Gayatri dan Sumpah Pemuda

Gayatri, putri Ambon penguasa 14 bahasa itu harus meregang nyawa. Oleh keluarganya dikatakan karena pendarahan otak. Ia sontak menjadi sorotan setelah kematiannya beberapa waktu yang lalu. Gayatri yang sudah mendapatkan 80 penghargaan itu memang putri bangsa yang cerdas. Sehingga kehilangannya menjadi duka dalam bagi bangsa. Salah satu sebabnya jarang kita temukan pemudi seperti gadis 17 tahun ini. Menguasai banyak bahasa dengan cara yang otodidak. Juga yang membuat kita takjub adalah Gayatri tidak lahir dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anak dengan dukungan kelas privat bahasa, melainkan ia tumbuh jauh di Ambon bersama keluarga sederhananya.

Begitulah kiranya Gayatri, putri bangsa yang menjadi duta ASEAN. Pemudi yang dinobatkan sebagai  The Young Hero oleh acara Kick Andy. Dara yang juga kerap berbicara di forum internasional ini sering kali mengingatkan dunia betapa pentingnya permasalahan anak untuk menjadi perhatian setiap pemerintahan. 

Kehadiran Gayatri seperti menyuarakan pesan bahwa peran perempuan di dunia global memiliki peran yang sama dengan kaum pria. Ia juga menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk tetap berprestasi mengharumkan nama bangsa. Gayatri berani mengambil sikap, diusianya yang masih muda memilih bakti untuk tanah airnya.

Suara Pemuda Pemudi

Keberanian seorang Gayatri adalah ciri kaum muda. Indonesia mencatat keberanian pemuda pemudi pernah gaung 28 oktober silam. Melalui keberanian kaum muda, sumpah untuk bangsa yang satu, bahasa yang satu dan tanah negeri yang satu akhirnya menjadi peristiwa yang menyejarah. Sumpah pemuda akhirnya menjadi kristalisasi semangat untuk mendirikan sebuah negeri yang merdeka.

Dari sumpah pemuda kita bisa belajar bagaimana suara pemuda pemudi menjadi tanda kebaruan. Pada konteks sumpah pemuda lahir, kongres pemuda yang melibatkan pemuda pemudi daerah menghendaki lahirnya negeri baru tanpa penjajahan dan pembodohan. Dengan sumpah pemuda visi kedaerahan ditranformasi menjadi visi kenegaraan, juga dengan sumpah pemuda kesadaran terhadap makna tanah air akhirnya dipersatukan menjadi indonesia.

Sumpah pemuda seperti yang dibahasakan Bung Hatta adalah letusan sejarah. Letusan dalam konteks lahirnya sumpah pemuda adalah metafora untuk menggambarkan betapa kuatnya keinginan persatuan terhadap berdirinya negeri baru. Indonesia saat itu barangkali seperti apa yang dibilangkan Benedict Anderson sebagai imagined communities . Yakni negeri yang dipersatukan oleh identitas yang identik, cita rasa dan juga cita-cita yang sama. Di negeri yang terbayang saat itu adalah bangsa yang hidup makmurnya ditentukan oleh hasil jerih payah kaum sendiri. Nasib yang dikayuh sendiri, kesejahteraan yang bukan keringat orang lain. Singkatnya negeri tanpa penjajahan.

Mencari Kembali Indonesia

Indonesia, negeri yang terbayang dan Indonesia sekarang adalah dua negeri yang berbeda. Negeri yang terbayang adalah negeri yang dahulu dicita-citakan melalui penanda historis melalui sumpah pemuda, proklamasi, kesaktian pancasila dll. Melalui proses panjang itu, indonesia sebagai bangsa mengalami pemapatan identitas untuk tampil sebagai bangsa yang merdeka. Dari peristiwa-peristiwa sejarah itu, Indonesai tumbuh dan berkembang menempa dirinya terus menerus.

