catatan kelas menulis PI, pekan 17

Menulis tanpa melibatkan pengalaman langsung adalah pekerjaan yang mengandung resiko. Bisa jadi apa yang ditulis akan mengadangada. Tapi apa boleh dibilang, pekerjaan rutin tiap akhir pekan yang mau merekam kejadian seputar KLPI harus tetap dilakukan. Makanya, dengan mengambil resiko yang bisa saja tidak sesuai fakta, tulisan ini dibuat.

Kelas menulis PI pekan 17 hanya dihadiri segelintir orang. Ini gejala yang sudah terjadi di hampir dua bulan belakangan. Soal ini, laporanlaporan di tulisan sebelumnya sudah sering mengulasnya, terutama catatan pekan kemarin. Soal ini semua yang terlibat di kelas menulis PI tahu situasinya. Juga bagaimana harus menyelesaikannya.

Tulisan ini hanya dipusatkan dari laporan kawankawan, terutama soal Vivi yang sudah menulis esai, yang sebelumnya lebih sering membawa cerpen. Mauliah Mulkin yang menulis memoar kepada ayahanda atas wafatnya 16 tahun silam. Muhajir yang mengangkat fenomena tetangganya yang sering membakar lilin merah di belakang rumah dengan maksud menolak bala. Dan beberapa kejadian soal obrolan kawankawan yang lain (sampai catatan ini ditulis, belum ada informasi valid soal tulisan yang dibawa kawankawan yang lain).

Pertama tentang pilihan Vivi yang membawa satu esai soal orangorang berkebutuhan khusus. Sampai sejauh ini, orangorang difabel adalah tema utama yang jadi pilihan Vivi. Kemungkinan ini dinyatakan dari background keilmuan yang kiwari digelutinya. Dari sudut pandang tertentu, tema yang sering diangkatnya adalah hal yang baru di kelas menulis PI. 

Yang unik dari pilihan Vivi adalah caranya dalam mengungkapkan dunia anakanak difabel melalui cerita pendek. Sejauh ini, dari perbendaharaan wacana kawankawan, obrolan soal orangorang berkebutuhan khusus jarang menjadi pilihan perbincangan. Setidaknya, tema yang sering diajukan Vivi adalah dunia baru yang bisa digarap kawankawan jika mau membuat suatu ulasan. Terutama Vivi, ini adalah khas yang dari situ dia bisa membangun karakter tulisannya.

Soal karakter itu penting. Apalagi kiwari banyak perbendaharaan tema yang sudah sering diangkat penulis pemula maupun profesional. Akibatnya agak sulit untuk mau menemukan satu wacana khas yang identik dengan gaya menulis seseorang. Namun, seperti sidik jari, tema tulisan seseorang sudah ditakdirkan berbeda dengan tema tulisan lain. Apalagi soal gaya menulis, jika tema bisa saja sama, adalah pintu masuk seorang penulis yang mau membangun ciri personalnya.

Kasus semisal Vivi dengan tema orang berkebutuhan khusus bisa jadi sudah banyak yang mengangkatnya, tapi tema difabel dengan genre cerpen mungkin hanya segelintir penulis yang melakukannya.

Yang dilakukan Vivi sejauh ini istikomah menggarap satu tema difabel juga dilakukan beberapa kawankawan. Sebut saja Jusnawati yang hampir semua tulisannya berpusat kepada hal ikhwal perempuan. Jika mau dipecah, maka akan banyak beragam tema turunan yang ditemukan dari tulisan Jusna selama ini tapi tetap konsisten dengan tema semula. Juga Mauliah Mulkin yang menaruh passion kepada tematema parenting, juga beragam cabang tema yang tetap berporos kepada parenting sebagai pusatnya. Artinya, selain karakter, konsistensi terhadap tema tertentu seperti yang dicontohkan beberapa kawankawan adalah suatu cara membangun karakter personal.

Sebagaimana Mauliah Mulkin dengan Bapak in My Memory merupakan judul tulisan yang masih berpusat kepada Parenting sebagai dasarnya. Relasi orang tua dan anak inilah yang gamblang sebagaimana di dalam wacana parenting terlihat di dalam tulisan yang membangun isinya dari kenangankenangan terhadap ayah di masa hidupnya. Jika dicocokkan dengan apa yang disebut Muhidin M. Dahlan sebagai esai mengantar arwah, bisa dibilang esai yang di tulis K Uly, begitu sering ia disapa, adalah esai yang ditujukan kepada orangorang yang telah pergi mendahului mereka yang masih hidup. Sebagaimana Ben Anderson yang menulis esai di kala Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru, Rosihan Anwar kepada temanteman seangkatannya, juga Daniel Dhakidae di Kompas yang menulis untuk Rosihan Anwar sendiri di kala wafat, esai arwah adalah tulisan yang galibnya dibuat untuk mengingat yang luput dari pemilik arwah bagi kehidupan yang ditinggalkannya. [1]

Namun, tema yang sering diulas bukan berarti tanpa resiko. Seperti hasil obrolan di kelas menulis pekan 16, menulis dengan tema yang seringkali sama bisa membawa penulis kepada pengulanganpengulangan informasi yang sudah sering diulas. Masalah ini besar kemungkinan terjadi jika tidak disertai riset terhadap tema yang sudah sering jadi garapan sebelumnya. 

