Waktu untuk Tidak Menikah: Perempuan-Perempuan Pelupa dan Suara Aktivisme Perempuan



Judul: Waktu untuk Tidak Menikah
Penulis: Amanatia Junda
Penerbit: Mojok
Edisi: Pertama, Januari 2019
Tebal: viii+178 hal
ISBN: 978-602-131-8768

SEJAK awal, dari Denyut Merah, Kuning Kelabu, kumcer Amanatia Junda sudah memuat daya pikat yang nyaris sempurna. Ia dibuka dengan lenyapnya Noni, tetangga si Aku yang menjadi penutur dalam cerita pertama di buku yang baru saja diterbitkan kembali awal tahun ini. 

Dengan cara ini, pembaca langsung dipukul rasa penasaran. Ibarat lubang hitam, ia menyedot daya imajinasi pembaca untuk menjawab rasa ingin tahu yang ditiupkan dari kalimat pembuka cerpen ini.

Noni diceritakan perempuan tomboy seketika hilang entah kemana. Tokoh si Aku, tetangga kamarnya paling dekat bahkan tidak tahu kemana perginya Noni. Noni dikisahkan raib tanpa petunjuk sedikit pun. Ia hilang meninggalkan kamar kosnya dengan TV dibiarkan menyala.

Tidak seperti cerpen umumnya menaruh ending di bagian akhir, kisah ini bisa dibilang buntung. Tidak ada ending sama sekali. Pembaca kecele mengira di akhir cerita akan dikuak kemana dan di mana Noni berada. Sampai berakhirnya kisah, Amanatia lempeng tidak membeberkan di mana dan kemana Noni pergi.

Berakhir tanpa twist di bagian akhir cerita menjadikan cerpen pembuka ini laiknya strategi untuk memancing pembaca dapat terus bertahan hingga halaman terakhir buku ini.

Bagi saya, cerpen pembuka ini perjudian Amanatia dengan para pembaca. Jika dari awal kisah pembukanya datar-datar saja, Amanatia gagal. Ia tidak menarik intensi pembaca menghabiskan 14 cerpen tersisa yang dibabarkannya.

Namun, kenyataannya berbeda. Cerpen pertama ini berhasil menjalankan daulat dan malah menjadi kunci pembuka yang apik.

Perempuan-perempuan pelupa

Waktu untuk Tidak Menikah, selain ditulis seorang perempuan juga kisah tentang perempuan. Keseluruhan kumcer ini bertolak dari perempuan. Boleh dikata buku ini menawarkan sisi belakang perempuan yang kerap sepele tapi penting untuk diperhatikan –terkhusus untuk kaum pria.

Ambil contoh pada cerita Perkara di Kedai Serba-Serbi. Dina, tokoh kisah ini merasa jengkel atas ulah seorang perempuan yang serampangan membuang pembalut sehabis diganti di kamar mandi. Sering lupa mengguyur bekas kencing di closet, dan bahkan lupa mengambil celana dalam yang tergantung di kamar mandi kos-kosannya.

Karena kesal, ia menceritakan ulah perempuan tidak dikenalinya itu kepada pacarnya. Malangnya, justru karena cerita itu Dina diminta putus oleh pacarnya. Tanpa disadarinya, perempuan yang ia ceritakan itu adalah dirinya sendiri. Ternyata Dina perempuan pelupa. Ia bahkan lupa mengambil celana dalam yang merupakan pemberian pacarnya. Celana yang ia ceritakan itu.

Melalui kisah ini, perempuan yang dikenal memiliki titik fokus lebih dibanding laki-laki, ternyata punya kelemahan: sering melupakan hal-hal remeh temeh. Amanatia Junda dengan jenaka membalik stigma yang kerap dilekatkan kepada kaum pria. Seringkali ditemukan si lelaki-lah yang punya "penyakit" lupa –lupa tanggal jadian, misalnya. Tapi, di kisah ini sebaliknya, perempuanlah yang didera "penyakit" lupa. Dan itu berakhir masalah.

Dalam Baru Menjadi Ibu, juga ditemukan masalah lupa. Bahkan ini bukan sepele, penting malah. Diceritakan si Aku  adalah perempuan bernasib malang.  Ia diperkosa di atas angkot saat “melarikan diri” dari rumah mertuanya. Sialnya, dari peristiwa itu ia lupa ciri-ciri fisik pelaku. Sebaliknya, ia justru lebih mengingat detail-detail yang kalah penting dari pemerkosanya: warna bangku, busa jok, keadaan lantai angkot, lapisan kaca mobil, dsb.

“Aku sama sekali tidak ingat mukanya, sama seperti perjumpaanku dengan lusinan wajah asing di angkutan umum. Aku sama sekali tidak ingat ciri fisiknya, sama seperti aku mendapati tikus tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Namun, aku ingat, caranya merangsek, merobek, me—“ (hal.59)

Berkat lupa ini, si Aku tidak bisa melakukan apa-apa walaupun sudah melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib. Alih-alih berusaha menyelesaikan masalahnya, ia malah sampai melahirkan anak hasil pemerkosaan itu. Sesuatu yang menambah pelik persoalan si Aku lantaran sebelumnya ia pergi dari rumah mertuanya karena “dituduh” mandul.

Dapat dipahami, bagaimana rumitnya situasi yang dihadapi si Aku melalui kisah di atas.  Apalagi “kesadaran” yang kerap diunggulkan sebagai kualitas esensial lelaki, tidak sekali pun membantu si Aku dalam mengidentifikasi pelaku pemerkosaan. Si Aku malah lebih banyak merekam cara si korban melakukan aksi bejatnya.

Itulah sebabnya, betapa tidak diduganya kejadian itu dan terjadi dengan seketika, membuat si Aku kehilangan fokus untuk mengingat pelakunya. Ini menandai bagaimana si Aku menyimbolkan ketidakberdayaan kaum perempuan ketika menghadapi kasus kekerasan yang memilih melupakannya akibat posisi yang tidak menguntungkan.  

