madah limapuluhempat

Kejadian itu tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi luka yang belum sembuh betul, dipaksa dikenang untuk waktu yang tak tentu ujung.

Belum silam kejadian Charlie Hebdo, Jumat, 13 November, Paris jadi gempar. Dua orang mengacung senjata ke manamana. Masyarakat dibuat kalut. Dan akhirnya korban berjatuhan.

Yang unik, peristiwa yang terjadi dua ratus meter dari bekas kantor Charlie Hebdo itu, adalah agama jadi motor. Dua orang yang berpakaian hitamhitam itu menyosor tanpa ampun. Mereka berteriak, mereka menyatakan sikap: “apa yang kalian lakukan kepada rakyat Suriah, sekarang kalian akan membayarnya.” Sebuah balas dendamkah ini? Yang pasti, di peristiwa itu, banyak pihak yang dibuat bertanyatanya.

Di hari itu, nampaknya Paris jadi horor. Enam lokasi jadi titik yang menyulut luka. Akhir pekan yang dilalui dengan pesta harus berakhir kecam. Pertanyaan semakin mendesak. Politikkah ini?

Akhirakhir ini teroris jadi kata yang politis. Sebab terma yang mulai akrab di tahun 2000an itu, selalu dibaca dengan cara yang tidak adil. Atau kata itu jadi kata yang didominasi oleh tindak baca yang terlanjur timpang. Sebab nun jauh dari Paris ada negeri yang bertahuntahun digedorgedor bom tiada henti. Dari sana, negeri yang poranda, tak pernah lahir kata teror untuk merujuk kepada perilaku bangsabangsa yang jadi momok. Politikkah ini?

Di Palestine, atau negerinegeri yang berkecamuk perang, kata teror adalah kata yang sudah sedari awal dibentuk. Media nampaknya banyak bertanggung jawab tentang ini. Terorisme sebagai suatu kata predikat, secara timpang hanya dilekatkan kepada embelembel agama. Ketika agama menjadi motivasi melakukan kekerasan, maka itu disebut teror. Tapi ketika zionis israel menyobek tubuhtubuh orangorang palestine, misalnya, itu disebut perjuangan hak asasi.

Kejadiann di Paris bisa menjadi satu penanda penting bagaiman politik lua negeri negaranegara Eropa bekerja. Apalagi berkenaan dengan dunia Islam. Dengan kejadian di Paris, Islam menjadi kedok untuk pemerintah Perancis  mengambil sikap terhadap terorisme yang terjadi di Timur Tengah. Dengan dalih penyerangan yang konon dilakukan oleh militan agama, Perancis punya klaim untuk menyerang organisasi ISIS yang berada di Suriah.

Yang aneh adalah bagaimana simpati yang terbangun pasca kejadian. Banyak orangorang yang menaruh simpati kepada korban Paris, tapi hal yang sama tidak dilakukan kepada masyarakat yang seharihari rasa amannya dilucuti dengan mercunmercun peluru. Di Palestin, atau bahkan di Suriah, justru hanya dipandang sebelah mata tanpa terkecuali.

Rasarasanya, dari cara merasai yang berbeda inilah, kita dituntut untuk bisa menyikapi dua konteks dengan cara yang lebih adil.

Dan rasa adillah, yang barangkali hilang dari kita selama ini, apalagi pemberitaanpemberitaan yang lalulalang tidak jelas ujugujugnya. Keadilan menilai harus kita miliki ketika kita berada di antara perang antar bangsabangsa seperti saat ini.

Di Paris, beberapa titik jadi luluh lantah. Sedang di negerinegeri yang juga hal yang sama terjadi, seluruh titik bukan lagi manikmanik yang indah untuk dipercakapkan. Mereka seringkali jadi titik hitam yang tak terpindai oleh penilaian kita.

Sejarah Kesengsaraan


Tuhan, ultimate being yang diagungkan manusia, dalam sejarah, barangkali adalah pusat kesengsaraan.  Minggatnya Adam dan Hawa dari surga menuju kefanaan di bumi, adalah peristiwa pertama tuhan membangun sengsara di kalbu manusia. Diturunkannya pasangan pertama manusia ke alam yang ad dunya, menandai asal muasal kesengsaraan pertama bagi manusia. 

