catatan kelas menulis PI pekan 6

Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru.

Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun hujan enggan pergi. Makassar memang sering basah, tapi asa harus diasah.

Karena itulah sudah pekan ke 6. Kelas menulis sudah sampai di sini, akhir Februari. Banyak yang datang, sedikit yang bertahan. Yang begini hukum alam. Siapa nyaman dia pasti bertahan.

Selalu ada harap kelas ini bukan tempat singgah. Kelas ini diharap jadi rumah, home. Begitu kirakira prinsip yang mau ditanam. Saling asah, asuh, dan asih. Makanya sampai sekarang kelas ini bisa bertahan. Tak ada yang mulukmuluk. Yang penting, saling perhatian, saling beri masukkan, sesekali kritik.

Omongomong soal kritik, kali ini jadi perkara yang panjang. Pola baru diajukan, kalau setiap karya dapat jatah diintrogasi. Soalnya pekan sebelumnya kurang maksimal, malah tidak fair.

Perlu dibilang ulang di sini, di kelas ada dua mekanisme dipakai. Ini pola kami belajar. Pertama, mekanisme yang punya tugas menarasikan karya tulis. Di mekanisme ini, kawankawan punya waktu untuk membahasakan ide tulisnya, mulai dari motif sampai bentuk tulisan. Tahap ini kawankawan punya kemungkinan mau menceritakan kembali karya tulisnya atau dengan tujuan apa tulisan itu diniatkan.

Kedua, mekanisme kritik. Ini sering dibilang tahap introgatif. Maksudnya tak ada karya tulis yang bersih. Semua punya cela. Makanya di sini perlu penggeledahan. Perlu kritik. Dua hal bisa terjadi di sini, sebagai tersangka, penulis diintrogasi apa motifmotif dia menulis karya bersangkutan. Kenapa temanya demikian, kenapa judulnya demikian. Tapi ini jarang ditanyakan. Kritik belum sampai mau singgung halhal macam itu.

Kemungkinan kedua kritik struktur dan konten. Analisanya ditujukan kepada struktur kalimat dan gagasan apa sebagai isinya. Kadang, di sini juga sering ada kesalahan ejaan. Bahkan kata sering jadi soal.

Mekanisme kedualah jadi perkara panjang. Tulisan kawankawan digeledah satusatu. Dipreteli. Kemungkinan kedua yang jadi alur. Kalimat per kalimat dikritik. Susunannya. Kesalahan ejaannya. Macamamacam.

Lewat mekanisme itu tiap kawankawan jadi waswas sekaligus senang. Waswas karena banyak kritik dijukan, senang karena ada perbaikan.

Kalau mau dirangkum, ini hal yang jadi problem di kelas pekan ke 6:

Pertama, masalah klasik. Soal ejaan yang sempurna. Kadang "yang disempurnakan" bisa menjadi anutan kalau menulis itu berarti berproses. "EYD" akronim yang sering di dengar itu, tidak begitu saja jadi pakem. Sejarah kesusastraan juga bilang begitu, kalau bahasa itu berkembang. Perkembangannya bisa oleh banyak hal, tapi kebudayaan paling dominan di situ.

Kadang suatu kata atau bahkan cara mengucap tiap kebudayaan berbeda. Apalagi bahasa yang beragam. Sejak Indonesia lahir, bahasa Indonesia juga lahir. Bahasa budaya tetap bertahan, namun Indonesia sebagai bangsa merdeka punya bahasa kolektif. Itulah sebabnya bahasa budaya bukan bahasa nasional. Yang lokal hanya berlaku pada teritori tertentu. Tapi bahasa Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ekor timur jauh, jadi bahasa nasional.

Semenjak itu, banyak penyempurnaan kalau bahasa juga butuh aturan. Kalau tidak bahasa jadi medan yang rentan karena waktu dan perubahan. Makanya perlu pembakuan agar punya cara yang sama. Karena akan jadi perkara bila bahasa cair, bisa jadi berbeda. Lewat proses sedemikian, bahasa akhirnya terus dijaga lewat ejaan yang disempurnakan. Bukan dibekukan.

EYD akhirnya jadi patok buat orangorang yang mau menurunkan bahasa lisan jadi tulisan. Aksara yang ditulis harus taat aturan. Bahasa yang diverbatimkan harus ikut EYD.

EYD itu penting, makanya di kelas ini hal pertama yang jadi sorotan. Hasilnya, masih ada beberapa kawankawan yang kurang peka. Misalnya, kalau bahasa asing harus dimiringkan. Kalau yang benar itu bukan "muda" jika mau menyebut tidak susah, tapi "mudah." Bukan "kesustraan" tapi "kesusastraan", bukan "dirumah" tapi "di rumah". Dan, jenisjenis perkara yang dilanggar. Ini memang soal klasik. Barangkali lolos dari tahap editing.

Perkara editing kadang banyak yang lupa. Sesi ini sering disebut bukan bagian proses kreatif menulis. Banyak yang mau karya tulisnya langsung jadi begitu saja. Seolaholah tanpa itu karya tulis sudah jadi belaka. Padahal tidak. Editinglah justru proses menulis sebenarnya. Di situlah, mulai ada perhatian lebih soal ide, kata, kalimat, sampai paragraf. Perhatiannya apakah sudah koherenkah gagasan, tertata baikkah kalimat, sudah baiikkah kata yang dipakai, juga betulkah yang sudah ditulis. Singkatnya, di sini penulis harus berpikir dua kali dibanding tahap pertama saat menulis.

Kedua, soal struktur berpikir. Kalau yang ini kawankawan sudah banyak paham. Tapi, beda struktur pikir, beda struktur kalimat. Boleh dibilang beda yang dipikirkan, beda juga yang telah dituliskan. Ini juga sering jadi soal. Tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menurunkan gagasannya lewat susunan kalimat yang runut. Lewat kalimat yang runut, pasti ditunjang struktur berpikir yang kokoh. Kadang banyak kalimat jadi runyam akibat struktur pikiran yang berantakan. Sudah bisa dipastikan, orangorang yang punya struktur pikir yang baik, kalau bikin susunan kalimat pasti rapi.

Ketiga, lingkaitnya dengan sudut pandang. Kehebatan seorang penulis bisa ambil sudut pandang yang tak didugaduga. Ini seperti seorang juru kamera yang memainkan angelnya. Di sudut mana dia arahkan kameranya. Banyak kameramen handal, ditunjang dengan lensa beratusratus pixel, tapi tidak memiliki sudut pandang yang unik saat ambil gambar. Banyak penulis dengan gagasan jernih, tapi tidak ditunjang sudut pandang yang berbeda.

Soal ini lebih banyak ditentukan dengan latihan. Banyak membaca karangan orang lain, dan mau belajar terus menerus.

Keempat soal insight. Yang ini bisa dua hal; pengetahuan dan pengalaman. Kawankawan hampir semuanya punya pengetahuan yang bagus. Tapi, barangkali minim pengalaman. Insight tumbuh seusia seberapa jauh gagasan dikembangkan. Mau buka ruang bagi halhal baru. Terutama jika soal pengetahuan mendalam. Yang terakhir kaitannya kuat dengan refleksi, kontemplasi.

Ada dua hasil karya, karya reflektif dan karya aplikatif. Yang pertama, tulisan yang bisa menggubah daya pikir. Karya yang bisa mengajak orang menimbang kembali soalsoal, macammacam. Yakni, karya yang mampu membuat orang tahu, bahwa "soalsoal" bukan sekedar soal belaka, tapi perkara penting. Bisa jadi karya begini bahkan mengubah sudut pandang orangorang. Ini kadang tulisan yang meresahkan.

Karya aplikatif, tulisan yang mengandung teknikteknik, tata cara, juga metode. Kalau yang ini tulisan yang mengajak orangorang lebih banyak berbuat, bukan berpikir. Tulisan karya begini banyak. Bahkan disukai orangorang.

Soal keempat inilah sekaligus diasah di kelas menulis PI. Bukan sekedar menulis, namun juga punya insight.

Barangkali empat hal itulah yang pokok. Kelas begitu panjang, sekaligus juga mengisi yang lenggang; pengetahuan yang bertambah.

Kali ini kelas ditutup sampai sekira pukul sembilan. Sebagian yang lain sudah pulang lepas magrib. Katanya tidak bisa berlamalama. Soalnya baru habis sakit. Yang lain memilih tinggal melanjutkan kelas yang dipending. Kritik karya dilanjutkan, sampai interupsi datang; kelas dilanjutkan pekan depan. Ada kawan yang harus diutamakan, dia belum tidur seharian. Makanya jelang malam agak kurang fit. Karena itu kelas disusul pekan depan.

Pekan depan kelas dimulai sedari siang; pukul satu. Tempatnya masih sama, sekretariat PI. Kawankawan, ini tantangan. Besokbesok butuh banyak energi, perhatian, kemudian juga waktu. Barangkali karena itu bisa maklum, tidak ada penulis yang lahir karena waktu lenggang. Setiap detik begitu penting. Karena itulah menulis berarti siap menderita.

Syahdan, di angkasa masih sama, setiap sudut penuh kabut mendung. Ini memang pekan yang kadung basah. Akhir Februari tinggal dibendung kenangan. Maret, selamat tiba. Jangan sungkan, asa sudah dibubung tinggitinggi..


Menyoal Pelarangan Belok Kiri Fest

Di Jakarta, barubaru ini heboh soal pelarangan Festival Belok Kiri oleh Pusat Kesenian Jakarta. Alasannya, dikutip dari Tempo.co, kegiatan yang mau digelar 27 Februari sampai 5 maret 2016 ini, belum mengantongi surat ijin. Terkuak saat suratijin diurus, Polda Metro Jaya menunjukkan beberapa surat dari berbagai oganisasi masyarakat yang melarang acara itu digelar.