Di akhir cerita, penderitaan si Aku tambah perih. Karena disulut api lilin, bayi yang baru dilahirkannya meninggal disebabkan ruang persalinan dilalap jago merah. Si suster yang menjaga bayinya ternyata juga lupa telah memasang lilin penerang ketika terjadi mati lampu.

Melalui nuansa yang hampir sama, si suster menghadapi juga situasi tak terduga dan seketika seperti pada kasus si Aku. Karena itu, saat terjadi kebakaran, ia malah lari menyelamatkan diri melupakan seonggok bayi yang dijaganya, yang akhirnya mati hangus terbakar.

Di cerita yang lain, ditemukan lupa yang berbuah romantis. Pisah Ranjang singkatnya adalah kisah sepasang suami istri yang terpaksa menyewa rumah sederhana karena bangkrut. Keadaan ekonomi yang terpuruk membuat hubungan yang berpuluh tahun telah mereka bina jadi menegang. Hingga mereka memutuskan pisah ranjang dengan cara sang suami membelah dipan satu-satunya yang mereka miliki menjadi dua bagian terpisah.

Lantaran tidur saling terpisah ini lah menerbitkan suatu pengertian subtil yang hilang di antara hubungan mereka. Mereka baru menyadari berupa keadaan saling menatap satu sama lain ketika beranjak tidur terpisah. Kebiasaan sederhana ini ternyata begitu berharga karena selama ini mereka lupa bagaimana caranya menyatakan kasih sayang tanpa mesti menggunakan kata-kata.

““Kamu menyadari sesuatu?” tanya sang Suami sambi menatap sudut-sudut keriput kelopak mata istrinya.

“Aku—kita terlalu lama menjadi satu bagian,” jawab sang Istri lirih sembari menunduk.

“Hingga kita pun lupa untuk saling menatap saat kita hendak tidur. Aku  baru menyadari hal itu saat kamu memutuskan kita pisah ranjang…””

Sama tidak diduganya seperti dalam cerita Baru Menjadi Ibu, kejadian pisah ranjang nyatanya tidak benar-benar dapat disebut pisah ranjang. Di akhir cerita, kualitas hubungan mereka mengalami lonjakan berkat pengertian yang tiba-tiba baru diinsafi mereka berdua. Mereka tidur bersama di atas dipan yang telah menjadi setengah.

Menikah untuk tidak menikah

Walaupun kisah di atas perempuan dicitrakan sebagai perempuan pelupa –hal yang kontradiksi dari sifat umum perempuan— nyatanya, ada citraan-citraan perempuan yang memperlihatkan keunggulan perempuan yang bisa diberitakan sebagai aktivisme perempuan.

Ini menjadi menarik lantaran tema cinta –dengan kerumitannya—begitu mencolok di setiap cerita dalam buku ini. Dengan kata lain, pembaca akan menemukan tegangan-tegangan perasaan cinta yang dilakonkan tokoh-tokoh perempuan dalam kumcer ini. Untuk menyebut dua contoh di antaranya adalah dalam Waktu Untuk Tidak Menikah dan Sepasang Bulu Mata Merah.

Pertama, dalam Waktu Untuk Tidak Menikah ditemukan kerumitan perasaan perempuan yang identik ketika menghadapi momen sakral berupa hari pernikahan. Umumnya perempuan akan merespon hari pernikahan dengan kebahagiaan tiada tara walaupun diselingi rasa ganjil dan was-was menghadapi peralihan status menjadi istri orang. Sebagian di antaranya malah melakukannya sambil menangis sebagai ungkapan kesedihan bercampur kebahagiaan.

Tapi, Nusri berbeda nasib. Cerita ini dari awal sudah memberikan suatu pengertian berkaitan dengan posisi perempuan yang sering distigmakan buruk berkaitan dengan pernikahan. Nusri, seperti banyak perempuan yang mempertahankan keperawanan walaupun menjelang usia 30-an, mesti menghadapi kebiasaan masyarakat agar perempuan dapat secepatnya melepas masa lajang sebelum terlambat.

Pandangan demikian mau tidak mau menempatkan Nusri kepada situasi terpojok. Stigma perawan tua menjadi hukum besi yang tidak memberikannya ruang gerak yang bebas. Sampai ibu Nusri memilih menjodohkannya dengan seorang lelaki bernama Laksmo.

Di sinilah letak soal yang pelik: pernikahan tanpa cinta menjadi momok bagi Nusri. Masalah semakin runyam bagi Nusri ketika menerima kabar anak angkatnya jatuh sakit. Betapa pun ia sudah rela dijodohkan oleh ibunya, tapi tetap saja cintanya kepada anaknya Si Darun jauh lebih besar dari apa pun.  Waktu yang tidak mengenakan memang dan itu waktu terbaik untuk tidak menikah.

Pernikahan yang tidak menyertakan cinta juga menjadi motivasi yang hampir sama dialami tokoh Widuri dalam Sepasang Bulu Mata Merah. Widuri adalah perempuan pekerja yang menyimpan duka mendalam setelah kematian adiknya dalam suatu peristiwa kebakaran pabrik. Menarik melihat dimensi psikologis Widuri yang mengkonversi kedukaannya menjadi motivasi memobilisasi gerakan terencana menentang perlakuan tidak adil yang dialami dirinya dan adiknya sebagai buruh perempuan. Apalagi ini didasarkan kepada keinginan Widuri agar adiknya bisa mengubah kebiasaan keluarga yang semuanya adalah pekerja buruh pabrik. Ia ingin adiknya dapat melanjutkan pendidikan, suatu cara untuk mengubah nasib keluarga mereka.

Walaupun sama-sama bercerita tentang pernikahan, berbeda dari Waktu untuk Tidak Menikah, tokoh Widuri dalam Sepasang Bulu Bata Merah bukan memilih untuk membatalkan pernikahannya. Ia malah menggunakan pernikahannya sebagai momen balas dendam untuk menyuarakan ketidakadilan. Bahkan paska itu ia melanjutkan dengan cara menggelar pertemuan-pertemuan demi menyusun skenario perlawanan terhadap korporasi yang tidak adil kepada para pekerjanya. 

