|
Judul:
Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
Penulis:
Thomas Hidya Tjaya
Penerbit:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Edisi:
Ketiga, April 2018
Tebal:
XVII+ 178 halaman
ISBN:
978-602-424-850-5
|
Orang-orang
berpikir bahwa dunia ini membutuhkan republik, dan mereka berpikir bahwa yang
dibutuhkan adalah tatanan sosial baru, dan agama baru—tetapi tak seorang pun
pernah berpikir bahwa apa yang sekarang dibutuhkan oleh dunia, membingungkan
tapi sebenarnya juga sudah banyak diketahui, adalah seorang Socrates.
Anti-Climacus,
The
Sickness Unto Deatth, Appendix 223
SEANDAINYA Kierkergaard hidup di
masa sekarang, ia bakal getol bersuara mengingatkan publik. Seluruh kritik
filsafatnya menemukan momentumnya saat ini.
Di ranah individu, manusia kehilangan
orientasi didera krisis eksistensi. Di ranah sosial, masyarakat menjadi
kerumunan. Kerumunan melenyapkan kepribadian individu yang khas, dinamis dan
bebas.
Di ranah etika, manusia lebih mengutamakan hasrat kenikmatan daripada
anjuran moral universal. Di panggung budaya, hasrat
mengorientasikan masyarakat ke dalam jebakan konsumerisme. Bahkan di ranah
agama, religiusitas terjebak ke dalam formalisme kerumunan dan ritualisme
belaka.
Kierkegaard merupakan filsuf eksistensialis.
Proyek filosofisnya bertolak dari eksistensi manusia sebagai dasar
pemikirannya. Bagi Kierkegaard, filsafat mesti menjadi panduan bagi tindakan
manusia. Filsafat bukan argumentasi abstrak yang diidealisasi hingga tidak sama
sekali mampu menyelesaikan fenomena konkret manusia. Sesungguhnya, filsafat di
mata Kierkegaard adalah jalan tengah yang mendamaikan pilihan-pilihan hidup
yang demikian sulit dielakkan.
Dengan kata lain, filsafat bukan
bekerja di ranah ”apa itu” (what is that?), melainkan ”bagaimana itu” (what I
do?) (hal.63).
Itulah sebab, filsafat Kierkegaard
dapat dikatakan filsafat manusia. Tiada filsafat yang bertolak dari manusia,
begitu kurang lebih dakuan filsafat Kierkegaard.
Filsafat manusia Kierkeegard nampak
terang jika dilihat dari kritiknya terhadap filsafat Hegel. Setidaknya ada tiga
wilayah kritik filsuf Denmark ini terhadap Hegel.
Pertama, di mata Kierkegaard Hegel
terlampau jauh mendudukkan manusia ke dalam idealisasi pergerakan ruh (sejarah).
Bagi Hegel hakikat kenyataan adalah dialektika, dan seluruh kehidupan manusia
berpijak atas hukum ini. Manusia dalam pemikiran Hegel senantiasa menemukan
ketegangan-ketegangan antara pikiran dan kenyataan. Dialektika antara das sein (realitas pikiran) dan das solen (realitas faktual), dengan
kata lain adalah rumus paten segala fenomena dunia.
Walaupun demikian, dialektika Hegel
bakal dijembatani pemikiran baru berupa sintesis dari pertentangan sebelumnya. Das sein berupa kedamaian dunia (tesis)
dan konfrontasinya dengan perang dunia (antitesis) akan ditengahi kenyataan
baru berupa kedamaian abadi (sintesis). Kedudukan manusia dalam kasus ini di
mata Hegel adalah bagian perubahan yang disebutnya sejarah ruh.
Dalam arti lain, bagi Hegel,
seluruh pertentangan dunia fenomenal merupakan dialektika ruh dalam
mengidealisasikan (men-sejarah-kan) dirinya menjadi ruh absolut (ruh sadar
diri).
Di titik inilah Kierkegaard
meletakkan kritiknya kepada filsafat sejarah Hegel. Bagi Kierkegaard, manusia
dalam wilayah sejarah ruh Hegel terlampau teridealisasi menjadi semata-mata
abstrak. Kedudukan manusia seperti ini
mengandung kontradiksi sebab manusia di kehidupan sehari-hari berkembang
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan konkret.
Sejarah manusia bukan manifestasi
pergerakan ruh yang bergerak menuju satu telos
(sintesis) sembari meleburkan pertentangan-pertentangannya (tesis-antitesis).
Sejarah manusia adalah emosi, kegelisahan, kerisauan, kemarahan, cinta, dan
benci yang secara personal jauh dari idealisasi ruh absolut seperti pendakuan
Hegel.