Sebelumnya, versi Agnes, yang mewakili penyelenggara, surat ijin sudah sempat dimiliki. Hanya saja menurut pihak  PKJ masih perlu mendapatkan surat ijin dari pihak kepolisian. Dari pengurusan selanjutnya inilah baru diketahui ternyata ada surat aduan yang melarang kegiatan yang dimaksud.

Festival Belok Kiri belakangan ini banyak menyedot perhatian di beberapa media sosial, terutama kaum muda. Dari laman Facebooknya, festival ini dibuat untuk mengangkat kesadaran terhadap praktikpraktik Orde Baru berupa pelanggaran HAM, kekerasan negara terhadap masyarakat, ketidak adilan sosial, diskriminasi, dan pembelokkan sejarah.

Aksiaksi pelarangan semacam ini kalau mau dibuat daftarnya bakal panjang. Dan uniknya, selain wacana keagamaan, isuisu yang berkaitan dengan sejarah Tanah Air juga jadi incaran pelarangan. Apalagi, kaitannya dengan peristiwa 65 dan komunisme, di semesta kesadaran bangsa masih dianggap sebagai kosakata yang haram.

Ini menandai betapa negara melalui perangkat hukum dan penegaknya belum mampu menjamin kebebasan  dan hakhak berserikat warganya untuk menyampaikan pendapat. Padahal secara undangundang, hal ihwa semacam itu sudah dijamin. Di sini, dari kasuskasus seperti ini, jadi simptom negara  inkonsisten terhadap aturan mainnya sendiri.

Yang mengkhawatirkan, justru negara di dalam konteks kekuasaannya, memanfaatkan sejumlah badan penegaknya melakukan upayaupaya preventif agar terjamin keamanan dan ketentraman. “Keamanan” dan “ketentraman,” dua kosakata yang sarat perspektif. Mengacu Zlavoj Zizek, dua kata itu jadi point de caption. Istilah ini merujuk bidang ideologis yang artinya tarik menarik di antara dua kepentingan. Bagi negara, “keamanan” dan “ketentraman” digunakan bagi situasi tanpa perlawanan, sedang bagi aktivisme politik tertentu itu bisa berarti keadaan yang menjamin kebebabasaannya.

Begitu pula kasus Belok Kiri Festival, “kiri” jadi diksi yang diperebutkan. “Kiri” di kesadaran bangsa Indonesia tidak sekedar sikap politik yang menandai semangat progresif, namun juga mengandung metafora yang muram. Pengertian yang terbangun  di dalamnya setua sejarah bangsa yang pernah mengalami konflik ideologi.

Sementara “kiri” juga bermakna semangat kebaruan untuk mau melihat dengan jujur seperti apa sejarah itu dibentuk. Di bangsa ini, “kiri” bukan selalu berarti sikap politik revolusioner yang pernah diadopsi PKI, melainkan punya semangat pembaharuan. Suatu sikap yang secara universal sama dengan tujuan dibentuknya negara.

Karena itulah, perlu ada festivalfestival, pertemuanpertemuan, rapatrapat, forumforum, sebagai media semangat pembaharuan digalakkan. Dan, ini yang jadi metonimi sebagai kerjakerja kebudayaan. Namun malang, yang namanya metonimi sering jadi perkara. Bukan karena persetujuan atau ketidaksetujuan, melainkan karena absennya pengetahuan.

Namun, negara nampaknya jadi anti kebudayaan. Begitu juga sikap Pusat Kesenian Jakarta. Rancu kiranya pusat kesenian ikut serta menghalanghalangi kegiatan serupa festival. Padahal kegiatan semacam itu bisa jadi suatu alternatif bagi kesenian yang dirasa agak hiper. Juga, suatu hipokrisi bila itu dilakukan atas dasar kebudayaan.

Kalau boleh gamblang, sikap kebudayaan yang anti kebudayaan nampaknya masih bawabawa “kasus lama.” Ini soal paradigma kebudayaan. Visi kebudayaan, juga kesadaran yang menyertainya. Tidak afdol kiranya jika negara tidak menyediakan gelanggang terbuka agar dialektika kebudayaan berproses. Bukankah dari situ bisa muncul tesistesis baru yang jadi tunas. Suatu yang bisa memberikan pengertian baru tentang sejarah indonesia.

Akhirnya, suatu bangsa tidak akan besar jika masih berkutat dengan aksi laranglarang. Belum bisa menjamin warganya menggunakan hak dasarnya sebagai mahluk berserikat. Juga, naif kiranya masih mengkhawatirkan suatu ide berkembang. Mau pintar bagaimana,  jika seorang anak kecil dilarang naik sepeda. Kapan majunya? Begitulah, negara kerap jadi The Father, orang tua yang penuh bahasa imperatif daripada naratif.

Menyoal Plagiarisme

Saya mulai risau. Soal plagiarisme. Dua hal yang bikin jadijadi. Pertama janganjangan sebagian besar karya tulis saya plagiat. Kedua, bisa jadi di luar sana banyak yang curi tulisan saya. Tapi, yang bikin akut, soal pertama. Apalagi kalau itu dilakukan dengan kesadaran penuh. Gawat.

Tempo hari sudah ada diskusi. Menyoal plagiarisme dan pencuri bahasa. Saya tak tahu apakah dua konsep itu berbeda. Saya tak sempat tanyakan. Atau mungkin itu punya arti yang sama. Kalau iya, jadi itu hanya soal teknis judul saja. Suatu teknik promosi.

Inti diskusi itu yang jadi perkara. Apa itu plagiarisme? Sejauh apa batasannya? Bagaimanakah bentuknya? Seperti apa jenisnya? Siapasiapa pelakunya? Siapa korbannya? Bagaimana plagiarisme dilakukan? Pada tekskah? Simbol; ide; gagasan? Atau niat barangkali?

Kalau mau dipersoalkan lebih jauh bisa berupa, bagaimanakah plagiarisme masuk dalam wacana ilmupengetahuan? Siapa yang berkepentingan di dalamnya? Apakah ini soal wewenang? Soal hak cipta? Sejauh manakah suatu karya disebut memiliki hak cipta? Lantas untuk apa hak cipta itu sebenarnya?

Pasca diskusi itu juga jadi soal. Banyak yang belum jelas betul. Termasuk perkara etik. Kejujuran.

Omongomong soal kejujuran, terutama soal ide, saya agak ragu kalau saya punya wewenang mau sebut itu murni karya saya. Banyak tulisan saya hasil replika atas karya orang lain. Apalagi itu karena didorong oleh gagasan yang saya daur ulang. Kalau sudah begitu, saya berjagajaga dari pelbagai prasangka: saya sematkan nama atau dari mana saya dapat ide yang dibilang. Aman.

Di Indonesia pernah jadi soal dalam sejarah kesusastraan. Misalnya, sebagian karya Chairil Anwar yang dianggap saduran dari beberapa karyakarya Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden. Beberapa ahli bilang, kalau beberapa karya pelopor angkatan 45 ini hanya berupa peralihan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Juga kasus “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Buya Hamka yang disinyalir mengikuti cerita Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine. Ini pernah ditulis Seno Gumira Ajidarma tahun 2008 yang dimuat di Kompas, Senin, 9 Juni.

Bahkan, sempat juga jadi buah bibir, atau sampai bikin ribut, karya Seno sendiri "Dodolidodolitdodolibret" yang jadi pemenang cerpen terbaik versi Kompas 2011. Walaupun di akhir tulisannya, Seno sudah mewanti cerpennya hanyalah versi ulang sendiri dari ceritacerita agama, namun tetap saja jadi soal, plagiatkah Seno? Cerita yang ditulis Seno sendiri juga ada yang mengaitkan dengan karya Leo Tolstoy karena kemiripan cerita dan plotnya. Lantas kalau sudah begini, apa soal?

Dari soal itu berkembang dua problem subtansial. Pertama tentang keorisinalitasan pengarang. Kedua, soal kematian pengarang. Yang pertama menyoal keagungan pengarang. Yang kedua mau bilang kalau pembaca punya posisi penting dalam menentukan kebesaran pengarang.

Orientasi problem pertama akan krusial jika diajukan kepada pertanyaan seberapa pentingkah sang pengarang dalam problem plagiarisme. Apakah karya yang rusak akan mempengaruhi kredibilitas sang pengarang? Ataukah itu akan jadi lain jika sudah terjadi pemutusan antara sang pengarang dengan karangannya seperti diorientasikan problem yang kedua.

Dua problem di atas hanya soal. Boleh jadi sudah jadi buah bibir. Apalagi wacana. Kalau yang terakhir baik jadi urusan para scholar. Agar jelas. Biar tuntas.

Sudah sering saya dengar kasus plagiarisme. Apalagi kejadiannya di pucukpucuk peradaban; kampus. Ini miris. Plagiarisme jadi lakon intelektual. Saya kira pasalnya bukan soal pengetahuan semata, tapi etika intelektual.

Soal etika intelektual juga soal iklim intelektual. Banyak kasus plagiarisme tumbuh karena tidak ditunjang iklim yang baik. Contoh kecil ada beberapa kawan yang saya tahu melakukan plagiarisme karena hidup di iklim intelektual yang buruk. Saya duga mereka melakukan itu karena tidak ditunjang wawasan literasi yang baik. Akibatnya mental meniru sudah jadi budaya.

Mental meniru saya kira sudah jadi urusan bawaan yang integral dari bangsa pasca kolonial. Banyak ahli menyitir soal mentalitas bangsa bekas jajahan. Hampir semua lini jadi medan tiruan. Semuanya hasil jiplakan. Yang soal kalau tidak ada proses daur ulang di dalamnya. Tidak ada usaha refleksi disertakan. Makanya mandiri itu penting. Mau mengambil apaapa yang dipunyai. Mengolahnya jadi hal yang baru. Dengan usaha sendiri, tenaga sendiri.