Makanya riset itu hal elementer dan penting untuk membuka kemungkinan baru agar tulisan tidak jatuh kepada repetisi yang berkepanjangan. Kedua, seperti di catatan sebelumnya, eksperimen adalah hal yang juga akan membantu tulisan memperoleh sudut pandang yang jauh lebih fresh. Eksperimen ini bisa macammacam modelnya, di suatu waktu bisa berbentuk tukar pikiran melalui dialog, atau uji coba yang diterapkan langsung di dalam kehidupan nyata.

Eksperimen yang melibatkan ide ataupun gagasan, bisa dibilang hal yang harus sering dilakukan. Apalagi jika suatu karya ingin dibuat menjadi fiksi. Hampir semua penulis besar jika ditelisik mengandalkan eksperimen di dalam tulisannya. Pramoedya Ananta Toer misalnya, disebut sering melibatkan orangorang terdekatnya untuk dijadikan kawan dialog semasa di Pulau Buru. Bahkan dalam kasus ini, eksperimen Pram adalah kerja kolektif yang membuat tulisannya jadi bernas. Atau, Andrea Hirata misalnya, yang disebut pernah mengujicobakan secara langsung bagaimana merasakan naik motor yang kehabisan bensin di tengan jalan hanya untuk mau menggambarkan perasaan Ayahnya di kala mendorong sepeda bermilmil jauhnya di salah satu bagian ceritanya. Juga Eka Kurniawan yang seringkali bermainmain mengubah jalan cerita suatu kisah yang tak pernah dipikirkan orangorang dengan rumus “bagaimana jika seperti ini kejadiannya-bagaimana setelahnya”. 

Muhajir yang belakangan bereksperimen soal pengalaman langsungnya terhadap peristiwa di sekitarnya adalah salah satu contoh bagaimana kisahkisah kecil digubah dalam suatu karya tulis. Tulisannya soal lilin merah di belakang rumah tetangganya, jika dibaca setidaknya mulai bisa menyoroti halhal serius di balik kehidupan seharihari. Hal ini barangkali karena ditunjang dengan alam berpikirnya yang getol mengkonsumsi wacana filsafat. 

takhayul dan komunisme

Comte menandai masa teologik-metafisik sebagai rentang sejarah manusia yang bergerak oleh kekuatan mitos dan takhayul. Dua kekuatan ini adalah cara manusia bertahan hidup dari semesta alam yang asing. Di masa ini, keyakinan jika manusia menghadapi hambatanhambatan dalam kehidupan, mampu diselesaikan dewadewi seperti yang diyakini dalam mitos. Bagi masyarakat prarasional, mitos dan takhayul dipakai sebagai perangkat pengetahuan untuk menjadi pegangan hidupnya.

Tapi, kesadaran berkembang. Mitos dan takhayul akhirnya digantikan dengan ilmu pengetahuan. August Comte menyebut masa ini zaman keemasan. Ilmu pengetahuan menjadi ratu peradaban. Berbeda dari dua masa sebelumnya, hal ihwal yang belum terjelaskan selama manusia hidup ternyata bisa dipecahkan oleh sains. Akibatnya, kata Comte, di zaman ini segala hal berbau teologis dan metafisis akan dihapus ilmu pengetahuan. Sainslah keyakinan baru masyarakat positivis.

Prediksi Bapak Sosiologi Barat itu bisa benar bisa tidak. Masyarakat memang telah maju oleh kesadaran rasional. Namun, keyakinan terhadap takhayul tidak sepenuhnya bisa hilang begitu saja. Terutama apa yang terjadi akhirakhir ini, soal ketakutan kepada entah apa. Walaupun begitu, siapapun yang mengikuti perkembangan berita akhirakhir ini tahu, beberapa elemen pemerintah khawatir terhadap satu mitos; komunisme.

Komunisme memang dibilangkan Marx dan Engels sebagai hantu yang bergentayangan di langitlangit Eropa kala itu. Di Manifesto Komunis secara eksplisit tujuan Marx dan Engels memakai metafora hantu sebagai penanda terhadap keyakinan baru yang bakal merinsek keyakinan dogmatis masyarakat Eropa. Sebagaimana mahluk halus, keberadaan komunisme akan membuat gentar pendirian masyarakat yang digerakkan filsafat kelas borjuis saat itu. Dan, filsafat kelas borjuis saat itu tiada lain adalah filsafat idealisme Hegel.

Sulit memprediksi apa dasar utama beberapa perangkat negara dan ormas akhirakhir ini getol mengkampanyekan anti komunisme dengan tindakan mutakhir sweeping karya intelektual berbau komunisme. Cuman satu hal yang pasti, mereka khawatiir hantu yang diistilahkan Marx dan Engels bakal seperti kejadian sejarah 65 silam. Padahal alasan ini tidak cukup kuat jika mau melihat keadaan yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat.

