingga 6 Januari, yaitu sebelum berlangsung hari raya kelahiran. Keyakinan ini dapat dirujuk dari kisah nabi Yunus yang berpuasa selama tiga hari dalam seminggu. Puasa ini dinamakan oleh mereka, puasa paramount.

Puasa pun memiliki peran dan tujuannya masing-masing. Pada kasus nabi Musa misalnya, puasa adalah ritual individu dan memiliki peran sebagai penyucian ruhani. Ajaran Nasrani berpuasa dengan niat mengikuti tradisi para nabi-nabi mereka. Begitu pula Maria ibunda dari Isa Al Masih, berpuasa bicara sebagai sanksi sosial bagi masyarakat pada saat itu dikarenakan ia dituduh tidak-tidak dengan sebab kelahiran Isa Al Masih yang lahir tanpa keberadaan bapak.

Bukan saja pada agama-agama terdahulu, pada peradaban besar yang ada di dunia semisal Mesir kuno, Yunani Greek, bangsa Romawi dan Cina kuno. Puasa di kalangan orang-orang Mesir purba dilakukan sebagai memberi khidmat kepada rumah ibadat dan protokolnya. Seseorang pembantu rumah ibadat sebelum memulai khidmatnya dikehendaki berpuasa selama 2 hari tanpa memakan apa-apa makanan kecuali air saja. Kadang-kadang puasa itu berlanjutan sehingga 42 hari. Begitu pula di Cina, semenjak Budha menjadi ajaran resmi negara, maka puasa menjadi ritual yang dijalankan dibawah komando maharaja Fu Ti (58 - 71M).

Jadi jelaslah bahwa puasa bukanlah ibadah yang diperuntukkan semata untuk Islam melainkan jauh hari sebelum kedatangan Islam, puasa telah menjadi amalan bagi individu maupun masyarakat luas. Oleh Islam-lah Puasa menjadi ibadah yang bukan saja berdimensi individu melainkan sekaligus ibadah sosial.

Puasa sebagai Pesan Perjuangan Kaum Tertindas

Pada saat Rasul membawa agama yang diturunkan untuk umatnya, puasa mengambil peran penting terhadap perubahan sosial yang terjadi pada masanya. Puasa bukan saja ibadah yang memiliki relasi "ke atas", tetapi tersirat di dalamnya adalah relasi terhadap kondisi sosial yang terjadi. Puasa jenis ini banyak dilakukan Nabi sebagai ajaran yang egaliter, dimaksudkan untuk tidak makan selama berhari-hari untuk memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan kaum-kaum tertindas. Puasa jenis ini adalah ibadah pilihan sebagai makna perlawanan terhadap sistem yang menjerat sehingga banyak yang tak dapat hidup sejahtera. 

Bukan saja Nabi, Menantu sekaligus murid sejatinya, Imam Ali Bin Abi Thalib pernah berbuka puasa hanya dengan air putih saja dikarenakan selama tiga hari berturut-turut, puasa yang diperintahkan Nabi untuk Imam Ali demi kesembuhan kedua anaknya diberikan kepada kaum papa dan orang tua yang datang untuk mencari makan pada saat Ia hendak berbuka. Diberikanlah bekal buka puasa pada saat itu demi yang membutuhkannya. Pada kisah ini puasa pun bisa dijadikan sebagai media Ibadah demi kesembuhan. Bukan saja niat puasa yang merupakan "pilihan" sebagai bentuk perlawanan bahkan berbuka pun adalah "pilihan" untuk berbagi dan melawan.

Selain diwajibkan selama bulan ramadhan, puasa juga bermakan bagi kita untuk memilih sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi sosial dan pemerintahan yang serakah seperti sekarang ini. Apalagi kondisi sekarang adalah kondisi yang semua dibungkus lewat permainan libido. Lihatlah iklan, produk dan media semuanya berjalan lewat nalar nafsu keserakahan, menciptakan masyrakat yang serakah pula nan konsumentalis. Puasa adalah pesan keagamaan untuk melawan keotoriteran dan kapitalistiknya zaman. Betapa luar biasanya apa yang dibawa oleh Rasul kita.Telah kita ketahui puasa adalah ibadah yang waji bai kaum muslim, tapi bagi penulis sunnah puasa adalah keniscayaan bagi orang-orang yang hendak melawan keserakahan kelompok, sistem, dan penguasa. Puasa adalah pembebasan ruhaniah sekaligus pembebasan kolektif sosiologis masyarakat. Pelepasan diri terhadap pembelengguan ego yang menjerat kemerdekaan. Puasa sebagai pilihan adalah jenis puasa bagi orang-orang yang merdeka. Puasanya para pembebas, sebagaimana Rasul yang berpuasa sebagai bentuk jihad untuk melakukan gerak perlawanan kepada penguasa khurais yang despotik dan kapitalistik.

Sebagai bentuk perlawanan, puasa menjadikan dirinya sebagai peran sentral sebagai pemantik akan api perlawanan. Posisinya sebagai penjagaan mawas diri terhadap kesalahan diri. Sekolah untuk membentuk manusia-manusia merdeka dan sebagai pembatas antara orang-orang yang melawan dan pasrah. Ia menjadikan ritual sebagai ritual yang menembus citra kemapanan sosial masyarakat hedon dan liberal. Bukan saja sekedar menahan lapar dan haus melainkan membantah habis asumsi ego kekuasaan yang bercokol dalam setiap manusia. Menggerogti nafsu keserakahan umat manusia, ia adalah usaha kreatif manusia menuju pembebasan universal alam semesta. Menohok topeng kepalsuan diri dan merangsah gairah perlawanan.

Telah dijelaskan sebelumnya, puasa adalah keberlanjutan umat-umat terdahulu, maka puasa pula adalah romantisme sejarah akan kaum budak belian dan papa agar kita mencintai mereka. Bagian dari kolektivitas gerak yang tak pernah terputus dari zaman ke zaman membawa suratan kemerdekaan agar kita turut andil dari Ibadah perlawanan sejagad raya beserta waktunya menuju keabadian kemerdekaan yang terbebas dari keterpenjaraan tradisi, budaya, sosial, ekonomi serta dimensi kekuasaan. Zaman telah menjadi saksi bagi kita bahwa para nabi senantiasa menghidupkan puasa, maka kita pun harus melakukannya pula, puasa dari produk yang menjerat jiwa, iklan yang menghasut akal, pidato penguasa yang menipu rakyak serta zaman yang menidurkan warganya oleh kepasrahan yang nyata. Puasa adalah motor sekaligus katalisator, penggerak yang menggerakkan, zuhud yang mengkritik serta zikir yang membebaskan. Puasa adalah milik kaum mustada'afin, puasa adalah keberpihakan terhadap orang yang dicintai Rasul.[]