Jenis plagiarisme bisa berlapis. Lapis paling ringan ada yang bilang plagiarisme minimalis. Model ini ditampakkan dengan cara mengambil ide, gagasan, atau pikiran melalui pengungkapan bahasa yang lain, bahasa yang berbeda. Ini masih diragukan apakah masuk kategori plagiasi.

Yang kedua, plagiat jenis parsial. Model ini memadukan beberapa sumber dengan penggabungan menjadi bentuk baru. Walaupun ada ada unsur kreatifitas di dalamnya, tapi tetap tidak mengubah konten.

Plagiat berat adalah plagiat yang paling gampang ditemukan. Bahasa, ide, ataupun gagasan tak berubah sama sekali. Plagiator hanya memindahkannya belaka. Tanpa menyebut dari mana sumbernya. Ini model yang sering banyak orang lakukan.

Plagiasi saya kira bisa jauh ditarik di masa mitosmitos. Mitos Prometheus saya kira contoh bagaimana plagiasi atas ide ilmupengetahuan diwartakan. Atas nama ilmupengetahuan, Prometheus dikutuk karena mencuri api pengetahuan dewa tertinggi sebelum membagibagikannya kepada manusia. Akibatnya Prometheus dikutuk seumur hidup. Sanksinya abadi berupa cabikan patukan burung nasar di hati dan jantung bertahuntahun lamanya.

Plagiasi Prometheus adalah aksi pemberontakan. Tindakan yang diarahkan untuk melawan dominasi dewadewa. Pencuriannya dilakukan atas dasar semangat pencerahan kepada umat manusia. Dari kacamata dewadewa, Promotheus adalah pencuri ilmupengetahuan, tapi di mata manusia, dia adalah pahlawan yang memberikan terang cahaya ilmu.

Saya khawatir di balik pelarangan plagiasi, ada dominasi yang ingin kukuh berdiri. Suatu sistem yang butuh pengakuan. Wewenang yang tak ingin bergeser. Jadi ini hanya seolaholah soal orisinalitas, soal sumber, ide, gagasan, yang semuanya dijunjung untuk satu tujuan; kekuasaan.

Tapi, itu hanya dugaan saya saja. Sampai di sini plagiasi, yang berarti menculik itu, semua orang sepakat adalah tindakan yang sewenangwenang. Aktifitas kejahatan yang tidak etis. Kalau saja, ini hanya soal siapa dahulu menemukan apa, siapa yang lebih orisinal, dan dari mana ide gagasan itu ditemukan, saya kira tidak sesederhana itu plagiarisme.

Plagiasi jadi genting kalau memang suatu komunitas sudah melek literasi. Itu mengapa plagiarisme jadi marak, soalnya literasi di sekitar kita belum jadi obrolan. Belum jadi yang penting.


kalau kala buat kitakita

Ini sudah Jumat. Dari kemarin saya sering membuka email. Tujuannya mau lihat apakah sudah ada tulisan masuk. Tapi, sampai detik sekarang, belum ada.

Minggu lalu di kelas menulis PI sudah dibilang kalau jelang akhir pekan kawankawan bisa diingatkan. Maksudnya, soal tulisan. Jadi bila redaksi kekosongan tulisan, ada kawankawan yang bisa mengisi.

Kala, sudah sering dibilang, adalah media kolektif. Kepunyaan jamaah kelas menulis PI. Dengan sendirinya kawankawan yang terlibat punya peluang tulisannya dimuat. Apalagi memang dikhususkan buat karya kawankawan. Jadi konsepnya gampang, kawankawan menulis, Kala punya banyak stok.

Cuman, saya pikir kawankawan bisa lupa. Makanya perlu diingatkan. Siapa tahu ada beberapa tulisan yang bisa dimuat. Sembari di satu hal kawankawan menyiapkan tulisan buak kelas menulis besok.

Kemarin sempat belum terang, soal jumlah kata yang dimuat Kala. Saya bilang Kala minimal menerima tulisan 500-700 kata. Bisa juga paling maksimal 900. Tapi, itu jika hanya menampung satu puisi.

Juga, selama ini Kala mengkhususkan tulisan genre esai dan prosa. Bukan berarti genre tulisan lain tidak diterima. Selama dua jenis ini masih ada, maka tulisan itulah yang dipakai Kala. Sikap Kala ini tidak dengan sendirinya memandang model tulisan lain jauh lebih tidak baik dari jenis tulisan lain.

Kala menaruh prinsip, genre esai dan prosa adalah dua jenis tulisan yang bisa memadukan unsurunsur sastra dan ilmiah dalam satu tulisan. Sebab itulah dua genre ini dikhususkan, bukan diutamakan. Makanya, sampai pekan keenam, Kala masih memadukan dua genre ini di setiap terbitannya.

Soal tema, Kala bebas menerima tajuk apapun. Tidak ada tendensi atas suatu wacana. Akan jauh lebih baik kalau suatu soal menyitir isuisu aktual. Berusaha memproblematisir menjadi tulisan. Misal kemarin, Kala sudah memulai dengan isu LGBT. Saya kira banyak problem yang bisa diangkat jadi karya tulis. Pintarpintarnya saja kawankawan mengolahnya dari sudut pandang tertentu.

Sembari menunggu tulisan masuk, di edisi enam, baru satu puisi yang siap Kala muat. Saya kira masih ada dua hari. Banyak waktu bagi penulis Kala mau mengirim tulisannya. Kita tunggu saja.

Omongomong soal Kala, media ini masih sangat muda. Juga sangat sederhana. Cetakannya saja masih pakai print manual, kemudian dicopy, diperbanyak. Karena itulah Kala masih menaruh perhatian kepada sistem jejaring. Di tangan kawankawanlah Kala berlipat ganda. Soalnya, dari cetakannya sendiri, Kala hanya mampu dibuat 10-15 eksemplar. Makanya, kawankawan sendirilah distributornya.

Kala, karena itu bukan apaapa kecuali kawankawan turut andil. Satu hal yang menjadi visi Kala semenjak pertama dirumuskan, Kala bisa merembes masuk di lingkungan akademik tertentu, terutama kampus. Tidak ingin kalah dari media jumat, kalau bisa Kala juga ada di pintu masuk masjidmasjid. Jadi bacaan alternatif. Tapi, kalau yang ini bukan target utama. Hanya becandaan saja.

Kalau mau serius, Kala harus bisa jadi pemantik. Ajang sikut dengan semacam semangat berwacana. Ukurannya yang cuman selembar tak bisa jadi bacaan utama. Tulisan di dalamnya hanya bisa sebagai catatan sederhana atas suatu tema. Prosa di dalamnya hanya bisa jadi pelepas penat kalau pembaca mau bacaan pinggiran. Kala hanya bisa memancing, bukan menyimpulkan.

Itulah mengapa, di Kala tak ada simpulan apa pun. Mana mungkin dengan format yang begitu sederhana, Kala beraniberani menyimpulkan suatu perkara. Esaiesainya saja hanya sampai 700 kata, tidak mungkin mengambil suatu sikap akhir menyimpulkan. Padahal mengambil kesimpulan adalah tindakan terakhir dari diskursus. Kalau berdiskursus berarti banyak tahap diskusi. Kala bukan media macam itu. Kala bukan jurnal.

Kala ibaratnya hanya korek api. Dia hanya jadi bagian kecil suatu jejaring yang lebih besar. Itupun kalau mau dianggap bagian. Soalnya Kala hanya ecekecek. Toh paling jauh, Kala bermanfaat di kalangan yang terbatas. Bisa jadi pemancing diskusi ringan kala akhir pekan. Bukan buat semua orang. Itu jauh dari harapan. Kala hanya untuk kitakita saja.

Radarada malu mau bilang Kala itu buletin. Sepengetahuan kami, buletin itu punya banyak pagina. Disusun banyak tema. Memuat banyak penulis. Bahkan ditunjang dengan diskursus tertentu. Kala, menurut saya lebih cocok disebut selebaran belaka. Paling banter minibuletin.

Tapi, kalau Kala disematkan visi dan semangat kolektif yang besar, saya kira Kala bisa jadi buletin. Saya yakin semangat itu manifes di setiap aksara kawankawan. Buktinya Kala sudah jalan jelang dua bulan. Walaupun masih tampak sederhana. Sungguh sederhana.

Satu hal yang bisa jadi bocoran, Kala itu selebaran yang rentan. Musim hujan begini jangan cobacoba membacanya di luar. Tintanya luntur. Maklum cetakannya belum berkualitas. Nanti saja itu disoalkan.

Di luar hujan malah tambah deras. Tak tahu kapan mau berhenti. Saya yakin, kawankawan banyak yang memilih tinggal di rumah. Banyak bisa dilakukan; mulai dari tidur panjang; menonton film favorit; membaca buku; mainmain gawai; atau memilih menulis. Yang terakhir saya kira jauh lebih baik. Terutama kalau itu untuk Kala. Kalau itu tulisan untuk kitakita.


kala bunker harus impor beras

Kali ini mau bilang apa lagi? Musim paceklik datang. Bunker diserang kelaparan. Lumbung beras kosong. Melompong.

Sudah dua hari tandatanda itu tercium. Kantung plastik tempat beras disimpan jauh lebih kresek bunyinya. Kalau tong kosong nyaring bunyinya, bunyi kresekkresek tanda beras menipis.

Seperti Indonesia, bunker kurang tanggap menghadapi keadaan. Tidak ada langkah taktis diambil untuk mengantisipasi. Orangorang dì bunker sibuk urusan masingmasing. Soal perut jadi terbengkalai. Kalau ini situasi perang, tak perlu kongkalikong dengan sekutu, bunker dengan mudah ditaklukkan.

