Yang Lebih Buruk dari Hukuman Penjara 1.000 Tahun

Jujur saja, diam-diam  Anda  pernah menonton video-video Harun Yahya, yang namanya pernah santer disebut-sebut sebagai ilmuwan muslim. Suatu waktu, itu Anda lakukan saat teori evolusi Darwin menjadi satu-satunya jawaban atas asal-usul kehidupan ini, yang secara bersamaan membuat Anda kelimpungan membantahnya karena itu tertulis di buku-buku pelajaran IPA. Anda, teman Anda, guru Anda, dan semua orang, entah mengapa mempercayai itu dan mengajarkannya seolah-olah itu titah dari entah siapa.

Anda orang beragama, yang dikhotbahkan bahwa sains tentang asal usul kehidupan tidak sepenuhnya benar. Charles Darwin salah, ia tidak mau mempercayai kitab suci yang menyimpan informasi bahwa Adam Hawa lah nenek moyang manusia.

Di hadapan orang seperti Charles Darwin, narasi asal usul manusia tidak original berdasarkan alam empiris. Itu semua tidak lebih dari bualan semata, dan apa yang dituliskan di dalam kitab suci bukan informasi yang lahir dari alam pikiran sains.

Karena Anda orang beragama, mata Anda akan picing terhadap komunisme, mencurigainya, dan membulinya habis-habisan oleh karena ia sudah tidak pantas hidup di Tanah Air.

Meskipun rentetan tragedi pasca 65 sudah berlalu, Anda masih merasa menjadi titisan Soeharto yang bertugas akan memberangus komunisme hingga kapan pun, seolah-olah seperti SUPERSEMAR, Anda mendapatkan surat gaib tentang tugas suci Anda itu.

Komunisme adalah bentuk lain dari Darwinisme. Ia mengajarkan ateisme, menyuruh orang-orang memusuhi agama, dan mengajak siapa pun agar tidak mempercayai mukjizat orang-orang suci.

Itu gagasan yang pernah dipelantang Harun Yahya—yang tiba-tiba belakangan jadi sorotan publik— dalam konten-kontennya yang menyerang komunisme. Ia juga menulis kritiknya itu di buku berjudul Communism In Ambush di tahun 2003, sebuah buku yang bergambar tiga pemimpin komunisme dunia di sampulnya: Lenin, Stalin, dan Mao Zedong.

Tentu Anda bakal senang saat menonton konte video-videonya, atau ketika sudah membaca bukunya, terutama Atlas Penciptaaan setebal 800 halaman itu,  karena mendapatkan dukungan secara moril, dan mungkin itu menambah daftar argumentasi Anda untuk membantah kejadian di masa lalu semisal Revolusi Oktober.

Harun Yahya, dikenal sebagai penulis buku-buku berbau ”sains agama”, yang semuanya ditembakkan khusus kepada dua aliran pemikiran di atas tadi itu. Di Tanah Air, tidak sedikit yang menonton konten video-videonya sampai-sampai ada yang menyimpannya untuk menjadi referensi menolak pikiran-pikiran haram seperti Darwinisme dan komunisme.

Sama seperti sebagian dari orang-orang itu, saya di masa lalu sekali dua kali menonton video-videonya, dan antusias membaca pikiran-pikirannya yang disebut aliran kreasionisme Islam itu. Di salah satu majalah Islam, sebut saja Hidayatullah, saya pernah terkesima membaca butir-butir pikiran aliran kreasionismenya, menemukan namanya yang disebut-sebut sebagai salah satu penggagasnya.

Kreasionisme Islam—betapa pun kaburnya istilah ini—entah datang dari mana, dan menjadi populer melalui Harun Yahya,  dan masuk ke Indonesia melalui buku-buku dan kaset DVD di awal tahun 2000-an, dipercayai sebagai kumpulan stok pengetahuan untuk menjawab pertentangan abadi antara sains dan agama.

Telah lama diketahui, sains dan agama adalah dua seteru yang saling merebut pengaruh, yang masing-masing memiliki cara pandang berlainan menyangkut apa saja, tidak terkecuali menyangkut kosmologi dan asal usulnya.

Karakter sains yang empiris dan berdasarkan data-data objektif di lapangan dan laboratorium, tidak seperti agama yang menekankan iman meskipun itu tidak sesuai alam kenyataan. Akan sangat membingungkan jika sains dan agama, ingin diberikan tempat yang sama seolah-olah itu wajib dilakukan persis seperti obsesi sebagian orang. Sains memiliki wilayah penyelidikan berbeda dengan agama, begitu pula agama memiliki urusan yang sama sekali tidak bisa dijangkau sains oleh karakternya yang empiris.

Sampai di sini, tanggalkan sementara dulu perbebatan sains dan agama, terlebih-lebih kreasionisme Islam yang sampai sekarang masih pro kontra. Nyatanya, itu bukan urusan kita yang lebih suka kepo dengan hal-hal receh yang sering menyeruak melalui dunia virtual.

