HALAMAN RUMAH. Keberadaan
pekarangan rumah dalam masyarakat pra industrial bukan saja menjadi ruang
antara yang menjembatani dua wilayah secara spasial yakni alam yang bersifat
natural dan rumah yang bersifat kultural, melainkan juga menjadi ruang sosial
dalam pengertiannya yang paling intim. Melalui pekarangan rumah, masyarakat
agraris menjadikan sebidang tanah di sekitar mukimnya sebagai medan terjadinya
proses sosial. Bukan saja itu, melalui halaman rumah, secara kebudayaan
pekarangan rumah dijadikan tempat dilaksanakannya praktik-praktik kultural yang
bersifat domestik maupun perayaan. Kita bisa ambil contoh ketika musim panen,
pekarangan rumah menjadi penting lantaran di situlah tempat dilaksanakannya
pekerjaan-pekerjaan pasca panen berupa aktivitas mengeringkan padi, menumbuk
padi, hingga menapis beras. Di musim kawin, pekarangan juga dipakai sebagai
tempat diberlangsungkannya ruang tatap muka di saat merayakan perkawinan.
Dengan konsep demikian, pekarangan rumah menjadi jembatan interaktif antara
ruang mukim yang bersifat pribadi dan ruang sosial yang bersifat kepublikan.
Bahkan di konteks masyarakat tertentu, pekarangan rumah malah menjadi ruang
preventif yang menciptakan rasa aman bagi anggota masyarakat yang membutuhkan.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar misalnya, menjadi tidak berlaku bagi masyarakat
untuk menghakimi orang yang diperkirakan bersalah jika yang bersangkutan
meminta perlindungan ketika memasuki pekarangan rumah seseorang. Ini dapat
terjadi karena pekarangan rumah adalah representasi kewenangan dan kekuasaan
dari pemilik rumah. Dengan kata lain, dalam hal ini pekarangan rumah adalah
juga bagian penting yang mencerminkan otoritas tertentu yang tidak bisa
diganggu gugat oleh pihak luar selain dari pada anggota keluarga itu sendiri.
Jika dilihat dari cara itu, mungkin ada korelasi kenapa setiap rumah-rumah
bangsawan Bugis-Makassar, atau keluarga-keluarga raja memiliki pekarangan yang
cukup luas. Itu disebabkan pekarangan yang luas bukan saja sebagai tanda atas
kekayaan, tapi juga memiliki fungsi untuk mengayomi siapa saja yang membutuhkan
perlindungan ketika berada di dalamnya. Di sinilah makna penting selain sebagai
tanda kebesaran, pekarangan tanah yang luas juga menandai besarnya rasa
pengayom dan perlindungan bagi yang memilikinya. Selain memiliki makna
kebudayaan dan sosial, fungsi pekarangan juga ditandai dari dimanfaatkannya
setiap bidang tanah untuk menunjang keberlangsungan ketersediaan bahan makanan.
Selain sawah, masyarakat agraris juga menyandarkan kebutuhan sandang makanannya
kepada pemeliharaan pekarangan dengan menanam jenis-jenis tumbuhan yang bisa
diperoleh dalam waktu yang singkat. Untuk hal ini dapat kita lihat kebiasaan
masyarakat agraris yang banyak menanam tanaman semisal tomat, cabai, mangga,
pisang, atau bahkan ubi kayu sebagai makanan penunjang selain padi. Semua itu
berlaku juga ketika pekarangan rumah dipakai sebagai apotek hidup dengan
memelihara tanaman obat-obatan. Kiwari, beberapa fungsi pekarangan semakin
minim ketika tanah menjadi komoditi. Pekarangan dengan begitu, dalam konteks
ekonomi ditandai hanya sebagai aset kekayaan yang sewaktu-waktu dapat
dijual-belikan. Berubahnya pekarangan menjadi aset ekonomi, dengan sendirinya
mengubah makna kebudayaan dan sosial yang semula dimiliki dari sebidang tanah.
Implikasi dari bergesernya pekarangan menjadi komoditas berlahan-lahan menjadi
sebab hilangnya tradisi dan kebiasaan masyarakat yang berlangsung di atasnya.
Dengan kata lain, minimnya lahan pekarangan mengancam juga ruang sosial masyarakat
menjadi hilang. Di sisi lain, bahkan implikasinya yang paling mengkhwatirkan,
adalah hilangnya sejarah suatu komunitas masyarakat seiring raibnya tanah itu
sendiri. Tidak bisa dimungkiri, setiap kejadian, peristiwa, interaksi, dan
kegiatan masyarakat hanya dapat berlangsung alami salah satunya jika terjadi
dalam pekarangan rumah-rumah warganya. Dalam proses itulah dengan sendirinya
pekarangan juga menyimpan dan mengabadikan situs-situs ingatan
warganya. Dari semua itu, itulah mengapa tanah bagi masyarakat agraris
bernilai istimewa. Dia bukan istimewa lantaran nilai ekonomisnya, melainkan
nilai sosial, budaya, dan sejarahnya. Sekarang, ketika setiap rumah kehilangan
sebidang tanahnya, maka di saat itulah dia mengalami keterputusan bukan saja
dengan alamnya sendiri, namun juga kebudayaannya, kehidupannya itu sendiri.
1001 Pertanyaan untuk Tutur Jiwa
Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf |
Rongga yang luas bisa berarti tidak
berisi sesuatu yang padat di dalamnya. Seperti lorong kereta api yang kosong
melompong agar gerbong kereta api mampu melewatinya. Lorong kereta api bukan
tempat yang diciptakan untuk pemberhentian kereta api, dia hanya jalan, tempat silih
berganti jalur laju kereta api. Dengan kata lain, tidak ada tempat tetap untuk
berhenti di dalam lorong. Kereta api diharuskan terus bergerak agar dapat
mengantar penumpangnya sampai ke tempat tujuan. Pengertian, dengan begitu,
tidak bisa ditemukan dalam lorong, di dalam rongga-nya.
Rongga yang luas hanya bermakna
tidak ada pengertian yang ajeg, yang fixed. Dalam Tutur Jiwa, bisa jadi semua
percakapan antara Sang Guru dan Han hanyalah lorong kosong tanpa maksud
apa-apa. Sang pembacalah gerbong kereta api-nya, dia bebas mengarahkan
percakapan-percakapan dalam Tutur Jiwa berdasarkan terminal-terminal peristiwa
yang dia jadikan tujuan kisahnya. Latar belakang kejadian dalam Tutur Jiwa hanyalah
kisah aksesoris. Kisah yang sebenarnya ada dalam setiap benak sang pembaca. Di situlah
sebenarnya arti rongga yang luas itu, mungkin.
Atau sebaliknya,”rongga yang luas” merupakan
kata lain dari tidak berdayanya Sulhan Yusuf ketika mengemas epigramnya ke
dalam satu frame utama dari mana dia melihat beragam kejadian yang dia tuliskan.
Dari seluruh kisah epigram yang dituliskannya, ini menandakan Sulhan Yusuf
ibarat ”disetir” beragam kejadian dengan sesekali mendomplengnya untuk
menyampaikan pesan, nasehat, dan petuah melalui percakapan yang dibuatnya.
Dugaan ini menjadi cukup beralasan apabila
mencermati banyaknya judul berulang yang bahkan ditulis di hari bersamaan atau di hari yang berturut-turut (Altruis, hal. 34 dan 35; Biji, hal. 51 dan 52; Buah, hal. 53 dan 54; Buku, hal. 54 dan 56; Cermin, hal. 62, 63 dan 64 dlsb). Dalam proses kreatif kepenulisan, judul yang berulang
juga menandai minimnya dimensi eksploratif dan kreatif itu sendiri sebagai satu
satuan dasar untuk menciptakan karya tulis.
Juga label ”literasi paragraf
tunggal” mesti digeledah karena secara sepihak dipakai Alwy Rachman untuk
menyebut gaya dan bentuk kepenulisan Sulhan Yusuf yang konon berbeda dari bentuk
dan gaya kepenulisan lainnya. Jika penggeledahan
dilakukan dengan sodoran pertanyaan, maka menjadi semisal: betulkah bentuk
kepenulisan Sulhan Yusuf dalam Tutur Jiwa-nya adalah bentuk kepenulisan yang
baru? Apakah memang betul-betul baru, dengan kata lain tidakkah ada kesamaan
dengan bentuk kepenulisan sastra lainnya selama ini? Jika memang tidak ada, mengapa
mesti disebut ”literasi paragraf tunggal”? Apakah ada pertimbangan khusus
dengan nama yang diberikan? Jika memangg ada, apakah pertimbanganya?
Pertanyaan di atas dapat juga
diperpanjang menjadi: apakah penyematan ”literasi paragraf tunggal” terhadap
Tutur Jiwa, hanya dipakai akibat bertolak dari ”prinsip perbedaan” semata? Artinya,
itu hanya sekadar identitas pembeda saja dengan bentuk kepenulisan yang pernah
ada selama ini, selain tanpa ada maksud apa-apa? Jika memang penyematan itu didasarkan atas
suatu prinsip “yang esensial”, apa indikatornya? Dengan apa kita mengenalnya?