Dua hari belakangan, bunker dikunjungi mantan penghuni lama. Pertama, Andank. Dia sudah anumerta. Sudah pindah medan juang. Dia datang di bunker karena urus keluarganya yang sakit. Di bunker dia menginap dua malam. Urusan perut Andank yang tanggung. Penghuni bunker selamat.

Andank tibatiba harus pulang. Sepupu yang dirujuknya di rumah sakit, di waktu shubuh meninggal dunia. Pagipagi buta dia ditelpon. Dia harus segera ke rumah sakit. Pagi itu juga dia kembali ke Majene. Mengantar sepupunya pulang.

Kami sebenarnya masih rindu. Tapi boleh buat apa? Keadaan mengharuskan Andank segera pulang. Padahal kami lama tak berkoloni bersama. Dulu dia salah satu teman koloni. Hidup susah versi kaum miskin mahasiswa. Punya duit makan bersama. Krisis datang utang bersamasama.

Setelahnya di hari berikutnya, Ilman datang. Dia juga bagian koloni. Sekarang sudah bukan. Dia sudah punya bene. Juga sudah punya anak. Tidak mungkin bertahan hidup di bunker. Pagipagi dia datang. Tak disangkasangka.

Yang bikin senang, dia mentraktir seluruh penghuni bunker sebungkus nasi kuning. Ini kebiasaannya dari dulu kalau punya fulus lebih. Barangkali dia kasihan dengan penghuni bunker. Maklum dia juga pernah mengalami keadaan yang sama. Karena itulah dia menyelamatkan kami semenjak pagi dengan nasi kuning. Untuk sementara aman. Kami kenyang.

Ilman tak lama di bunker. Siangnya dia pulang menjemput istrinya. Kami tenang saja, lagian itu sudah jadi tugasnya. Karena kenyang kami sulit bergerak. Ilman pulang dengan pahala yang besar. Membahagiakan orangorang yang paceklik.

Tak tahu bintang apa yang jatuh. Selama dua hari bunker bisa bertahan. Selalu saja ada yang bisa dikunyah bikin perut penuh.

Cuman malang, perut yang kenyang bikin akal jadi pendek. Kami kurang responsif menangkal musim paceklik. Baru tadi siang kami sadar, lumbung beras ternyata hampa tanpa sebiji pun beras. Celaka tiga belas, kami sedikit panik. Ke mana bunker harus mengimpor beras. Negaranegara yang kami target disinyalir sudah memboikot bunker. Toh kalau ada, negara yang bersangkutan juga paceklik.

Saya tak tahu tadi siang apakah beberapa penghuni bunker sudah makan. Saya dan Ridho keluar lebih awal. Sementara yang lain memilih tinggal seperti cacing di bunker. Malamnya saya langsung ke daerah Tamalanrea mau dengar diskusi soal pemikiran Simone de Beauvoir. Sebelum jam duabelas saya memilih pulang. Di perjalanan pikiran saya melayanglayang ke bunker, pasti saat tiba penanak nasi masih kosong.

Saking paceklik, di FB, Muhajir sudah posting foto penanak nasi dengan buku Nietzsche karangan St Sunardi. Katanya kalau belum terisi beras, besok dia punya tulisan soal penanak nasi yang kosong dan juga Nietzsche dalam satu esai. Logika apa yang mau dia pakai, Nietzsche dan penanak nasi dalam satu tema. Saya tak tahu. Entahlah. Kita tunggu saja apa besok tulisannya nongol di lini masa FB.

Tapi sejak sampai di bunker, Ujhe tibatiba datang. Entah negara mana dia kunjungi. Di tangannya ada sekantung beras. Saya taksir tak cukup satu liter. Yang lain bilang, bisa ditaktisi dengan memperbanyak gorengan untuk menutupi keterbatasan nasi yang masak. Jahir yang sibuk lapakan dengan gesit langsung menanaknya. Kami senang, bisa bertahan satu malam.

Sekarang kami sedang menunggu nasi masak. Ada rapat dadakan sempat terjadi. Agendanya soal impor beras. Bunker harus menggalakkan kerja sama dengan negaranegara tetangga. Ini penting. Juga genting.

Saat kami menunggu nasi, di kepala masingmasing sudah menyusun rute kerja sama. Negara apa saja yang akan kami kunjungi. Besok pagi, agenda pertama di bunker, sebelum lapakan dibuka, semua harus bergerak ke negara kaya beras. Kalau perlu kita perang demi keberlangsungan dapur bunker. Biar bagaimana pun penanak nasi tak boleh kosong. Sangat tidak mungkin nanti kami menanak bukubuku. Kami masih waras, buku itu makanan rohani. Kalau beras makanan biologis.

Tapi, tunggu dulu, kampret!! Omongomong ternyata penanak nasi tidak dalam kondisi on. Jahir lupa menekannya. Puki mak!!!


Subjek Sinis

Kalau percaya terhadap pikiran Marx, di bawah kekuasaan kaum pemodal tersemat ideologi yang menipu. Di balik ideologi, suatu rekayasa dibuat demi meraup kewenangan penuh. Ideologi ditaruh untuk mengelabui. Realitas yang terang jadi abuabu. Orangorang yang hidup di bawahnya tak banyak tahu, kalau mereka bekerja hanya untuk menopang satu kekuasaan tetap bertahan.

Ideologi sudah dirumuskan Marx dengan defenisi yang terang: kesadaran palsu. Dalam kalimat yang lain, ideologi adalah sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang menipu namun tetap melakukannya. Lakilaki tahu kalau rokok berbahaya secara medik, tapi kesadaran atas mode bilang lain. Lakilaki akan macho sembari menghisap rokok. Perempuan muda sadar kalau mau dapat tubuh indah, salah satu caranya lewat operasi plastik. Operasi plastik butuh banyak uang, tapi atas keindahan semuanya rela dilakukan. Ideologi disebut ideologi karena punya selimut kepalsuan. Atas nama mode dan keindahan, rokok dan operasi plastik diakui sebagai cara hidup yang normal.

Marx bilang, ideologi bekerja di dalam masyarakat. Lewat analisisnya masyarakat tersubordinasi atas kepemilikan dibidang ekonomi. Melalui jejaring hubungan produksi, masyarakat diesklusikan sampai ke titik alienatif. Namun, sejauh Marx menempatkan perhatiannya kepada masyarakat, analisisnya mengalami jalan buntu untuk mengeksplisitkan cara bekerja ideologi di tingkat individu. Apalagi soal bagaimanakah ideologi mempengaruhi kesadaran individu dalam waktu relatif lama.

Dititik itulah Zlavoj Zizek mengisi kekosongan analisis Marx. Bahkan memberikan pengertian lebih maju tentang ideologi. Bagi Zizek, yang ilutif dari ideologi bukan dari aspek “kesadaran,” melainkan “tindakan.” Karena itulah seorang lakilaki tetap merokok walaupun tahu dampak rokok terhadap kesehatan. Juga perempuanperempuan yang tetap menyiksa diri dengan program diet ketat, walaupun itu menyakitkan. Ideologi menjadi begitu kokoh akibat bekerja sampai kepada tindakan untuk berbuat, bukan sekedar pengetahuan tentang tindakan. Analisis Zizek ini dimungkinkan mengetahuinya melalui unit analisis yang dia ambil dari teori subjek yang dimiliki Lacan.

Ada tiga bentuk tatanan untuk memasuki pemahaman Lacanaian, yang menyituasikan posisi individu ditingkatan mental dan perilaku. Pertama, tatanan imajiner, kedua simbolik dan ketiga The Real. Di tahapan imajiner, perkembangan kesadaran manusia dilalui dengan cara yang salah. Terutama di tahap ini, sang aku mengalami fase cermin yang memberikan citra distorsi yang bukan aku. Melalui gambaran dalam cermin, sang aku mengira apa yang di dalam cermin adalah pantulan diri yang sebenarnya, padahal itu hanyalah pantulan yang tidak mewakili sang aku. Di tahap inilah, sang aku mengalami pembentukan diri dari aku yang salah.

Disorientasi yang dialami "sang aku" kala fase cermin, juga dialami saat "aku" mengalami fase simbolik. Fase simbolik berupa tatanan bahasa, logika, simbol, sosial maupun budaya merupakan tatanan yang dibentuk atas dasar diferensiasi. “Ibu” hanya bisa dipahami sebagai lawan dari “Ayah,” sementara “Ibu” sebagai tatanan makna yang lain tidak dimungkinkan sejauh itu tidak diperlawankan dari “Ayah.” Tatanan simbolik sama halnya fase cermin, adalah situasi perkembangan yang mengarahkan keterputusan terhadap “aku” yang sejati. Lantas di manakah “aku” yang sejati? Apakah mungkin memiliki “aku” yang murni jika semenjak awal,  kesadaran bermula dari “aku” yang terdistorsi?

Agak sulit mau bilang kalau “aku” sejati sudah dimiliki dari awal, tapi selalu ada keterasingan primordial akibat dari fase cermin. Keterasingan yang primordial ini selalu menyangkal pembingkaian yang diberikan tatanan simbolik sebagai modus dari pengertianpengertian yang diterima. Kecenderungan untuk mengelak inilah yang dimaksud The Real, suatu mekanisme penolakan dalam diri agar tidak takluk atas defenisidefenisi disekitar sang diri. Di celah inilah, The Real selalu melakukan perlawanan terhadap segala upaya pendisiplinan yang diberikan tatanan simbolik.