Dari wilayah ini pula Kierkegaard
menyatakan pertentangan manusia tidak dapat sepenuhnya lenyap setelah
dikonsitusikan ke dalam sintesa baru. Jika Hegel memandang roh obsolut
(sintesis) sebagai tujuan akhir pergerakan sejarah, dan itu bakal mendamaikan seluruh
konflik dunia fenomenal (tesis-antitesis), bagi Kierkegaard kemelut
pertentangan yang dialami manusia akan tetap eksis.
Dengan kata lain, sepanjang sejarah,
manusia tidak sepenuhnya bisa keluar dari pertentangan-pertentangan
eksistensial dirinya (hal.53).
Kedua, filsafat Hegel adalah
filsafat yang ambisius menempatkan dirinya sebagai satuan sistem tunggal. Dalam
arti ini, Hegel ingin mengatasi segalanya melalui sistem ilsafatnya. Ruh
absolut yang dikatakan Hegel sebagai tujuan segala pertentangan-pertentangan
bakal mendamaikan kenyataan ke dalam eksistensi tunggal yang maha menutupi.
Kritik Kierkegaard terhadap
pemikiran Hegel ini ia nyatakan sebagai comical lantaran Hegel terlampau jauh
meninggalkan kenyataan konkret manusia. Bagi Kierkegaard, pengalaman manusia
tidak dapat diletakkan begitu saja ke dalam satuan sistem gagasan. Atau dengan
kata lain, dari tilikan filsafat Hegel yang universalis, pengalaman unik dan
khas manusia tidak serta merta dapat digeneralkan ke dalam satuan sistem begitu
saja. Pengalaman khas manusia hanya bisa dipahami dari pergulatan hidupnya
sendiri. Itu artinya manusia tidak begitu saja mampu diterangkan apalagi
dipahami dari kaca mata seperti yang dinyatakan Hegel.
Pemikiran Hegel dinyatakan
Kierkegaard mengabaikan termporalitas manusia yang hidup dalam ruang dan waktu.
Sistem filsafat Hegel dalam hal ini bakal menghilangkan dinamika konkret
kehidupan manusia. Dengan kata lain, sistem filsafat Hegel, tidak sama sekali
menempatkan manusia sebagai eksistensi penting sebagai tilikan refleksinya.
Ketiga, fungsi filsafat Hegel
dinyatakan Kierkegaard tidak sama sekali berfaedah bagi keputusan-keputusan praktis
eksistensial manusia. Filsafat Hegel terlampau spekulatif dan abstrak sehingga
tidak relevan menjadi pegangan hidup.
Jika mengajukan pertanyaan ini
kepada Hegel ”apa hubungan dialektika sejarah ruh terhadap keputusan Si A
memilih pasangan hidup?”, maka nampak sulit menemukan hubungannya. Bagi Kierkegaard,
filsafat mesti memproblematisir masalah-masalah manusia, bukan ihwal yang jauh
dari kebutuhan praktis manusia.
Dengan kata lain, di mata
Kierkergaard spekulasi rasional filsafat Hegel tidak memadai untuk memahami
pergulatan eksistensial manusia dalam kehidupan sehari-hari (hal. 65).
Tiga kritik Kierkegaard terhadap
filsafat Hegel ini sedikit banyak memperlihatkan kecenderungan orientasi
eksitensialisme Kierkegaard. Tesis Kierkegaard atas pemikiran Hegel merupakan turning point yang meletakkan
kecenderungan semangat idealisme kepada soal-soal pergulatan konkret manusia.
Di mata Kierkegaard, pergulatan eksistensi manusia jauh lebih menantang diajukan ke dalam refleksi filosofis. Ini
akan nampak jelas jika sejarah hidup Kierkegaard ikut jadi pertimbangan mengapa
filsafatnya berorientasi eksistensialis.
ALAM pemikiran Kierkegaard tidak
bertolak dari titik hampa. Kenyataannya, pemikirannya merupakan refleksi atas
situasi yang ia hadapi. Di masa Kierkegaard hidup ada dua keadaan sosial yang
menjadi tujuan kritiknya. Pertama adalah crowd,
kerumunan (publik). Dan, yang kedua adalah formalisme agama.
Proposal utama filsafat Kierkegaard
adalah perjuangan manusia menemukan akar kepribadiannya. Dengan kata lain,
dorongan agar manusia bertindak otentik. Otentisitas karena itu merupakan
refleksi penting dalam filsafat Kierkegaard.
Kierkegaard menyatakan otentisitas
atau keaslian diri mesti bertolak dari subjektivitas. Subjektivitas bagi
Kierkegaard hanya berarti jika itu ditopang keyakinan atas kebenaran. Uniknya
kebenaran bagi Kierkegaard bukan pernyataan objektif, universal, dan diandaikan
”di luar” atas keselarasan ”pikiran” dan ”objek pikiran”, melainkan sebagai
sesuatu yang berhubungan langung dengan dirinya.