Sumpah pemuda adalah dokumen sejarah yang seharusnya bekerja dalam imajinitas bangsa indonesia. Bukan sebagai artefak sejarah yang hanya ditinggalkan dalam museum ingatan masyarakat. Sebagai dokumenlah sumpah pemuda menjadi teks yang terbuka untuk dimaknai berdasarkan konteks yang dihadapi sekarang. Apalagi di era kemajuan informasi dan teknologi seperti sekarang, batas-batas kultural, penanda identitas manusia indonesia mengalami pergesekan dari dampak globalisasi yang sulit dibendung.

Maka dari itulah, sumpah pemuda menjadi penting. Dari kronologisnya, sumpah pemuda ditujukan untuk keluar dari semangat kedaerahan di tengah-tengah penjajahan saat itu. Sementara dari subtansinya, sumpah pemuda dimaksudkan untuk membentuk dan membatasi identitas kebangsaan secara kultural dan politik dari bangsa lain. Ini dilakukan sebagai negeri  yang ingin merdeka dari penindasan bangsa lain. Sehingga sumpah pemuda adalah ikatan kolektif yang dirajut menjadi tanda kebangsaan.

Kita berhutang budi kepada orang-orang semacam Sugondo  Djojopoespito, Muh. Yamin, Sunario Sastrowardoyo, Amir Syarifuddin, Wr. Supratman dan lainnya yang berani mencetuskan semangat persatuan kebangsaan dari lidah lokal menjadi lidah nasional. Merekalah pemuda-pemuda yang memiliki visi kebangsaan untuk merumuskan nasionalisme. Ditangan merekalah indonesia menjadi kosakata yang bermakna nasional.

Indonesia di jaman sekarang adalah bangsa yang hidup berdampingan dengan bangsa lain. Ini berarti, Indonesia adalah negeri yang mau tak mau harus mampu berdialog dengan bangsa lain. Dalam konteks global, sumpah pemuda adalah personal identity tanpa harus kehilangan jati diri kebangsaan di antara lintas kultural bangsa-bangsa lain. Sumpah pemuda adalah teks dialog yang memungkinkan kita, bangsa Indonesia tidak kehilangan bentuk lisan untuk berdialog diantara lisan asing. Syahdan, selamat hari sumpah pemuda.


Jokowi dan Kepemimpinan Tanpa Tabu

Sampul Times, majalah yang terkenal di Amerika Serikat itu, pada terbitan tanggal 16 Oktober 2014. menyebut Jokowi sebagai “the new hope” Barangkali agak berlebihan ekpektasi yang dibangun Times dengan menyebut Jokowi sebagai harapan baru. Pasalnya, “The New Hope” harapan baru, mengandung standar ganda. Pertama, Jokowi di mata internasional harus membuktikan kapasitasnya dalam skema politik luar negeri yang cenderung menguntungkan pihak asing untuk menyeimbangkan kebijakan-kebijakan internasional dengan kepentingan kedaulatan dalam negeri. Kedua, harapan baru di maknai sebagai metafora bagi rakyat indonesia untuk keluar dari pemerintahan yang selama ini terlampau birokratis.

Saya membayangkan “the new hope” oleh majalah Times itu di saat Jokowi masih sebagai gubernur Jakarta saat acara puncak kirab budaya pagelaran agung keraton sedunia 2013 silam. Dengan pakaiannya yang persis seperti seorang pendekar dan diarak oleh banyak orang dengan menaiki kuda, merupakan metafora bagi situasi kepemimpinan pasca era SBY saat ini. Pendekar, dalam cerita manapun bukanlah pemimpin politik, namun kemunculannya sesungguhnya adalah keinginan mayoritas untuk keluar dari tirani orde. Keberadaannya merupakan serba antitesa dari model dan gaya kepemimpinan tirani. Jika kepemimpinan orde mengandung tatakrama, gerak yang kaku, bebal dan lamban, maka pendekar adalah personifikasi dari tatakreasi, gerak yang dinamis, cair dan cekatan. Dan mengapa kuda, bukan panggung singgasana yang dipikul budak, kuda pendekar adalah simbol kendaraan rakyat serba bisa. Kuda adalah penanda masyarakat bawah.