Akan menjadi lebih panjang jika
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dilengkapi dengan beberapa pertanyaan baru
seperti: kepada apa literasi paragraf tunggal sebenarnya digolongkan, kepada
perilaku tulis Sulhan Yusuf atau teks-nya itu sendiri? Pertanyaan ini
didasarkan dari perbedaan antara perilaku tulis Sulhan yang memproduksi teksnya
melalui bentuk paragraf tunggal atau dengan isi teksnya itu sendiri yang
mengisahkan kejadian-kejadian tunggal di dalamnya?
Eksposisi terhadap gaya dan bentuk
tulisan Sulhan Yusuf kali ini mesti diangkat ke atas meja bedah yang mampu
menerangkan apa maksud dari ”literasi paragraf tunggal” itu, yang disebut Alwy
Rachman memberikan “rongga yang luas”? Suatu pelabelan yang belakangan membuat beberapa
pihak bertanya-tanya.
Dua pokok terakhir, berkaitan
dengan metode percakapan yang dipakai penulis ketika menghidupkan karakter Sang
Guru. Pertama apa arti dari percakapan yang disebutkan Alwy Rachman dalam
Pracita-nya? Meskipun sebenarnya tidak ada satu pun percakapan terbangun antara
Sang Guru dengan Han dalam Tutur Jiwa. Akan riskan jika mau menyebut percakapan
karena seluruh nasehat atau petuah Sang Guru ditanggapi tanpa ada percakapan
balik dari Han! Bukankah percakapan mensyaratkan komunikasi timbal-balik? Suatu
perbincangan yang disebut seimbang? Dalam hal ini, pasif-nya Han menerima ”segala”
masukan dari Sang Guru juga dapat dipersoalkan!
Kedua, ini hanya mempertegas dugaan
eike berkaitan dengan ”pengangkatan” Han menjadi Guru Han oleh Sang Guru (hal. 209).
Penisbahan Han menjadi Guru Han nampak aneh mengingat Sang Guru dan Han sebagai
tokoh fiktif merupakan dua orang yang sama, yakni sang penulis itu sendiri. Walaupun
itu terjadi dalam dunia teks Tutur Jiwa, gelagat berbahaya akan terasa jika itu
terjadi dalam realita sehari-hari: mirip seseorang yang menasbihkan dirinya
sendiri sebagai penguasa, dengan cara memilih dirinya sendiri? Bukankah itu terasa
janggal?
Ektopik.
Pria
itu terkulai lemah. Selang kecil terpasang di hidungnya seperti ular pipih yang
masuk merayap ke sarangnya. Dua pergelangan tangannya tak bergerak. Jarum infus
menancap di urat venanya. Ukuran kantungnya lebih besar dari kantung infus
biasanya. Wajahnya pias. Kulitnya yang cokelat legam tak bisa menyembunyikan
mukanya yang pucat.
Di sekitar tubuhnya dua
tiang dipasang menyangga kantung darah yang berwarna merah gelap. Sementara
monitor EKG berbunyi dengan irama yang konstan. Penanda jantungnya berdetak
normal. Juga pernapasannya. Walaupun begitu, sesekali pria itu menengok resah
garis-garik hijau yang bergerak berubah naik turun.
Pria itu semenjak kemarin
baru saja menjalani operasi akibat lambungnya yang pecah.
“Sebelumnya dia menolak dipasangi selang dari mulut menuju lambungnya,” ungkap istrinya yang cemas.
Istri pria itu merujuk
kepada prosedur yang biasa disebut sebagai nasogastrik tube, pemasangan selang
berisi cairan bagi pasien yang mengalami muntah-muntah tak berkesudahan. Gejala
yang sering kali ditemui bagi orang-orang maag akut atau lambung yang sudah
boyak.
“Setahun lalu dia sempat
beradu fisik dengan keluarga sendiri akibat harta warisan. Karena itu ia
dipenjara selama 12 tahun, dia membunuh kemenakannya sendiri.” Beber kakak sang
pasien.
Caranya berbicara, dengan
bahasa bugis yang khas mengingatkan eike kepada kabupaten yang bersebelahan
langsung dengan Bulukumba.
“Selama setahun di
penjara dia terserang maag akut,” cerita sang kakak melanjutkan.
“Tapi, memang sebelumnya
lambungnya bermasalah, barangkali selama di penjara makannya tidak teratur.”
Dia berucap lagi.
Sampai di sini eike
tiba-tiba teringat istri eike yang terbaring menahan sakit pasca operasi. Dia
terkulai lemah seperti baru saja menghadapi kejadian dahsyat.
Tapi memang dia baru saja
melewati peristiwa yang benar-benar kritis. Dengan kata lain peristiwa yang
betul-betul tak biasa. Peristiwa yang memang di luar dugaan. Masa-masa yang
sulit diucapkan.Perutnya baru saja dibelah menyerupai prosedur cesar.
Sekarang, kadar
hemoglobinnya belum normal. Itu menyebabkan parasnya putih pucat. Bibirnya
tidak semerah biasanya. Matanya memejam.
Dia hanya terbaring
dipenuhi alat-alat bantu pernapasan, infus, dan sekantung darah yang tergantung
di sampingnya. Dua lembar sarung menutupi tubuhnya yang dingin.
Monitor elektro kardio
grafi berbunyi menunjukkan garis-garis kritis tubuhnya.
Di ruang ICU itu, istri
eike hanya berdua dengan pria yang lambungnya sobek tadi.
Selebihnya, berjejer
deretan panjang tempat tidur kosong. Dan kesunyian.
***
Minggu pagi eike segera
mempercepat laju motor sebelum lepas subuh meninggalkan rumah. Di rumah, Lola,
istri eike, sebelumnya mengabari perutnya yang sakit.
Belakangan, disela-sela
aktivitasnya dia sering kali mengeluhkan sakit di bagian perutnya. Maag,
eike menduganya.
Karena berbeda dari dua
kali keguguran sebelumnya, kali ini tidak ada fleg atau darah yang mengalir
dari rahimnya. Janinnya yang sudah 8 minggu, sepertinya baik-baik saja.
Setiba di rumah, eike
melihat ia mengerang kesakitan. Tangan kirinya tergeletak di atas perutnya.
Matanya memejam. Kakinya ia angkat dengan dinding sebagai penahannya.
Sepertinya dia baru saja
berganti pakaian. Pagi itu dia berencana menghadiri pelatihan yang jauh-jauh
hari sudah ia persiapkan. Tapi, dia belum sempat mengenakan jilbabnya.
Eike menduga, sebelum
mengenakkan jilbab sakit itu datang lagi menyerang perutnya. Kali ini disertai
dadanya yang ia rasakan seperti dipukul seseorang.
Maag. Itu gejala maag.
Eike langsung teringat beberapa tahun silam ketika ia tergeletak hampir pingsan
ketika masih kuliah. Kala itu maagnya kambuh sehingga harus segera dibawa ke rumah
sakit. Pasca kejadian itu dia dirawat beberapa hari di rumah temannya
yang jauh dari tempat kosnya.
Tak lama melihatnya
terbaring memendam perih perutnya, eike keluar berkendara secepatnya
membelikannya biskuit serta minuman ringan sari kacang hijau.
Biskuit konon ampuh
meredakan penderita maag yang tiba-tiba diserang asam lambung.
Kacang hijau untuk memberikan asupan gizi yang segera dibutuhkan tubuh.
Selang beberapa saat
setelah meneguk minumannya, dia ingin muntah. Kuat dugaan ini sepertinya memang
maag.
"Perutku sepertinya
tambah membesar," tiba-tiba dia berucap.
"Kan sedang
mengandung," eike memberikan jawaban seadanya, agar ia tidak berpikir
macam-macam.
"Tapi, kok sakit
kalau ditekan?"
"Mungkin maagnya
memang kambuh,"
"Sebelah
kanan?" Istri eike menimpali dengan kalimat tanya.
Istri eike, memang sering
kali banyak bertanya tentang hal-hal baru yang sering ia temui. Termasuk gejala
tubuhnya yang sering ia anggap ada perubahan.
Pernah suatu kali, eike
dibuat kagok atas pertanyaan-pertanyaan praktisnya soal agama. Maklum, eike
berbeda pandangan keagamaan dengannya. Kalau sudah begitu, untuk meminimalisir
kekalahan, eike hanya bilang, baiknya baca saja buku, lebih praktis.
"Malas, justru tugas Kakak untuk membacanya. Nanti setelah itu baru
dijelaskan kepada saya". Begitu selalu kalimat ampuhnya.
Sepengetahuan eike,
penderita maag sering mengeluhkan lambungnya yang kerap perih. Bahkan ada yang
sampai sakit bukan main. Lambung berada di sebelah kiri. Sumber sakit di perut
Lola berada di sebelah kanan. Eike mulai curiga.
Kalau dalam mazhab
politik, kata kanan diidentikkan dengan golongan yang pro pemerintah. Dalam
politik, yang kanan itu memuakkan, konservatif dan, menjengkelkan untuk diajak
melakukan perubahan.