Artinya bisa dibilang ketakutan negara dan beberapa ormas hanyalah ketakutan kepada hantu yang sebenarnya, yakni suatu keberadaan yang tidak memiliki wujud; pikirannya sendiri. Dengan kata lain, marxisme dan komunisme adalah hantu yang diciptakan sendiri di dalam imajinasi pemerintah. Suatu takhayul yang tidak terbukti kebenarannya.

Lantas bagaimana dengan kegandrungan kelompok mahasiswa atupun komunitas yang getol mengunyah pemikiran marxisme dan seluruh yang berbau kiri? Di sinilah letak soal suatu kebudayaan ditakar. Apakah untuk memecahkan soal itu harus menggunakan cara primitif atau cara yang lebih intelektuil. Cara fisik atau cara pikir.

Cara yang pertama, seperti marak di pemberitaan, menyita bukubuku kiri, adalah cara yang digolongkan seperti masa yang disebut Comte sebagai masa teologik-metafisik, yakni tindakan yang digerakkan ketakutan akibat takhayul. Akibat kesadaran takhayul macam demikian, tindakannya tergolong primitif, tidak ada tanda kebudayaan sama sekali. Ini mirip Nazi yang membumihanguskan seluruh karya intelektuil yang berbau Yahudi. Betulbetul fasis.

Seharusnya pemerintah menempuh cara yang lebih akademis, yakni pemikiran dilawan dengan pemikiran. Cara ini adalah caranya kaum intelek, lewat diskursus.

Nampaknya, takhayul belum juga hilang dari ruang kebudayaan masyarakat modern. Parahnya lagi itu terjadi di antara orangorang yang secara sosial hidup di tengahtengah zaman yang menghendaki keterbukaan pemikiran. Ini ambivalensi yang tentu konyol. Tapi apa boleh dikata, itulah yang terjadi belakangan ini.

catatan kelas menulis PI, pekan 16

“Saya merasa kemampuan menulisku tidak berkembang,” ucap Jusna sambil memperlihatkan mukanya yang memelas. Di kelas, Jusna membawa tulisan tentang perempuan. Tema yang selama ini dia lakoni. Dari tulisannya itu, dia menemukan suatu pemahaman bahwa dia sulit membuat tulisannya menukik kepada soalsoal konkrit. Keluhnya, selama ini dia merasa tulisannya hanya mampu menyasar kepada soalsoal yang umum tentang perempuan. Dia merasa yang umum terlampau sering ia tuliskan. Jusna bilang, dia perlu sudut pandang baru. Dia ingin tulisannya tidak seperti biasanya, tulisannya yang generalis.

Problem Jusna hakikatnya adalah masalah kolektif. Yang ia alami sesungguhnya, kalau tidak salah terka adalah pasal yang sering kali bikin kawankawan kelimpungan. Bagaimana menulis dengan tema yang sama tapi punya kebaruan di dalamnya? Bagaimana mendeskripsikan suatu soal yang sering kali umum tapi ingin menunjukkan sudut pandang yang berlainan? Atau bagaimana mengolah tematema general menjadi tematema khusus? Di forum saat itu, jawabannya (walaupun ini tidak defenitif) adalah perbanyak sumber informasi.

Informasi yang variatif dengan sendirinya akan membuat tulisan kaya alur. Ibarat aliran sungai, informasi yang banyak akan mempermudah penulis membuat cabangcabang baru dalam tulisannya. Dengan begitu, tulisan akhirnya akan menukik masuk meninggalkan aliran sungai besar yang umum orang lewati. Hanya informasi yang banyak sekaligus detaillah yang akan membuat penulis bisa membuat percabangan aliran baru yang tak banyak diketahui orang. Aliran sungai baru, yang kecilkecil inilah yang dengan sendirinya bakal memberikan kekuatan pada tulisan dengan peristiwa-peristiwa yang detail sekaligus spesifik.

Lantas bagaimanakah cara memperbanyak sumber informasi? Tidak ada cara lain dengan tanpa melakukan riset. Setiap penulis pasti punya cara risetnya masingmasing sebagai modal utama menulis. Tanpa riset tulisan bakal mentok dari informasi yang tak bisa dikelola lagi. Hanya dengan risetlah penulis mampu menemukan halhal baru yang selama ini tersembunyi entah di sudut mana. Akibatnya, dengan cara itu, informasi yang selama ini tak sempat diketahui akhirnya dimungkinkan dapat diketahui. Artinya, risetlah yang menjadi jembatan antara kertas kosong dan beragam informasi yang berada di balik mata seorang penulis.

Riset bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari memperkaya bacaan, studi lapangan, wawancara, atau berdiskusi. Bahkan duduk diam mengamati suatu peristiwa dengan pengamatan ganjil juga merupakan riset. Atau ketika anda mimpi tentang suatu peristiwa, itupun juga merupakan riset yang bisa jadi informasi berharga kala Anda ingin membuat dongeng atau cerpen. Singkatnya, riset bisa apa saja. Bisa terjadi di mana saja Anda berada.