Dengan begitu, sejak semula, tuhan telah menulis sejarah manusia dengan suatu keadaan asal berupa kesengsaraan. Melalui itu, Adam dan Hawa memulai kehidupan pertama manusia.

Itulah barangkali, mengapa agamaagama identik dengan peristiwa kesengsaraan. Bahkan, tradisi agamaagama Ibrahimik menempatkan kesengsaraan sebagai pemantik kesadaran. 

Ayub, nabi yang menderita tubuh bopeng, Ibrahim penderitaan berpisah dengan sanak keluarga, Yesus, putra Bethlehem yang tabah menderita di atas kayu salib, dan Muhammad yang dihujat dan diasingkan dari keluarga dan masyarakatnya, merupakan penanda historik bagaimana kesengsaraan adalah bagian inheren dari suatu iman.

Mungkin demikianlah sehingga tujuan manusia mengenal penderitaan atas tuhannya adalah untuk menemukan kebahagiaan. Agama sebagai role model  yang menjadi institusi merupakan media tuhan dalam memberikan peta untuk menemukenali kebahagiaan. Melalui itu, kesengsaraan yang dimulai dari awal kehidupan, dicobakan untuk dihindari oleh manusia. Semenjak manusia memulai kehidupannya yang sengsara, ia senantiasa harus menggunakan agama untuk keluar dari penderitaannya yang telah ditanggung sejarah.

Kisah Ayub dan Yesus merupakan simbolisme bagaimana tubuh manusia begitu rentan dengan penderitaan. Tubuh menjadi arena kesakitan melalui hukum biologis dan ideologis. Penderitaan melalui marka biologis bisa datang dengan luka yang menganga, sayatan yang menggores kejam, penyakit yang berkepanjangan, kelaparan tiada ujung, dan bisa juga adalah robekan tubuh atas perang antar manusia. Melalui itu semua, tubuh tidak merdeka di tengahtengah ancaman kesengsaraan.

Kesengsaraan melalui marka ideologis, seperti yang dialami Yesus di bawah rezim tiran, ditandai dengan inferioritas tubuh atas kekuasaan yang memaksakan kehendaknya.  Salib yang diperuntukkan oleh Yesus adalah instrumen kesengsaraan yang digunakan kekuasaan untuk menciptakan rasa sakit. Kayu, paku pasak, cambuk, dan palu, merupakan perwakilan superioritas kekuasaan untuk menciptakan kesengsaraan bagi tubuh yang inferior. Di peristiwa itu,  ada penegasan bagaimana ideologi kekuasaan menjadi sumbu dari kesengsaraan tubuh.

Rasa sakit, luka, kecewa, gelisah, dan pedih tidak saja datang dari penyakit dan kekuasaan, tapi juga bisa muncul dari diri manusia sendiri. Bahkan penderitaan, tidak saja berasal dari genetika sejarah Adam dan Hawa, melainkan juga merupakan genetika yang sudah bekerja dalam  struktur perasaan manusia. Begitu juga kebahagiaan yang diyakini sebagai tujuan paripurna manusia, tidak bisa berarti tanpa adanya kesengsaraan. Dengan kata lain, manusia baru bisa menemukan dirinya yang bernilai dari dua sumbu dialektis antara kesengsaraan dan kebahagiaan.

Cinta diyakini manusia sebagai instrumen kebahagiaan. Melalui cinta manusia mencari kebahagiaan.  Bahkan dengan cintalah manusia merasa bahagia. Agamaagama juga menabalkannya demikian. Tapi, sesungguhnya  tidaklah demikian, justru cintalah yang sesungguhnya merupakan kekuatan inheren manusia yang menyebabkan penderitaan. Cintalah gen aktif dalam manusia itu sebagai biang kesengsaraan.

Cinta sebagai akar emosi dari penderitaan didaku Frederich Nietzsche sebagai peristiwa yang memulai kesengsaraan manusia. Cinta yang selalu memuat harapanharapan ideal, dipercakapkannya hanyalah merupakan tujuan yang membuat jarak yang panjang antara kenyataan dan harapan. Nietzsche menabalkan tiada suatu harapan mutlak yang dapat diraih manusia, melainkan sebenarnya tak ada suatu cita yang menjadi telos bagi manusia. Justru, telos itulah yang menciptkan kesengsaraan di dalam diri manusia. Ini berarti kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia hanya ilusi yang menciptakan kesengsaraan itu sendiri.