Walaupun ini tubuh
perut istri eike, memang kanan kali ini menjengkelkan. Ditambah lagi
mengkhawatirkan.
Tidak lama Lola, muntah
kedua kalinya. Eike melihat air muntahnya berwarna cokelat menyerupai air teh.
Sepertinya zat kacang hijau barusan dilemparkan keluar dari lambungnya.
Ia mengerang.
Tubuhnya seketika tidak
bisa bergerak luwes. Perutnya mengejang.
Parasnya mengeluarkan
keringat. Dan, tanpa ditanya seperti sebelumnya, tiba-tiba dia meminta untuk
segera dibawa ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tak tertahankan.
“Sakit.”
Segera saja eike memesan
grab. Mustahil bagi eike membawanya dengan motor mengingat kondisinya yang
sulit bergerak. Setiap guncangan akan membuat perutnya tambah sakit. Tak lama
setelah banyak yang menolak, seorang pria menerima bookingan dengan melayangkan
pesan terkait alamat rumah.
Semenjak dari keluar dari
kamar, Lola nampak masih bisa menahan-nahan rasa sakitnya. Dia berusaha dengan
hati-hati menghindari otot perutnya banyak bergerak yang sewaktu-waktu sakit
datang menusuk-nusuk. Dari kamar kos kami di lantai dua dituruninya dengan
pelan dengan kaki kanan terlebih dahulu di setiap anak tangga.
Tak lama berselang dengan
wajah yang memelas kami sudah berada di atas mobil. Mobil diarahkan segera
menuju rumah sakit Haji. Tak jauh dari mukim kami. Dengan menempuh waktu selama
kurang lebih dua puluh menit kami sudah tiba di IGD rumah sakit. Kami berdua
segera masuk dan seorang suster menghampiri. Kami pun dibawa ke sebuah ranjang
yang dipisahkan tirai-tirai plastik berwarna hijau peroz.
Agak lama kami dibiarkan
sendiri dengan suster-suster yang lalu lalang entah mengurus apa. Eike baru
saja menaruh tas di sebelah tempat tidur yang kosong ketika seorang suster
datang untuk meminta eike mendaftar di bagian administrasi. Selang kembali
mendaftarkan istri eike, Lola baru saja dihampiri seorang suster yang mengecek
kesehatan dengan beberapa pertanyaan.
Semenjak ditanyai keluhan
yang diderita istri eike, keterangan belum jelas terkait sakit yang
dideritanya. Berdasarkan informasi dari seorang bapak yang sedari tadi
menulis-nulis beberapa kalimat di atas kertas dari IGD, maag dan usus buntu
adalah penyakit yang diduga dialami Lola. Dia hanya duduk di balik mejanya
sembari melihat gejala-gejala yang ditanyakannya sebelumnya. Tapi, bagaimana
dengan kandungan istri eike?
Setelah diketahui Lola
sedang mengandung, tak lama kami dibawa oleh dua orang suster ke ruangan yang
belakangan eike tahu tempat khusus bagi ibu-ibu yang akan bersalin. Lola
ditempatkan di sebuah ruangan setelah ia sebelumnya bersusah payah memekam
sakit selama perjalanan di atas kursi roda. Sesekali ia mengeluarkan
suara seperti berteriak.
Segera ia dibawa dan
dibaringkan di atas tempat tidur. Tapi, tubuhnya menolak. Goyang sedikit saja
perutnya merasakan sakit. Ia berusaha untuk kedua kalinya. Masih saja tidak
bisa. Lalu ia mengubah gaya duduknya untuk kemudian berusaha rebahan, namun
tetap saja tak bisa. Wajahnya berkeringat. Keningnya dipenuhi titik-titik air
yang mulai menetes tanda ia menahan sakit yang sangat.
Suster-suster yang melihat
Lola bersusah payah memegang perutnya berusaha memeriksa tubuhnya. Sambil duduk
istri eike menjawab setiap pertanyaan dengan bicara seadanya. Cara itu
dilakukan agar ia bisa mengambil napas agar perutnya bisa bertahan menahan
beban sakitnya. Dari belakang datang dokter muda yang eike duga bukan dokter
yang sebenarnya. Dia menanyai keluhan istri eike dengan perhatian yang khas
dokter muda. Tetap saja Lola bicara secukupnya. Keringatnya semakin banyak.
Setelah dianalisis dengan
cara memegang dan menekan di beberapa bagian perut, dan Lola yang
merasakan sakit di bagian tertentu, dokter muda itu menampakkan raut muka yang
berubah. Mimiknya seolah menemukan sesuatu yang mengganjal.
Sontak ruangan semakin
gaduh dengan bertambahnya suster-suster yang berdatangan. Mereka sesekali
bergantian datang melihat istri eike yang duduk tak bergerak bagai patung.
Nampaknya ada hal yang baru yang dimiliki tubuh Lola yang mesti mereka ketahui.
Seketika istri eike jadi objek.
Sementara di luar
ruangan, eike memerhatikan dokter muda tadi berkonsultasi via telepon dengan
suara entah milik siapa. Setelah mendengar pembicaraannya dengan seksama, eike
duga kalau yang berbicara dengannya adalah seorang dokter ahli kandungan.
Nampaknya dokter muda tadi sedang melaporkan temuan-temuannya dari tubuh Lola
kepada sang dokter .
Pelan-pelan eike
menenangkan diri berusaha menangkap setiap gelagat perawat yang masuk melihat
istri eike. Setiap mereka masuk seperti ada yang hendak mereka sembunyikan.
Tapi entah apa. Eike mulai merasa was-was.
Lola yang dari tadi
memegang perutnya hanya bisa pasrah mengeluhkan ulu hatinya. Entah dari mana ia
tahu bahwa ulu hatinya yang sebenarnya sakit. Tapi, begitu yang ia sampaikan
ketika ada perawat baru yang masuk menanyakan lagi keluhannya.
Sampai di sini waktu
terus berjalan tanpa kepastian bahwa penyakit apa yang sebenarnya sedang
mendera istri eike.
***
Air mukanya masih belum
berubah. Masih sepucat setelah dari ruang bersalin. Matanya hanya menatap
kosong menghadap ke atas. Bibirnya sudah hampir berwarna putih. Walaupun begitu
kesadarannya masih tetap terjaga. Eike hanya bisa menggenggam tangannya berusaha
memberikan kekuatan kepada dirinya yang terlentang di atas meja roda yang
membawanya ke suatu ruangan.
Setelah menemani Lola
sampai ke ruang tungggu untuk dibersihkan. Eike kembali mengingatkan dan
membisikkan dekat di telinganya agar ia banyak-banyak bersalawat. Segera eike
menyebutkan nama seorang perempuan suci agar ia tetap mengirimkan salawat
kepadanya.
Selang beberapa meter,
eike ditinggalkan sendirian setelah dia dibawa masuk menuju meja operasi.
***
Beberapa waktu sebelum
itu, dalam laporan awal dari IGD disebutkan istri eike mengalami APP, istilah
medis yang menyebut pecahnya usus buntu. Tapi, keterangan yang eike berikan
kemungkinannya Lola menderita maag akut mengingat kejadian beberapa tahun
sebelumnya.
Simpang siur masih
terjadi sampai Lola akan dipindahkan kembali ke ruangan yang lain karena ia
menempati bagian pemeriksaan yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan.
Kemungkinan besarnya ia akan dipindahkan ke ruang bedah setelah saya mendengar
bahwa kemungkinan ususnya memang pecah.
Saat ia akan dibawa
kembali ke ruangan lainnya, Lola sulit berjalan. Kursi roda yang disediakan
buatnya pun tak sanggup ia duduki. Ia seketika berteriak. Perutnya goyang.
Suaranya membuat semua perawat merasa merana. Hingga dari ujung pintu seorang perawat
yang lebih tua melihat dan merasa curiga atas raut muka istri eike yang drastis
menjadi semakin pucat.
“Coba periksa kembali,
ini mungkin bukan APP?”, sembari ia meraba-raba tubuh istri eike yang seketika
dingin. Mukanya nampak keheranan. Sementara Mata istri eike memandang sesuatu
seperti kehilangan daya. Melihat sorot matanya yang berbeda, perasaan tak enak
seketika menggerayangi tubuh eike.
“Ini nampaknya karena
kandungannya, coba kembalikan ke tempat tidur. Ini pasien kita!”
Eike mulai merasakan hal
yang tak enak.
“Tapi keterangannya
tertulis APP!”
“Coba periksa lagi,
sepertinya ini di luar kandungan”
Mendengar kata yang
terakhir itu pikiran eike semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan kandungannya?
Di meja lain seorang
perempuan dokter muda mengecek kembali data pasien yang diberikan dari ruang
IGD. Tertulis jelas APP di kolom penyakit yang diderita. Di samping kanan
kirinya dua orang perawat ikut memerhatikan kertas keterangan yang tertulis
nama istri eike di salah satu kolomnya. Mereka menampakkan keheranan, antara
keterangan yang tertera di atas kertas dan kemungkinan baru yang disebutkan
sang perawat senior barusan.