Tulisan disebut tulisan karena dia ditulis. Ini yang membedakannya dengan karya intelektual lain. Karya intelektual lain boleh saja hanya merupakan rekaman atau penampakan suatu peristiwa, tapi kekuatan tulisan terletak ketika gagasan sudah teraktuil di atas kertas kosong. Akan nampak suatu karya tulis jika ucapan verbal dan pikiran imajinatif sudah nyata tertera melalui aksara. Itulah mengapa satusatunya jalan untuk menulis ya harus menulis. Kata laporan di suatu media massa, menulis itu bukan teori melainkan perilaku. Bukan ucapan melainkan tindakan.

Setidaknya prinsip inilah yang dipegang kawankawan di KLPI. Jalan literasi hanya satu, yakni menulis. Jadi di sini tidak berlaku bunyi pepatah itu: “banyak jalan menuju Roma.”

***

Andi hanya duduk mengamati tiap kejadian di dalam kelas. Seakanakan setiap kejadian adalah data berharga baginya. Biar bagaimanapun ini adalah hari pertamanya terlibat. Itulah sebabnya dia butuh banyak input informasi soal lingkungan baru yang dihadapinya. Ini penting untuk membandingkan ucapan yang didengar dari seniornya dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Keakuratan informasi itu penting, begitu barangkali batinnya. Seiring dengan itu ekor matanya diarahkan di setiap sudut ruangan yang penuh buku itu. Sepertinya ada yang ingin ditangkap dari bulatan matanya, tapi entah apa. Bukubuku yang banyak itu membuatnya bingung.

Tak jauh dari Andi duduk dua perempuan sembari membungkukbungkuk. Akibatnya hanya bayangan hitam saja yang tertangkap dari sudut tempat Andi duduk. Tak jelas bagaimana rupa dua perempuan itu. Nampak mereka berdua sedang menekuri bacaan entah apa. Andi memicingkan matanya, dari sudut jauh di tangan dua perempuan itu dia berhasil membaca satu kalimat tunggal: Kala.

“Tabe Andi, ini selebaran Kala. Buletinnya anakanak di sini.” Sodor pemuda yang menemaninya sejak pertama tiba.

“Iye.”

“Sambil menunggu, sambil dibaca.” Timpal pemuda berkaos hitam itu.

Andi membolakbalik selebaran Kala di tangannya. Di bacanya dari halaman belakang. Di situ dia berhenti; “Pembebasan dan Isra’ Mi’raj.” Lama dia berdiam. Waktu terus berjalan. Kala, selebaran yang diarsir warna biru itu dibacanya.

Tak lama selang waktu, seorang pemuda tetiba menyosor masuk ke dalam kelas. Dia, seperti mencarisesuatu di antara bukubuku yang dipajang di sepanjang rak yang menjadi dinding kelas. Tangannya melayanglayang di sekitar pagina seperti sedang ingin menggenggam sesuatu. Tak ada yang kenal pemuda itu.

Pramoedya Ananta Toer dan Kaum Pelajar

Ada perkataan Pramoedya Ananta Toer yang masyhur jadi kutipan: “seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.  Perkataan ini kalau tidak salah muncul di Bumi Manusia, sekuel pertama dari empat novel yang akbar disebut Tetralogi Buru. Sulit menduga apa motif Pram mengucapkan demikian, tapi memang tanpa pikiran yang adil, suatu kehidupan justru bisa berubah semenamena.

Hampir seluruh hidup Pram sesungguhnya "tumbal" dari tatanan yang tidak adil. Indonesia yang disebutnya suatu bangsa yang telah ia sumbangkan segalanya, tak seperti yang dia harapkan dari kaum yang ia sebut “seorang terpelajar”. Pengalamannya selama hidup di bawah kolong Indonesia, yang bertindak semenaena terhadap dirinya –juga orangorang sepertinya, menganggap bahwa negara bisa menjadi medium jahat kalau keadilan tidak bekerja sebaikbaiknya. Dan memang negara seperti yang ia alami adalah suatu simpul yang  memangkas habis keadilan. Lantas siapakah yang harus memulai keadilan , jika negara hanya jadi alat yang semenamena? Pram sudah bilang: “seorang terpelajar.”

Seorang terpelajar memiliki dua hal: pikiran dan perbuatan. Pikiran dan perbuatan bagi seorang terpelajar adalah modal utama. Berbeda dari pengusaha, seorang terpelajar tak memiliki modal. Berbeda dari seorang raja, seorang terpelajar tak memiliki trah kekuasaan, berbeda dari tentara, seorang pelajar hanya memiliki pikiran dan perbuatannya sebagai senjatanya. Itulah sebabnya, keadilan harus ada di dalam pikiran dan perbuatan terpelajar. Hanya di dalam pikiran dan perbuatan adil seorang terpelajarlah senjatanya satusatunya.

Lantas apakah itu keadilan? Keadilan dalam kenyataan sosial-historis adalah keseimbangan tatanan pemerintahan. Pemerintah harus menyeimbangkan kekuasaannya tanpa memilihmilah kelompok. Dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik , dan agama, pemerintah harus menyeimbangkan distribusi kekuasaannya. Keseimbangan sosial-historis mensyaratkan perlunya perhatian terhadap neraca kebutuhan.  Pemerintah, di hadapan masyarakat yang menjalani kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama,  harus menyeimbangkan sumber dayanya secara proporsional. Keadilan dalam tatanan sosial-historis hanya berbicara satu hal: kemaslahatan. Dengan kata lain, keadilan dalam makna ini harus terus mendorong kemaslahatan berdasarkan tujuantujuan umum yang harus dicapai.