Agama yang mengandung doktrin  eskatologi, dengan begitu, malah menciptakan dengan sendirinya kesengsaraan abadi dari tujuan yang ditetapkan semenjak awal. Kebahagiaan sebagai tujuan akhirnya, secara paradoksal malah menciptakan kesengsaraan bagi manusia. Dengan begitu, kesengsaraan adalah kenyataan yang harus ditanggung jika manusia telah beragama. Bahkan dalam agama, keabadian kesengsaraan menegaskan bahwa manusia memang harus bersedia akrab dengan penderitaan.

Tapi memang tiada iman tanpa kesengsaraan. Nietzsce boleh  saja percaya bahwa telos dalam doktrin apapun adalah sumbu dari kesengsaraan. Hanya saja, justru ketabahan terhadap kesengsaraan adalah suatu kualitas iman yang menjadi ukuran seberapa setia manusia pada keyakinannya. Kesengsaraan manusia dengan begitu bukan harus dienyahkan, justru dianjurkan untuk bersetia dengannya. Maka kesengsaraan yang kerap membawa penderitaan berkepanjangan, merupakan sahabat sejati manusia.

Setia terhadap kesengsaraan barangkali dengan sendirinya adalah esensi dari iman. Kisah Ayub, Ibrahim, Yesus, dan Muhammad merupakan suatu peristiwa bagaimana kesengsaraan menjadi bagian dari iman. Kesengsaraan dalam konteks penderitaan adalah jembatan “sang aku” untuk memberikan bukti terhadap keyakinannya. Sebab iman yang tak melewati penderitaan dan cobaan adalah iman yang rapuh. Rasa sakit, kecewa, dan sedih adalah stasiunstasiun untuk membangun iman yang kokoh. Tanpa itu, suatu iman sulit teruji dalam suatu agama.

Syahdan, barangkali itulah yang akhirakhir ini sering terjadi, di bangsabangsa yang sedang berkecamuk perang, suatu iman tengah diuji atas penderitaan bertubutubi.  Lantas bagaimanakah negerinegeri yang tentram tanpa perang? Apakah iman di sana adalah suatu wujud yang rapuh? Barangkali, iman juga bisa diuji di saat manusia bebas dari sengsara. Barangkali.

Antropologi Toilet*

Toilet, tempat yang sering kali tersisihkan dari imajinasi ruang,  sebenarnya adalah optik antropologi manusia. Maksudnya, toilet, sepetak ruang yang selalu "disudutkan" itu, bisa menjadi parameter kebudayaan manusia.

Di pemukiman kumuh, toilet adalah tempat yang miskin dari arsitektur canggih. Toilet sering kali jadi ruang tersembunyi yang luput dari perhatian. Ini sebenarnya, disebabkan oleh situasi masyarakat bawah yang tak diperantarai basis pengetahuan tentang ruang yang layak. Sebab itulah, toilet hanya dilihat sebagai tempat tanpa embelembel, tetapi malah gembel.

Ketika toilet tampak gembel, dengan sendirinya akan berimplikasi terhadap durasi waktu di saat berada di dalamnya. Di dalamnya, aktivitas membersihkan tubuh, misalnya, akan dilakukan dengan cara terburuburu. Sebab di dalam toilet yang kotor, aktivitas apapun akan dilakukan dengan tidak nyaman. Dengan demikian, di dalam toilet, manusia akan tampak sebagai mahluk yang tidak estetis. Kebersihan dan tubuh yang sehat adalah dua hal yang tak dapat dipenuhi dari toilet yang buruk.

Artinya, bagi masyarakat pemukiman kumuh, toilet adalah tempat yang bisa jadi sumber penyakit. Bagaimana tidak, toilet sebagai tempat untuk memuliakan tubuh yang bersih, alihalih menjadi tempat kesehatan bermula, malah jadi tempat yang tidak manusiawi. Dengan kata lain, toilet dipemukiman kumuh, adalah satu bagian dari sumbersumber penyakit bersarang.

