Memugar Waktu; Tetiba Januari

Tulisan ini diniatkan sebagai penanda atas peralihan. Niat yang lain sebagai semacam menciptakan jembatan bagi dua tepi masa; jembatan selalu berarti menyambungkan, menghubungkan dua  bebukit yang dipisah jarak yang landai, di sini dan di sana; sekarang dan esok, membangun hubungan. Atau tulisan ini saya maksudkan semisal taut jangkar, yang ditambat di bawah lambung kapal agar kemudi tak guyah.

Di luar,  letus api berkembang …juga mendung.

Di jalanjalan raya gempita menyambut  tahun yang baru sudah mulai hiruk dan juga ribut. Tahun yang baru sudah siap disongsong, tetapi apa yang baru? Maka saya lebih suka menyebutnya peralihan, bukan baru. Sebab yang namanya baru berarti meninggalkan yang lama, juga tahun. Di luar keramaian jamak membunuh kesan yang dibangun berharihari yang lalu, berbulanbulan yang lalu hingga tahun yang sebentar lagi dikemas dalam kelampauan, dan pada akhirnya membunuhnya. Dan apa yang tersisa dari tahun yang kita namai baru.


Sebab itulah saya menyebutnya peralihan; seperti jembatan atau jangkar yang tak ingin guyah. Peralihan membutuhkan ketetapan, kesamaan dari keadaan yang sebenarnya sama. Di sinilah arti dari menyambungkan apa yang tak digapai dari daratan  di belakang. Ini persis kembara yang melihat waktu sebagai yang utuh, yang tak putus, di depan hanyalah daratan yang sama. Maka dari itulah kita membutuhkan jembatan untuk mengingat atau perlu jika sekalikali kita ingin kembali, maka itu dapat dimungkinkan. Melihat apa yang tertinggal dan tak sempat kita jadikan bekal.

Di gedunggedung yang ramai, berkumpul dalam waktu yang ditetak…

Sebagai penanda atau juga jembatan, tulisan ini saya artikan sebagai perayaan terhadap waktu senggang.  Ketika di luar, di keramaian, waktu senggang diartikan sebagai pemujaan terhadap yang banal, diekspresikan melalui tonton kapital yang berpindah tangan dengan seketika, saya lebih memilih menulis hal yang sahaja; membangun-sekali lagi jembatan. 

Tetiba hujan pecah, entah dengan ritme yang masih saja sama…yang ada bunyi yang titik

Merayakan yang baru sudah menjadi karakter. Untuk tahun yang baru, barangkali di sana ada yang harus ditebak dalam keburaman, sesuatu yang tak bisa begitu saja dikenali. Barangkali karena inilah yang baru, yang dengan sendirinya melahirkan sentimen yang mengharu biru. Banyak cara yang ditunjukkan untuk itu, dimulai dari doa dan perayaan. Dengan itu, yang baru, yang sebentar lagi menjadi harihari sebenarnya tidak berbeda disambut.

Tetapi tulisan saya bukan ingin menjadi tanda bagi yang baru. Justru ingin merujuk pada peristiwa yang dikandung mitos. Dalam mitos ada yang tak selamanya mampu diukur, tak mampu dijangkau pertimbangan rasional, tetapi “menerangkan”  bagi penganutnya. Waktu dalam mitos adalah ihwal yang bulat penuh, total dan menyeluruh, sehingga bukan garis linear yang menandakan adanya keterputusan. Di dalam mitos, waktu sesungguhnya bukanlah entitas yang dapat dipilah, yang dapat dipecahpecah, melainkan totalitas keseluruhan masa.

Lantas dari manakah yang baru itu datang? inilah soalnya, sebab waktu di jaman sekarang adalah masa yang ditekuk rasio. Yang di sana waktu akhirnya pecah dikepingkepangkan, menjadi bagianbagian dari rangkaian yang sesungguhnya satu. Dari sinilah waktu akhirnya dipandang sebagai garis yang putusputus; masa yang perlu kita bagi menjadi baru dan lama. Dan inilah arti modern; waktu harus dirayakan kepergiannya, sementara dalam kebaruan ada masa yang tak jelas seluruh.