Merawat Komunitas

Hermann Borch  melalui A Study on Mass Hysteria-nya memberikan anasir model kepemimpinan politik dalam konteks kepemimpinan massa. Broch memaksudkan bahwa politik sebenarnya memiliki tugas misioner merawat komunitas. Dalam arti ini, merawat komunitas berarti perlibatan edukasi dan kontinyuitas visi dalam kepemimpinan jangka panjang berbasis massa. Dimaksudkan pula oleh Broch, tugas merawat komunitas merupakan kanalisasi untuk melawan penyimpangan-penyimpangan massa.

Kaitannya dengan kepemimpinan Jokowi selama ini adalah betapa besarnya arus grassroot yang ikut tersedot dalam arus kekuasaan politik Jokowi. Logika relawan selama ini adalah indikasi yang mesti diperhatikan bagaimana konteks merawat massa ini bekerja. Jarak makna antara massa dengan komunitas mesti diterjemahkan melalui model kepemimpinan yang fleksibel dan dinamis. Sebab massa bukanlah komunitas yang di dalammnya kepemimpinan politik bekerja.

Massa dalam pengertian sosiologis hanyalah crowd (gerombolan) yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan yang berorientasi visi. Urgensi pembedahan ini yakni betapa seringnya hasrat politik massa dikonfigurasikan berdasarkan logika kekuasan politik tertentu. Politik dengannya hanyalah kumpulan crowd-crowd yang bergerak tanpa arah. Melalui proses inilah grassroot sewajarnya harus diberdayakan dalam konteks menjaga keberlangsungan komunitas.

Lantas seperti bagaimanakah keberlangsungan komunitas dapat berlangsung? Arnold Toynbee kiranya memiliki pandangan terkait seperti bagaimanakah kepemimpinan kreatif  berperan dalam merawat komunitas. Dalam siklus perubahan, kepemimpinan kreatif sangatlah menentukan respon situasi yang dihadapi. Maka dalam konteks inilah metafora kepemimpinan pendekar Jokowi diterjemahkan. Gaya cekatan, gesit dan fleksibel adalah simptom kepemimpinan kreatifitas yang dinantikan bagi komunitas besar Indonesia.

Jokowi dengan citra kerakyatan yang dibangunnya diharapkan menjadi penanda sosial maupun kepemimpinannya untuk mengatasi ekspektasi yang terlampau besar terhadap dirinya. Apalagi bersama dengan kabinetnya di dalam kepungan parlemen membutuhkan gaya kepemiminan tanpa tabu sebagaimana sikap seorang pendekar. Melalui gaya komunikasinya yang fleksibel, tidak banyak bicara, enteng dan merakyat merupakan tatanan semantik antikrama yang cenderung diatur rapi, kaku dan berat sehingga memudahkan membangun gaya kepemimpinan yang tanpa malu-malu.

Barangkali melalui konteks demikianlah “the new hope” oleh Times dapat kita maksudkan. Yakni dimulai dari lapisan sipil hingga menembus tatanan elit, Jokowi menjelma menjadi fajar baru bagi harapan berjuta hati Indonesia. Bukan dalam pengertian kepentingan dunia barat seperti yang barangkali diharapkan oleh negara asing. Justru bisa jadi Jokowi seperti lakon Arok dalam naskah Arok Dedes sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di mana kemunculannya merupakan jawaban dari temaram nasib yang dialami. Fajar harapan yang dinanti-nanti.

Apalagi mengingat pidato Jokowi yang berkelekar untuk mengembalikan kejayaan maritim nusantara pada 20 oktober lalu. Yakni misi untuk membangun mental manusia maritim yang bevisi terbuka, kedepan, pekerja keras dan menyukai tantangan. Dengannya layar dibentang kemudian seperti Nietzche dalam puisinya; tak ada jalan kembali, sebab telah kita bakar labuhan dibelakang sana.

Pernah dimuat pada harian Fajar terbitan 23 Oktober 2014.


