Belakangan eike sulit mengucapkan
kata “sensitif”, apalagi kalau itu ditambahi imbuhan dan akhiran seperti menjadi
“ke-sensitiv-an”. Lidah eike sulit mendesiskan bunyi “e” kemudian “i” di waktu
yang hampir bersamaan, sekaligus bunyi “a” di akhir katanya. Peralihan bunyi
itulah yang membuat lidah eike sulit mengejanya. Tidak mulus, tidak lincah,
bahkan.
Hal yang sama apabila eike
mengucapkan kata “kreatifitas” menjadi “ke-kreatif-an”. Lidah eike seperti
sulit diajak “bergoyang” dari bunyi “e”, “a”, “i”yang berubah seketika.
Akhirnya eike mencari kata-kata
yang mirip gejalanya dari dua kata di atas semisal kata “pemimpin” menjadi
sulit ketika diubah ke bentuk “ke-pemimpin-an”, kata “aktif” menjadi “ke-aktiv-an”,
atau terma “kritis” berganti menjadi “ke-kritis-an”, atau yang paling sulit
eike katakan: “eike cinta je!”
Baiklah, yang terakhir itu bukan
sulit diucapkan, tapi ah, puki mak! Betapa kompleks sekaligus rumitnya konsekuensi
dan arti dari kalimat yang terakhir itu. Apalagi itu terjadi pada hubungan Je
dengan doi yang sampai sekarang tidak sensitif menangkap gelagat perasaan Je
terhadapnya.
Tapi, lupakan soal perasaan, apalagi perasaan yang mudah sensitif belakangan ini.
Kembali ke soal utamanya. Bagi
eike, nampaknya ini bukan soal tongue twister belaka, melainkan
kebiasaan.
Bekangan eike sering menyaksikan
terutama mahasiswa ketika bersusah payah mengucapkan kata ilmiah nan asing.
Kadang juga mereka sampai harus menekuk leher hanya untuk mengucapkan satu dua
nama tokoh asing yang baru pertama kali mereka ucapkan dengan benar. Bagi eike ini
tanda-tanda bagaimana pengalaman terhadap bahasa tidak terbangun dengan baik.
Memang, kemampuan mengucapkan kata dengan baik berbanding lurus dengan sejauh
apa mereka akrab dengan budaya literasi.
Membaca adalah kunci. Eike kira itu
asal usul persoalannya. Tradisi membaca akan membuat kita akrab dengan dunia
kata-kata. Semakin luas dan dalam bacaan kita, semakin banyak dan ahli kita
dalam suatu tema. Dengan kata lain, semakin banyak kita bertemu-kenal kata
melalui membaca, semakin familiar dan mudah kata itu diucapkan.
Tapi, eike pikir ini bukan hanya soal
semakin fasih tidaknya kata itu diucapkan, namun juga seberapa pahamkah kata
itu dalam pemahaman seseorang. Kadang, dua hal ini tidak langsung beririsan,
walaupun dalam kasus-kasus tertentu dua hal ini sangat sulit dipisahkan.
Artinya tradisi bertutur itu ikut
berperan penting. Budaya menyatakan pendapat yang tidak berkembang baik dengan
kata lain adalah salah satu faktor yang menyebabkan mengapa masih sering ditemukan
kegagapan pengucapan kata-kata atau kalimat asing. Namun, ini bukan sekadar
kata-kata itu memang asing secara literer, atau diserap dari bahasa asing,
melainkan lagi-lagi seberapa akrabkah kita kepada istilah-istilah itu sendiri
melalui tradisi ilmu pengetahuan.
Memang sulit ditampik, banyak
kata-kata kita yang diserap melalui pelbagai bahasa asing. Arab, Portugis,
Belanda, Inggris, dan bahkan Cina adalah beberapa bangsa yang dari sana ada banyak
kata kita berasal.
Kalau ditelisik, bahasa Cina
misalnya, banyak perbendaharaan katanya dapat dilacak sampai ke bidang kuliner,
terutama yang berkaitan dengan dapur dan makanan. Kata “sate”, “bakmi”, “bakpia”,
dan “pangsit”, misalnya, adalah beberapa di antaranya yang hari ini masih
dipakai sebagai bahasa sehari-hari yang berasal dari negeri Tiongkok.