Tidak seperti perayaan yang menandai pada tahun yang baru yang sesungguhnya adalah hari yang sebenarnya masih sulit ditekuk. Dalam mitos walaupun ditandai sebagai pengetahuan yang menyelisih dari rasio, saya lebih menyukainya karena terangnya adalah sesuatu yang bukan rasio, melainkan mental. Kehadiran waktu adalah entitas yang seluruh bukan garisgaris yang dipilah; disinilah waktu berarti penghayatan akan keseluruhan tentang masa dan seluruhnya.

Karena inilah kebaruan tak selamanya baik, sebab tak menyertakan mental daripada rasio. Dalam mitoslah saya membayangkan orangorang yang beralih dari peristiwa satu ke peristiwa yang lain dengan gelora yang bertarung pada nasib didaratan seberang, sebab sesungguhnya orangorang ini tahu tak ada perang yang kedua kalinya. Yang namanya perang hanya sekali, selamanya. Dalam waktu yang dihayati, yang baru dan lama sesungguhnya ilusif, menipu dan juga berbohong.

Maka dari itu, tulisan ini menjadi rangkai yang menjembatani sebuah sikap atas peristiwa yang tak banyak berubah. Hari esok yang juga masih saja sama, sebuah peralihan masa, tentang bukit seberang yang landai dari pijak sini.


Di sana, di pusatpusat keramaian talutalu kembang api menyulap mendung…
Letus hingga berjauhjauh, sungguh tak ada sauh yang jadi teduh
Tetiba ramai dalam gagap yang sepertinya tegap, walau jua kalap
Di luar yang jamak, jalanjalan yang padat jadi ruang yang pekat
Tetiba hujan ditingkap dalam kurung gemerlap yang angkuh, juga ringkih


Michel Foucault dan Kelahiran Klinik

Biografi dan Konteks Intelektual

Foucault lahir di Poitiers, Prancis pada 15 Oktober 1926. Ia berasal dari keluarga yang berlatar pendidikan medis, hingga bagi orang tuanya, Foucault diharapkan untuk memilih profesi yang sama. Tetapi studi filsafat, sejarah, dan psikologi menjadi pilihan utamanya, walaupun kelak pemikiran-pemikirannya banyak berkaitan dengan bidang medis, khususnya psikopatologi.

Dalam mendalami Studi filsafat dan psikologi di Ecole Normale Superiure, ia bertemu dengan Louis Althusser yang sekaligus memperkenalkannya kepada pemikiran marxisme strukturalis; kemudian mendalami filsafat Hegel di bawah bimbingan Jean Hyppolite; dari Georges Canguilhem tentang sejarah ide; dan Georges Dumezil membuat Foucault tertarik dengan sejarah mitos-mitos, seni dan agama. Pada 1946 ia menyelesaikan pendidikannya dan menerima lisensi filsafat pada 1948 dari Sorbone dan dua tahun kemudian memperoleh lisensi dalam bidang psikologi. Ia juga mendapat diploma dalam psikopatologi.

Karir akademisnya diawali dengan menjadi staf pengajar di Universitas Uppsala, Swedia untuk bidang sastra dan kebudayaan Prancis (1955-1958), juga menjadi dosen di berbagai universitas di Prancis. Sempat juga terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Parai Komunis Prancis hingga 1951. Selama periode ini, Ia kemudian menerbitkan karya monumentalnya “Historie de la Folie al’age Classique” yang lebih dikenal dengan “Madness and Civilization” (Peradaban dan Kegilaan).

Melalui konteks karyanya kelak, alam pemikiran Foucault menunjukkan bermacam-macam minat pengetahuan yang menjadikan dirinya sebagai salah satu pemikir yang provokativ dan sulit dipahami (Ritzer, 2008). Tetapi selain dari Ide-ide Marxian melalui alur pemikirannya, ia banyak bersentuhan dengan teori rasionalisasi Weber yang ia sebutkan hanya ditemukan pada “tempat-tempat kunci (key sites); pendekatan hermeneutika dalam melihat fenomena sosial yang menurutnya problematis; pengaruh fenomenologi dengan cara penolakannya terhadap ide-ide otonomi subjek; dan yang paling penting adalah pemikirannya yang kuat terhadap beberapa minat Nietzsche terhadap kekuasaan dan pengetahuan. Input teoritis yang beragam ini akhirnya menempatkan ia sebagai seorang poststrukturalis (Ritzer, 2008).