Namun, keadilan yang esensil merupakan suatu pikiran yang menempatkan hak kepada pihak yang berhak. Keadilan macam inilah yang barangkali Pram kehendaki.  Yang artinya tempatkanlah sesuatu pada tempatnya yang layak. Prinsip keadilan macam ini mengandaikan prioritas sebagai ukurannya. Misalnya, apabila ada warga negara yang berlaku melenceng, maka tempatkanlah ia sebagai orang yang harus mendapatkan kepastian hukum. Di sini, seorang yang salah punya prioritas sebagai orang yang harus mendapatkan pembelaan, dan pengawalan perlindungan hukum. Dalam kacamata prioritas, tidak soal dia seorang pencuri ataupun bupati, keduaduanya berhak mendapatkan pembelaan dan perlakuan yang seharusnya sama di mata hukum.

Keadilan dengan sendirinya mengandaikan kebenaran. Ini lapisan kedua dari perkataan Pram soal keadilan. Dengan kata lain, jika pikiran adil maka keadilan di situ secara esensil mengandung kebenaran. Sulit rasanya jika mengucapkan keadilan tanpa mengikutkan kebenaran sekaligus, karena jika menempatkan sesuatu pada pasaknya maka itulah yang disebut kebenaran.  Dengan kata lain, keadilan adalah wajah pertama kebenaran. Atau sebaliknya, paras kebenaran yang pertama adalah keadilan. Artinya mengandaikan keadilan tanpa kebenaran sebenarnya adalah ihwal yang musykil.

Itulah akibatnya, hanya seorang terpelajarlah yang ditamsilkan Pram.  Sebab di sepanjang kenyataan sejarah, atau bahkan memang merupakan tugasnya, kaum terpelajar adalah kaum yang identik dengan keadilan dan kebenaran. Hanya dipikiran kaum terpelajarlah keadilan itu mampu diimajinasikan, dan hanya di tangan seorang terpelajarlah kebenaran itu diperbuatkan.

Makanya, di pikiran pejabat kekuasaan, perbuatan kaum hartawan, keadilan dan kebenaran adalah tamsil yang sulit ditemukan.  Di dua profesi ini, keadilan dan kebenaran bukan “raison d’etre”, yang ditemukan di dalamnya. Akibatnya keadilan hanya jadi terma yang asing di seputar kekuasaan. Itulah kenapa keadilan dan kebenaran adalah dua prinsip yang terus harus dipaksakan di dalam tatatanan kekuasaan melalui segala kekuatan yang bisa diberikan. Dan kaum yang sering menyodorkan itu tiada lain tiada bukan hanyalah kaum terpelajar.

Artinya sudah wajar  perkataan Pram bukan menyebut kaum lain selain kaum terpelajar, sebab di sepanjang hidupnya, kekuasaan yang mewujud dalam negara hanya selalu menjadi momok yang membelah keadilan. Dan, seperti yang sering disebutkan, negara kadang memang jadi alat kekuasaan untuk menilap hakhak warganya yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai warga negara. Negara memang suatu sumber yang jarang dan bahkan susah berbicara soal keadilan. Negara di konteks ini memang hanya menjadi alat yang seperti Marx nyatakan: alat penguasa. Lantas siapakah yang harus berbicara keadilan. Pram sudah bilang, dan kita tahu siapa itu.

catatan kelas menulis PI, pekan 15

Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah jadi mekanisme menggeledah tulisan. Siapa pun punya tulisan akan tetap dilucuti satusatu , entah itu soal EYD, kelogisan gagasan, keterhubungan kalimat, atau bahkan sampai soal gaya tulisan.

Tulisan Asran Salam kalau dibaca adalah esai yang menyorot sisi manusiawi filsuf eksistensialis asal Denmark: cinta. Di moment kritikal ini, ada pertanyaan yang sempat diajukan Sulhan Yusuf. Kalau tidak silap ingat adalah apakah Kierkegaard juga mengadaptasikan pandangan filsafat eksistensialisnya di saat lagi kasmaran.

Dalam tulisan Asran Salam, kasmaran filsuf ini melibatkan seorang perempuan bernama Regina. Asran Salam bilang, cinta adalah pengalaman eksistensial yang melibatkan keyakinan agar manusia dapat bertindak dan bersikap. Cinta adalah pengalaman yang ditulisnya harus menanggung konsekuensi: penantian. Sampai di sini sempat Asran Salam memapar pemikirannya lingkait filsafat eksistensialisme terutama apakah Kierkegaard mengimplementasikan filsafatnya dalam kehidupan asmaranya.

Di akhir tulisannya, Soren Abaye Kierkegaard terpaksa harus meninggalkan Regina hanya karena problem belas kasih. Ternyata, dari yang ditulis Asran Salam, cinta Kierkegaard disambut hanya dengan perlibatan belas kasih dari Regina. Cinta yang demikian bukan cinta yang sejati. Asran tulis, jalan cinta Kierkegaard adalah pilihan yang dibentang atas dasar pertimbangan filosofis. Pilihan yang disebutnya sudah jadi pilihan hidupnya.