Adnan Oktar a.k.a Harun Yahya beberapa hari lalu,  divonis hukuman 1.075 tahun dan tiga bulan penjara melalui pengadilan Turki pada 11 Januari lalu. Ia terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap beberapa pengikutnya, termasuk di antaranya anak-anak di bawah umur.

Dua situs berita di Turki, Anadolu Agency dan Hurriyet, telah merinci kejahatan Adnan Oktar yang kesemuanya hampir menyerupai pelanggaran 10 perintah tuhan yang pernah turun di tengah-tengah kaum Bani Israil.

Ini kalimat klise sebenarnya: seribu tahun bukan waktu yang sebentar. Butuh ribuan kriminil di Indonesia untuk menyerupai jumlah hukuman penjara Harun Yahya. Umur siapa bakal sampai selama itu. Tapi, pengadilan Turki tidak sedang bercanda, 1.000 tahun justru lebih terdengar seperti mengejek.

Butuh seperdua vonis hukuman Harun Yahya bagi dunia, atau paling tidak Eropa untuk melesat naik dari masa kegelapan menuju abad pencerahan, dan seperempatnya bagi peradaban di dunia Islam menukik turun menuju masa kemunduran. Sains dari masa itu kelak menjadi primadona dan agama kehilangan elan vitalnya menginspirasi penelitiaan ilmu-ilmu terbaru. Kondisi ambivalen ini, dalam kenyataannya melahirkan  sebagian besar komunitas  muslim dunia yang hidup melalui paradigma klenik ketimbang ilmu pengetahuan seperti di periode klasik.

Memang tidak sepenuhnya dapat diterima kenyataan di atas, meskipun itu juga tidak dapat disanggah bahwa ada situasi yang lebih buruk dari masa bui Harun Yahya, yakni ketika gagasan-gagasan pseudosains seperti disebarkan Harun Yahya meraih pengikut fanatik. Implikasinya sudah terbukti satu dekade ini—setidaknya di Tanah Air— naiknya kelompok ultra-religius menjadi gerakan politik identitas.

Pseudosains adalah bentuk lain dari berhentinya kerja metodis ilmu, palsunya fakta-fakta, tidak validnya kebenaran, dan matinya penalaran rasional yang menyokong daya analitik sehingga berakhir kepada taklid buta.

Fenomena ini tidak asing sebenarnya, selama Anda masih mempercayai vaksin Covid-19 misalnya, dapat membuat alat vital sahabat Anda bertambah besar saat diimunisasi. Atau menjadi tentara virtual yang menyerbu grup-grup WA keluarga Anda agar sesegera mungkin menolak vaksin antibodi Covid-19.

Batu ajaib Ponari, kesaktian Dimas Kanjeng, matematika Islam Borobudur, teori bumi datar, minuman sehat kencing unta, kerajaan Sunda Empire, teori konspirasi Covid-19, hingga vaksinnya yang sempat jadi polemik, beberapa rentetan gejala yang menandai separuh kehidupan kita masih seperti di masa abad kegelapan.

Kondisi-kondisi semacam itu bakal menjadi tren yang terjadi 1.000 tahun ke depan, dan kehidupan ini justru akan menjadi satu fase yang buruk sama sekali, jika para ahli tidak diberikan tempat dalam pengambilan keputusan, dan  iklim ilmu pengetahuan tidak bergerak dari cuaca mendungnya.

Syahdan, jika Anda dipenjara sama waktunya seperti masa tahan Harun Yahya, kira-kira sebelum masa hidup keburu habis, karya intelektual apa yang bakal akan Anda lahirkan?

---

Telah tayang di Kalaliterasi, 14 Januari 2021

Fakhrizadeh, Sains, dan Terorisme


Pendek saja: Mohsen Fakhrizadeh. Catat nama ini. Dia barangkali satu dari sedikit nama ilmuwan dunia yang dikhawatirkan Barat, terutama Amerika dan Israel. Barangkali pula jarang seorang prajurit seperti Fakhrizadeh, yang sekaligus ilmuwan ahli nuklir. Di Indonesia, sulit menemukan seorang mantan tentara mengabdikan seragamnya di kancah sains, kecuali menderetkan namanya sebagai pemilik saham di perusahaan tambang berskala nasional. 

Socrates, Diogenes, dan Kegilaan

”Kegilaan”, saya kira adalah jalan alternatif, agar hidup lebih “berisi”, terutama ketika menghadapi keadaan yang dinormalisasi mirip sekarang; di aras politik, perbedaan prinsip demokrasi terancam berkembang ke arah totalitarianisme massa. Di saat bersamaan, demi stabilitas, kekuasaan negara kerap menempuh cara kekerasan menumpas kritisisme sekaligus mengampanyekan rezim autokrasi; di medan budaya, pasar—banyak orang menyebutnya kapitalisme—melalui budaya high consumption, menormalisasi masyarakat menjadi ”pelahap” simbol-simbol; di tataran global, tidak usah dikatakan, kebangkitan dua fundamentalisme kanan (pasar dan agama) jadi tren pemerintahan dunia.

