Ziarah adalah tanda etik manusia.
Tanpa ziarah, manusia menjadi pribadi yang kehilangan hormat dengan dunia
metafisikal tempatnya berasal.
Itulah sebabnya, berziarah juga
sekaligus menjadi tanda "kenangan" bagi jiwa yang rindu kepulangan di
kampung abadi. Ia tanda sehanif-hanifnya jiwa. Bahwa dunia hanyalah terminal
persinggahan yang tidak perlu direspon berlebihan. Hiduplah seolah-olah kau
akan mati esok. Begitu perkataan Rasulullah.
Sebelum dan sesudah ramadan, ziarah
banyak dilakukan orang-orang untuk menandai dua bentuk kunjungannya:
bersilaturahmi dengan sanak kerabat dan mengunjungi makam orang-orang yang
telah mendahului ke alam kepulangan.
Ziarah yang pertama adalah wahana
manusia mempererat hubungannya dengan sesama, sekaligus cara mempertebal ikatan
intim dengan pribadi-pribadi yang hanya sesekali bertemu.
Zaman kiwari, saling menziarahi
hanyalah pertemuan tanpa bekal kasih sayang. Kata Erich Fromm, di hati manusia
modern memendam keinginan untuk "dicintai" tinimbang
"mencintai". Mereka enggan "mencintai" lantaran enggan
berbagi. Di jiwanya hanya diliputi keinginan untuk mendapatkan perhatian.
"Mencintai" sama halnya
memberikan perhatian kasih sayang; sesuatu yang tak dimiliki manusia modern
lantaran disedot ke-aku-an yang akut.
Lalu, bagaimanakah ziarah yang
sepatutnya? Ziarah yang diperkuat asas cinta. Ziarah yang disebut silaturahmi.
Sebagaimana etimologinya, ziarah
ini merupakan interaksi yang diperantai motif kasih sayang. Ibarat ikatan tali
yang renggang, kasih sayang-lah yang mempererat ikatan yang aus karena jarang
berjumpa dan jarang berkabar. Saling memberikan perhatian, dengan begitu
merupakan obat bagi sakitnya suatu hubungan.
Silaturahmi karena itu disebutkan
Nabi dapat memperpanjang umur. Jika kelak manusia mati, banyak orang-orang
bakal mendoakannya. Doa-doa yang "naik" ke alam penantian menjadi
bekal bagi ia yang telah berpulang. Semakin banyak ia bersilaturahmi, semakin
banyak pula kemungkinan orang mendoakannya. Semakin panjang-lah umurnya.
Berziarah ke makam-makam adalah
tanda orang beriman. Sering-seringlah mengunjungi makam orang yang telah wafat,
itu akan mengingatkan jiwa kepada asalnya. Demikian pendakuan Rasulullah.
Dengan begitu, manusia dapat sadar bahwa ia adalah mahluk yang dibekali batas
di antara dua dunia.
Orang dengan iman, disebutkan dalam
al-Qur'an ditandai dari kepercayaannya terhadap hari akhir. Hari yang dibatasi
hanya melalui keberadaan makam-makam. Di baliknya, terdapat "dunia" nirbatas;
dunia kekal nan abadi.
Dari sini, maka teranglah siapa itu
manusia sebenarnya. Ia adalah mahluk kerdil yang sebenarnya mendamba kekekalan.
Dan, ziarah adalah "memo" bagi kehidupan masa kini, bahwa yang
disebut pertemuan sudah dengan pasti ada perpisahan.
Sesudah kehidupan, ada gerbang
kematian menuju alam asali.