Karena tulisan ini, juga sempat ada perbedaan konseptual soal apa yang dinyatakan cinta sebagai pengalaman eksistensial. Cinta bagaimanakah yang disebut pengalaman eksistensial? Kalau pengalaman cinta Kierkegaard dan Regina adalah fenomena eksistensial, lantas apa yang membuat dia begitu khas dari pengalaman yang semua orang rasakan? Bukankah cinta adala gejala universal? Kalau begitu, cinta khas yang bagaimanakah jika mau disebut pengalaman eksistensial? Cinta yang khas dialami seorang diri, bukan cinta yang dipersepsi oleh “kita” atau banyak orang?

***

Sekarang hari Jumat, belum ada email yang masuk. Maklum, tiap hari Jumat saya jadi orang pertama yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, jika Jumat jelang saya bakal menunggu tulisannya via surat elektronik. Kebiasaan ini sudah dimulai dari beberapa pekan silam. Biasanya, jika matahari sudah meninggi di waktu itu pula tulisannya masuk. Kalau sudah begitu saya bakal lega.

Tapi kala sore tulisannya pun belum jua datang. Saya pikir barangkali lepas magrib tulisannya bakal masuk. Barangkali beliau masih kurang enak badan hingga memperlambat mengirim tulisan. Info ini saya dapat kala berkunjung di mukimnya di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan hari Kamis kemarin.

Dari anaknya yang paling gede, saya dapat kabar kalau beliau kecapean paska dari Bantaeng, kampung halamannya yang sering dikunjunginya akhirakhir ini. “Sakitki Abi kodong, kecapeanki dari Bantaeng,” begitu ucap Aqila kala saya datang bertandang.

Aqila hanya sendiri bersetia dengan tumpukan bukubuku yang dijagainya. Di waktu saya datang nampak wajahnya kelelahan, atau mungkin boring. Tak lama berselang saya menerka wajahnya yang agak kusut itu kalau tidak salah akibat memikirkan tugas akhirnya. Saya tahu itu selang setelah beberapa lama bercerita, Qila telah mengubah perencanaan penulisan penelitiannya. Dulu dia bilang bakal meneliti kecenderungan aktifitas kawula mudamudi yang disebutnya masuk kategori gerakan sosial baru. Kiwari, indikator yang dibilangnya itu adalah tipe aktifivis kampus yang senang mengikuti kegiatankegiatan programatik yang tak mengikat secara total. Aktifitas ini hanya diikat oleh kontrak secara temporal. Contoh kongkritnya dibilangnya adalah anakanak muda yang suka jadi volunteer.

Sekarang malah dia berencana bakal mengorek gerakan literasi di kampung ayahnya, Bantaeng. Penelitiannya diarahkan kepada soal –kalau tidak salah mengapa ada perbedaan minat baca anakanak muda di kota dan desa. Apa kondisi yang menyituasikannya demikian? Apa asbabnya, dan bagaimana hubungannya dengan Boetta Ilmu, komunitas yang digerakkan Ayahnya selama ini? Apakah ada signifikansinya atau tidak?

Pertanyaan pertama saat saya mendengarnya: “mengapa di Bantaeng?” Qila hanya bilang, santai, “ada Abiku bisa jadi informannya nanti.” Mendengarnya saya hanya tertawa.

Saya juga mendengar bahwa ia sedang mengumpukan bahanbahan yang berkaitan dengan perencanaan penelitiaanya. Persiapan ini sering dibilang dengan istilah reading course. Singkatnya, Qila harus banyakbanyak membaca seluruh literatur yang bisa ditemukannya yang berbicara soal seluk beluk dunia literasi.

Selang limabelas menit saya bergegas pulang, membelah punggung aspal panas yang diterpa kuning matahari. Berpacu dengan kuda besi yang meraungraung. Kota adalah kota, terutama di jalan raya waktu adalah waktu. Yang cepat pastilah yang ideal.

Namun, jelang malam tulisan yang ditunggu tak jua datang. Akhirnya, kesimpulan diambil. Masih ada hari Sabtu besok. Yakin dan percaya tulisannya bakal datang. Seperti biasanya, dia bakal menelpon atau sms bertukar kabar kalau tulisannya baru saja dikirim.

***

Menulis di kelas literasi sudah jadi program paten. Jadi bagi kawankawan yang mau terlibat maka harus mengikuti rumus ini. Setiap pekan harus membawa tulisan. Dan, di dalam KLPI setiap tulisan langsung ditakwilkan sebagai karya yang lahir dari seorang tersangka.

Karena ditulis oleh seorang tersangka, tulisannya akhirnya jadi sorotan. Logikanya, setiap omongan tersangka patut dicurigai sebagai cara untuk menutupi kesalahannya. Apalagi kalau seorang tersangka menulis, maka tulisannya pasti adalah pledoi yang dipakainya untuk menutupi dosadosa yang telah diperbuatnya. Karena itulah, di KLPI setiap tulisan mengandung dosa, tak ada tulisan yang bersih dari kesalahan.