Agama Teologis Agama Sosiologis

Tulisan ini mengacu kepada pendekatan yang digunakan Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis, berkenaan dengan agama sebagai fakta sosial. Pengertian ini ingin mengutarakan agama, dalam penilaian tertentu, tidak memiliki perbedaan dengan nilai-nilai tertentuyang tumbuh di masyarakat. 

Ini berarti agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dapat disejajarkan sebagaimana aturan main yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam posisi yang demikian, dan dalam pengertian agama sebagai fakta sosial, memberikan indikasi bahwa agama juga bisa diverifikasi menjadi bahan amatan yang empiris.

Dalam konteks perubahan sosial, agama dalam pengertiannya yang sakral, harus rela berbaur dengan segala perubahan yang menjadi karakter dasar masyarakat. Ini berarti agama yang selama ini diyakini mengandung nilai teologis, mau tak mau di dalam pendekatan empiris, akhirnya  menjadi seperangkat keyakinan yang sosiologis. 

Melalui cara ini, agama menjadi kajian yang tidak terlepas dari unsur-unsur perubahan. Mengingat hal ini, persentuhan dengan alam sosiologis, agama dimungkinkan untuk mengalami perubahan.

Agama sebagai suatu sistem juga mencakup individu dan masyarakat, seperti yang ditampilkan dalam keyakinan terhadap paham, ritus, maupun upacara keagamaan atau kesatuan kolektif. Agama dan masyarakat dapat pula mengacu pada sistem simbol yang dimantapkan sebagai fungsi untuk mengatasi masyarakat. Dalam sejarah kebudayaan, agama acap kali digambarkan sebagai keyakinan lokal yang banyak berperan dalam mengintrodusir makna-makna maupun simbol sebagai way of life.

Sebagai acuan dasar dan juga sebagai pembanding, tulisan ini juga bertolak dari argumentasi filosofis yang melihat jika agama tak mengandung unsur perubahan, maka dalam realitasnya tidak mungkin bermunculan bentuk-bentuk keyakinan yang berbeda satu dengan lainnya. Mustahil agama dengan wajah yang monolit, melahirkan purnaragam rupa-rupa agama. 

Atau dengan bahasa lain, jika agama hanya ditafsirkan sebagai wajah yang tunggal, maka beragamnya kemungkinan “wajah-wajah” agama yang berbeda mustahil dapat terjadi.

Mengingat agama yang memiliki kemungkinan mengalami perubahan, maka kecenderungan tulisan ini, berusaha mengikuti kerangka pengertian yang dibilangkan Macionis berkenaan dengan perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial dapat mengacu pada transformasi di dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir, dan dalam perilaku di waktu tertentu. Hal ini diperlukan agar menjadi dasar penilaian untuk melihat kecenderungan perubahan dalam agama dengan pembacaan sosiologis.

Agar lebih memudahkan penilaian dalam segi apa agama mengalami perubahan, maka secara operasional, agama dalam tulisan ini akan dipecah menjadi beberapa aspek untuk memudahkan pembacaan kita menyangkut perubahan yang dimaksudkan.

Pertama, aspek ideologis. Berdasarkan apek ini, dalam setiap agama ataupun keberagamaan, agama manapun memiliki seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis eksistensial terhadap kebermaknaan hidup. Biasanya dalam pengertian ini, mengandung asumsi-asumsi teologis yang disakralkan dan tak dapat diganggu gugat. 

Kedua adalah aspek ritual, di mana pada level ini aspek ideologis dilaksanakan. Pengamalan dari kepercayaan ideologis disebut ibadah. 

Ketiga,  aspek ekperiensial, yang dimaksudkan bahwa agama juga memiliki keterlibatan emosional dan sentimental di dalam pengamalan ritual atau ibadah keagamaan. Sebagai bahan perbandingan dalam aspek ini, termuati pengertian yang diberikan William James menyangkut perjumpaan dengan tuhan.

Keempat berupa aspek intelektual yang menjadi semacam rasional eksplanation. Berkenaan dengan apek ini, setiap agama harus memiliki sistem penjelas untuk menerangkan dirinya agar dapat diterima secara logis dan metodelogik. Tanpa ini agama hanya menjadi sekumpulan dogma tanpa kejelasan sedikitpun.