Melalui Madness and Civilization, Foucault persis seperti menara yang menjulang akibat ketenaran dari tulisannya. Sejak penerbitan buku itu, perhatian terhadap gejala penyimpangan, yang juga sejarah psikiatri, ilmu kedokteran, psikopatologi, kriminologi dan seksualitas telah menjadi kajian yang kompleks saat diperhadapkan kepada tahap masyarakat dan tahap pemikiran. Begitu juga sebagaimana deskripsinya tentang perilaku aneh dengan kaitannya terhadap siksaan sadis melalui cara-cara yang ekstrem, dimulailah sebuah tahap ilmiah yang menghubungkan gejala inhumanitas dan humanitas sebagai bagian dari pengamatan sosial (Kurzweil, 2010)

Cara Kerja Foucault

Tindak baca Foucault atas sejarah peradaban barat terutama pada tema-tema perilaku menyimpang dan sejarah klinik, dilakukan berdasarkan metodelogi genealogidan arkheologi pengetahuan yang terungkap melalui kategori yang ia cetuskan. Dalam Madness and Civilization, Foucault mengujicobakan pendekatannya melalui pembacaan kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya kelompok-kelompok masyarakat terpusat melalui kategori kekuasaan selama masa abad pertengahan hingga pencerahan.

Dari tindak pembacaannya, Ia menemukan bagaimana kekuasaan menormalisasi kelompok marginal; orang berpenyakit lepra, orang gila, kaum miskin dan pengangguran melalui modus yang memperantai bagaimana cara kerja kekuasaan diberlakukan dalam skema pengetahuan dan kedokteran melalui diskursus.

Unit analisis diskursif sekitar kekuasaan dan pegetahuan dinyatakannya melalui bentuk-bentuk pengetahuan yang menyertakan kualitas moral dari kekuasaan itu sendiri. Melalui cara ini, kekuasaan mengkondisikan fungsi otoritasnya dalam mengatur praktik-praktik, aturan-aturan, pernyataan-pernyataan yang berhak beroperasi di dalam lingkungan dominasi kekuasaan.  Dari tema ini diskursus dapat diartikan sebagai “kelompok pernyataan yang memililiki sistem formasi tunggal” (Ritzer, 2008).

Diskursus dalam beberapa pengertiannya dipadankan dengan arti ideology. Penggunaan ini seperti ungkapan Eagleton adalah usaha Foucault untuk menghindari pemakanaan ideologi yang bias dari sebelumnya. Tetapi dari yang diberikan Eagleton, diskursus yang diperantai antara relasi kekuasaan sebenarnya selalu dimediasi melalui bahasa dan dibentuk oleh bahasa. Sehingga penggunaan diskursus lebih tepat digunakan dalam menjelaskan relasi struktural bahasa dalam mediasi kekuasaan (Bagus Takwin, 1999)

Ada empat artikulasi Foucault yang prinsipal dari arkeologi pengetahuan dengan membedakannya dengan sejarah ide untuk memahami diskursus;

Pertama. Arkeologi tidak mengupas “pemikiran, representasi, pencitraan yang terimplisit dalam diskursus, melainkan melihat kembali diskursus dibentuk dari kekuasaan yang menyertainya. Dengan kata lain arkeologi pengetahuan membantu kita untuk melihat diskursus itu sendiri.

Kedua. Dari dimungkinkannya diskursus yang disertai dari kekuasaan maka ia dilihat sebagai perkembangan yang memiliki kekhasannya sendiri. Ini sejalan dengan maksud Foucault untuk memahmi diskursus secara tidak langsung akan memposisikan kebenaran bukan hal yang prinsipal, melainkan adanya kecenderungan berbeda dari the other.

Di Akhir Desember

Bagaimana kita harus memahami perbedaan? Utamanya jika diperhadapkan dengan akhir Desember. Seperti biasa, menjelang 25 Desember, hanya soal ucapan bisa mengundang perdebatan soal iman. Dengan itu kita perlu kembali mengartikan apa maksud kehidupan beragama. Dan ini tak begitu mudah, sebab agama bagi kita, bagi sebagian orang, adalah urusan yang menyertakan “prasangka”

Prasangka dalam praktik bermasyarakat akhirakhir ini memang tumbuh subur. Persis jamur yang tumbuh di musim penghujan; bermekaran, menelusup masuk tanpa tedeng alingaling. Malangnya, prasangka dengan artinya kecurigaan justru akrab dalam kehidupan kita. Kecurigaan, juga dalam sak wasangka adalah kerukunan yang tanpa moral.