Untuk sampai kepada tulisan yang licin, maka di kelas selama ini menggunakan dua tahapan introgatif. Pertama, karya yang dibawa bakal dibacakan (sekaligus dinarasikan), dan kedua adalah momen ktitikal dari setiap mata yang mempelototi tulisan yang disangkakan bersih oleh penulisnya.

Jadi kalau ada kawankawan yang mau ikut KLPI, maka salah berkeyakinan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya adalah orangorang bersih secara literatif. Justru, yang berkecimpung di dalamnya adalah tersangkatersangka yang ikut di mahkamah literasi dalam rangka membersihkan jarijarinya dari kesalahan di saat menulis. Dengan kata lain, orangorang di KLPI adalah orangorang yang banyak dosa literasinya, mulai dari EYD sampai pola gagasannya.

Kalau sudah begitu, penolakan kawankawan yang kadung menampik ikut terlibat di KLPI bisa dibilang orangorang yang mendaku telah bersih jarinya dari dosa literasi. Atau orangorang yang tak mau dihakimi tulisannya di hadapan majelis hukum literasi KLPI. Kalau begitu, sudah sampai di mana kemaksuman literatif orangorang yang menampik terlibat?

***

Ari membawa tulisan yang lumayan unik. Karya tulisnya mau dia tujukan kepada Rektor terpilih UNM. Agak tepat tulisan ini kalau disebut surat terbuka, walaupun dia memberi judul dengan mengikutkan kata catatan di dalamnya. Seperti biasa, tulisannya penuh nuansa kritik soal pendidikan.

Isu pendidikan adalah tema yang konsisten dibetot Ari. Di tulisannya kali ini dia banyak menyampir mulai dari tukang sapu kampus sampai penyelenggaraan pendidikan di UNM. Walaupun itu ditulisnya di bawah bayangbayang sebagai seorang mahasiswa UNM, tulisannya itu sekaligus bisa jadi cermin buat keadaan kampuskampus lain saat ini. Artinya esai Ari itu bergerak dari subjetivitasnya sebagai mahasiswa UNM menjadi refleksi atas keadaan objektif kampuskampus masa kiwari.

Ari bilang tulisannya ini bakal ia lombakan. Profesi, UKM Pers UNM memang saya dengar sedang membuat lomba membikin surat buat rektor barunya. Walaupun niatannya dimulai dengan pragmatisme literatif, tulisannya itu memang berangkat dari keresahannya yang hidup total di dalam lingkungan kampus.

Tulisan Ari memang mirip surat, maka pasca ia membacanya ada saran kalau lebih tepat judul tulisannya diubah jadi “Surat Terbuka Buat Rektor.” Pertimbangan ini diambil untuk mengikuti trend esai yang berkembang saat ini.Apalagi Muhiddin M. Dahlan bilang dalam bukunya Inilah Esai, esai itu seperti surat. Karena itulah tulisan yang memang mirip surat itu diberi judul eksplisit saja: Surat Terbuka Buat Rektor.

Tak tahu apakah judul karya literatifnya sudah dibuat judul baru. Soalnya Ari bilang bakal dia kirim malam harinya, batas waktu pengiriman kalau mau ikut lomba. Mudahmudahan tulisannya dapat satu posisi di situ. Ini sebagai tanda bahwa KLPI punya dampak serius dengan karyakarya yang teruji di mata publik.

***

Saya datang bersamaan hujan yang pecah pasca mendung menggelantung. Kala, buletin yang sedari Sabtu kemarin dikerjakan sudah diambil alih Hajir untuk digandakan. Makanya, saya berani menembus pecahan hujan. Tak ada Kala yang dirisaukan karena basah hujan.

Sekira lima menit menembus tirai hujan bukan soal buat KLPI. Keyakinan ini sama di mata kawankawan, akhir pekan adalah hari khusus buat kelas menulis PI.

Setiba di lokasi sudah ada beberapa yang lebih awal datang. Sulhan Yusuf, pimpinan Paradigma Institute dengan kaos oblong putih khasnya duduk diapit Asran Salam dan Muhajir tepat di sampingnya. Nampaknya mereka sedang mengobrolkan sesuatu. Saya yang baru saja tiba hanya duduk di atas jok motor mengeringkan baju yang kadung basah.

Nampaknya di hari yang sama sudah digelar sebelumnya Kelas Parenting. Itulah sebabnya ada Muchniart datang bersama dua orang lainnya, Nasrah dan Retno Sari. Mereka sibuk membolak balik buku dari pajangan yang ada di rakrak panjang TB Paradigma. Sedang di belakang mereka, Muchniart sedang mengobrolkan sesuatu dengan Mauliah Mulkin, orang yang menginisiasikan kelas parenting selama ini.

Tak lama berselang entah siapa yang menggiring kawankawan masuk di ruangan belakang tempat kelas sering dilaksanakan. Nampaknya, di dalam sudah ada Hajrah yang duduk memegang Kala. Raut mukanya agak lesu. Ternyata dia masih sakit dan baru saja datang dari Bulukumba. Tidak seperti biasa, Hajrah yang kerap bikin forum jadi ramai kali ini hanya lebih banyak diam. Barangkali akibat sakit yang dideritanya. Dia lebih banyak memerhatikan yang lain bercerita.