Aktivisme perempuan dan Dunia Kerja

Lalu di manakah anasir-anasir yang menunjukkan adanya aktivisme perempuan di dalamnya? Setidak-tidaknya itu tercium dari Sepasang Bulu Mata Merah. Di beberapa bagian cerita dan menjelang akhir, Widuri dapat dikatakan sebagai sosok aktivis perempuan yang kerap diidentikkan dengan gerakan feminisme. Dia diceritakan demi menuntut keadilan akhirnya memustuskan untuk mengkonsolidasikan suatu gerakan terencana yang hampir semuanya adalah perempuan.

Denyut Merah, Kuning Kelabu juga merupakan cerpen yang di dalamnya menyiratkan sosok aktivis perempuan. Tokoh utama cerita ini dikisahkan perempuan muda yang terlibat ke dalam pengadvokasian petani Madura. Dengan latar sebagai seorang mahasiswa, kehidupan tokoh dalam cerpen ini menunjukkan kedekatan idealismenya dengan dunia aktivisme yang identik dengan dunia kemahasiswaan.

Pada Jarak yang Memisahkan Kami,dan Abha,  adalah dua contoh lain dengan perempuan  yang kuat. Semua latar belakang ceritanya berkisah tentang perempuan pekerja mandiri. Suatu tipikal yang sering dijadikan sebagai prototype dari simbol kemerdekaan perempuan.

Terlepas dari itu semua, di sana-sini Amanatia cukup konsisten mengolah seluruh tokoh perempuannya yang beririsan langsung dengan dunia kerja, yang banyak digambarkannya sering mengalami tindakan pelecehan dan diskriminatif. Dengan kata lain, seluruh cerita dalam kumcer ini diam-diam sedang menyuarakan suara perempuan yang sering diberlakukan tidak adil baik dalam lingkungan domestik maupun dunia kerja.


--

Telah tayang di Kalaliterasi.com

Si Prajurit Schweik yang Lebih Prajurit dari Prajurit


Judul: Prajurit Schweik (The Good Soldier Svejk)
Penulis: Jaroslav Hasek
Penerjemah: Djokolelono
Penerbit: Pustaka Jaya
Edisi: Ketiga, 2008
Tebal: 279 hal
ISBN: 978-079-419-106-4

”ORANG itu sambil melambai-lambaikan tongkatnya berkali-kali berseru di sepanjang jalan kota Praha: “Ke Belgrado! Ke Belgrado!”

Ia sering dibekap encok. Jalannya seringkali sempoyongan. Tapi ia adalah satu-satunya prajurit yang memiliki semangat patriotisme yang tulus. Namanya adalah Schweik, Josef Schweik, lengkapnya.

Walaupun seorang tentara, Schweik nyaris tidak pernah terjun di medan perang. Ia memang mengakui pernah ikut berperang membela tanah pertiwinya, Austria, tapi entah kapan, dan berapa lama hanya ia seorang yang tahu.

Kisah dimulai dari kedai minuman favorit Schweik yang bernama ”Botol”. Di situ ia berbincang-bincang dengan Palivek si pemilik kedai minuman. Tapi dasar Schweik yang dikenal sebagai orang yang terlampau lugu dan berterus terang: ia akhirnya banyak berkomentar tentang kematian Ferdinand anak kaisar Austria—yang mati ditembak entah oleh siapa saat hendak masuk ke mobilnya.

Tidak diduga omongannya yang ceplas ceplos ini menariknya ke dalam masalah serius. Ia dituduh merendahkan kekaisaran Austria. Bretschneider, seorang agen intel yang sehari-hari menyamar mendengar ucapannya, membawanya masuk ke kantor polisi. Bersama Palivek, Schweik dijebloskan ke dalam sel dengan tuduhan sebagai makar.

Prajurit Schweik adalah karangan Jaroslav Hasek—penulis Ceko— yang penuh gaya humor dan satir. Walaupun berlatar perang dunia, tidak ada satupun adegan Schweik mengangkat senjata di medan pertempuran. Sebaliknya, cerita karangan Hasek diisi dengan profil Schweik yang konyol, eksentrik, lugu, tapi juga baik hati.

Scwheik barangkali adalah antitesa tipikal prajurit perang dunia I yang seringkali digambarkan bertubuh proporsional, berani, dan dispilin. Sebaliknya, Schweik adalah prajurit yang bertubuh tambun, pendek, berusia uzur, dan seringkali tidak disiplin. Bahkan Schweik diceritakan ”lemah akal”. Ia mantan pasien rumah sakit jiwa yang diusir lantaran dinilai aneh dan tak biasa.

Setelah Schweik dibawa ke penjara dan diintrogasi, saat itulah namanya mulai tenar seantero dunia kepolisian dan militer. Ketulusan dan keterusterangan Schweik ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan introgator intel kepolisian, malah membuatnya dipandang mempemainkan akal sehat. Bagaimana mungkin ada tersangka makar yang begitu terbuka dan jujur menjawab setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya.

Saking jujurnya Schweik—karena itu juga ia lebih pas dikatakan tolol dan lugu—ia rela menandatangani surat pernyataan berkaitan dengan kesalahannya.

”Ada lagi yang harus kutandatangani? Atau mungkin aku akan dipanggil ke mari besok pagi?”

”Besok pagi kau akan dibawa ke pengadilan kriminal”

”Jam berapa, tuan? Begini. Aku tak ingin bangun kesiangan. Apa pun yang akan terjadi sehingga terlambat pergi ke pengadilan itu”

Begitulah Schweik, ketulusannya lebih mirip orang yang tak memiliki rasa was-was, curiga, bahkan prasangka. Caranya berpikir lempeng tanpa kekhawatiran sama sekali. Ia alih-alih menjadi prajurit yang sering diliputi rasa dongkol ketika diberikan perintah. Melainkan tanpa sedikit pun menolak melakukan permintaan dengan hati yang ringan.

Ia, dengan kata lain, tipikal prajurit yang lebih prajurit dari prajurit itu sendiri.