Itu artinya kebenaran adalah hubungan subjektif manusia dengan
kebenaran yang ia yakini. Kebenaran dalam hal ini tidak dapat diandaikan dari
apa hakikat kebenaran itu sendiri, melainkan seberapa dekat dan taat manusia
kepada kebenaran yang dipegangnya.
Singkatnya, kebenaran bukan dilihat
dari sisi kepentingan objeknya, tapi dari sudut bermanfaat tidakkah bagi
penganutnya (hal.68).
Itulah sebab, otentisitas dan
kepalsuan dalam kerumunan adalah dua wilayah yang tidak dapat didamaikan. Bagi
Kierkegaard, otentisitas merupakan pergulatan manusia dengan kebenaran yang
dianutnya. Otentisitas hanya bisa diraih melalui usaha manusia menemukan pusat
subjektivitas atas keyakinan yang ia pegang.
Bagi Kierkegaard kebenanaran tidak
dapat diandaikan ”di luar” manusia, dan tidak ditemukan di permukaan kerumunan,
melainkan ”di dalam” kedalaman diri manusia selama ia berusaha bergulat mencarinya.
Masih menurut Kierkegaard,
kerumunan, satuan wahana yang menghilangkan subjektivitas manusia. Di dalam
kerumunan subjek kehilangan peluang mengemukakan kesadarannya.
Manusia yang tenggelam dalam
kerumunan mengalami transformasi dari pribadinya yang unik, khas, bebas, dan
rasional menjadi pribadi massa yang monoton, imperatif, dan irasional.
Dari sudut pandang ini, kerumunan
mensubordinasi individu sampai ke tingkat nihilistik. Melalui keadaan ini
otentisitas individu menjadi tidak mungkin. Otentisitas individu di dalam
kerumunan, dengan kata lain, menjadi subordinat hanya sekadar objek kekuasaan.
Kerumunan juga diandaikan
Kierkegaard tidak hanya sebagai kelompok atau satuan massa, tapi juga
diidentikkan sebagai cara pandang dan sistem nilai mayoritas. Cara pandang ini
seringkali menjadi ukuran kebaikan, kebenaran, kesopanan dan kepantasan
walaupun tidak sama sekali menyediakan ruang reflektif bagi individu.
Dalam arti ini, subjektifitas
manusia hanya merupakan dorongan-dorongan imperatif kelompok yang sama sekali
berbeda dari kesadaran individu itu sendiri.
Menurut Kierkegaard, individu yang
hidup dalam imperatif kelompok akan menjadi pribadi inotentik. Pribadi inotentik
adalah pribadi palsu yang tercerabut dari akar kesadarannya. Atau dengan kata
lain, pribadi yang tidak sama sekali memiliki kekuatan reflektif mengenai
eksistensinya.
Menariknya, dalam kehidupan
Kierkegaard, kerumunan atau publik mendiami wilayah yang sama dengan kehidupan
religius masyarakatnya. Artinya, kehidupan umat beragama di masa Kierkegard
hidup menggunakan cara pandang yang sama dalam kerumunan.
Orang beragama disebut religius hanya
karena mengikuti ritual mayoritas umat beragama. Dengan bahasa lain,
otentisitas yang diinginkan Kierkergaad tidak ditemukan dari cara orang
menghayati agamanya. Orang banyak malah terjebak ke dalam ritualisme formal dan
pelabelan-pelabelan kelompok bergama.
Masyarakat kehilangan gairah dan
kedalaman dalam beragama diibaratkan Kierkegaard seperti orang yang menaiki
perahu di atas lumpur. Tidak ada lagi kekuatan yang mampu mendorongnya maju ke
tempat-tempat yang dimungkinkan.
”Pernahkah
Anda melihat sebuah perahu yang terjebak dalam lumpur? Perahu itu hampir tidak
mungkin berlayar lagi karena tidak bisa didayung lagi…Dayung pun tidak dapat
mencapai dasar sungai sehingga tidak ada tumpuan untuk menggerakkan perahu.
Demikianlah seluruh generasi terjebak di pinggiran akal-budi yang berlumpur…”
(hal.77).
Itulah sebab, agama bagi Kierkegaard
adalah pengalaman personal individu. Ia pengalaman pribadi yang demikian
subjektif. Pengalaman agama bukan sekadar iman hasil konseptualisasi kelompok. Ia
mesti merupakan penghayatan yang didorong gelora dan semangat dari kekuatan
subjektivitas manusia.