Demi memastikan kembali
keterangan yang diterakan dari IGD, sang dokter muda cepat-cepat menghubungi
seorang dokter ahli. Dia mengabarkan tentang kemungkinan baru yang
diinformasikan sang perawat. Pernah sebelumnya sang perawat menemukan gejala
yang sama pada pasien yang dia sebut hamil di luar kandungan. Gejala yang sama
ia lihat dialami Lola.
Sementara itu
sahabat-sahabat istri eike datang satu persatu. Mereka adalah orang pertama
yang Lola kabari via grup whatsapp sebelumnya ketika dia masuk di IGD. Mereka
duduk harap-harap cemas sembari menunggu kabar terbaru dari kondisi Lola.
Tidak lama berselang,
seorang perempuan berbaju training datang dan langsung masuk tanpa babibu.
Nampaknya ia baru saja pulang dari acara olah raga kelompok entah di mana.
Melihat kedatangannya, seorang suster mengambil mesin USG yang diambil entah
dari mana. Tidak lama seluruh perawat dan sang dokter muda berdiri membentuk
setengah lingkaran di belakang sang perempuan. Mata mereka tertuju ke layar USG
setelah sang dokter mengecek keluhan istri eike dengan beberapa pertanyaan.
Tidak lama sang dokter mengambil dan menggerakkan gagang alat pindai di perut
Lola.
“Coba lihat,” Ia
memberikan arahan kepada seluruh orang yang berada di belakangnya. Ia
menggerak-gerakkan dari kanan ke kiri alat USG di perut Lola, seperti mencari
sesuatu.
“Ini sudah pendarahan.”
Ia berkata sambil menunjukkan suatu gambar yang eike tak mengerti. Gambar di
layar mengingatkan eike kepada pola-pola zat yang dibesarkan beratus-ratus kali
melalui mikroskop.
“Perhatikan ini?” ia
menggerakkan gagang USG. “Itu cairan darah semua”.
Semua orang di
belakangnya serius memerhatikan sang dokter.
“Ini hamil di luar
kandungan.”
Istri eike akhirnya
positif dinyatakan mengalami kehamilan di luar kandungan.
Sekira tidak sampai satu
menit ketika dokter Fatmawati memberikan “kuliah singkat” kepada
perawat-perawat yang mengelilinginya, ia berkata: “Tolong siapkan ya, kita
operasi sekitar satu setengah jam ke depan. Bisa ya!”.
Tiba-tiba ada yang lekas
hilang tercerabut dari tubuh eike setelah mendengar langung ucapan sang dokter.
Di pintu tempat eike berdiri, eike melihat seketika para perawat yang kembali
lalu lalang menyiapkan berkas-berkas untuk operasi. Ya, tidak lama lagi Lola
akan segera dioperasi. Sungguh di luar dugaan.
Eike segera menenangkan
diri, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Dan berusaha mengingat
siapa-siapa yang segera harus eike informasikan berkaitan dengan keputusan
dokter yang tiba-tiba itu.
“Sebaiknya Bapak
cepat-cepat menghubungi siapa saja keluarga Bapak,” ucap perawat tempat eike
memberikan tanda-tangan sebagai persetujuan operasi.
Operasi tidak bisa
ditunda-tunda lagi. Dan itu satu-satunya jalan!
“Dan mohonkan doa,” ucap
perawat menambahi.
Eike tertegun sejenak.
Ada yang berubah seketika dari tubuh eike.
***
Baru saja eike
meninggalkan ruangan operasi yang tertutup bagi siapa pun kecuali dokter dan
perawat-perawatnya. Sahabat-sahabat dari istri eike berada di luar menunggu
pada kursi yang tersedia seadanya. Sementara teman-teman dekat eike satu
persatu mencari tempat rebahan juga untuk menunggu. Istri eike beberapa menit
yang lalu baru saja masuk setelah tubuhnya dibersihkan. Cincin dan
anting-atingnya juga dilepas. Praktis ia hanya menggunakan baju khusus bagi
orang-orang yang akan menjalani operasi.
Pintu ruang operasi sudah
ditutup rapat. Terakhir sebelum meninggalkan, dokter Fatmawati berpesan agar
eike memanjatkan doa. Dia juga mengatakan operasi tidak akan lama dari satu
jam. Dia pun akhirnya masuk. Sepenuhnya istri eike, eike pasrahkan kepada Sang
Maha Penentu.
Sekarang istri eike
sedang bertarung. Eike sendiri, berusaha menguat-kuatkan diri, menuju mushola
untuk bersujud seikhlas-ikhlasnya.
FASIS. Tak ada pendidikan yang baik tanpa melibatkan dialog di dalamnya. Kira-kira
300-400 tahun silam sebelum masehi, dialog sudah didudukkan sebagai bagian
penting pendidikan. Konon di masa itu, Aristoteles, senang berjalan berkeliling
mengitari murid-muridnya sambil bercakap-cakap. Di akademia yang dia bangun
itu, Aristoteles yang berjalan ibarat putaran jam itu kelak menginspirasi suatu
pendekatan yang khas dalam wacana ilmu filsafat. Akademianya, tempat dia mengajar, dalam sejarah, menjadi cikal
bakal berdirinya universitas-universitas. Juga, sebelum Aristoteles, Socrates malah memakai dialog sebagai
metode mengungkap pemahaman. Sampai-sampai karena metodenya ia malah disebut
sebagai sang bidan. Ibarat "dukun beranak" Socrates hanya bertugas
membantu orang-orang melahirkan sendiri pemahamannya. Pengetahuan hanya bisa dilahirkan dari rahim orang-orang
bersangkutan. Tidak ada anak yang lahir di luar dari rahim ibunya. Begitu
kira-kira maksud dari metode bidan Socrates. Itulah sebabnya pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang
lahir dari rahim pikiran sendiri. Bukan dari rahim siapa-siapa. Bahkan dalam pendidikan, dialog adalah kunci. Tapi, bagaimana mungkin menempatkan pendidikan yang ideal dalam
konteks masyarakat seperti sekarang, sementara sekolah, atau bahkan intitusi
pendidikan tinggi, hanyalah ruang publik yang minim dialog? Institusi yang
lebih tepat disebut rezim fasis! Bukankah dialog mengandaikan hubungan yang setara? Suatu relasi
yang disebut sepadan, yang memungkinkan pentingnya pertukaran pemahaman di
dalamnya? Tapi fasis tetaplah fasis! Suatu mekanisme pemerintahan yang bukan
saja berlaku dalam sistem politik, tapi juga dalam pendidikan. Dengan apik, banyak kritikus pendidikan yang mendakukan bahwa
dunia pendidikan adalah refleksi masyarakatnya. Era sekarang, ketika
kapitalisme mutakhir menjadi momok tak terhindarkan, pendidikan yang memiliki
tujuan yang luhur itu pada akhirnya didudukkan berdasarkan skema masyarakat
kapitalistik. Menurut pendakuan Jean Anyon, seorang sosiolog pendidikan marxis,
relasi pengetahuan yang berlaku dalam institusi pendidikan, hanyalah mereplika
sistem transaksional jual beli masyarakat kapitalistik. Dengan kata lain,
proses sosial, hubungan sosial, dan kedudukan sosial dalam dunia pendidikan,
merupakan bentuk lain dari sistem kelas masyarakat yang mensubordinasi kelas
pekerja melalui ilmu pengetahuan. Dari penelitiannya juga, Anyon menyatakan institusi-intitusi
pendidikan selama ini banyak menggunakan logika pasar di dalam mengelola
intitusinya. Dimulai dari kebijakan pengembangan intitusi, sampai kepada
pengelolahan kurikulum dan praktek belajar mengajar, didasarkan kepada akumulasi
kapital dengan cara membentuk sistem stratifikasi kelas masyarakat berdasarkan
satuan-satuan dan tingkatan-tingkatan kemampuan ekonomi. Itulah mengapa sampai hari ini, terutama dalam institusi
pendidikan tinggi banyak sekat-sekat yang membagi secara kategoris satuan
belajar berdasarkan tingkat ekonominya. Kata Ivan Illich, proses pendidikan yang dikonfigurasikan atas
sistem ekonomi, hanya menghasilkan out put yang tak bermutu. Di saat itulah ilmu pengetahuan menjadi komoditi. Seperti
benda-benda yang terpampang dalam etalase pertokoan. Atau bukan saja ibarat sistem jual beli, pengetahuan yang
sejatinya bersifat dinamis dan berkembang hanya menjadi tanah kering yang mudah
kaku akibat fasisnya sistem belajar mengajar selama di kelas-kelas. Kenapa bisa disebut fasis? Sederhana saja! Sejauh di dalam
praktik-praktik berpengetahuan, nilai dan sumber-sumber pemahaman hanya
diasalkan melalui satu sumber. Dan, ini ciri yang kedua, ketika tidak ada
satupun ruang terbuka untuk menyoal sesuatu, atau bahkan memungkinkan