Namun sayang, kemungkinan melakukan perlawanan tak pernah diajukan di dalam situasi yang disebut nonideologis. Padahal Zizek bilang melalui penolakanpenolakan yang dimiliki The Real-lah suatu perlawanan dimungkinkan. Kaum pekerja bisa melakukan perlawanan hanya dengan keluar dari stigma simbolik yang inklud di dalamnya kekuasaan, dengan cara mencarinya dari kemungkinankemungkinan yang diberikan The Real. Kaum perempuan hanya bisa melawan dominasi tatanan patriarki hanya karena penolakan yang diberikan The Real agar tidak disituasikan ke dalam posisi yang subordinat.

Kemungkinan yang tidak ditemukan itulah yang disebut Zizek sebagai subjek sinisme. Subjek sinis diandaikan sebagai subjek yang berada dalam relasi ideologis yang mengetahui jejaring kekuasaan tengah berlangsung, namun malah terlibat dan ikut dengan wacana yang diberikan oleh kekuasaan.  Boleh dikata dari pengertian inilah pengertian dasar ideologi yang diwacanakan Marx yakni “mengetahui namun tetap dilakukan.” Terangnya, subjek sinis itu orang yang mengetahui realitas yang terdistorsi, tapi tetap berpegang pada situasi yang salah dan tidak menolaknya.

Subjek sinis banyak ditemui diberbagai bidang kehidupan. Di bidang politik, dia bisa disematkan kepada politisi yang tahu betul situasi perpolitikan yang salah, namun tidak menolak untuk memperbaiki, atau malah ikut terlibat di dalamnya. Seorang guru yang tahu kalau di sekolahnya ada penggelapan uang, namun ikut mendiamkan karena tahu uang yang dimaksud sudah terlebih dahulu dinikmatinya. Bisa juga mahasiswa yang punya kesadaran kritis untuk melawan ketidakadilan, namun sering berbuat tidak senonoh terhadap adikadik yuniornya. Atau seorang agamawan yang sadar banyak terjadi kemaksiatan, namun diam saja tanpa pernah mengajukan kritik terhadap kezaliman yang terjadi.

catatan kelas menulis PI pekan 5

Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin.

Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat masih ada, tidak bisa hilang.

Di sekretariat PI, sudah berkumpul beberapa mata. Melingkar seperti sudah sering. Banyak kertas berhamburan. Curiga, kelas sudah dibuka dari awal. Perbincangan sudah alot. Terkaannya, soal tulisan salahsatu peserta.

Sebelumnya, Kala dilipatgandakan. Dengan print sewaan. Juga dicopy. Kala sudah terbit lima pekan. Kali ini menurunkan tulisan Sandra Ramli. Dia tulis soal isu yang sedang dirundung pro dan kontra. LGBT. Begitu juga soal homofhobia. Baru kali ini Kala menurunkan tulisan yang sedang happening. Biasanya hanya tulisan yang tak punya kaitan dengan isuisu di masyarakat. Ini suatu kemajuan bagi Kala.

Kedua karya Muchniart AZ. Katanya Muchniart pulang sebelum kelas dimulai. Ada urusan mendesak. Esai yang dimuat mengomongkan lifestyle kaum muda. Dia pakai analisis Giddens, yang menyampir zaman yang bak Juggernaut. Lari tunggang langgang tanpa kendali. Normanorma bergerak tanpa arah. Sementara suatu pegangan tak kunjung jelas. Begitulah rasarasanya inti yang ditulis.

Di halaman terakhir Kala mengajukan satu polemik. Seperti yang sudahsudah dari sejarah sastra Tanah Air. Soal identitas kebangsaan. Apakah identitas harus selalu bagian dari tradisi masa lalu atau ini soal visi ke depan. Perdebatan mainnya di soal itu: keinginan merumuskan tradisi sebagai identitas, atau sebaliknya jauh lebih maju, identitas juga harus menggamit apa yang di depan, suatu tatanan yang modern.

Polemik kebudayaan setidaknya juga jadi wacana kembali. Biar bagaimana pun ini bagian dari sejarah selama ini. Aspek ini yang ingin disuarakan tulisan ketiga Kala. Walaupun tulisannya dadakan. Tapi redaksi punya mau, kalau bisa ini juga jadi topik gosip kawankawan di PI.

Karena telat, baru hampir pukul lima kelas di buka. Saya yang jadi ketua kelas buka seperti biasa. Saya jelaskan mekanisme kelas. Soalnya saya melihat muka baru. Di kelas selama ini selalu ada peserta baru, walau belum tentu bisa bertahan. Ini maklum, bukan yang utama. Yang penting mereka tahu, kami konsisten.  Juga disiplin.

Omongomong disiplin, ini mungkin penyakitnya. Kesepakan bilang pukul tiga, namun kerap molor. Saya khawatir ini jadi akut, terutama peserta yang sering telat tiba. Saya juga begitu, kurang disiplin. Tapi, bicara konsisten, kawankawan sudah membuktikannya. Ini prestasi. Salut.

Di kelas tulisan begitu banyak. Melebihi jumlah peserta. Banyak titipan. Bahkan Ari membawa dua tulisan: satu esai satu puisi.  Beberapa yang lain cerpen. Ada juga puisi. Saya sendiri sejenis Esai. Sementara K Uly dan Ishak yang saya kira esai murni.

Mekanisme pertama dimulai: menarasikan tulisan. Saya memulai. Yang saya bawa tulisan bertajuk “Bukan Pahlawan.” Isinya bisa di telusuri di lini masa FB, atau blog saya. Kemudian Arhi, dia bawa esai apresiasi karya Sulhan Yusuf. Sandra Ramli bilang dia bawa cerpen, tajuknya menarik: “Mengantar ke Vihara Menuju Lahore.” Jalan ceritanya fresh. Juga tulisan Kak Uly yang menyitir soal parenting. Tulisannya sudah muat di Tempo Jum’at lalu. Bisa di baca di lini masa FB beliau. Banyak yang ingin membacanya. Saya duga karena tak sempat beli korannya.

Setelahnya Rahmi, tak tanggungtanggung ternyata membawa dua tulisan. Cerpen dan Puisi. Saya tak sempat membacanya. Pikir saya bisa nanti. Di sebelahnya Jusnawati, kali ini dia hanya bawa puisi “Noktah Kita” Ada tafsir berkembang di forum, kalau itu tentang seseorang yang ditinggal pergi, atau seseorang yang lekas beranjak tapi di hadapannya masih dunia yang abuabu. Ada enggan yang menarik agar tetap di tempat, tapi keinginan mau pergi malah semakin besar.

Muhajir yang datang agak telat juga bawa karangan fiksi. Dia bawa cerpen. Saya juga belum baca. Katanya nanti diupload di FB. Dia punya alasan kalau tulisannya dikerjakan di waktu yang mepet, makanya belum sempat diedit. Kita tunggu saja diposting di blognya. Pasca itu ada Ishak. Dia konsisten tulis esai. Juga seperti dia bilang pada tema yang dia sukai, soal kebiasaannya: mendaki gunung.

Ishak tulis beberapa nama yang sudah menaklukkan gununggunung tinggi. Bahkan juga Khadijah, istri Muhammad. Tulisannya bilang Khadijah sering tahanust, suatu kebiasaan menyepi di bebukitan tinggi. Ini juga sekaligus aktifitas spiritual. Suatu yang sudah jadi tradisi. Dia juga singgung Soe Hok Gie, adik Arief Budiman, sosiolog yang terkenal itu. Dalam tulisannya, Gie mendaki sebagai bagian aktifitas politik, bahkan bentuk nasionalisme. Karena itu Ishak mendaku kalau pegiat alam yang gandrung bagi anakanak muda, jangan sampai hanya bagian dari soal yang sering merusak alam. Bisa dibilang hanya aktifitas gagahgagahan.

Khalik yang datang lebih awal menulis semacam prosa liris. Saya bilang tulisannya semacam aktifitas bathin yang gundah. Yang ditulis saat suatu perkara datang. Ini soal hati. Makanya hanya Khalik yang tahu persis gambaran karyanya. Di penyampaiannya, pasal Khalik adalah suatu yang sedang dia alami. Bahkan dia menulisnya di selasela yang mepet. Dia tulis di pagi ini. Katanya jam sembilan pagi. Dia merasa harus menulis sesuatu.

Jika mau mengangkat perkara, di sesi kedua masih soal penyakit lama. Ihwal EYD. Ini soal yang tak kunjung tuntas. Tapi, sekaligus langsung diwantiwanti. Bahaya kalau penyakit lama tak kunjung sembuh.  Kak Uly banyak sitir kebiasaan buruk jangan sampai menghambat perkembangan kualitas menulis. Halhal tekhnis harus segera diungsikan. Besokbesok sudah harus omong perkara konten. Ide. Kalau perlu gagasan.

Dari situ kritik dimulai. Banyak tulisan yang diintograsi. Bahkan penggeledahan semakin butuh ruang. Saya jauhjauh hari bilang tak ada tulisan yang cakap dan sempurna. Semua punya salah. Makanya setiap tulisan harus  dicurigai bersalah. Setiap tulisan punya cacat. Saya pikir itu yang mampu mendasari kami dalam melakukan kritik. Tapi, istilah kami, menggeledah. Setiap penulis tersangkanya.

Kelas hari ini tak ramai sedia biasanya. Banya kawankawan yang berhalangan datang. Beberapanya agak sakit. Yang lain tak ada kabar. Entah. Mungkin hujan jadi batu sandungnya. Cuaca memang bisa jadi penjara. Atau memang info datang tak sempat menyebar. Saya harap ini bisa diminimalisir kalau kawankawan saling bikin anjuran. Bisa mengingatkan satu dengan yang lain.