Judul asli Prajurit Schweik adalah The Good Soldier Svejk. Akan jelas dipahami, kebaikan prajurit Schweik di sini lebih menyerupai guyonan ala satir yang menyindir kemiliteran dan polah prajurit saat menghadapi laga peperangan. Kebaikan prajurit Schweik malah sebenarnya bukan sekadar kebaikan, tapi ya itu tadi, keluguan yang nyaris tanpa batas.

Bisa dibilang Prajurit Schweik bercerita tentang petualangan Schweik dar satu pos militer ke pos militer lainnya—yang sebenarnya bernasib sial walaupun ia sendiri tak menyadarinya. Ada kalanya ia ditempatkan di kamp militer tanpa kepastian perang, mendekam di dalam tahanan, menjadi bawahan pendeta Lukash, tukang bantu-bantu kompi, sampai harus menyusuri desa-desa dengan berjalan kaki tanpa mengenal arah tujuannya.

Ia juga mulai petualangannya menuju selatan bernama Budejovice, suatu daerah yang disebutkan sebagai ”garis depan” pertempuran. Tapi dasar Schweik yang tak tahu arah walaupun ia yakin arah yang ditujunya adalah tempat yang ia maksud, dalam perjalannya membuatnya banyak mengalami ”masalah”.

Petualangan Schweik mengingatkan saya kepada petualangan Don Quixote walaupun kisah keduanya berbeda. Satu hal yang mencolok dari keduanya adalah cara berpikir dua tokohnya; penuh humor, ketololan, dan gila.

Konon buku ini tidak tuntas ditulis Hasek karena ia lebih dulu mangkat. Walaupun begitu hal ini tidak menunjukkan kekurangan yang berarti. Sebaliknya, penceritaan Hasek benyak membalik aturan normatif yang selama ini dikenal di masyarakat.

Salah satu contoh adalah penggambaran Hasek berkaitan dengan moralitas prajurit yang seringkali menabrak idealitas kemiliteran. Beberapa atasan Schweik digambarkan sebagai atasan yang tukang mabuk, pendeta yang tidak paham agama, pejabat yang tak becus administrasi, sampai pasukan-pasukan yang lalai dalam tugas.

Menariknya, semua hal itu dituduhkan kepada diri Schweik sendiri. Di sinilah justru ketulusan patriotisme Schweik tidak mendapatkan tempat apalagi diapresiasi. Ia justru dituduh pembangkang dan menghindari tugas kemiliterannya.

Walaupun digambarkan penuh humor—Scwheik bahkan tentara yang banyak omong—cerita ini adalah bentuk kritisisme penulisnya demi membangkitkan semangat kebangsaan Ceko yang kala itu terlibat perang dunia.

Syahdan, setiap prajurit harus banyak belajar dari Schweik. Si tentara baik hati yang tulus mencintai negaranya. 

Kota dan Kenangan


Pramoedya Ananta Toer
Sastrawan kenamaan Indonesia
Terkenal dengan Tetralogi Buru-nya
(Novel empat bagian yang menceritakan
sepak terjang Nasionalisme Indonesia)


KOTA mengikat waktu dan peristiwa, membentang sekaligus  menghubungkan interaksi; budaya, ekonomi, politik, kesehatan, dan pendidikan.

Sekali tempo, kota  tidak sekadar menjadi dunia objektif berdirinya megastruktur: gedung-gedung pencakar langit, jembatan megah, jalan raya, tugu-tugu raksasa, lapangan dan gedung pertunjukkan ramai.

Di waktu lain ia menjadi ruang subjektif warganya untuk menyaksikan, mengalami, dan merekam momen-momen interaktif dengan semua peristiwa dalam pengalaman berkotanya.

Dari sisi waktu, ruang subjektif tempat dunia ingatan manusia kota berpusat, sadar tidak sadar membentuk kenangan tertentu atas suatu pengalaman tertentu sejauh ia hidup dalam suatu wilayah tertentu di perkotaan.

Sudah mafhum bagi seseorang lama mengikat waktu di kota tertentu akan ikut membangun kenangan yang sulit dilupakan. Apalagi jika pengalaman itu berkaitan dengan pertumbuhan batin pribadi yang sedang tumbuh.

Pengalaman itu saya alami hampir satu dekade di kota Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Selama hampir sepuluh tahun hidup di negeri nusa tenggara, saya demikian akrab dengan gedung-gedungnya, gerejanya, rumah sakitnya, masjidnya, angkutan umumnya, jalan rayanya, pasarnya, dan....

Kenangan kian sentimentil jika semua pengalaman berkota itu berhubungan dengan kegiatan pribadi: ruang kelas sekolah, halte mobil, perpustakaan, masjid, kolam berenang, pantai….

Di titik ini, kota mengalami eksternalisasi yang mengarah kepada pribadi penduduknya. Kota menjadi wadah,sumber, sekaligus referensi pengalaman dan nilai yang mempengaruhi warganya.

Sebaliknya bagi pribadi di dalamnya, kota menjadi medan yang menyediakan ruang internalisasi kebudayaannya, tradisinya, bahasanya, dialeknya, cara berpikirnya, pergaulannya.

Singkatnya kota menjadi entitas yang mengindividuasi pribadi penduduknya. Tidak ada penduduk kota yang keluar dari ciri-ciri perkotaannya.

Satu dekade bukan waktu singkat. Selama mengalami kota Kupang, sampai sekarang, kenangan atasnya masih melekat kuat dalam benak. Kenangan terhadapnya bukanlah peristiwa biasa oleh sebab berkaitan dengan unsur-unsur yang ikut membentuk kepribadian. Dia ikut sepanjang pertumbungan pribadi yang berkembang.

Apalagi kenangan atasnya terdiri dari penggalan peristiwa kerusuhan 98 yang saat itu merembes sampai ke kota Kupang.

Itulah sebabnya, kenangan demikian menjadi kesan mendalam yang bakal hidup terus menerus.

Zen RS dalam bukunya Jalan Lain ke Tulehu menggambarkan kenangan atas suatu peristiwa begitu lekat membentuk identitas seseorang. Melalui tokoh Gentur, novel ini mengetengahkan bagaimana konflik atas dasar identitas dapat kuat terpatri menjadi kenangan yang sewaktu-waktu muncul tak diduga-duga.