terjadinya perbedaan pendapat. Proses diseminasi yang demikian, malah mengartikan ilmu
pengetahuan ibarat dogma. Kendati dikatakan sebagai proses transformasi, bentuk
dan isi pengetahuan dalam situasi demikian hanya didudukkan dalam pengertian yang
statis dan fixed. Ilmu akhirnya menjadi barang baku yang sama ketika diajarkan
dan sama ketika diungkapkan kembali. Ada istilah yang khas dari Pierre Bourdieu, filsuf cum sosiolog
pendidikan Perancis: homo academicus. Dengan sinis, Bourdieu merumuskan istilah
ini untuk menunjukkan betapa pragmatisnya motivasi dunia intelektual yang
mengejar kedudukan akademis dengan meninggalkan hasrat pencarian ilmu
pengetahuan. Banyak di antaranya para ilmuwan dalam institusi pendidikan
tinggi, hanya mementingkan gelar akademik yang mentereng tanpa benar-benar
mengindahkan aspek intelektual dari karir akademiknya. Bahkan, gelar akademik
hanya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu, semisal memperdalam dan
memperluas gengsi kekuasaan. Dengan kata lain, aristokrasi akademis menjadi satu-satunya tujuan
seorang ilmuwan untuk meningkatkan kekuasaan simboliknya dalam stratifikasi
ilmu pengetahuan dan masyarakat ilmiah. Dari pengamatan yang lain, Michel Foucault lebih surut ke belakang
melihat kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Menurutnya, pengetahuan selalu
menyatakan diskursusnya dalam rangka mempertahankan posisi dominan kaum
tertentu. Atau sebaliknya, kekuasaan seringkali menciptakan diskursus
pengetahuannya dengan tujuan menopang secara ideologis kekuasaan itu sendiri. Pengetahuan yang dikendalikan melalui normatifitas, dengan
sendirinya akan menciptakan pendisiplinan dan pengontrolan tentang apa yang
layak dipikirkan, diwacanakan, dan dilakukan. Dalam situasi demikianlah, dalam
konteks pendidikan, subjek terdidik mengalami pelucutan dari kebebasannya
sendiri. Pengetahuan dengan begitu, dengan kata lain hanyalah kata ganti
dari kekuasaan. Kembali ke soal dialog. Apabila relasi pengetahuan diartikan
secara sepihak, maka tidak mungkin ada dialog. Mustahil ruang diskursif sebagai
wahana pertemuan gagasan dimungkinkan. Dialog hanya mungkin jika ada posisi yang dibuat setara, ada
titik-titik yang dibuat seimbang, dan hilangnya sekat-sekat yang menggambarkan
keseimbangan antara posisi dominan dan posisi yang subordinat. Jika tidak,
seperti kata Foucault, hubungan yang berpotensi menjadi relasi hirarkis akan
menyubordinasi yang lain dengan kekuasaanya. Kalau begitu, fasis tetaplah fasis, pendidikan sekalipun!
BURHANUDDIN. Faktanya belum bisa
entas dalam benak anaknya, Burhanuddin yang saban hari memandikannya dengan
merek sabun yang turun temurun dipakai hingga zaman sekarang. Di atas susun
bilah kayu yang mirip batang kelapa, tiga empat drum penampungan air, dan
dinding kamar mandi dibuat seadanya dari triplek dan bekas karpet plastik. Di
bawahnya saluran air yang anaknya yakin digali tangan Burhanuddin kala masih
muda. Di ujungnya ada galian lubang selebar hampir dua meter, yang dijadikan
saluran akhir pembuangan air. Airnya berwarna cokelat. Kadang di situ tempat
Burhanuddin mencelup mati tikus yang masuk perangkap besi yang dibuatnya
sendiri. Faktanya, peristiwa itu memang masih terekam baik. Saban pagi geliat
tangan Burhanuddin yang meliuk-liuk di tubuh anaknya. Dengan sabun yang anaknya
hafal betul harumnya. Air yang dingin, dan rengekan anaknya yang menolak
dimandikan. Burhanuddin seorang yang sabar. Burhanuddin memiliki kebiasaan
berkumpul dengan teman-teman kerjanya di kala malam tiba. Entah dari mana
datangnya pria-pria berkulit legam itu. Tapi, yang anaknya ingat, mereka senang
mendatangi rumah Burhanuddin demi bermain kartu remi atau domino. Meja-meja
berkaki besi sering kali mereka pakai dengan puntung-puntung rokok yang semakin
malam semakin bertambah. Burhanuddin kala itu perokok yang kuat. Suatu waktu,
anaknya dan Fajar, adiknya, senang mengumpulkan puntung-puntung rokok yang
ditinggal semalaman ke dalam kaleng bekas Blueband. Hampir penuh bahkan. Siangnya,
setelah pulang sekolah, mereka berusaha membakarnya, mengisapnya di dalam kamar
mandi. Tak dinyana Burhanuddin mengetahuinya. Asapnya bergentayangan di atas
kamar mandi yang memang tak beratap. Hari itu, Burhanuddin murka. Kedua anaknya
digantung di terali jendela. Hari yang naas, belaka. Kebiasaan itu tidak
dilanjutkan anaknya, walaupun nanti pergaulan anaknya mengubahnya ketika
sekolah menengah pertama. Burhanuddin dianugerahi tangan yang terampil. Hampir
semua mainan anaknya dia yang membuatnya, termasuk membuat pesawat terbang yang
sepanjang hampir selengan anaknya sekarang. Bobotnya lumayan berat. Anaknya
sering kali menjadikannya sebagai kendaraan layaknya mobil truk. Tangan
Burhanuddin juga diberkahi semacam “mukjizat” tertentu. Belakangan anaknya
menyadari, bakat menggambarnya diwarisi dari tangan “seni” Burhanuddin.
Kesabaran Burhanuddin dilihat anaknya kala ia pergi mengirimkan hasil
menggambar kepada majalah Bobo melalui kantor Pos. Mungkin Burhanuddin merasai
gambar anaknya tak bakalan menang, tapi tetap saja ia pergi mengirimkannya
dengan motor bututnya berwarna merah. Di atas motor butut Suzuki-nyalah juga
yang kelak dipakainya mengebut ketika membawa anaknya ke rumah sakit lantaran
luka akibat terjatuh. Kini luka itu masih membekas di kaki anaknya dengan tujuh
jahitan. Dulu kakak anaknya sering kali mengejek luka itu mirip lintah kering
yang melekat kemana anaknya pergi. Sampai sekarang suara Burhanuddin masih
selantang seperti saat mengimami salat magrib berjamaah. Di waktu ia membangun
rumah baru, kamar Ima, anaknya yang tertua, yang ditinggal setelah dikirim ke
pesantren sengaja dijadikan mushola. Di tempat itu pula, kelak Fajar, anak
bungsunya tercium bau tembakau oleh istrinya. Burhanuddin kembali murka,
apalagi istrinya. Fajar sendirian dihukum walaupun kenyataannya di sorenya
Fajar bersama saudara laki-lakinya sama-sama merokok. Fajar baik ketika itu,
dia menanggung kesalahan saudaranya tanpa melapornya kepada Burhanuddin. Mulai
saat itu daun jeruk menjadi penting. Tanaman jeruk yang ditanam di halaman
rumah mereka akhirnya bermanfaat. Sehabis menghisap rokok, daun jeruk mereka
kunyah demi menghilangkan baunya. Sampai sekarang Fajar sang adik masih
merokok. Tapi, tidak lagi mengunyah daun jeruk setelahnya. Entah tahun berapa
Burhanuddin memutuskan berhenti merokok. Yang anaknya ingat, pembungkus
rokoknya sering dikoleksinya seiring disusunnya berjejer di dinding dekat
jendela. Yang pasti istrinya protes lantaran kebiasaan anehnya. Mungkin protes
istrinya juga sehingga Burhanuddin berhenti merokok. Yang pasti tubuh
Burhanuddin bertambah gemuk pasca memutuskan tidak merokok lagi. Makanya
anaknya sering membandingkan, mengapa tubuhnya masih seperti tubuh Bapaknya
yang ramping setelah tidak merokok lagi. Walaupun, anaknya sebenarnya khawatir
tubuhnya bertambah besar. Tubuh Burhanuddin yang kian bertambah beratnya pernah
terserang penyakit keras. Waktu itu sampai dia tidak mampu berjalan dan
beraktifitas. Hampir berminggu ia sakit keras di atas tempat tidurnya. Seisi
rumah khawatir lantaran sakitnya yang tiba-tiba dan tidak biasa. Hingga
diputuskanlah Burhanuddin harus dirawat di rumah sakit berhari-hari. Anaknya
sangat terpukul ketika melihat ia mesti digendong hanya untuk dinaikkan di atas
mobil. Itu pertama dan terakhir kalinya seingat anaknya, Bapaknya masuk rumah
sakit. Sekarang tubuh Burhanuddin sehat sentosa walaupun umurnya kian menua.