Lain halnya masyarakat kelas atas, toilet sudah menjadi bagian dari ruang yang manusiawi. Karena bersifat manusiawi, toilet dianggap menjadi tempat yang mesti nyaman, sehat, dan indah. Artinya, dari imajinasi ruang hunian, orangorang kelas atas melihat toilet sejajar dengan ruang intim. Itulah mengapa hampir di rumahrumah mewah, toilet dipadupadankan di dalam kamar tidur, misalnya.

Sementara di terminal, pasar ataupun tempat umum lainnya, toilet malah menjadi ruang yang anarkis. Banyak kita dapati, di tempattempat semacam itu, toilet jadi tempat yang anti kemanusiaan. Di sana toilet diperlakukan semenamena hingga nampak tak ada perlakuan yang layak. Walaupun awalnya toilet dibangun dengan baik, tapi pada akhirnya ia jadi ruang yang tak laik.

Dengan begitu di tempat umum, toilet jadi ruang bersama yang absen dari nalar publik. Sebab, sebagai ruang bersama, toilet ada demi memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk membuang hajat. Namun sayang, toilet di ruang publik, sering kali diacuhkan dibandingkan dengan tempattempat lain, sehingga minim perawatan dan penjagaan.

Namun berbeda halnya sebagaimana di mallmall misalnya, toilet juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan aktivitas konsumsi. Bagi masyarakat konsumer, toilet harus dibuat nyaman untuk aktifitasaktifitas sekunder manusia. Alasannya adalah kenyamanan berkonsumsi, harus dibarengi dengan kenyamanan saat di dalam toilet. Artinya, toilet yang baik adalah toilet yang bisa menunjang aktifitas masyarakat hight consumption.

Itulah mengapa, sebagai ruang publik, toilet bisa jadi ukuran kelas masyarakat. Di pasar, terminal, atau di tempattempat masyarakat lapis bawah beraktifitas, toilet hanya diberlakukan seadanya. Di sana, toilet jadi gambar betapa masyarakat bawah masih diperlakukan semenamena. Bukan saja biasanya tak difasilitasi pengelola, tetapi juga penggunaan toilet tak disertai pengetahuan sanitasi yang baik dari masyarakat.

Sementara di mallmall yang mewah, di mana kelas bawah disisihkan, toilet diperagakan sebagai bagian dari perputaran modal. Untuk itulah toilet dikelola dengan baik, dibersihkan tiap saat, dan dijaga tiap waktu. Jadi, tak seperti toilet kelas bawah, di situ tak ditemukan air yang mapet, atau closet yang busuk. Semuanya jadi bagian untuk melayani publik.

Psikoanalisis sekaligus kritikus budaya abad dua puluh asal Slovenia, Slavoj Zizek, punya pandangan yang nyentrik tentang toilet. Dari yang dipercakapkannya, perilaku manusia di dalam toilet sesungguhnya mencerminkan alam bawah sadar suatu komunitas. Dia mau bilang bahwa, perilaku orangorang di toilet adalah refleksi dari ideologi yang tersembunyi. Dia mempercakapkan orangorang Jerman, misalnya, senang berlamalama di hadapan fesesnya sebagai sikap kontemplatif kebudayaannya. Berbeda dari orangorang Amerika ataupun Inggris, yang lebih senang menegelamkan fesesnya karena sikapnya yang pragmatis.

Lalu, bagaimana dengan orangorang Indonesia? Orangorang Indonesia barangkali adalah tipe manusia yang paling sulit ditebak. Jika di muka umum kesannya menjadi pribadi yang toleran, murah senyum, dan bertutur kata baik, tapi tidak di dalam toilet. Di dalam toilet, orangorang Indonesia jadi pribadi yang permisif; sulit bertindak bersih, atau bahkan cenderung merusak. Di dalam toilet, orangorang Indonesia jadi pribadi yang begitu berbeda.

Jika sudah begitu, orangorang Indonesia jadi manusia yang hipokrit. Melalui toilet, ruang yang sering kali jadi sudut rumah itu, orangorang Indonesia menampakkan citra aslinya. Di dalam sana, tak ada yang disembunyikan, sebab dari perlakuan orang Indonesia, toilet jadi kanvas kebudayaannya. Bisa benar, juga salah, apabila Zizek bilang perilaku kebudayaan bisa ditelusuri dari jendela toilet. Namun jika ingin membuktikan ucapan Zizek, maka saya sarankan, berlamalamalah di dalam toilet.