Kenangan dalam hal ini juga merupakan entitas yang sulit dikucilkan dari ruang bersama. Ia kuat hubungannya dengan hasrat, cita-cita, kekecewaan, trauma, penderitaan, kegelisahan dan rasa bersalah yang ikut dari orang lain.

Dengan kata lain, kenangan yang demikian subjektif pada dasarnya mengikutkan unsur keterlibatan banyak orang di dalamnya.

Kisah hidupku ditulis dan disusun juga oleh kisah hidup orang lain yang bertemu, mengenal, dan berhubungan denganku. Kisah-kisah yang saling bersilangan dan beririsan.” (Hal. 50).

Satu hal yang dapat ditarik dari karangan Zen RS ini adalah betapa kontrukstifnya kenangan dapat membangkitkan suatu pengalaman terdahulu. Secara kolektif, kenangan dapat dilihat kembali sebagai simpul yang berinteraksi sekaligus mengikat warganya kepada suatu pengalaman bersama.

Dengan kata lain, kenangan memiliki daya insulin untuk memperbaharui pengalaman baru yang semula dikoyak oleh konflik identitas, misalnya. Tidak bisa dimungkiri, kenangan kolektif adalah salah satu modal sosial yang penting jika ingin membangun kembali simpul sosial yang saling bertikai lantaran hilangnya kepercayaan di antaranya.

Hubungan kota dan warganya di sisi lain sangat bergantung jenis kekuasaan apa yang menghubungkannya. Kadang di waktu tak terduga, keduanya menjadi regang lantaran kekuasaan menjadi faktor pemisahnya.

Dalam kehidupan perkotaan modern, ketika kota kian eskalatif dan destruktif menampung cita-cita pembangunan, pertumbuhan, maupun perluasan, kenangan menjadi ikut rentan dan goyah. Hal itu dipengaruhi setidaknya juga oleh faktor bencana alam, penggusuran, ataupun pengusiran paksa.

Warga penyintas, yang tergusur, terusir, dan yang disingkirkan demikian genting bakal mengalami gangguan yang traumatis ketika mereka dialihkan dari mukim bertahun-tahun mereka. Sudah menjadi hukumnya, ketika ruang mukim lenyap maka akan ikut mempengaruhi pengalaman berkotanya yang lain pula.

Warga yang tersingkir dan terjauhkan sudah pasti dipaksa mengalami pengalaman baru dan asing pada lingkungan baru yang dihadapinya. Di kehidupan kedua inilah, kenangan menjadi semakin bernilai karena ia bukan sekadar ingatan yang mengandalkan dimensi ”rasional” manusia, melainkan jauh melibatkan unsur ”perasaan” warganya.

Kenangan karena itu sudah menjadi bagian organik dari kehidupan warganya. Ia tumbuh bersama aktivitas warga. Dibentuk melalui kegiatan-kegiatan sehari-hari yang menimbulkan kesan mendalam. Mulai dari aktifitas kumpul bersama, kerja bakti, rapat antar warga, jual beli, sampai beribadah bersama, kenangan bakal tercipta di dalamnya selama semua itu terjadi pada lingkungan yang spesifik dan permanen.

Hubungan kota dan kenangan dalam karya sastra ditemukan melalui narasi Pramoedya Ananta Toer melalui tulisannya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Karya yang menapaktilasi kota-kota yang dilalui jalan raya Deandels ini apik menceritakan aspek-aspek historis, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang terancam setelah dibangun jalan raya yang bersejarah ini.

Menariknya buku yang sebetulnya tidak juga disebut catatan perjalanan  itu, sedikit banyak mengangkat kekejaman Deandels berupa pembunuhan massal, termasuk bupati-bupati yang menolak memberikan sebagian lahan bagi penyediaan ruas jalan raya Pos. Bukan saja itu, tidak sedikit warga yang mati diserang kelelahan, kelaparan, dan terserang malaria.

Di bagian lain nampak Pram ikut menguarkan kenangan masa kecilnya di kota Blora-Rembang. Di sisi ini Pram mengekalkan kekuatan kenangannya bersamaan dengan aspek-aspek politis  yang ikut mengiringi pembangunan jalan ini.

Betapa pun kenangan bukanlah persoalan sederhana, hal ini menunjukkan bahwa kenangan dapat menjadi semacam kerinduan yang dekat dengan penderitaan—kenangan sering disebut nostalgia: kata yang asal usulnya dapat ditelusuri dari kata Yunani ”Nostos” yang berarti ”kembali pulang” dan ”Algos” yang berarti ”penderitaan”.

Mungkin ada benarnya, karya Pram ini suatu bentuk kerinduan terhadap kenangan masa kecilnya; itulah juga buku ini disebutkan sebagai catatan perjalanan (suatu pengalaman perjalanan).

Hubungan kota dan kenangan nampak menjadi semakin kuat seperti misal dalam lagu ”Hallo Bandung”. Kota Bandung, dalam lagu ini menjadi begitu sentimentil bagi penciptanya sehingga diabadikan di dalam lagu. Diketahui setelah kembali ke Batavia pasca menikah, Ismail Marzuki tergiang-giang dengan Bandung, tempatnya banyak menghabiskan waktu.

Bukan saja itu, dipengaruhi peristiwa bulan Maret 1949, ketika Inggris berupaya merebut kota Bandung, syair lagu ini digubah kembali menjadi patriotik dengan kemunculan lirik ”Sekarang telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali”.  Maksud lirik ini untuk membakar semangat pejuang yang saat itu melawan dengan cara sengaja membakar gedung-gedung di penjuru wilayah selatan kota Bandung sebelum mereka meninggalkan kota periangan itu.

Dalam lagu ini, kota dan kenangan identik dengan ”penderitaan” untuk merebut kembali apa yang pernah menjadi bagian hidup warganya.

Kenangan, dalam lagu ini, dengan kata lain menjadi elemen pengorbanan dan perlawanan yang mampu menggerakkan orang-orang ke dalam satu cita-cita bersama.