Anaknya sering cemas jika ia berkendara tidak menggunakan jaket. Itu kebiasaan
Burhanuddin yang anaknya lihat sampai sekarang masih dilakukannya. Di hari-hari
tuanya, Burhanuddin masih sering beraktifitas layaknya seorang yang berlatar
belakang pendidikan tehnik. Terakhir, anaknya membantunya mengecat pagar besi
pesanan temannya yang dibuat dan dilasnya sendiri. Anaknya juga melihat,
Burhanuddin membuatkan pesawat yang hampir sama yang pernah dibuatnya untuk
kedua anak lelakinya, kepada cucunya sekarang. Mainan pesawat itu tanpa
disadarinya, membangkitkan kenangan anaknya kepada ribuan hari silam. Di antara
ribuan hari itu, ada satu hal yang paling berkesan bagi anaknya, ketika ia
pulang dari pelatihan di tempat kerjanya selama beberapa hari di Bandung. Itu
peristiwa yang panjang bagi kedua anak laki-lakinya yang ditinggal
berhari-hari. Namun, hari kepulangannya menjadi hari yang istimewa bagi mereka.
Dari atas mobil angkutan diturunkan sebuah sepeda berwarna biru dengan ban yang
masih hitam mengkilat. Siang itu benar-benar spesial. Entah dari mana
Burhanuddin membelinya, kecil kemungkinan dibelinya jauh-jauh dari Bandung,
tapi mungkin juga sebaliknya. Sepeda itu benar-benar kejutan untuk kedua anak
laki-lakinya. Itu hadiah bagi kedua anaknya. Kelak, sepeda itu jugalah yang
membuat Burhanuddin cemas akibat anaknya yang mulai jauh jarak bermainnya.
Sepeda itu membuat kedua anaknya bisa pergi kemana-mana di luar jarak tempuh
hanya jika mengandalkan jalan kaki. Sampai sore hari tiba, cemas Burhanuddin
belum juga lesap. Anaknya masih asyik bersepeda hingga magrib tiba. Sebelumnya,
jika magrib tiba, Burhanuddin bersiap-siap mengantarkan kedua anaknya pergi ke
suatu pasar yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya. Di pasar itulah bermukim
sepasang suami istri yang memiliki banyak murid mengaji. Entah info dari mana,
ia mengetahuinya. Yang pasti, jauhnya pasar dari rumahnya ditempuhnya dengan
sabar demi kedua anaknya agar pintar membaca huruf-huruf hijaiyah. Entah
diketahuinya atau tidak, kedua anaknya sering kali merasa takut kepada guru
mengajinya yang super galak. Dari magrib hingga jam sembilan malam tiap hari,
anaknya bersama puluhan anak-anak pasar mengaji di rumah yang sangat sederhana.
Rumah yang ditinggali sepasang suami istri itu dibagi menjadi tiga petak kamar
yang dihubungkan oleh satu lorong. Kamar pertama diisi murid campuran yang
masih pemula, kelas ini diasuh istri sang ustad. Kelas ini adalah kelas yang paling
ribut lantaran isinya adalah anak-anak yang berusia sekira kelas 4 SD. Di
tengah adalah kelas khusus perempuan yang sudah masuk ke tahap “al-Quran
besar”. Di sebelahnya, ruangan paling ujung adalah kelas yang diampu sang suami
khusus para ikhwan yang berusia setara dengan anak lelaki yang sudah siap
disunat. Dua anak lelakinya dititipnya di tempat itu. Tentu dimulai dari
ruangan paling kiri, kelas pemula, walaupun sebelumnya kedua anak lelakinya
pernah dibawanya ke Masjid Nurul Iman untuk belajar mengaji. Tapi di masjid itu
tidak cocok. Metodenya agak kaku dan tidak dinamis. Maka dibawalah kedua
anaknya ke tempat yang berlokasi di dalam pasar Inpres, ke kedua tangan besi
guru mengaji yang lumayan galak. Tapi tidak disangka, kedua anak Burhanuddin lumayan
cepat mengkhatamkan dan lancar membaca huruf-huruf hijaiyah tanpa terbata-bata.
Dengan cepat pula kedua anaknya menyeberang ke ruangan paling kanan, tempatnya
anak-anak yang sudah layak membaca al Quran dengan lancar. Hampir tiap hari
Burhanuddin mengantar kedua anaknya dengan tabah. Selepas isya dia sudah
bersiap-siap menjemput anaknya. Burhanuddin mungkin juga tahu, bahwa di tempat
mengaji anaknya, para murid baru bisa pulang jika selesai melaksanakan salat
isya berjamaah. Yang unik dari prosesi itu, sang guru mengaji akan berjalan
mondar mandir dari depan ke belakang melewati tiap saf mengawasi murid-muridnya
yang malas menjaharkan suaranya. Jika ada murid yang kedapatan tidak
membesarkan suaranya secara serempak mengikuti surah-surah yang dibaca, atau
mengantuk, maka tak segan-segan sang guru mengibaskan rotannya kepada bokong
atau betis muridnya yang malas. Burhanuddin mungkin saja tidak tahu kalau
anaknya sering kali menertawakan teman mengajinya jika melihat temannya
kedapatan mengantuk dan ditempelkan balsem di bawah pelupuk matanya. Jika sudah
begitu, sang anak bakal dipanggil dan mendapatkan juga hukuman dari istri sang
ustad. Burhanuddin sangat senang terhadap kemajuan anaknya membaca al Quran.
Dengan begitu dia tidak repot lagi mengajarkan mengaji kecuali rela menunggu
anaknya pulang bersamaan losmen-losmen kios yang mulai menutup jualan lantaran
malam kian larut. Kini Burhanuddin banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Sesekali dia bersenda gurau dengan cucu keduanya. Sembari menikmati masa-masa
tuanya bersama istrinya, dia masih sering mencari kesibukan dengan hal-hal yang
mampu ia perbaiki dari rumahnya. Beberapa tahun lalu, saat cucu pertamanya
sudah dimasukkan ke PAUD, ia masih sering mengantar jemput cucunya seperti
ketika ia masih mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan menggunakan motor
bututnya. Anaknya masih mengingatnya ketika ia pertama kali dibawa ke suatu
tempat bermain yang disadarinya adalah taman kanak-kanak. Burhanuddin pula yang
mengantar dan menjemputnya. Kelak, ia tak akan mengetahui anaknya bakal
menceritakan sepenggal kisah hidupnya di hari yang biasa seperti sekarang ini.
Anaknya yang bertahun-tahun silam dia azani di kedua kuping mungil bayi
laki-lakinya. Anaknya yang dulu dia namai seperti nama eike.
"Adalah kata-kata
yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk
dan keluar dari diri kita.
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang ke tempat
lain
Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian.
Berbicara, kita mengobati rasa sakit.
Berbicara kita membangun persahabatan dengan yang lain.
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam.
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita…
Inilah senjata kita saudara-saudaraku."
(Subcomandante Marcos, 12 Oktober 1965)
Eike kira, intelektualisme adalah kata yang hari ini harus terus
diperjuangkan. Jika kata adalah senjata, seperti yang dinyatakan Subcomandante
Marcos, si pejuang nasional dari Mexico, intelektualisme-lah salah satu
senjatanya. Memang agak paradoks, kata sebagai wujud logos disepadankan
dengan senjata, alat yang kerap dipakai untuk melukai, atau bahkan membunuh.