The Violences of Everyday Life

Sejarah dunia, bila meminjam analisis Marxian adalah persitegangan tiada henti. Dunia adalah medan pertarungan dari kepentingan atas dasar kekuasaan. Melalui mekanisme yang antagonistik, dunia banyak disuguhi hororisme, ketakutan, penghancuran, perang, perbudakan, genosida, serta penghisapan. 

Awal sejarah, tindak penghancuran seperti juga diakui dalam kitab suci, sejatinya sudah dimulai oleh nenek moyang manusia beberapa milenium sebelumnya. Melalui kisah Qabil dan Habil, agama hendak mengingatkan sebenarnya kekerasan dan penghancuran merupakan tindak manusia yang inheren dan paling purba dalam diri manusia. Dalam abad modern, ingatan umat manusia tertuju pada pembersihan ras oleh Nazi atas dasar pemurnian etnis, perang yang dialami rakyat Bosnia, pendudukan etnis Yahudi di tanah Palestina serta menguatnya tindakan terorisme internasional akhir-akhir ini.

Nampaknya tatanan dunia belakangan ini tengah diuji. Aksi-aksi kekerasan yang kerap menelan korban banyak, mau tak mau menyimpan duka mendalam bagi korban pasca peristiwa. Baik global maupun nasional, kekerasan sudah menjadi peristiwa integral dalam kehidupan manusia. Betapa mudahnya dunia menyuguhkan aksi-aksi brutal yang begitu transparan ditengah-tengah kita, seakan kekerasan adalah hukum natural yang sedang memperbaiki dirinya. Ataukah boleh jadi, kekerasan sebenarnya adalah hasil kreasi manusia yang mengambil peran untuk meneguhkan eksitensi kekuasaannya. Ini berarti kekerasan-entah peperangan, pembunuhan, kemiskinan struktural sampai manipulasi tindakan-adalah sistem yang tidak lahir dengan alamiah dengan mengacu pada bentuk-bentuk yang terpola berdasarkan tingkatan dan kedalamannya.

Menanggapi itu, dalam ulasan ini kami berusaha untuk menyoroti beberapa kasus-kasus semisal kekerasan yang terintitusionalkan melalui kepentingan politikal dan ekonomikal terhadap pengidap hemofilia dan AIDS di kawasan Amerika Utara, dampak lokal dari kepenguasaan totaliter pemerintahan Mao Zhe Dong terhadap masyarakat Cina, kekerasan struktural pada tatanan kelas menengah masyarakat Amerika dan apropriasi kekerasan kultural dalam image media. Melalui pembacaan demikian, sekiranya akan memberikan gambaran terang melalui taxonomi kekerasan yang inheren dalam wajah sehari-hari. Dengan cara demikian, setidaknya dampak kekerasan yang muncul dari beragam bentuk, dengan implikatif mampu dilihat seberapa jauh dan besar kekerasan terbentuk pada tatanan individual maupun kolektif di dalam tubuh masyarakat.

Sejauh ini, sebagai kerangka pengertian, studi kami menyangkut kekerasan tidak keluar dari pemahaman yang melibatkan bentuk-bentuk hubungan antara negara dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini berarti dari kasus-kasus yang kami eksplore, masih dalam rangka mengikuti kerangka pengertian yang dimaksud. Namun bukan berarti melalui kasus-kasus yang ada, secara monolog hanya memberikan pengertian yang seragam, tetapi juga turut mengembangkan pengertian yang lebih purnaragam.

Kasus pertama. Varietas Borjuis. Kekerasan struktural dalam kelas menengah masyarakat Amerika Utara. Jane Huffberg seorang perempuan pekerja dari Amerika Utara yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan bedah anatomi masyarakat Amerika Utara, keadaan sosial ekonomi lebih banyak mengalami keadaan alienatif dari sistem ekonomi kapitalisme. Masyarakat yang tumbuh dari mekanisme ekonomi yang kapitalistik turut mengkofigurasi kelompok masyarakat berdasarkan kepemilikan ekonomi. Dengan konteks yang demikian akses-akses terhadap hak-hak publik hanya dapat dimanfaatkan oleh golongan masyarakat atas. Sementara minimnya akses yang dimiliki oleh kalangan marginal, justru menciptakan golongan yang berkubang pada kemiskinan yang akut.