Kiwari semakin banyak kota tumbuh. Urbanisasi menjadi trend sehari-hari. Desa-desa hilang berganti kota-kota baru yang semakin hari semakin padat.

Demikian pula kenangan, semakin hari tumbuh bergantian dan mengisi ruang baru dalam benak manusia. Kota berganti, juga tumbuh, menyulap ruangnya menjadi semakin sempit. Itu berarti semakin banyak sudut kota yang berubah, bahkan hilang.

Tapi tidak dengan kenangan. Ia bertahan dan liat. Manusia hanya mampu mengingat. Mengenang sisa-sisa pengalamannya yang semakin lama diganti kenyaataan baru.

Ia hanya bisa bernostalgia: berjalan pulang sekaligus menderita mendekam rindu kembali.

Republik Oleng: Negara Demokrasi dari A sampai Z



Identitas Buku
Judul Buku : Republik yang Sedang Oleng
Penulis : Arman Syarif
Penerbit : Liblitera Institute
Cetakan Pertama : Desember 2018
Jumlah hlm/tebal buku : 356 halaman
Ukuran buku : 14x21 cm


INI subjektif belaka. Terkait perkenalan saya dengan penulis buku ini. Kak Arman, begitu sering ia disapa, pertama saya tahu adalah seorang aktivis kampus. Ia sering mondar-mandir di depan ruang kuliah saya. Kala itu, rambutnya yang dibiarkan tergerai panjang menjadi ciri khasnya.

Saya masih ingat, menggunakan sepatu gunung dan kemeja terbuka yang melapisi kaos oblong di dalamnya, ia sering nongkrong di lapakan penjual buku yang berada tepat di sudut gedung perkuliahan saya. Belakangan saya baru menyadari, si penjual buku ini ternyata menjadi magnet tersendiri bagi aktivis kampus masa itu. Bukan saja sekadar menjual buku, si penjual buku ini malah menjadi “guru” bagi orang yang sering menghabiskan waktu berdiskusi dengannya.

Nanti, ketika saya menjelang semester akhir, saya semakin dekat dengan penulis. Di situ pula saya baru mengetahui ia ahli bermain gitar. Sering kali kedekatan kami dihabiskan menyakikan lagu-lagu yang sering dinyanyikan ketika demonstrasi. Dari situ saya banyak bertukar pikiran, ngopi bareng, dan main gitar merokok sama-sama di sebuah kamar kos yang disewa secara patungan.

Di situ pula, saya semakin tahu, sejak ia lulus mahasiswa, ada satu hal yang tidak berubah dari beliau: kebiasaannya menulis. Ya, beliau adalah salah satu figur di kampus yang dikenal memiliki skil menulis. Sudah sejak dari mahasiswa tulisan-tulisannya banyak nangkring di koran-koran.  

Itulah sebabnya, dari sepak terjangnya, dia sedikit banyak menginspirasi saya--juniornya yang waktu itu pelan-pelan mulai menyukai dunia tulis menulis.

Nah, di buku ini merupakan jejak pikirannya yang sudah ia mulai sejak mahasiswa lalu. Sebagian tulisan dalam buku ini adalah refleksinya ketika masih menjadi mahasiswa. Makanya, jika melihat tanggal penulisannya, banyak ditemukan tulisan-tulisan yang ia buat saat masih mengenyam bangku perkuliahan.

Walaupun kini ia sudah berprofesi sebagai seorang guru, tulisan-tulisan yang ditulis belakangan masih kental dengan idealisme saat ia masih sering bersentuhan dengan wacana kampus —sesuatu yang saya duga banyak berubah ketika ia menjadi guru. Yang paling mencolok dari semua itu adalah konsistensinya menggarap tema yang menjadi kekuatan negara-negara berkembang belakangan ini: Demokrasi.

Patut diduga, tema demokrasi yang menjadi ciri khas buku ini adalah habituasi penulis yang telah berproses panjang sudah semenjak mahasiswa. Ia —yang semasa mahasiswa menempuh disiplin kewarganegaraan—dengan kata lain, dalam buku ini sulit melepaskan kecenderungannya ini lantaran boleh dikata sudah dari sananya tema ini mendarah daging. Suatu hal yang wajar sebenarnya, mengingat disiplin ilmunya ini-lah juga yang sehari-harinya ia bicarakan saat menjadi seorang guru kewarganegaraan.


DALAM Kampus yang Minus Demokrasi, penulis gamblang mengkritik penerapaan demokrasi sebagai representasi intitusi pendidikan. Tulisan ini dengan jeli memperlihatkan kontradiksi yang sering terjadi ketika keterbukaan dan kesetaraan di hadapan ilmu pengetahuan menjadi terhambat akibat kepempimpinan birokrasi kampus yang otoriter.

Melalui Undang­Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3: “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, penulis bersuara keras melalui tulisan ini dengan memberikan dasar argumentasi bahwa kampus seharusnya menjadi ruang paling terbuka sebagai cikal bakal ide-ide demokrasi sebelum merekah di ruang kepublikan.

Sebagai seorang mantan mahasiswa, tulisan ini bukan sekadar wacana yang datang dari pengamatan jauh sang penulis, melainkan merupakan bagian pengalaman yang sampai sekarang ikut membentuk pemahamannya mengenai kampus yang ideal. Di tulisan ini, kampus yang ideal itu dinyatakannya sebagai ruang yang mesti menjamin kebebasan berpendapat, menjadi ruang pendidikan politik, dan sekaligus ajang bertukar gagasan. Sayangnya, dari tulisan yang disuguhkanya, banyak fakta-fakta sebaliknya yang kerap menjadi isu negatif di dalam kampus yang sering kali bertindak otoriter dan nondemokratis.

Dari  beberapa fakta di mana banyak kampus melakukan tindakan di luar dari prinsip-prinsip demokrasi, penulis tanpa ragu menyebut peristiwa itu sebagai penerapan demokrasi yang setengah hati.

Dari sisi ini, mengingat perhatian yang besar terhadap dunia kampus, menarik melihat respon penulis kepada kasus pelecehan seksual di UGM baru-baru ini yang dialami oleh seorang perempuan, yang mirisnya berusaha ditutup-tutupi oleh pihak kampus.   