Tapi, apa boleh buat, yang didakukan Marcos agaknya ada benarnya, walaupun
dalam sejarah intelektualisme, di mana-mana tradisi pemikiran seringkali
berhadap-hadapan dengan penggunaan senjata sebagai terornya. Kata-kata
adalah sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita. Ikut membentuk pemahaman
kita terhadap dunia. Kata-kata menjadi jembatan ke tempat lain kata Marcos,
ibarat sebuah buku yang menjadi jendela dunia. Bahkan, kata-kata, berbicara
untuk memperbarui dunia kita, diri kita. Marcos boleh saja percaya kepada
kekuatan kata-kata, sebagai suatu senjata, bahkan. Tapi bagi Platon, filsuf
Yunani antik yang dikenal keras kepala itu berkeyakinan sebaliknya. Kata-kata
hanya selubung, bahkan bayang-bayang. Dia tidak mewakili kenyataan, dan tidak
mampu menggambarkan kenyataan. Itulah sebabnya, Platon menganjurkan
berhati-hati dari kata-kata. Kata-kata bisa menipu. Dia gua yang memerangkap
pengetahuan. Gegar kebudayaan hari ini seperti fenomena yang dinyatakan
seorang sosiolog Amerika, Anthony Giddens: masyarakat sedang berlari tunggang
langgang, merupakan masyarakat gegar kata-kata. Narasi kebudayaan hanyalah
bunyi-bunyi bahasa tanpa makna, tanpa gagasan. Juggernaut adalah istilah
yang dipilih Giddens untuk mengilustrasikan bagaimana kebudayaan masyarakat
bergerak melesat tanpa kontrol. Bahasa sebagai matra kebudayaan, ibarat hewan
buas yang berlari tanpa sepenuhnya bisa dikendalikan. Bahasa
hanyalah lorong kosong tanpa suatu arah pengertian. Kata-kata akhirnya
ibarat jazad bahasa tanpa reaksi. Tergeletak begitus saja tanpa berarti
apa-apa. Narasi, lapis dunia simbolik yang memberikan asupan bagi sang manusia,
seperti yang didakukan Platon, tidak membuktikan apa-apa. Di titik itulah
narasi tidak tampak sebagai senjata. Dia hanyalah desakan tanpa daya. Peluru
tanpa efek. Selongsong kosong yang hampa pengertian. Reflektifitas,
kemampuan itulah yang belakangan kehilangan kedudukan dalam masyarakat a la
juggernaut Giddens. Masyarakat dikepung kata-kata banal,
simbol-simbol, kode-kode yang dekaden membuat setiap orang kehilangan ruang
permenungan. Reflektifitas, digantikan oleh -meminjam bahasa Jean Baudrillard-
simulakrum: dunia imajinatif yang tidak otentik. Itulah sebabnya, mengapa
kita mesti memperjuangkan apa arti intelek itu sebenarnya. Atau, bagaimana
menjadi bagian dari kehidupan yang berbau intelektual. Reflektifitas
dengan kata lain, setidaknya adalah kemampuan daya intelek manusia mengambil
jarak pengetahuan, untuk menimbang-nimbang, menakar kembali atas segala apa
yang telah dicapainya. Itu artinya, usaha mendudukkan intelektualisme
dalam konteks ini, sama artinya dengan membuka ruang reflektif agar terjadi
keadaan pemahaman yang sarat bobot dan bernas. Kadang memang, dari titik
itu semuanya mesti mengambil suatu langkah berpulang, melihat kembali dari
balik punggung kemajuan, tentang segala hal yang dilakukan secara
otentik. Setidaknya, di masa sekarang, daya intelek bukan saja berarti
bekerjanya fungsi kritis manusia, atau kemampuan khas manusia dalam
maksimalisasi peran logos, melainkan menjadi instrumen pembebasan martabat
manusia. Namun, untuk tidak menjadi logos yang sekadar instrumentalistik,
daya intelek mesti bersih dari kepentingan-kepentingan ideologis. Logos pada
akhirnya tidak sebagai ekspresi yang hanya menggambarkan tujuan jangka pendek,
melainkan juga tujuan jangka panjang. Kehidupan pasca kebenaran seperti
yang ditandai dari kacaunya dasar-dasar pemikiran dan betapa longarnya bahasa
dalam merujuk kepada suatu pemahaman, membuat relasi pemaknaan terhadap
kebenaran terhambat akibat-akibat sentimen-sentimen sempit. Di saat itulah daya
intelek manusia harus dimaksimalisasi sampai batas
terjauhnya. Intelektualisme dengan begitu tidak saja sepadan dengan logos,
tapi juga sebagai dasar pengetahuan yang menjadi kebiasaan etis, atau bahkan
politis, karena tanpa itu, belakangan kata-kata hanya menjadi kulit bawang,
seperti yang didakukan Platon, tidak ada inti di dalamnya. Makanya,
kata-kata tidak mudah untuk dipercaya. Dia bisa menjadi gua yang memerangkap
pemahaman, atau sebaliknya, seperti kata Marcos, “kita menggunakan
kata-kata untuk memperbaharui diri kita.” Eike kira dalam kalimat terakhir
itulah, mengapa intelektualisme mesti diperjuangkan.
Nietzsche dan Suatu Pagi Seketika Mendung
Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah.
Konon sembari berurai air mata,
Nietzsche banyak meliterasikan peradaban melalui punggung tragedi. Pendakuannya
tentang tragedi, pada dasarnya adalah kritik terhadap situasi sejarah abad 19
(dan abad 20) yang kehilangan dasar pemaknaannya setelah sains, kebudayaan,
agama, dan filsafat hanyalah menjadi aksesoris kehidupan tanpa mampu
mendudukkan manusia sebagai mahluk yang berkepribadian. Manusia, kebanyakan
adalah mahluk yang tidak mau mendengarkan kebenaran, karena mereka tidak ingin
ilusi mereka hancur, begitu pendakuan Nietzsche.
Manusia yang berkepribadian,
dinyatakan Nietzsche adalah manusia yang sudah melampaui segala sendi nilai
moralitas dengan menggerakkan kehendak pribadinya yang khas sebagai dasar
perilakunya.
Dengan kata lain, manusia yang
berpribadi adalah mahluk yang tahu harus berbuat apa, dengan mengandalkan
kekuatannya sendiri tanpa bersandar kepada nilai-nilai yang berasal dari luar
pemahamannya.
Ketika manusia menjadi asing atas
pemahamannya, dan sulit bertindak atas dasar apa ia melakukan sesuatu, maka
itulah yang disebut Nietzsche sebagai nihilisme. Nihilisme juga didakukan
Nietzsche sebagai hilangnya dasar pemahaman manusia sebagai basis penilaiannya
terhadap dunia, dan hilangnya makna hidup itu sendiri.
Nihilisme di zaman kita
Tragedi dan nihilisme adalah dua
narasi peradaban yang banyak dikritik Nietzsche. Gaung kritik ini bahkan
semakin terbukti peririsannya jika pengamatan kita ditujukan kepada konteks
masyarakat sekarang.
Fenomena masyarakat modern yang
ditandai dengan “ledakan masyarakat kapitalis”, “totalitarianisme pasar bebas”,
“kehancuran lingkungan alam”, “radikalisasi agama”, dan “melubernya arus
informasi”, merupakan gejala-gejala makro yang disebabkan hilangnya makna
kehidupan.
Pencarian makna manusia itu sendiri
ternyata hanyalah berhenti pada wilayah permukaan yang diarahkan oleh penalaran
rasional tanpa menelisik lebih jauh ke dalam wilayah sublimitas yang dimiliki
manusia.
Mazhab Frankfurt, misalnya, sangat
apik mendemonstrasikan bagaimana cita-cita masyarakat modern yang digerakkan
sains justru berkebalikan dari cita-cita awalnya untuk membebaskan manusia dari
zaman mitos. Rasio sebagai penemuan mutakhir peradaban manusia, justru menjadi
faktor utamanya. Nalar tidak lagi didudukkan sebagai alat pembebasan
masyarakat, melainkan menjadi apa yang disebut mazhab ini sebagai rasio
instrumentalistik. Rasio jenis inilah yang belakangan mengarahkan kehidupan
masyarakat modern mengalami alienasi dari keberadaan rasionya sendiri.
Padahal, sisi sublimitas manusia adalah
dimensi kejiwaan yang memberikan dasar pemaknaan eksistensial (berbeda dari
sisi rasional yang hanya menghubungkan manusia dari segi hubungan konseptual)
terhadap pencapaian-pencapaian yang dimiliki peradaban manusia.
Itulah sebabnya, Nietzsche sendiri
pernah mengatakan kehidupan tanpa musik adalah kesalahan. Mengapa musik? Di
sinilah pertama-tama Nietzsche dari segi pemikirannya banyak mendudukkan
kritikannya ke dalam konteks masyarakat modern yang percaya sepenuhnya hanya kepada sains sebagai satu-satunya
patokan pemaknaan hidup.
Musik biar bagaimana pun adalah
genre dari ekspresi estetika yang berlawanan dengan sains. Musik sebagaimana
sastra, memiliki perbedaan dengan sains yang digerakkan semata-mata oleh sisi
rasional manusia. Sains dengan karakternya yang demikian membentuk pemaknaan
hidup hanya berdasarkan hukum-hukum logis empirik, teratur, linear, ajeg, dan
fixed sehingga dunia dipandang ibarat mesin mekanik yang beku dan kaku.
Sementara musik, dalam cakrawala
dunia Nietzsche adalah metafora yang digambarkannya untuk menarasikan suatu
model kehidupan yang penuh gairah, semangat, pesona, dialektis, dan dinamis
yang menggerakkan jiwa manusia untuk menerima hidup dengan sikap yang terbuka
dan bergerak.
Manusia jika diidealisasikan
menurut pemikiran Nietzsche, adalah orang-orang yang bergerak dengan sikap
terbuka dengan segala kemungkinan hidup yang dimilikinya, tanpa khawatir dengan
beragam hambatan dan godaan, apalagi hanya berhenti kepada satu titik yang
sudah dianggap final dan fixed. Manusia dengan begitu adalah mahluk pengembara,
berjalan dari satu titik pengembaraan menuju titik pengembaraan lainnya.
Di suatu pagi yang seketika
mendung…
Nihilisme bisa saja datang
menelusup ibarat cuaca yang seketika mendung kala pagi baru saja datang
menyapa. Ketika seseorang bangun dan menemukan semuanya nampak tak berarti
apa-apa. Dalam titik kesadaran tertentu, semua dan hal ihwal yang selama ini
sudah dilakukan tidak memiiliki maksud dan tujuan sama sekali. Sama sekali tak
berimbas apa-apa. Tidak berefek apa-apa. Tujuan hidup, nampaknya suatu hal yang
sama sekali bukan titik yang memberikan arah kepastian sama sekali.
Lalu, segala dasar nampak goyah.
Ibarat gerakan awan putih yang terseret topan tak terlihat. Bergerak dan hilang
menipis seiring tiupan udara.