Jauh di ibu kota, Jakarta, sebagai contoh, agama menjadi komoditi pengangkut prasangka. Politik direduksi sampai hanya bermakna “suka tidak suka” dan ini artinya kemunduran; kita kehilangan tatanan yang generatif mengikat atas dasar “pengetahuan normatif” Politik dengan maksud demikian menjadi medan pertautan selera. Ini persis bagaimana konsumen diasosiasikan dengan iklan dari komoditi tertentu. Politik selera, dengan caranya yang memobilisasi, memiliki iklannya yang paling jitu; agama.

Tepat dengan cara demikianlah agama bisa menyulut sekam. Tak bisa dibayangkan, di saat tatanan demokrasi dirajut di sanasini, tepat di pusat demokrasi sana, agama justru murka dengan prasangka yang dikembangbiakkan. Sehingga idaman masyarakat terbuka yang mengedepankan semangat toleran, pikiran terbuka, masyarakat dialogis dan juga modern justru hanya wacana pinggiran.

Yang menjadi paradoks dari keadaan semua itu adalah “kecuriagaan” yang hidup persis di tengahtengah masyarakat informasi yang berbasiskan kemajuan informasi dan teknologi. Di saat gerak peradaban hendak mendaku cara berpikir terbuka, justru agama nampaknya sebaliknya mempertahankan “wawasan padang pasir” yang berbasis kesukuan. Dengan cara demikianlah agama dengan sisi sentimentalismenya menjadi komoditi yang kental dengan kedok fetisisme.

Dan “wawasan padang pasir” juga yang kerap tibatiba menilap toleransi kita. Akhir desember barangkali adalah situasi bagaimana agama kehilangan semangat kasihnya. Saya tidak mengerti jika “ucapan” yang sebenarnya adalah bahasa sosiologis selalu disandingkan persis seperti bahasa teologis. Bukan saja melalui “ucapan” kita menakar bagaimana toleransi diantara kita, justru barangkali agama kita, apa yang kita anut malah masih menyisakan jawaban yang belum tuntas kita pertanyakan.

Saya juga tidak mengerti, hanya karena bertoleransi, iman kita dipersangkakan. Dari agama, pengetahauan kita dibentuk hingga menjadi wawasan tentang ruang sosial dan segalanya. Dari cara ini, pengetahuan kita bersumber dari apa yang kita anut, apa yang kita yakini. Juga mereka, dengan pengetahuan yang berbeda, berasal dari keyakinan yang dianut. Maka wajarlah jika apa yang memotivasi kita dan seperti apa tindakan kita itu bisa berbeda, justru karena sumber kita yang berbeda. Lantas atas dasar apa keyakinan kita dianggap benar, dan selain dari kita dianggap menyelisih?

Maka ini sebenarnya perkara moral, bukan sesiapa benar sesiapa salah. Malah lebih berarti kenapa kita enggan salah. Atau lebih tepatnya kenapa kita tidak ingin menerima perbedaan? Janganjangan, apa yang selama ini dianggap benar adalah keyakinan yang tak kita gugat sebelumnya? Atau barangkali kita adalah orangorang yang kehilangan pegangan, tepat setelah kita mengatakan mereka salah?

Bagaimana kita harus memahami perbedaan, jika kosakata dalam praktik bermasyarakat selalu ditafsirkan melalui monolog agama? Sesungguhnya dalam yang semacam itu adalah pertunjukan yang sunyi tepuk tangan. Kenyataan masyarakat justru membutuhkan banyak riuh, gegap warna yang persis sebuah sirkus; keceriaan. Bukan sejenis aksi teatrikal yang minim suara. Minim dialog.

Justru saya ingin merasakan akhir Desember, persis saat saya tumbuh di tengah keanekaragaman keceriaan. Saat 15 tahun lampau ketika saya memahami ada tuhan yang lain. Ada pemeluk keyakinan yang lain, tetanggatetangga saya, sahabat dan temanteman saya juga orangorang kebanyakan. Saat demikianlah saya bisa memahami betapa di akhir Desember bukan tanpa dialog, justru pasca sebuah ucapan selamat, kita menjadi beriman.[]

Gong Mea

Abad 21 adalah masa yang tak pernah terbayang sebelumnya. Penanda khas dari zaman ini adalah hilangnya batas-batas kultural antar bangsa dalam dimensi budaya, ekonomi maupun politik. Globalisasi adalah peristiwa mutakhir di mana tak ada lagi bangsa yang otonom dari keberadaan bangsa lain. Sudah merupakan “kewajiban” antara bangsa untuk melakukan kesalingterhubungan demi membangun keberlangsungan kehidupan bernegara yang layak.