Seperti janjinya minggu lalu, Hajrah datang dengan membawa langsat. Sekantung plastik penuh dibawanya beserta beberapa biji rambutan. Saya yang baru saja datang tak banyak pikir langsung mengambil beberapa biji. Satu biji, dua biji, tiga biji dan seterusnya…

Tak lama saya memanggil Andang dan Sakman masuk ke dalam kelas. Dua orang ini datang berboncengan bersama saya dari awal. Andang, yang beberapa hari lalu datang dari Majene akan saya antar pulang kembali ke tempat penyewaan mobil sebelum jam tujuh nanti.

Berselang beberapa menit forum bersiap dimulai. Jam sudah hampir pukul empat sore. Hajir didaulat jadi pimpinan forum. Dia mengucap beberapa kata, tanda kelas di mulai. Sementara di luar kelas dikepung hujan. Tik tik tik, begitu bunyinya. 

waktu dan pram

Sudah semenjak terakhir kali membaca Cantik Itu Luka, saya agak ragu mau membaca novel yang bejibun pagina. Agaknya, kekhawatiran ini ditenggarai ketidaksanggupan melumat habis bacaan. Ini makin krusial, karena di situ soalnya ada yang genting: waktu akhirnya jadi medan yang tak lagi bulat. Waktu jadi semacam garis putusputus, tak lengkap.

Saya selalu meyakini, membaca bukan saja peristiwa kesadaran yang mau masuk terlibat dalam dunia teks dengan segala kemungkinannya, melainkan di situ ada medan waktu yang jadi ukuran panjang pendeknya kesadaran yang ikut di dalamnya. Membaca dengan arti ini sederhana, suatu keadaan yang mau membangun pemahaman dengan teks sekaligus juga ingin bersetia di dalam bulatan waktu.

Karena itulah kalau melihat buku yang tebaltebal, suatu kesadaran bakal menjadi ciut. Kiwari, di dalam kesadaran saya, waktu bukan lagi pengalaman semacam garis lengkung lingkaran, suatu horison yang tanpa pangkal dan ujung. Waktu yang bulat adalah waktu yang tidak ditandai titik permulaan dan akhiran. Yang ada hanya suatu peristiwa totalitas. Suatu keutuhan.

Sementara jika mau membaca suatu novel,  itu berarti mau sabar mengakrabi lintasan waktu kehidupan tokohtokohnya.. Mau ikut di dalam keseluruhan kehidupan yang dikisahkan cerita di dalamnya. Novel dalam pengertian saya ini adalah rangkaian cerita yang terjalin atas ikatan totalitas. Hanya dalam novel-lah kita menemukan tokohtokohnya tampil lengkap seperti manusia nyata: ia lahir dengan tangisan, hidup dengan beragam pengalaman, dan akhirnya mati meninggalkan banyak orang. Membaca novel akhirnya sama dengan membaca kehidupan itu sendiri.

Itulah sebabnya, membaca novel perlu waktu yang bulat. Waktu yang tak putus. Namun, apa boleh buat, kehidupan sekarang adalah suatu aktifitas yang ditentukan waktu yang terbelahbelah, putusputus tanpa meninggalkan ikatan dengan totalitas. Sekarang, karena seluruh pengalaman manusia adalah pengalaman yang tak lagi disertai kesadaran yang padu, aktivitas yang berbeda di tiap waktunya, akhirnya membikin manusia tidak akrab dengan kesetiaan. Sehingga bagi pegiat bacaan, waktu harus kembali dinetralisir. Jadi kalau mau membaca buku, maka waktu harus betulbetul bebas dari perbudakan. Setiap pembaca harus setia dengan dan di dalam waktu.

Omongomong setia dalam waktu, saya mau sebut Pram. Orang yang pernah dikirimi mesin tik oleh Jean Paul Sartre kala menjalanai masa tahanan di Pulau Buru. Di masa tahanannya, waktu bagi Pram adalah media tukar untuk bertahan lama. Masa tahanan sepuluh tahun dipertukarkannya dengan wujud yang bakal sulit di hapus: berjilidjilid kisah Minke dan Indonesia.

Sulit rasanya mau bilang bahwa tanpa kesetiaan terhadap waktu, karyakarya Pram bakal lahir. Pram sebagai seorang pengarang cerita tentu bakal menggunakan waktunya bukan dalam pengertian yang terputus, sebab jika membangun suatu cerita mirip Tetralogi Buru misalnya, mustahil tanpa ingatan yang mencakup keseluruhan bulatan peristiwa yang sudah ditulisnya.

Kesadaran Pram adalah kesadaran yang bulat, sekaligus bukan dibangun di atas waktu yang putusputus. Dalam seluruh kehidupan Pram, waktu akhirnya suatu bulatan yang diniatkan hanya untuk menulis. Sebab itulah dia bilang, menulis adalah keabadian. Tak ada ujung tak ada permulaan.