Kasus ini bisa terungkap karena adanya keterlibatan pers kampus yang berani mengungkap peristiwa yang terjadi di lokasi KKN itu. Sulit membayangkan betapa pihak UGM –seperti yang diistilahkan penulis—justru nampak setengah hati berbicara terbuka dan legowo untuk mengusut tuntas kasus yang malah tidak berpihak kepada korban pelecehan. Seperti kampus-kampus yang direflesikan penulis dari pengamatannya selama ini, UGM tidak sama sekali mencerminkan intitusi yang terdepan berbicara mengenai keterbukaan informasi, sesuatu yang menjadi semangat demokrasi itu sendiri.

Berbicara keterbukaan informasi, Pemblokiran Situs di Negara Demokrasi cukup mewakili perasaan umum warga Indonesia yang sampai sekarang masih resah mengenai fake news yang tidak ada habis-habisnya. Dalam tulisan ini penulis menangkap fenomena khas dari negara demokrasi terkait dengan merebaknya media sosial sebagai kekuatan baru demokrasi. Walaupun sifatnya problematis, di tulisan ini memberikan semacam jalan keluar ketika ada warga yang masih bingung mengartikan kebebasan di alam demokrasi.

Disebutkan kebebasan adalah gen bawaan demokrasi. Tapi ketika itu tidak disertai dengan logos –mengikuti pandangan Aritoteles—risikonya adalah saling silang pendapat yang sulit terbendung. Masing-masing atas nama kebebasan pendapat akan dengan leluasa menyatakan opininya di ruang publik tanpa mengindahkan batas-batas yang sudah ditetapkan. Fenomena seperti ini jamak ditemui sekarang. bahkan, ada satu dua tokoh yang dijerat hukum karena dipandang salah menggunakan kebebasan berpendapatnya.

Nah, di tulisan yang terbit di salah satu harian cetak ini penulis menyertakan aturan main agar tidak kebablasan mengartikan kebebasan berpendapat. Menurutnya, selain negera ini adalah negara demokratis, negara ini juga negara hukum. Negara demokrasi mengandaikan kebebasan berpendapat, sementara negara hukum mengandaikan perlunya aturan yang mengatur kebebasan berpendapat agar berjalan tertib.

Dari kacamata ini penulis menyebut cara di atas sebagai pandangan konstitusional, yang mengaitkannya dengan dua pasal. Pertama pasal 28 E ayat (3) ditegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Sementara pada pasal 28 F berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Sekilas dari pasal ini kebebasan berpendapat dilegitimasi secara gamblang tanpa harus mewaspadai hambatan yang muncul atasnya. Dengan kata lain, pasal ini bakal menjamin siapa pun untuk berkata apa pun dalam keadaaan apa pun dan dengan tujuan apa pun.

Namun pemahaman kita akan terbelah jika tidak mengikutkan satu pasal yang dapat dipakai untuk memberikan dasar pengertian berkaitan dengan kebebasan. Dalam pasal 28 J ayat (2) berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang­undang dengan maksud semata­mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai­nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Jelas sekali di atas bagaiamana undang-undang ikut mengatur kecenderungan kebebasan dalam ranah publik. Disebutkan di situ kebebasan mesti berjalan sesuai dengan tuntunan keadilan dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Di akhir pasal itu disebutkan semua ini diupayakan di dalam masyarakat demokratis, dengan arti seluruh prasyarat demokrasi mesti menjadikan prinsip di atas sebagai syarat mutlaknya.

Apakah Pancasila kini masih menjadi sebuah dasar, cara pandang, atau ideologi hidup bernegara baik bagi rakyat maupun pejabat­pejabat negara, ataukah dia telah lama ditinggalkan? Apakah Pancasila mampu bertahan di tengah arus perkembangan zaman (globalisasi)? Apakah Pancasila yang sering dipersepsikan sebagai ideologi terbuka justru semakin kabur dan tenggelam di tengah pergaulan negara­negara asing yang berbeda ideologi?


ADA BANYAK kata demokrasi menjadi terma pilihan judul: 12 kata demokrasi, 5 berkaitan dengan negara dan ideologinya, dan sebagian besar menggunakatan kata politik dan hukum. Tapi, hanya ada lima nama orang yang dipakai sebagai judul tulisan; tiga di antaranya tokoh sejarah, satu di antara Gayus Tambunan, dan yang terakhir adalah Daeng Nape; sahabat sekaligus kawan diskusi penulis hingga sekarang.

Lebih banyaknya kata demokrasi dan politik dapat dipahami karena betapa besarnya perhatian penulis kepada sistem. Dengan kata lain, perhatian penulis lebih banyak mengarahkan penanya kepada masalah-masalah makro tinimbang soal-soal yang lebih merakyat. Memang ada beberapa tulisan yang sedikit banyak menyoroti kasus-kasus kerakyatan, semisal dalam tulisan yang dijadikan judul buku ini. Tapi tetap saja, perhatian yang besar terhadap masalah makro ini mengisyaratkan betapa penulis belum menukik ke dalam tema demokrasi orang-orang kecil.

Uniknya, dalam suatu tulisan yang berjudul Daeng Nape: Karakter dan Idelogi Gerakan, sosok merakyat itu direflesikannya kepada orang terdekatnya. Ini menandai bahwa ada minat kepada orang-orang dekat sebagai bagian kritis yang direflesikan penulis dalam tulisan-tulisannya. Walaupun tidak banyak, refleksi dalam tulisan ini mengangkat lokalitas sebagai bahan yang kadang terlupakan dalam membicarakan demokrasi.

Tiga tokoh lainnya adalah Soekarno, Bung Hatta dan Tan Malaka. Akan aneh memang ketika berbicara konsep kebangsaan tanpa menyebut ketiga nama ini. Kenapa demikian? gampang ditebak, tiga nama ini adalah puncak gunung es yang mendasari paham kebangsaan yang kerap ditemui dari aktivis kampus. Jadi jika ingin melacak bagaimana paham kebangsaan penulis yang terpantul di sana sini dari setiap tulisannya, maka akan keluar tiga nama ini. Sesuatu yang mesti bahkan.