Makanya grup Paradigma Institute harus jadi pusat. Dunia kongkret sering membangun jarak. Waktu bisa ditempuh lama. Jauh dekatnya bisa ambil waktu. Di dunia maya, justru itu hilang. Dunia maya bisa melipat segalanya, juga waktu, apalagi ruang. Itulah kenapa, tulisan lebih baik di kirim ke sana. Di grup yang sudah lama ada. Ini penting, biar kawankawan di waktu tertentu bisa lebih leluasa berkomentar tentang apa saja. Tulisan akhirnya bisa lebih sempurna dikritik.

Yang baru dari kelas kali ini ada pembacaan puisi. Ridho yang memulainya. Puisinya sempat jadi obrolan. Rahmi bilang tidak menemukan estetika di dalamnya. Kritik Rahmi membuka wacana: yang mana disebut estetis dalam puisi. Apakah puisi gelap lebih indah dibanding puisi semacam Ridho tulis. Puisi Ridho dalam wacana tertentu dibilang puisi pamflet. Saya mengistilahkannya tadi puisi jalan raya, bukan puisi panggung. Tapi diskusi tak sempat panjang. Waktu mepet. Azan berkumandang. Kami pulang.

---

NB: Pekan depan kelasnya masih di sekretariat PI. 


Dari Mana Membangun Kritik Sastra


Sejarah kebudayaan Indonesia, tidak sedikit yang bilang sama halnya sejarah perkembangan sastra. Kebudayaan dan Sastra, di sejarah awal Indonesia bisa saling menyampir. Saling mengisi. Atau bahkan sulit dibedakan. Yang terakhir akibat pandangan yang bilang kalau sastra adalah cermin kebudayaan masyarakat. Sastra tidak berbeda dengan norma atau tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat, sehingga kalau mau bilang kebudayaan suatu masyarakat, berarti harus mengikutkan sastra di dalamnya.

Ada juga penolakan bahwa sastra merupakan perkembangan yang khas dari kebudayaan. Sastra menempati posisi yang unggul dari hanya sekedar tatanan nilai anutan masyarakat. Justru sastra memiliki kekebalan dari cemar kebudayaan. Sastra-lah yang membentuk nilainilai. Posisinya melampaui yang manifes.

Karena itulah lahir kritik sastra. Suatu cabang ilmu sastra yang lahir untuk memilah baik buruknya suatu karya sastra. Atau memberikan justifikasi suatu karya dapat disebut sastra atau bukan.

Kritik sastra, di Indonesia disebutsebut tidak berkembang baik seperti di dunia barat. Kritik sastra banyak nian bersentuhan dengan politik. Malah politik lebih dominan daripada sastra itu sendiri. akibatnya, pertumbuhan sastra di Tanah Air tak bisa lepas dari variabel apa dan di mana dia tumbuh.

Tapi perkembangan yang demikian, justru memberikan dampak yang berkepanjangan terhadap perkembangan sastra selanjutnya. Perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane, Manikebu dengan Lekra, dan yang paling dekat dari kita antara Komunitas Salihara dengan Boemi Putra, merupakan titiktitik sejarah yang terus membangun garis pemisah antara pelbagai pandangan sastra yang berkembang.

Sejarah sastra Indonesia pada hakikatnya adalah pertanyaan besar yang selama ini masih relevan diperbincangkan: dari mana datangnya kebudayaan Indonesia? Atau pertanyaan paling prinsipilnya yakni apa sebenarnya kebudayaan Indonesia itu?

Dua pertanyaan besar inilah yang sampai saat ini terus mendasari kritik sastra bahkan sampai membentuk suatu pola pemikiran yang khas dan jamak Namun , bagaimana sebenarnya kritik sastra itu bermula? Dari perkembangannya ada dua bentuk kritik sastra. Kalau mau pakai bahasa sederhana, yang pertama kritik yang menaruh perhatian terhadap isi, dan yang kedua cenderung memberikan perhatian kepada bentuk.

Dua pola ini punya sejarah panjang. Di mulai dari kritik Platon terhadap sumber keilmuan selain filsafat. Bisa dibilang kritik sastra disulutdari perendahan Platon terhadap sastra daripada filsafat. Konteksnya punya variabel macammacam. Variabel pertama diacu dari pandangan Platon tentang Philosofer-King.Platon, melalui  konteks negara Polisnya, memberikan kepercayaan hanya kepada filsuf sebagai kelas ideal. Selain filsuf tak ada profesi yang palig agung. Hanya filsuf-lah yang mampu memimpin, sebab dia punya kualitas ideal sebagai manusia.

Sementara seorang sastrawan, adalah tukang replika. Kata Platon, sastra hanya mengimitasi imitasi. Hanya mengulang apa yang sudah terulang. Tidak sejati. Bentuk yang dicandra sastrawan hanya bayangbayang. Sastrawan hanya mereplikasi replika dari bentukbentuk ideal. Lewat panggung, puisi hanya numpang dibacakan, lewat panggung, teater hanya mengulang. Panggung tidak langsung, dia dunia kedua. Palsu. Begitu kirakira pandangan Platon.

Karena itulah Platon emoh terhadap sastra. Di mata Platon sastra menduduki posisi nomor dua dalam hirarki keilmuannya setelah filsafat. Sebab intinya, sastra hanya bermain pada gaya bahasa, isi kadang kabur akibat bahasa yang mendua. Sastra hanya berusaha rethoris saja.

Tapi, Platon tidak  bisa selamanya jumawa. Aristoteles punya cara pandang lain. Muridnya, melalui rhetorika, membangun kritik. Sastra justru membantu, tidak selamanya yang ideal (universal), jadi titik pusat. Partikularia (kenyataan) mampu juga membawa manusia kepada suatu nilai. Lewat suatu gaya bahasa yang indah, justru kebenaran akan mudah diterima.

Kirakira begitulah awalnya, kritik sastra dimulai. Dua nama besar ini agak susah mau disingkirkan. Juga, perkembangan sastra Indonesia. Agak susah bila tidak dikatakan sejarah sastra sebenarnya sejarah persitegangan.

kala kala jangan kalah

Kala belum jadi. Saya memilih tidur. Ngantuk tibatiba datang menyergap. Maklum pagi tadi saya harus keluar lebih awal. Setelah pulang, akibat kekenyangan membuat mata saya berat.
Kali ini Kala saya tangguhkan sampai malam. Sengaja saya tidur saja, biar malam jauh lebih fit mengerjakannya. Apalagi sampai siang belum ada tulisan yang masuk.

Minggu lalu, pasca kelas menulis PI, sudah ada tulisan yang siap pakai. Cuman baru satu esai. Kala biasa memuat dua esai. Terkadang juga beberapa puisi, itupun kalau memang dua esai tidak mencukupi kolom yang tersedia.

Satu esai, dimuat minimal 500-700 kata. Kadang ada esai yang bisa dimuat lantaran sampai 1000an kata. Implikasinya, satu esai yang lain harus tidak lebih dari 700 kata. Kalau format tulisannya pas, maka tak jadi soal. Kala terbit dengan dua esai seperti biasa.

Kala buletin debutan. Karena masih baru, Kala masih mencari pola. Entah aspek wacananya sampai teknis penerbitannya. Sampai detik ini, Kala sudah terbit empat pekan. Selama ini polanya sudah mulai kelihatan. Pertama, perhatian model tulisan selain esai, juga cerpen. Juga puisi. Kedua, nanti setiap jelang kelas PI dibuka baru Kala siap edar.

Pola kedua terjadi akibat tulisan jarang masuk lebih awal. Padahal setiap pekan redaksi Kala terbuka lebar bagi setiap tulisan kelas menulis PI. Namun, entah sampai saat ini meja redaksi Kala sepi tulisan. Kalau yang ini maklum, Kala bukan buletin prestisius. Juga memang barangkali tak ada yang tertarik mengirimkan tulisan.

Konsep awal Kala adalah media kolektif. Tujuan dasarnya menampung tulisan kelas menulis PI. Jadi secara kolektif tak ada soal dari mana sumber tulisan Kala. Itu bisa diambil dari tulisan kawankawan. Yang jadi problem adalah hampir semua kawankawan banyak menulis jenis tulisan freewriting. Sementara yang dikhususkan merupakan tulisan jenis esai. Atau suatu tulisan yang fokus membahas satu tema dengan menyertakan sudut pandang tertentu.

Jenis freewriting gandrung akhirakhir ini. Temanya bisa macammacam. Gaya maupun bentuk penulisannya juga demikian. Kelebihan jenis tulisan ini bisa mengeksplore banyak hal dari satu tema yang menjadi pintu masuk. Prinsipnya mengalir bagai air. Biarkan ceritamu yang menuntunmu. Karenanya, akan sulit bertahan atas satu ide yang akan digubah. Walaupun bebas, tulisan bukan sama sekali menanggalkan aturan main penulisan. Fleksibel, salah satu kuncinya.

Kala bisa memuat jenis tulisan macam freewriting bila satu esai sudah terpenuhi. Kalau belum akan ditunggu sampai masuk ke meja redaksi. Waktu deadline biasanya sampai jam 10 pagi. Pernah di pekan keempat, esai yang masuk hanya satu judul. Sementara esai yang kedua nanti datang jelang masa injurytime. Karena saat itu malah menyisakan kolom kosong, mau tak mau itu jadi tugas redaksi mengisinya.

Tadi siang ada omongan kalau Kala hanya beredar di kalangan internal. Itu bisa jadi soal atau malah sebaliknya. Kala jadi soal kalau peredarannya belum bisa keluar dari komunitas. Justru jadi serius kalau belum bisa menjadi wacana. Ukuran redaksi, Kala bisa berhasil salah satunya kalau posisi Kala menjadi topik omongan. Sebaliknya tidak jadi masalah, karena Kala bukan apaapa. Makanya bukan soal kalau Kala hanya beredar di seputar kawankawan.