Tahun 2015 nanti, gaung globalisasi tidak sekedar wacana dari negeri seberang.  Melalui masyarakat ekonomi Asean (AFTA), kita dituntut untuk mengadaptasikan seluruh kemampuan sumber daya potensial untuk menghadapi era keterbukaan pasar global. Ini berarti secara ekonomi, kita harus mampu bersaing dengan pasar dari “negeri seberang” dengan memproduksi dan memanfaatkan "kelebihan” yang kita miliki. Pertanyaannya yakni, seberapa mampukah daya saing sumber daya yang kita miliki untuk “bertarung” di dalam era keterbukaan AFTA?

Modal Kebudayaan

Keresahan yang paling mengkhawatirkan di era pasar bebas adalah hilangnya penanda kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat kita. Keresahan ini sudah diwanti-wanti oleh Ritzer, seorang ahli sosiologi dengan istilah yang ia sebut McDonaldisasi kebudayaan. Keresahan Ritzer merujuk pada fenomena kebudayaan yang secara homogen dikooptasi oleh “rejim kebudayaan pasar”. Miskinnya pemaknaan masyarakat terhadap kearifan lokal adalah salah satu contoh dari kooptasi rejim kebudayaan yang mengartikan nilai kehidupan berdasarkan nilai-nilai asing.

Lantas apa kaitannya dengan AFTA? Pasar bebas sebagai medan pertemuan produk-produk diperjualbelikan, merupakan garda paling depan dalam “mempromosikan” selera bahkan nilai kebudayaan “negeri seberang”.  Produk adalah “duta” paling efisien untuk “mengakali” apa yang mejadi kebutuhan masyarakat kita. Bila hal ini terjadi, tidak tertutup kemungkinan akan berdampak secara kultural yang mengubah selera, praktik dan cara hidup berkebudayaan masyarakat Indonesia.

Bagi Makassar sebagai gerbang  timur perekonomian, mau tidak mau harus mempersiapkan strategi kebudayaan yang memungkinkan terjadinya penguatan nilai-nilai lokal saat menghadapi era pasar bebas. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur edukasi yang kembali mengingatkan masyarakat untuk terus menghidupkan kehidupan berbasiskan kebudayaan. Menyangkut ini apa yang sempat diprakarsai oleh pemerintah kota Makassar melalui film Bombe’ adalah salah satu contoh seperti apa kebudayaan lokal diterjemahkan dalam kemodernan masa kini. Bila hal demikian tidak diantisipasi, maka budaya lokal yang kita miliki akan tersapu bersih oleh bentuk-bentuk kebudayaan baru seiring banyaknya produk luar negeri yang masuk.


Sentimentalisme Filsafat; Prasangka dan Anti Sains

Louis Althuser, filsuf marxis Prancis, punya buku; Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Saya membayangkan -dari judulnya- bagaimana filsafat, ilmu yang abstrak dan spekulatif itu memiliki keterpautan terhadap revolusi, situasi puncak gerakan sosial yang radikal dan total. Dan sulit dibayangkan, dalam arti apa filsafat harus kita terima sebagai senjata. Barangkali di sinilah tipikal pemikiran yang berhaluan marxis; filsafat bukan ilmu yang sekadar menafsir dunia, justru masuk dan mengubahnya.

Titik tolak dari buku yang ditulis Althuser itu bisa kita terima dalam beberapa pengertian. Pertama, perselisihan filsafat materialisme historis Marx terhadap filsafat Hegel yang bersifat spekulatif. Dalam konteks ini, pemikiran Althuser sulit menyelisih dari pertentangan yang sudah dimulai Marx. 

Kedua, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, jawaban atas spekulasi-spekulasi filosofis di luar halaun pemikiran marxis yang dinilai tak memiliki sumbangan praktis terhadap kompleksitas dunia. Ketiga, filsafat materialisme dialektik historis, seperti pandangan-pandangan pemikir marxis, satu-satunya alternatif pemikiran yang masih membawa harapan terhadap tatanan totalitarian kapitalisme.