Terakhir, buku ini layak dimiliki bagi mahasiswa. Hampir semua isinya adalah wacana yang masih relevan dibicarakan di dalam kampus. Bahkan, tidak berlebihan jika mengatakan buku ini menyerupai ensiklopedi tentang demokrasi dan kewargaan, sehingga cukup mewakili kegandrungan mahasiswa yang masih memiliki perhatian kepada negara ini.

Bukankah negeri ini sedang oleng? Tidak selamanya bermakna buruk. Negeri yang oleng menandai ia masih bergerak. Masih memiliki harapan menemukan secercah cahaya mentari di tengah langit yang sedang mendung.

Kisah Liyan Sawerigading Datang Dari Laut


Judul : Sawerigading Datang Dari Laut
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Diva Press
Edisi: Pertama,  Januari 2019
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-602-391-665-8

BUKU kumpulan  cerpen Faisal Oddang ini sebagian besar telah terlebih dahulu terbit di pelbagai media cetak nasional.  Paling lawas adalah Di Tubuh Tarra,  Dalam Rahim Pohon terbit di tahun 2014 –yang berhasil meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2014—dan yang paling baru tulisan yang terbit di Majalah MAJAS tahun 2018 berjudul Peluru Siapa yang Kami Temukan Ini?.

Selama 4 tahun itu, walaupun ditulis dalam waktu berbeda, cerita-cerita Fai, begitu ia akrab disapa, konsisten menaruh perhatian kepada tiga hal yang menjadi ciri khas cerita-ceritanya: sejarah di Sulawesi Selatan, tradisi lokal, dan kelompok marginal.

Mari kita lihat. Cerpen pertama: Mengapa Mereka Berdoa Kepada Pohon?. Bagi orang Sulawesi Selatan, terutama bagi pembaca yang berasal dari Sidenreng Rappang, akan mengira dari judulnya cerpen ini berlatar belakang masyarakat Tolotang yang melihat pohon sebagai benda fetis dan mengandung nilai religius. Padahal cerpen ini menyandarkan kisahnya kepada peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan 71 tahun lalu.

Di cerpen ini walaupun dibuka dan ditutup dengan pohon sebagai pusat ceritanya, Fai justru menyelipkan beberapa daerah di Makassar dan Pare-Pare, yang menjadi saksi sejarah kekejaman Belanda. Di lokasi-lokasi itu, ketika Belanda melakukan agresi militer di tangan Reymond Paul Pierre Westerling, bukan saja para pejuang Tanah Air yang mendapatkan perlakuan semena-mena, melainkan juga warga setempat yang dituduh melindungi pejuang dari incaran pihak sekutu.

Perhatian Fai terhadap peristiwa sejarah juga terekam dalam Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu. Fai, mengekspos perlakuan tidak adil negara dan gerilyawan kepada tokoh Isuri dan Uwak, penghayat kepercayaan lokal di Sulawesi Selatan. Dalam kaca mata negara dan pihak gerilyawan, Tolotang tidak layak disebut agama. Cara pandang monolitik ini membuat posisi masyarakat Tolotang senantiasa mendapatkan persekusi dari kedua kubu.

Keberpihakan terhadap kelompok marginal diangkat dalam Jangan Tanyakan Tentang Mereka yang Memotong Lidahku. Mengetengahkan pandangan sepihak negara tentang agama, di cerpen ini mengekspos satu kelompok khas yang ada di Sulawes Selatan: Bissu. 

Bissu merupakan gender ke-5 yang berposisi unik dalam kosmologi kebudayaan Sulawesi Selatan. Di masa lalu Bissu berperan penting secara mistis-religius di hari-hari besar perayaan Sulawesi Selatan. Dalam konteks kerajaan Sulawesi Selatan, kaum Bissu mampu mengakses tanda-tanda langit karena memiliki kemampuan berhubungan  dengan dunia metafisis.Namun ketika Indonesia merdekakaum Bissu alih-alih menjadi kaum marginal.

Dalam suatu wawancara di situs Jurnal Ruang, Faisal Oddang tidak terburu-buru memetakan kecenderungan lokalitas dan bukan lokalitas kepenulisan sastra. Ia mengungkapkan lokalitas dan bukan lokalitas hanya soal sudut pandang belaka. Sebagai pemuda yang tumbuh dalam masyarakat Bugis-Makassar, ia mengatakan hal ini yang menjadi sebab utama banyak unsur lokalitas dalam cerpen-cerpennya.

Kepiawaian Faisal Oddang mengolah bahan-bahan sejarah patut diacungi jempol. Bahkan, mitos Sawerigading dalam Sawerigading Datang dari Lautdiformulasikan sedemikian rupa menyerupai Rapunzel, dongeng klasik Jerman karangan Grimm Bersaudara.

Walaupun demikian, semua itu bukan tanpa kritik, terutama pada beberapa bagian cerita yang seolah-olah memaksakan sekelumit informasi sejarah biar terkesan informatif  agar pembaca paham betul dengan konteks ceritanya.

Contoh misalnya dalamPeluru Siapa yang Kami Temukan Ini?, terdapat penggalan dialog lumayan panjang untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah berkaitan dengan penangkapan pimpinan DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat.

Contoh lain misalnya lima cerpen berlatar sejarah yang memasukkan penanggalan berkaitan suatu peristiwa sejarah tanah air. Terlepas tanggal-tanggal itu memiliki arti historis atau tidak, seolah-olah setiap cerita mesti benar-benar memiliki basis historis yang pernah faktual.

Nampaknya, Faisal Oddang masih terjebak kepada harapan agar cerpennya terlihat benar-benar berlandaskan sejarah. Padahal jika mengingat cerpen adalah genre fiksi, hal-hal seperti ini bukan soal apakah ia benar-benar punya basis sejarah atau tidak. Semuanya sah dalam arti sejauh ia bukan karangan ilmiah.

--

Telah terbit di Harian Radar Selatan 1 April 2019