Syahdan, tidak semuanya harus
diartikulasikan melalui medium rasio, seperti bahwa apa yang selama ini
dipikirkan hanyalah wujud-wujud artfisial tanpa bobot. Pendasaran yang hanya
menggunakan rasio sebagai intrumen tanpa mengetahui maksud terdalam dari
sesuatu. Bukankah semua ini mesti dijalani? Walaupun pagi seketika berubah
gelap.
PILIHAN. Atau alunan musik yang kasip di pagi yang seketika mendung,
sementara di hampir bersamaan segeletak buku hanya tersimpan diam begitu saja.
Atau kisah orang-orang yang merangkak naik bersamaan dengan matahari di pagi
yang entah. Atau ingatan terhadap pemahaman yang silap, tak diketahui rimbanya.
Bunyi desir angin atau sentuhannya yang seolah-olah seperti benang-benang tipis
yang bergerak dari ujung kakimu naik hingga ke pundak dan telingamu. Atau
kehidupan yang terulang, terulang dan terulang. Atau bunyi deru mobil. Suara
dentuman yang tersisa di atas langit, atau pecahan bintang yang tertinggal
berjuta-juta tahun lamanya. Atau ini hanya sekadar usaha menangkap maksud di
balik beragam kemungkinan. Atau bukan apa-apa. Seorang bapak tanpa menggunakan
baju berdiri atau berpikir tentang sudut rumahnya yang digerayangi
rumput-rumput hijau. Atau akan dia biarkan tumbuh sama halnya dia melihat
anaknya yang sudah melebihi tinggi badannya. Atau memang waktu adalah sisi
terbelakang dari apa yang kita ketahui. Atau memang dia tidak mungkin atau akan
diketahui. Waktu atau entah apa, pada akhirnya membuat siapa pun menyadari
betapa dunia sudah melebihi umurnya. Atau pernahkah kau menyadari saat melihat bebek-bebek mengecipak air selokan
yang terbelah mengaliri rerumputan. Atau Rumput yang basah diterpa sinar kuning
mentari. Atau Seorang ibu dan anaknya yang menuruni setapak pergi ke sekolah.
Atau di atas nun jauh, rumah-rumah bersusun-susun dari bawah ke atas. Di
belakangnya punggung gunung tertutupi kabut bagai kapas-kapas basah. Atau
keadaan yang jauh lebih susut, tentang bukan saja air, melainkan
partikel-partikel kecil di dalamnya yang bergerak tak beraturan, atau kutu-kutu
yang bergerak di balik helain bulu bebek yang terkena air, dan menggelembungkan
oksigen di dalam bulatan-bulatan kecil air. Atau menelusuri jauh di dalam tanah
yang di atasnya tumbuh rumput-rumput, atau di sana ada kehidupan beribu
binatang-binatang yang dimakan cacing tanah, rayap-rayap, beserta kerajaan
semut-semut yang setiap hari menggerayangi permukaan tanah tanpa disadari siapa
pun. Atau di balik anak-anak yang sedang berpergian sekolah, ada kisah sedih
sejak semalam lantaran suatu sistem pendidikan membetot otot-otot sang bapak
menggali lebih dalam lagi petak-petak sawah di pelosok entah di mana. Atau
keluh kesah ibunya yang tak mampu mengerjakan tugas sekolah anaknya akibat
disibukkan dengan pekerjaan rumah atau sudah tidak mengerti sama sekali apa
sesungguhnya maksud dari mata pelajaran anaknya. Atau hal-hal di luar itu,
semisal mengapa rumah-rumah di atas bukit itu disusun menyerupai anak tangga.
Atau apakah persamaan antara awan basah dengan kapas, ataukah awan sebenarnya
memang terbuat dari kapas. Atau sesungguhnya kapas ternyata adalah sisa-sisa
awan yang jatuh sejak semalam. Atau mungkin mengenai cemara menjulang tinggi di
bawah mentari meninggi. Atau jalan yang menapak di bawahnya tersisa tanah yang
longsor. Warnanya kecokelatan, mengering disapu kilatan cahaya mentari. Atau
pagi yang masih diiringi kabut. Tipis melayang-layang berarak kemudian pergi di
balik pepohonan. Bunyi ayam-ayam sedari tadi berkokok, atau bersahutan sambung
menyambung dari barat sampai selatan. Atau pohon jambu habis dipanjati
anak-anak. Buahnya kemarin sore dibawa pergi. Anak-anak berkopiah sepulang
mengaji, bergerombolan. Menginjaki pagar bambu mengangkat tangan di sela-sela
ranting yang tak rimbun. Atau di satu rumah kulit sapi dijemur berhari-hari.
Kulitnya diikat tali berwarna hijau, ditelentangkan kuat-kuat di dinding
sebelah selatan. Menghadap matahari. Atau hari ini yang kasip yang seketika
mendung, sementara di hampir bersamaan segeletak buku hanya tersimpan diam
begitu saja.
Taro Ada' Taro Gau'
Barangkali
eike salah menafsirkan perkataan Alwy Rachman seorang scholar budaya, yang
mengatakan membaca adalah mendengarkan. Tapi, bagi eike, melalui pengertian
itu, Alwy Rachman menghendaki setiap praktik pemaknaan dalam membaca harus juga
ikut melahirkan sang sosok yang sejajar dengan teks itu sendiri. Itulah
sebabnya, tekanannya diletakkan kepada "suara". Dengan kata lain, strategi membaca
yang diajukan Alwy Rachman, pertama-tama adalah antitesa dari praktik pemaknaan
yang selama ini bersandar kepada kematian sang pengarang. Kedua, praktik
membaca yang juga sekaligus mendengarkan, sebenarnya adalah suatu cara membaca
yang ikut melahirkan jiwa untuk menemu-kenali budi pekerti dari sang
penutur/pengarang itu sendiri. The
death of author yang digaungkan Roland Barthes memang bertujuan untuk
membebaskan praktik pemaknaan tidak saja kepada teks itu sendiri, melainkan
kepada kebebasan pembaca untuk ikut serta memberikan kemungkinan penafsiran
yang mungkin saja hadir dari suatu teks. Peralihan dari teks kepada otoritas
pembaca, dari praktik pemaknaan yang ditawarkan Barthes, tidak saja berdampak
dibebaskannya teks dari pengaruh pengarang, tapi juga kehadiran pembaca yang
signifikan memiliki kebebasan untuk memaknai setiap teks yang ditemukannya. Itu artinya, praktik pemaknaan
tidak lagi bertumpu kepada sang pengarang, namun mengalami peralihan dari sang
pengarang menuju sang pembaca. Tapi, implikasinya, strategi
membaca demikian akhirnya menempatkan sang penagarang bukan sebagai
siapa-siapa. Dia bahkan hanya satu bagian dari beragam bagian yang memungkinkan
lahirnya beragam makna. Sehingga, dengan kata lain, sang pengarang tidak punya
lagi hak apa-apa selain dari pada menuliskan gagasannya dan setelah itu secara
pemaknaan melepaskan tanggung jawabnya terhadap teks yang sudah dituliskannya. Mendengarkan suara sang sosok
pengarang dalam membaca, seperti yang didakukan Alwy Rachman, berarti sama
artinya melahirkan sang sosok pengarang di tengah-tengah praktik pemaknaan.
Sang pengarang dalam hal ini juga terlibat di dalam aktifitas menangkap makna
oleh sang pembaca. Tapi kaitannya dalam hal ini bukan sebagai penentu di dalam
menentukan benar salahnya makna yang ditemukan, melainkan sebagai pembanding
dari apa-apa yang sudah dikatakannya. Itulah kenapa, pendakuan Alwy Rachman
melibatkan budi pekerti dari sang pengarang sebagai salah satu faktor
fundamental dari praktik pemaknaan. Mendengarkan dengan begitu berari ikut
"melihat" budi pekerti sang pengarangnya. Sudahkah kata-katanya
berbunyi seperti budi pekertinya itu sendiri? Atau jangan-jangan kata-kata sang
pengarang hanya bunyi-bunyian tanpa bisa dirujuk dan dibuktikannya dalam dunia
budi pekertinya. Jangan cuman percaya kepada
kata-kata, begitu maksud lain dari apa yang dinyatakan sebagai membaca adalah
mendengarkan. Kata-kata memang membutuhkan bunyi agar maknanya terang dalam
pemahaman, seperti pula kata-kata mesti lahir dari dunia pengalaman kongkrit
sebagai rahimnya. Pemahaman di atas, dengan mudah
dapat kita lihat afirmasinya dari peribahasa Bugis, taro ada', taro gau': seiya
sekata perkataan dan perbuataan. Kata-kata hanya sebatas dengung bunyi jika
tidak memiliki pembuktian dari budi pekertinya. Kembali kepada sang sosok
pengarang, dunia teks berarti pula mencerminkan dunia budi pekertinya. Jangan
sekadar percaya kata-kata. Mendengarkan, dengan kata lain membaca, berarti
menangkap makna teks sekaligus budi pekerti sang penuturnya.
Langganan:
Postingan (Atom)