Kata-kata Arab, Potugis, bahkan dua
negara terakhir, Belanda dan Inggris, juga dapat kita temui kata serapannya dalam
bidang pendidikan, perdagangan, pemerintahan, dan politik yang mencerminkan
betapa pengalaman hidup kita sebagai manusia Indonesia sangat lekat dengan kata
asing dari pelbagai latar belakang kebangsaan.
Itu artinya, sudah sejak awal kita
akrab dan bahkan menggunakan pelbagai bahasa asing sebagai alat komunikasi
sehari-hari.
Nampaknya pengamatan eike yang
berkaitan dengan tidak akrabnya kaum terpelajar terhadap istilah maupun kata
teknis asing yang sering dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan, adalah sesuatu
yang mesti kita waspadai. Bisa jadi itu adalah gejala kaum terpelajar era
kekinian yang semakin jauh dari tradisi ilmiah.
Padahal, melalui dunia semacam itu,
artikulasi dan penafsiran tentang kenyataan akan menjadi semakin beragam dan
berbeda-beda. Tidak bisa dimungkiri, melalui beragam bahasa asing dan istilah
teknis, banyak fenomena yang secara gamblang terjelaskan melalui kata
bersangkutan ketika dipakai. Juga banyak pengalaman-pengalaman yang tidak bisa ditemukan
pemaknaannya lewat bahasa nasional, atau bahkan daerah, yang hanya bisa
diwakili melalui bahasa asing.
Fenomena ini eike kira adalah
akibat dari dunia yang semakin hari semakin “ter-modern-kan”. Suatu pengalaman
hidup manusia yang tidak lagi sesederhana seperti ungkapan kata-kata dalam bahasa daerah, misalnya, yang berasal dari pengalaman
masyarakat silam.
Dunia pengalaman manusia hari ini, yang semakin kompleks dan berkembang, mau tidak mau –tanpa mengkerdilkan peran bahasa lokal—sedikit banyaknya hanya bisa tersampaikan secara global melalui bahasa ilmu pengetahuan yang hari ini didominasi oleh kata-kata asing.
Tapi ada satu fenomena menarik
berkaitan dengan penggunaan bahasa asing dalam dunia komunikasi sehari-hari.
Banyak ditemukan anak-anak muda kelas menengah yang sehari-harinya
mencampuradukkan dua bahasa dalam satu pengucapan ketika berbicara. Dengan
maksud sebagai penanda “intelek” dan “meng-global”, fenomena ini disebut Joss Wibisono sebagai
keminggris-minggrisan. Fenomena ini seperti dinyatakan Joss Wibisono adalah
gejala melemahnya nasionalisme bahasa. Dengan kata lain, ini
sebenarnya adalah suatu petunjuk bahwa kita tidak lagi pede ketika menggunakan
bahasa Indonesia sebagai penghargaan terhadap nasionalisme.
Eike kira dari fenomena ini bukan
berarti bahwa kaum terpelajar tidak mesti mengakrabkan diri dengan bahasa asing,
namun sebenarnya dari itu adalah bagaimana pengalaman atas bahasa melalui mengenal dan
akrab kepada kata-kata asing menjadi medan pembelajaran untuk memperluas
pemahaman dan wawasan berpikir. Di titik ini, luasnya bahasa sama luasnya
dengan cara berpikir seseorang.
Sampai di sini eike berandai-andai,
kalau ada penelitian mutakhir yang melihat perubahan bentuk panjang-tebalnya
lidah masyarakat Indonesia berdasarkan generasi, eike mengira lidah manusia Indonesia
dari masa ke masa mengalami evolusi panjang akibat sering banyaknya menggunakan
kata-kata (istilah) asing (sulit) dalam percakapan sehari-hari. Semua itu
tergantung sulit dan terbiasanya kita menggunakan bahasa dan kata asing,
tentunya.
Baiklah, sulitkah lidah Je mengucapkan kata “trinitrotoluena”?
Baiklah, sulitkah lidah Je mengucapkan kata “trinitrotoluena”?