Tulisan ini diniatkan sebagai penanda atas peralihan. Niat yang lain
sebagai semacam menciptakan jembatan bagi dua tepi masa; jembatan selalu
berarti menyambungkan, menghubungkan dua bebukit yang dipisah jarak yang
landai, di sini dan di sana; sekarang dan esok, membangun hubungan. Atau
tulisan ini saya maksudkan semisal taut jangkar, yang ditambat di bawah lambung
kapal agar kemudi tak guyah.
Di luar, letus api berkembang …juga mendung.
Di jalanjalan raya gempita
menyambut tahun yang baru sudah mulai hiruk dan juga ribut. Tahun yang
baru sudah siap disongsong, tetapi apa yang baru? Maka saya lebih suka
menyebutnya peralihan, bukan baru. Sebab yang namanya baru berarti meninggalkan
yang lama, juga tahun. Di luar keramaian jamak membunuh kesan yang dibangun
berharihari yang lalu, berbulanbulan yang lalu hingga tahun yang sebentar lagi
dikemas dalam kelampauan, dan pada akhirnya membunuhnya. Dan apa yang tersisa
dari tahun yang kita namai baru.
Sebab itulah saya menyebutnya peralihan; seperti jembatan atau jangkar yang
tak ingin guyah. Peralihan membutuhkan ketetapan, kesamaan dari keadaan
yang sebenarnya sama. Di sinilah arti dari menyambungkan apa yang tak digapai
dari daratan di belakang. Ini persis kembara yang melihat waktu sebagai
yang utuh, yang tak putus, di depan hanyalah daratan yang sama. Maka dari
itulah kita membutuhkan jembatan untuk mengingat atau perlu jika sekalikali
kita ingin kembali, maka itu dapat dimungkinkan. Melihat apa yang tertinggal
dan tak sempat kita jadikan bekal.
Di gedunggedung yang ramai, berkumpul dalam waktu yang ditetak…
Sebagai penanda atau juga jembatan, tulisan ini saya artikan sebagai
perayaan terhadap waktu senggang. Ketika di luar, di keramaian, waktu
senggang diartikan sebagai pemujaan terhadap yang banal, diekspresikan melalui
tonton kapital yang berpindah tangan dengan seketika, saya lebih memilih
menulis hal yang sahaja; membangun-sekali lagi jembatan.
Tetiba hujan pecah, entah dengan ritme yang masih saja sama…yang ada bunyi
yang titik
Merayakan yang baru sudah menjadi karakter. Untuk tahun yang baru,
barangkali di sana ada yang harus ditebak dalam keburaman, sesuatu yang tak
bisa begitu saja dikenali. Barangkali karena inilah yang baru, yang dengan
sendirinya melahirkan sentimen yang mengharu biru. Banyak cara yang ditunjukkan
untuk itu, dimulai dari doa dan perayaan. Dengan itu, yang baru, yang sebentar
lagi menjadi harihari sebenarnya tidak berbeda disambut.
Tetapi tulisan saya bukan ingin menjadi tanda bagi yang baru. Justru ingin
merujuk pada peristiwa yang dikandung mitos. Dalam mitos ada yang tak selamanya
mampu diukur, tak mampu dijangkau pertimbangan rasional, tetapi “menerangkan”
bagi penganutnya. Waktu dalam mitos adalah ihwal yang bulat penuh, total
dan menyeluruh, sehingga bukan garis linear yang menandakan adanya
keterputusan. Di dalam mitos, waktu sesungguhnya bukanlah entitas yang dapat
dipilah, yang dapat dipecahpecah, melainkan totalitas keseluruhan masa.
Lantas dari manakah yang baru itu datang? inilah soalnya, sebab waktu di
jaman sekarang adalah masa yang ditekuk rasio. Yang di sana waktu akhirnya
pecah dikepingkepangkan, menjadi bagianbagian dari rangkaian yang sesungguhnya
satu. Dari sinilah waktu akhirnya dipandang sebagai garis yang putusputus; masa
yang perlu kita bagi menjadi baru dan lama. Dan inilah arti modern; waktu harus
dirayakan kepergiannya, sementara dalam kebaruan ada masa yang tak jelas seluruh.
Tidak seperti perayaan yang menandai pada tahun yang baru yang sesungguhnya
adalah hari yang sebenarnya masih sulit ditekuk. Dalam mitos walaupun ditandai
sebagai pengetahuan yang menyelisih dari rasio, saya lebih menyukainya karena
terangnya adalah sesuatu yang bukan rasio, melainkan mental. Kehadiran waktu
adalah entitas yang seluruh bukan garisgaris yang dipilah; disinilah waktu
berarti penghayatan akan keseluruhan tentang masa dan seluruhnya.
Karena inilah kebaruan tak selamanya baik, sebab tak menyertakan mental
daripada rasio. Dalam mitoslah saya membayangkan orangorang yang beralih dari
peristiwa satu ke peristiwa yang lain dengan gelora yang bertarung pada nasib
didaratan seberang, sebab sesungguhnya orangorang ini tahu tak ada perang yang
kedua kalinya. Yang namanya perang hanya sekali, selamanya. Dalam waktu yang
dihayati, yang baru dan lama sesungguhnya ilusif, menipu dan juga berbohong.
Maka dari itu, tulisan ini menjadi rangkai yang menjembatani sebuah sikap atas peristiwa yang tak banyak berubah. Hari esok yang juga masih saja sama, sebuah peralihan masa, tentang bukit seberang yang landai dari pijak sini.
Maka dari itu, tulisan ini menjadi rangkai yang menjembatani sebuah sikap atas peristiwa yang tak banyak berubah. Hari esok yang juga masih saja sama, sebuah peralihan masa, tentang bukit seberang yang landai dari pijak sini.
Di sana, di pusatpusat keramaian talutalu kembang api menyulap mendung…
Letus hingga berjauhjauh, sungguh tak ada sauh yang jadi teduh
Tetiba ramai dalam gagap yang sepertinya tegap, walau jua kalap
Di luar yang jamak, jalanjalan yang padat jadi ruang yang pekat
Tetiba hujan ditingkap dalam kurung gemerlap yang angkuh, juga ringkih