Sampai malam ini masih satu esai yang masuk. Kala butuh dua esai. Kalau besok pagi belum terpenuhi dua esai, sudah jadi tugas redaksi mensiasatinya. Redaksi memang harus punya banyak akal, apalagi misal tulisan yang kurang.

Sekarang saya habis makan. Janji sebelumnya malam ini baru urus Kala. Seperti biasa harus lebih dulu mengedit tulisan. Setelah itu baru sesi urus layout. Terakhir tinggal save kemudian siap naik cetak besok siang.

Tapi, seperti yang saya bilang, sampai saat ini masih satu esai yang layak terbit. Redaksi harus bersabar sampai besok. Kalau memang belum ada, jujur terpaksa redaksi harus pakai jurus ke 977. Kadang di keadaan yang kepepet, jurus itu penting. Sama pentingnya, Kala harus tetap terbit di akhir pekan. Kala jangan Kalah.


yang disenangi atau yang diketahui, atau malah keduaduanya

Kalau sakit kepala begini susah memikirkan apa yang bisa ditulis. Berat pikir soalsoal yang kritis. Padahal niat menulis hari ini harus direalisasi. Dua hari belakangan memang saya tidak menulis apaapa. Terakhir saya sempat menulis soal konsistensi penulis, terutama bagaimana meneruskan kebiasaan menulis.

Beberapa waktu belakangan memang ada naskah tentang cerpen Puthut EA. Sudah hampir dua minggu terbengkalai. Saya heran mengapa belum bisa dituntaskan. Dua kali saya mencobanya, tapi selalu gagal. Dua kali juga, di saat ingin menyelesaikannya justru tulisan lain yang jadi. Kebiasaan ini malah sering dialami. Menulis halhal yang sebelumnya tak diduga.

Saya pikir kalau begitu saya bukan orang yang bisa konsisten mengawal ide menjadi tulisan yang utuh. Kadang memang  suatu ide bisa saya tulis dalam jangka waktu yang lama. Terutama itu kaitannya dengan tulisan yang agak formal. Jadi kalau hari pertama saya mengerjakan bagian pendahuluan, hari itu bisa saya tunda dan menyambungnya di hari lain. Dan, di hari lain, tidak susah kalau tulisan itu saya lanjutkan kembali.

Agak berbeda dengan beberapa tulisan saya yang agak nyantai. Maksudnya tulisan yang punya konten pengalaman seharihari. Belakangan itu bisa saya tuliskan tidak lebih dari tiga jam. Mengalir begitu saja. Tanpa ada yang berat kalau dituliskan. Saya berkeyakinan kalau itu karena yang saya tulis adalah soal yang dekat dari diri saya. Sesuatu yang memang saya ketahui betul. Pengalaman di mana memang saya terlibat di dalamnya.

Belakangan saya ingat, barangkali ini yang dimaksud free writing.  Gaya menulis yang mengalir begitu saja, tanpa mau di skak mat aturanaaturan yang mengikat. Sampai sekarang saya belum paham betul apa itu free writing. Sebagai suatu konsep atau gaya alternatif kepenulisan, saya kira ini patut dibincangkan. Diomongin.

Makanya, saya sadar kenapa tulisan soal cerpen Puthut EA tidak kelarkelar. Mungkin saya belum begitu akrab dengan gaya bercerita Puthut EA, bagaimana dia sering membangun cerita, seperti apa plot yang dipakainya, dan konflik apa yang sering muncul di cerpencerpennya. Atau, memang saya belum begitu menghayati cerpen yang saya sitir. Ini yang mungkin jadi penting: saya harus menghidupkan seluruh indera, membangun suatu kerangka seperti yang ada dalam cerpennya. Seolaholah saya berada di dalamnya. Bahkan terlibat di dalam ceritanya.

Itu juga yang dialami salah satu naskah sebelumnya. Jauh sebelumnya, saya sedang menulis ihwal Luis Borges, pengarang fenomenal dari benua Amerika.  Tulisan prematur ini, bahkan sudah hampir tiga bulan tak diutak atik. Tergeletak begitu saja tanpa pernah berkembang menjadi tulisan yang fixed. Sampai di sini kesimpulannya sama; saya belum menghayati Luis Borges sampai ke karyakaryanya.

Sampai di sini ada prinsip, yang dalilnya dirumuskan menjadi “menulislah apa yang kau ketahui” vs “menulislah apa yang kau senangi.” Yang pertama penerapannya banyak ditemui dalam tulisantulisan yang mengandung nuansa research; biasa digolongkan tulisantulisan nonfiksi. Sementara yang kedua,  biasa ditemui dalam tulisan yang berbau pengalaman. Yang pertama sering ditulis oleh ilmuwan, peneliti, ahliahli profesi, atau kaum teknokrat, sedangkan yang kedua banyak dialami oleh pengarang, sastrawan, budayawan, maupun seniman.

Saya agak ragu kalau ada penggolongan semacam yang saya bikin di atas. Jadi itu tidak usah ditanggapi serius. Penggolongan itu hanya sebatas yang saya tahu. Tidak ada data informasi yang bisa dijadikan ukuran. Apalagi kedua golongan di atas bisa saling menyampir, filosofi gaya pertama bisa diterapkan kepada gaya penulisan kedua, atau sebaliknya.

Namun, kalau mau dipikirpikir, dua filosofi di atas tidak bertolakbelakang. Bisa jadi itu hanya soal tahapan belaka. Janganjangan memang yang satu tak bisa dilakukan kalau prinsip sebelumnya belum terpenuhi. Artinya,  banyak hal yang diketahui, tapi tidak semua disenangi. Begitu juga banyak yang disenangi, tapi belum tentu diketahui. Jadinya kalau mau menulis hal ihwal yang disenangi, pasti itu juga yang diketahui. Sebaliknya, kalau ingin menulis dari yang diketahui, usahakanlah itu juga yang disenangi.

Rasarasanya, itu yang dialami oleh dua naskah saya. Belum terbangun rasa suka dan cukup informasi. Saya harus menyenanginya dulu sebelum diteruskan lagi. Pun kalau ada itu tidak bulat. Masih setengah hati. Ibarat kekasih, saya harus tulus  menyukainya. Kalau sudah begitu pasti saya akan senang dan akan mencari tahu seluruh kaitan tentangnya. Kesimpulan saya ini besar kemungkinan benar. Itu yang saya rasakan.

Prinsip ini sebenarnya saya dapat dari sebuah postcard  di FB. Di waktuyang agak sudah lama. Saya pikir ada benarnya. Banyak hal yang sulit dilakukan lantaran tidak disenangi. Banyak pekerjaan yang tersendat begitu saja akibat terpaksa dilakukan. Bisa juga karena idealideal yang dipancang di atas tiang harapan, tapi malah sebaliknya terbatasi. Di titik ini saya kira orangorang sering merasa berat merealisasikan tujuannya karena terlalu tinggi mengharapkan hasil. Orangorang kadang lupa, proses jauh lebih penting daripada hasil.

Sebab itulah dua naskah tadi saya biarkan saja dulu. Tak apa lama dia mengendap, sembari menunggu saya senang melanjutkannya. Saya kira ini yang memang penting, mengerjakan sesuatu karena senang melakukannya. Bukan desakkan suatu tuntutan. Saya harus akrab dengannya. Akhirnya saya juga mulai mengerti mengapa tesis saya tersendasendat;  dia prematur akibat tidak disertai rasa senang didalamnya. Seperti dua naskah sebelumnya, saya juga harus menyenanginya, sama halnya tulisan saya yang lain.


Kritik atas Frankfurt School


Herbert Marcuse
Salah satu pendiri Mazhab Frankfurt
Dikenal melalui bukunya ”One Dimensional Man”



PERTAMA, kritik hak milik  ekonomi politik Marx yang mengalami pergeseran dari motif kelas menjadi motif psikologi. Pendasaran segregasi kelas yang menjadi acuan marxisme dalam menelusuri motifmotif penguasaan, di tangan pemikirMazhab Frankfurt malah mengalami penurunan ketajaman dalam menganalisis keadaan objektif masyarakat. Apabila Marx melihat asalusul penindasan secara objektif ditemukan dalam pembagian kelas masyarakat, di mana penguasaan alat produksi oleh kaum borjuasi menjadi sumber penghisapan, melalui cara pandang Mazhab Frankfurt malah dikembalikan kepada unsurunsur subjektif berupa dorongandorongan intrinsik manusia. Akibatnya, kritik Marx yang semula ditujukan kepada analisaanalisa idealistik, justru di tangan Mazhab Frankfurt terjadi repetisi atas apa yang telah Marx kritik sebelumnya.

Kedua, dalam kajian Mazhab frankfurt, pendasaran marxisme terhadap kelas buruh tak lagi mendapatkan tekanan seperti yang diharapkan Marx. Telah diketahui sebelumnya, pendakuan Marx bahwa setiap kelas bertindak atas dasar kepentingannya, dan kepentingannya ditentukan oleh situasi objektifnya,  menjadi semacam pintu masuk untuk memahami pertentangan kelas yang terjadi di dalam masyarakat kapitalis. Melalui cara ini berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan kelas, menuntut suatu sikap mawas diri demi menjaga eksistensi masingmasing kelas. Karena sikap inilah terjadi pertentangan kelas yang menjadi inti dari gerak masyarakat. Sebab itulah seperti yang ditekankan di dalam Manisfesto Komunis perlunya kesadaran kelas untuk mempertahankan kepentingan kelas buruh yang banyak mengalami tekanan dari kelas di atasnya. Sikap konservatif kelas borjuis yang merupakan konsekuensi dari kedudukan objektifnya di masyarakat, mau tak mau harus berhadapan langsung dengan kelas pekerja yang memiliki semangat progresif dan revoulusioner akibat dari kepentingan kelas yang bertahan di antara keduanya.