Berdasarkan pendekatan teologi pembebasan, kekerasan sehari-sehari dalam tingkatan tertentu justru analog dan inklud dalam tatanan sosial masyarakat. Gambaran demikian diwakili dalam kasus Jane yang mengalami tekanan psikis dan fisik dari keluarganya yang hidup di dalam mata rantai kemiskinan. Dampak yang dialami Jane sebenarnya adalah konstruksi realitas sosial yang timpang dari struktur kemasyarakatan kapitalistik. Dari pengamatan yang diamati, tatanan yang timpang demikian mengharuskan Jane mengalami pengalaman waktu yang berlipat. Ia harus bekerja siang dan malam untuk mencari nafkah, terutama menutupi kekuarangan dalam keluarganya.  Dalam pengakuannya ia bertindak juga seperti bapak; “saya seperti kuda” katanya.

“I don’t show my anger. I let people get angry at me. But really, you know, I think I’m angry all the time. I’m angry at life, I think. Really, I’m. it gets to you. It’s too much, really-life is!”

Dari analisis semantik terhadap pernyataan Jane, dapat disimpulkan bahwa betapa besar tekanan psikis akibat tatanan sosial yang timpang. Secara sosiomatic, besarnya eksternalitas yang mendistorsi pemanfaatan waktu yang dialami, mengakibatkan rusaknya tatanan mental dari keadaan psikodinamik secara kesuluruhan tatanan. Dari kasus Jane Huffberg, dan juga masyarakat kelas menengah yang hidup dalam kemiskinan, hipotesa yang bisa kita berikan adalah kemiskinan dan kekerasan adalah dua mata rantai yang mengikut dan kerap menjadi symptom sosial dalam tatanan sistem yang kapitalistik.

Kasus kedua. Kekerasan dalam gambar. Bentuk kedua dari kekerasan dalam kehidupan sehari-sehari adalah kekerasan dalam gambar. Kasus ini berangkat dari publikasi Joan Kleinman yang mengeksplor gambar-gambar kekerasan dalam surat kabar yang apropriatif mempengaruhi mental order dan sosiokultural sebagai salah satu causal dalam mencipta bentuk kekerasan- moral, keindahan dan sikap. 

Kasus yang ada mengambil sampel dari koran New York Times bertanggal 18 Juli 1995. Dalam edaran bertanggal 18 juli itu, terpampang gambar yang mengandung isu global pembersihan etnis masyarakat Yahudi yang diwakili dari icon tentara, perang sipil masyarakat Bosnia; seorang perempuan separuh baya dengan anak muda yang tertangkap kamera saat masa perang berlangsung.dan seruan International Rescue Committee (IRC) yang sedang menggalang permohonan dana.

Apa yang tertangkap dari kamera jurnalis NYT, mengandung isu yang problematis. Dengan jeli gambar yang ada sebenarnya adalah suara yang bungkam oleh kekuasaan yang melampaui wewenang sehari-hari. Pada kasus perang Bosnia, di sana merupakan impac dari konstalasi politik merebut kawasan jajahan. Betapa besar pengaruh traumatik dari konflik yang berkepanjangan. Dari ilustrasi gambar yang ada, kekerasan akibat konflik berkepanjangan juga dapat ditangkap sebagai kekerasan sistematis untuk mengontrol keberlangsungan hidup suatu kawasan.

Sementara dalam icon tentara Nazi, konteks penangkapan kita tidak akan jauh dari peristiwa holocaust yang dialami masyarakat Yahudi. Dari keterangan gambar yang diterangkan pada gambar tentara Nazi, mendeskripsikan perhatian kita menyangkut peristiwa pembersihan etnis yang pernah terjadi di awal abad dua puluh.