Namun biar bagaimanapun, filsafat itu sebagai indung ilmu pengetahuan adalah medan yang masih sangat sulit dikenali. Persitegangan antara filsafat materialisme dan idealisme adalah panorama yang khas dalam pemikiran filsafat. Pelecehan terhadap filsafat Hegelian oleh Marx dengan menyebut filsafatnya berjalan dengan kepala, adalah ekspresi ideologis betapa kentalnya sentimen-sentimen antara filsuf di abad 19.

Jauh sebelumnya, sentimen yang lebih antagonistik ditunjukkan saat Eropa masih dikuasai eksternalitas gereja. Melalui kuasa hegemonik dan totaliter, hampir semua dimensi kultural dan keagamaan dipenuhi nuansa dogmatis doktrin-doktrin padri agama. Dari situasi demikian, tradisi kitab suci merupakan satu-satunya ilmu pengetahuan yang diakui melalui studi-studi kitab di dalam gereja. Pengetahuan dalam arti kritis yang bertumpu melalui telaah argumentatif rasional dan penyelidikan empiris, wacana pinggiran yang dibid’ahkan.

Tetapi Alison Brown, misalnya, dalam Sejarah Renaisans Eropa, menggambarkan bagaimana mesin cetak menjadi penanda kebaruan perkembangan Eropa. Keberadaan mesin cetak juga digambarkan Francis Bacon sebagai tiga penemuan yang mengubah wajah dunia. Pusat-pusat percetakan di Paris, Basel, Roma dan Antwerb dengan cepat menjadi pusat-pusat baru ilmu pengetahuan menggantikan dominasi gereja. Dengan bergesernya pusat ilmu, bersamaan dengan liberalisasi ilmu mesin cetak, akhirnya Eropa mulai memasuki era pencerahan.

Eropa yang tercerahkan adalah Eropa yang mulai meninggalkan anggapan-anggapan teologis. Eksternalitas gereja menjadi residu yang harus disapu bersih. Peristiwa demikian juga membersihkan presuposisi terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap bid’ah dan menyesatkan. Dengan demikian ilmu yang awalnya dianggap menyimpang menjadi penanda otoritas manusia atas penguasaan hidupnya.

Zaman Keemasan: Bangkitnya Ilmu Pengetahuan

Abad pencerahan menjadi keadaan yang memungkinkan berkembangnya ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan metodelogi keilmuan, sampai perselisihan filosofis adalah ilustrasi epistemologi dari berkembangnya ilmu pengetahuan renaisans. Melalui Sejarah Filsafat Barat misalnya, Betrand Russell menuliskan serbuan sains pertama kali datang saat publikasi teori Copernican tahun 1543, kemudian diperkuat dan dikembangkan oleh Kepler dan Galileo pada dua abad selanjutnya.

Pudarnya kekuasaan iman gereja ditandai lahirnya semangat humanisme. Kharisma gereja akhirnya berganti pesona kekuatan primordial manusia sebagai mahluk otonom. Otonomi manusia berarti manusia sebagai subjek yang berpengetahuan tidak lagi menyandarkan kekuasaannya terhadap institusi gereja. Di zaman keemasan ini, manusia dilahirkan menjadi mahluk paripurna meninggalkan kesan purba abad kegelapan.

Kesan manusia sebagai pusat ilmu mencapai puncaknya dalam pembatinan Rene Descartes; cogito ergo sum. Mahluk purba dalam pembatinan Descartes menjadi subjek yang lahir dari peristiwa otonomisasi semangat pencerahan. Cogito ergo sum adalah tiang pancang kekuatan rasio atas keberadaan manusia. Rasio Descartes merupakan pemurnian kekuatan primordial manusia yang sudah tercemari praanggapan common sense. Rasio dalam pengertian cartesian adalah rasio yang menolak eksternalitas sebagai dasar pijak kebenaran.

Zaman keemasan juga digambarkan Kant sebagai era yang sama sekali berbeda dari abad pertengahan. Abad pencerahan disebutnya sebagai keadaan kemandirian berpikir. Di suatu waktu ia menulis:

Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan.

Era pencerahan juga memberikan kesan yang kuat terhadap individuasi manusia. “Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri!” merupakan keinginan kuat dari manusia otonom. Dalam hal ini Kant, juga seperti Descartes, memiliki iman yang sama terhadap manusia merdeka. Dalam hal ini kolektivitas yang menjadi dasar common sense diradikalkan atas rasio yang independen. Dalam situasi demikianlah manusia yang independen atas rasio menjadi pusat alam semesta.