Sementara itu, akibat pembacaan yang meluas, serta beragam teoritisi yang terlibat di dalamnya, Mazhab Frankfurt  sulit mendefenitifkan keberpihakannya kepada kelas pekerja seperti dalam pemikiran Marx. Perhatianya yang meluas terhadap musik, budaya, media massa, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya, mengakibatkan sulitnya mempertahankan pembacaan sekaligus kritik ekopol marxian yang menjadi cara pandang utama dalam tradisi marxis. Akibat lunturnya kepercayaan Mazhab Frankfurt kepada kelas pekerja, di saat yang bersamaan bergerak memasuki segmentasi kelaskelas yang lain semisal kaum radikal terdidik di kampuskampus sebagai agen perubahan.

Ketiga, penyematan label revisionisme yang diberikan pemikir marxis ortodoks, membuat Mazhab Frankurt sulit mendapatkan simpati dari gerakan kiri yang masih percaya terhadap metode pembacaan ekopol Marx. Walaupun dikatakan oleh para tokohnya bahwa usaha yang dikerjakan Mazhab Frankfurt merupakan bagian dari usaha krirtik yang pernah dilakukan Marx terhadap kapitalisme, tetap saja di luar pandangan mereka, mazhab Frankurt dinyatakan sebagai suatu aliran yang keluar dari tradisi pemikiran marxis.

Di sini, perlu dijelaskan sepintas mengenai tiga tradisi atau pendekatan seputar metode pembacaan terhadap Das Capital Marx yang sampai hari ini masih berlangsung, yang dikemukakan oleh Harry Cleaver. Pertama, tradisi ekonomi politik. Pendekatan tradisi ini mesti dipahami  pada konteks International II berlangsung (1889-1916).  Problemnya berkisar pada persoalan determinasi ekonomi dan teks acuannya, tentu saja, adalah Contribution to a Critique of Political Economy, di mana Marx berbicara tentang relasi ekonomi sebagai basis masyarakat yang darinya muncul bangunan suprastruktur yang bersifat legal politis.  Dalam konteks ini terjadi perdebatan antara Edduart Bernstein dengan Rosa Luxemburg tentang apakah krisis ekonomi yang akan menumbangkan kapitalisme itu niscaya atau tidak. Melalui bukunya Evolutionary Socialism, Bernstein mengajukan pendapat bahwa krisis itu tidak niscaya menghancurkan kapitalisme, krisis itu hanya akan memperlambat akumulasi kapital sementara kaum kapitalis akan dapat mengkonsolidasikan diri menghindari krisis ini. Maka itu bagi Bernstein perjuangan yang mesti dilancarkan melawan kaum kapitalis adalah perjuangan ekonomi seraya menggabungkan diri ke dalam parlemen.

Hasil pembacaan Bernstein atas Kapital ini segera dilawan oleh Rosa Luxemburg dalam Reformasi atau Revolusi (1900) dan Akumulasi Kapital (1913). Luxemburg menyatakan bahwa krisis kapitalisme tak terhindarkan justru, berkebalikan dengan Bernstein, karena akumulasi kapital akan memuncak dalam konflik antar negara. Berdasarkan pengertian ini, Luxemburg memberikan solusi yang berbeda, yakni persiapan revolusi dan penolakan atas sekedar reformasi. Keduanya mewakili posisi dasar pembacaan ekonomi politik atas Das Capital yang akan membayangi para penafsir selanjutnya. Penekanan Bernstein pada reformasi gradual melalui jalur intra-parlementer (dan karenanya lebih dekat dengan tendensi sosial-demokrat) akan diteruskan oleh Karl Kautsky, Rudolf Hilderling, Otto Bauer, Fritz Sternberg, sementara ketidakpercayaan Luxemburg pada perjuangan ekonomi-parlementer dan penekanannya pada revolusi atau jalur ekstra-parlementer akan diteruskan oleh Lenin, Anton Pannekoek dan Paul Mattick.

Sementara di luar konteks internasional kedua, terutama disekitar tahun 1940/50an, berkembang tipe pemikiran yang berusaha mensintesakan kritik ekopol Marx dengan teoriteori yang diajukan Keynes. Tradisi pemikiran ini berkembang di dunia Anglo-Amerika, yakni neo-marxis keynesian. Tokoh-tokohnya adalah Michael Kalecki, Joan Robinson, Paul Sweezy dan Paul Baran. Menurut tradisi ini, pendekatan ekopol Marx yang tertuang dalam Das Capital memiliki beberapa kekurangan terhadap situasi perkembangan kapitalisme. Sebab itulah, mereka berusaha mengkombain dengan memasukkan pembacaan Keynesian terhadap analisis ekopol marxis.  Model pembacaan yang demikian akhirnya menjauhkan tradisi ini dengan sendirinya dari kritik Marx yang bersandar pada suatu analisis yang hanya mencomot beberapa analisis Marx.  Dalam perkembangannya, tradisi inilah yang menginisiasi lahirnya gerakan kiri baru (new left movement) Eropa di sekira tahun 6oan.

Yang kedua adalah tradisi filsafat. Cleavert membaginya menjadi dua, yakni tradisi yang dikembangkan oleh Louis Althusser bersama muridmuridnya (Balibar hingga Badiou) dan yang kedua adalah revisionisme yang menjadi bagian di dalamnya yakni, Marxisme Barat (Western Marxism): György Lukács, Antonio Gramsci, Karl Korsch—semuanya menekankan pengaruh Hegel dalam Marx, Marxis Neo-Kantian: Galvano, Delavolpe dan Lucio Colletti, Marxis-Hegelianisme: Alexandre Kojéve dan Jean Hyppolite, Marxis-eksistensialisme: JeanPaul Sartre, Simone de Beauvoir dan Maurice Merleau-Ponty. Marxisme fenomenologis: Tran Duc Thao dan Karel Kosik, Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin dan Jürgen Habermas.

Oleh Cleaver, pembagian kubu ortodoks dan revisionis ini dijelaskan melalui dua tendensi yang berbeda: sementara Althusser mencoba menghidupkan kembali doktrin diamat (dialectical materialism) melalui pembacaan atas Kapital, Mazhab Frankfurt dan tendensi Marxisme Barat justru mengutamakan peran kebudayaan dalam analisis Marxis. Diamat versus kulturalisme—pertentangan inilah yang menerangkan dasar perbedaan posisi antara Marxis ortodoks dan Marxis revisionis.

Tendensi kulturalisme yang banyak dikembangkan Mazhab Frankfurt disebutkan Cleavert akibat ketokohan Friedrich Polloch. Melalui bukunya Automation, Pollock memperlihatkan adanya kecenderungan akumulasi kapital oleh kapitalisme negara dan negara otoritarian yang menyebabkan perluasan penghisapan kapitalisme di seluruh sendisendi kehidupan masyarakat. Pendektannya yang memperlihatkan perluasan penghisapan kapitalisme dari pabrikpabrik menuju masyarakat yang lebih luas, mengakibatkan adanya indikasi suatu pembacaan masyarakat yang lebih luas dari hanya sekedar penjelasan ekopol marxis. Menurut Cleavert dari sinilah bermula adanya pembacaan kultural yang menjadi pembacaan dominan atas masyarakat di dalam tradisi pemikiran Mazhab Frankfurt.

Tradisi yang ketiga adalah pendekatan politis seperti yang ditokohkan Lenin. Tradisi ini berputar dalam problem perlunya pendekatan secara strategis dan taktis untuk mewadahi perjuangan kaum proletariat.  Seperti yang dituliskannya dalamWhat Is to be Done?, Lenin menganjurkan betapa pentingnya membangun partai payung dengan kemampuan disiplin yang tinggi untuk melakukan perjuangan. Partai garis depan ini, disebutkan Lenin adalah partai yang bertujuan merangkum seluruh gerakangerakan buruh di dunia. Hanya lewat cara inilah Lenin berkeyakinan revolusi dapat dimungkinkan.

Keempat, peralihan penekanan kritik yang diajukan Jurgen Habermas melalui rasionalitas komunikatifnya, memberikan efek yang berbeda dari intuisi marxisme yang semula bersifat radikal dan revolusioner. Pendekatan komunkatif yang diajukan Habermas sebagai jalan keluar persitengangan antara marxisme dan kapitalisme, malah menjadi suatu pendekatan yang mengabaikan unsurunsur di luar dari komunikasi itu sendiri. Pengandaian Habermas bahwa di dalam tindakan komunikasi dengan sendirinya akan menetralkan suatu posisi dan kepentingan, justru tidak bekerja seperti yang diharapkannya di dalam level praktik. Komunikasi yang disebutnya sebagai tindakan praktis, malah justru menguatkan posisi dari awal bagaimana kepentingan kelas borjuis bekerja untuk mendominasi kelas proletariat. Wacanawacana yang dikembangkan kelas borjuis melalui tindakan komunikasi justru kembali melanggengkan kepentingan melalui subordinasi pengetahuan yang dimilikinya.

Kelima, Cakupan dan rentang penelitian yang luas dari orang-orang yang terlibat dalam Mazhab Frankfurt dinilai sebagai perkembangan yang inkonsisten dengan rancangan awal proyek mereka, dan inkonsistensi ini dianggap sebagai kelemahan paling mendasar dari Teori Kritis. Para pendukung Cultural Studies menuduh bahwa terdapat indikasi kesukaan Mazhab Frankfurt pada “budaya tinggi”, walau gagasan Mazhab Frankfurt juga menjadi inspirasi dan dipraktekkan oleh para environmentalis dan teoretisi teknologi dan alam seperti SF Schumacher.