Dengan kata lain, kemampuan publik
tempat individu mensubordinatkan dirinya bagi Kierkegaard, tidak bakal cukup
membangun pengertian tentang Tuhan. Tuhan bukanlah pengertian dari cara pandang
kerumunan. Apalagi hanya sekadar mengandalkan common sense. Tuhan hanya bisa
dihayati melalui refleksi subjektif penganutnya. Antara penganut agama dengan
Tuhannya sendiri.
EKSISTENSI manusia senantiasa berkembang
sesuai cara pandang melihat kenyataan. Seringkali paradigma manusia tidak
sesuai dengan kenyataan. Harapan, keinginan, pemikiran, dan cita-cita, yang
tidak sesuai kenyataan ini seringkali membuat manusia gamang dan gelisah.
Kegelisahan semakin dalam apabila
manusia diperhadapkan kepada berbagai macam pilihan hidup yang masih relatif
dan tidak pasti. Itulah sebab, di balik kegelisahan, manusia dituntut memiliki
dasar kuat keyakinan otentik agar tidak diombang ambing gelombang samudera
kehidupan.
Kierkegaard mengembangkan tiga
wilayah eksistensi (spheres of existense)
yang menandai perkembangan eksistensi manusia (stages on life’s way). Masing-masing wilayah eksistensi ini menjadi ziarah manusia di dalam menemukan
otentisitasnya.
Pertama, level eksistensi estetis (the aesthetic). Di wilayah ini orientasi
kehidupan manusia terpaku kepada sensas-sensasi kesenangan dari objek-objek di
sekitarnya. Eksistensi manusia hanya bergerak di level suka tidak suka, senang
tidak senang, dan puas tidak puas. Kierkegaard menyatakan keadaan perilaku
manusia pada wilayah ini tidak merujuk kepada apa yang baik (good)dan apa yang jahat (evil), melainkan hanya mengedepankan
sensasi (aisthesis) perasaan
(hal.88).
Wilayah kedua adalah eksistensi
etik (the ethical). Model eksistensi
ini bertumpu di atas anjuran-anjuran moral. Orang di level ini bertindak atas
larangan tertentu yang menganjurkannya apakah boleh atau tidak boleh, pantas
tidak pantas, dan layak tidak layak. Di level ini tindakan seseorang tidak lagi
diperantai sensasi untuk segera dilakukan, melainkan melalui tahap refleksi
akal budi.
Melalui perantara akal budi inilah tindakan seseorang memasuki
pilihan-pilihan yang mengikutkan komitmen dan tanggung jawab di dalamnya.
Eksistensi religius (the religious) merupakan puncak kedua
wilayah sebelumnya. Di wilayah ini tanpa mensubordinatkan dua wilayah
sebelumnya, eksistensi diri bergerak naik ke level tindakan religius.
Dalam wilayah eksistensi religius, Tuhan
menjadi satu-satunya orientasi hidup. Pertimbangan baik dan jahat seperti di
level etik tidak lagi memadai menjadi dasar utama bertindak. Tindakan dalam
wilayah ini meletakkan orientasi pribadi di atas kedekatan dengan Tuhan. Dengan
kata lain, eksistensi diri yang bergerak atas dorongan pribadi, di wilayah
religius berubah menjadi ketaatan total kepada tujuan Tuhan.
KEMAMPUAN Thomas Hidya Tjaya
menyatakan pemikiran Kierkegaard ke dalam bahasa yang lugas dan mudah dicerna
patut dihargai. Buku ini walaupun tidak sepenuhnya memberikan cakupan luas atas
pemikiran Kierkegaard, setidaknya sudah lebih dari cukup untuk mengantar
pembaca ke dalam ”pergulatan” pemikiran Kierkegaard yang demikian khas.
Eksistensialisme Kierkegaard yang
tidak sepenuhnya ateis seperti pemikir eksistensialis lainnya sedikit banyak
cocok dengan tujuan berpikir masyarakat kita yang sulit melepaskan pengaruh
Tuhan ke dalam seluruh aktivitas masyarakat. Artinya, jika pembaca khawatir
menjadi ateis pasca mendalami pemikiran eksistensialis Barat, saya kira
Kierkegaard adalah pengecualian. Tidak seperti Jean Paul Sartre, misalnya, Tuhan
bahkan entitas penting di dalam eksistensialisme Kierkergaard.
Singkat cerita, buku ini masih
relevan dengan suasana kebangsaan belakangan dan masa akan datang. Terlebih
lagi buku ini menganjurkan satu adagium yang nyaris terlupakan bagi kehidupan
politik, budaya, dan agama: be your self!
Judul : Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
Penulis : Thomas Hidya Tjaya
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Edisi : Ketiga, April 2018
Tebal : XVII+ 178 halaman
ISBN : 978-602-424-850-5