---

*Di muat di harian Tempo Makassar, Rabu, 18 November 15

Apa dan Mengapa Menulis?*

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Menulis itu dua hal; berpikir dan bekerja. Berpikir berarti mengelola ideide, dan bekerja berarti membumikan ideide.

Mengelola ideide adalah usaha asali manusia. Semenjak manusia memiliki kesadaran, ideide selalu menjadi bahan baku dari aktifitas yang disebut berfikir. Ideide diramu dengan cara dihubunghubungkan, disambungsambungkan atau bahkan dipecahpecah atas sesuatu. Ideide selalu berarti gambaran atas sesuatu di dalam kesadaran kita. Ide tentang manusia, tentang hewan, tentang alam, tentang langit, tentang galaksi, tentang alam semesta, tentang tuhan, dan seluruh yang dapat dijangkau alam pikir adalah asalmuasal dari mana datangnya ide. Dari itu semualah ide kita datang. Dari semua itulah manusia berpikir.

Dengan begitu manusia mengelola hidup dan kehidupannya. Hidup di sini berarti individunya, dan kehidupan adalah berarti komunitas masyarakatnya.

Mengolah ideide merupakan aktivitas dialektis antara membaca dan berpikir itu sendiri. Bahkan secara teknis, tiada ideide tanpa membaca. Membaca sebagaimana berpikir adalah aktivitas terbuka terhadap sesuatu. Ketika manusia berpikir tentang sesuatu, sesungguhnya itu didahului sebelumnya dengan aktifitas membaca sesuatu. Di saat manusia berpikir tentang hidupnya, di situ berarti di saat sebelumnya ia telah membaca tentang hidupnya itu sendiri. Di saat manusia berpikir atas peradabannya, berarti sebelumnya ia tengah membaca peradabannya. Dua aktifitas antara membaca dan berfikir inilah yang saya sebut dialektis. Ini berarti satu tidak mungkin tercapai sebelum yang satunya terlaksana. Begitu seterusnya.

Membaca sebagai aktifitas terbuka berbeda dengan membaca dengan maksud kepentingan tertentu. Terkadang pada tingkatan tertentu, justru yang kedua inilah yang banyak terjadi. Banyak orang membaca sesuatu karena lebih diarahkan oleh kepentingan pengetahuannya sendiri. Terkadang juga kepentingannya digerakkan atas dasar kesenangan dan kebencian terhadap sesuatu. Kepentingannya akan bertindak sebagai penyortir apa yang layak dan yang tidak layak untuk dibaca. Dari kasus semacam ini, pengetahuannya akan menjadi penjara bagi dirinya sendiri. Orangorang seperti ini boleh saja membaca dari yang telah difatwakan pengetahuannya, tapi yakin dan percaya, pengetahuan dari aktivitas membacanya tidak akan majumaju.

Membaca sebagai aktifitas terbuka sebenarnya punya arti sederhana. Membacalah dari seluruh yang mampu dibaca, begitu kirakira artinya. Mulai dari sebait kalimat sampai berjilidjilid pagina. Mulai dari diri pribadi sampai ke kehidupan banyak orang. Mulai dari bumi sampai langit bertingkattingkat. Mulai dari Adam hingga tuhan yang tak terbatas. Singkatnya, membaca adalah aktifitas tanpa pretensi. Toh jika ada pretensi, maka hanya satu saja kepentingannya, yakni untuk pengetahuan itu sendiri.

Membaca dengan cara terbuka pada hakikatnya adalah bawaan dasar manusia. Agama menyebutnya fitrah, sedangkan filsafat seringkali menyebutnya dengan istilah human nature, yakni manusia sudah dengan sendirinya mencintai suatu segala hal. Kecenderungan ini diaplikasikannya dengan cara mencari dan menemukan informasi sebanyakbanyak mungkin, sebab manusia selalu dihantui rasa ingin tahu. Itulah sebabnya manusia selalu bertanya suatu segala. Melalui itu manusia mengembangkan rasa ingin tahunya menjadi ilmu pengetahuan.