Di aras dunia harian, gaya hidup mengatasnamakan ”kebersamaan”; cara berpikir, praktik kerja, gaya belajar; bahkan cara berseragam jadi fenomena lawas, tapi tidak pernah dilihat sebagai jalan lapang terciptanya masyarakat—meminjam istilah Herbert Marcuse—masyarakat satu dimensi.

Dalam kajian cultural studies, masyarakat satu dimensi adalah gejala kebudayaan yang membuat dunia harian terperangkap ke buih-buih permukaan simbolik, yang massal tapi juga mudah ”pecah”. Normalisasi dunia harian ini, kerap diandaikan oleh pengkritik kajian budaya sebagai budaya populer, suatu gaya hidup yang distandarnisasi melalui industri media hiburan.

Kegilaan, dianggap berbeda karena itu aib, persis seperti digambarkan Eka Kurniawan dalam cerpennya Tak Ada yang Gila di Kota Ini, mesti enyah dan dihilangkan demi menciptakan kehidupan normal sesuai tafsir banyak orang, yang malangnya itu tidak sepenuhnya mampu kita kendalikan.

Tafsir dalam cerpen Eka itu menjadi seporadis diartikan sepihak menempatkan kegilaan di posisi subordinat. Lebih dari pada itu, kegilaan di cerpen itu yang menjadi objek kekerasan, bukan saja secara seksual, melainkan juga  menjadi objek pameran tontonan kelas berduit. 

Itu artinya, kegilaan,yang dalam dunia harian kerap dientengkan, dalam Tak Ada yang Gila di Kota Ini, diangkat Eka untuk dipermasalahkan. Melalui tindakan tokoh-tokohnya kegilaan menjadi konsep yang digugat dan ditafsir ulang. Siapa yang gila sebenarnya, orang-orang yang mempertontonkan orang gila secara seksual, atau orang gila itu sendiri.

Kegilaan, di satu sisi, walaupun itu jadi tafsir otoritas medis, bagi orang-orang tertentu digambarkan menjadi jalan keluar dari pakem-pakem normal kehidupan. Kegilaan dalam arti ini adalah jenis kegilaan lain, yakni suatu kualifikasi berpikir dan bertindak di luar dari kebiasaan umum. Kita bisa menggantinya dengan istilah semisal ”kreatif”, ”inovatif”, ”out of the box”, ”produktif”, atau ”jenius”, yang semuanya mengesankan suatu polah di atas rata-rata.

Mungkin terkesan serampangan jika “kegilaan” diartikan sepadan dengan istilah di atas, tapi dunia menggambarkan, sejarah dunia justru bergerak maju dari kepala orang-orang penentang zaman. Orang-orang yang berani mengambil risiko berpikir dan bertindak berbeda, meski dikecam dunia.

Socrates, filsuf canon Yunani antik, dikatakan Alan Badiou, filsuf kontemporer Perancis, sebagai salah satu figur yang rela menanggung risiko dari gaya berfilsafatnya. Selain revolt (pemberontakan), logis (logika), dan universal (menyeluruh), risiko adalah ikhwal yang mesti ditanggung dari setiap modus pencarian kebenaran. Selama berfilsafat, yang memang sudah menjadi way of life nya, Socrates tidak sedikitpun gentar demi melahirkan ”suara” kebenaran, meski di akhir hidupnya ia dikalahkan melalui suara mayoritas.

Saat Socrates hidup, kegilaan menjadi idiom sepihak diartikan kekuasaan. Selain ”gila”, ia dituduh bid’ah dan sesat karena dianggap menyalahartikan tradisi. Ia di tempat-tempat umum, melakoni polah hidup khas yang kelak disebut ”metode bidan” mengajak publik rajin menggunakan akal sehatnya. Meskipun mengajak publik berpikir sehat dan logis, anehnya itu dianggap berbahaya oleh otoritas kekuasaan. Socrates dianggap meremehkan tradisi, dewa-dewa, dan demokrasi. Ia lalu disidang dan setelah itu dihukum mati.

Sudah terlalu sering kisah Socrates diketahui publik, meski di waktu bersamaan saking keseringan kisahnya tidak menarik lagi didengarkan. Begitu pula kisah-kisah serupa, karena diceritakan berulang-ulang membuat kisahnya menjadi kebiasaan, normal, dan garing. Seperti galibnya, apa yang sudah menjadi kenormalan apalagi pakem, tidak akan menerbitkan sebersit inspirasi dari sana.   

Tapi, kisah ”kegilaan” seperti risiko kematian Socrates, tidak pernah akan habis menyampaikan mata air pencerahan, terkhusus bagi orang-orang penyuka ”kisah kegilaan”. Hanya orang-orang gila menyukai cerita-cerita gila. Hanya laron yang menyukai cahaya lampion, meski rela sayap-sayapnya terbakar.  

Sufisme, dalam hal ini adalah tradisi yang menarik dielaborasi, karena mendudukkan ”kegilaan” sebagai salah satu konsep sentralnya. Kurang lebih seperti tradisi pencarian kebenaran filosofis, kegilaan dalam sufisme menjadi mode of being bagi pelakon tasawuf. Ia dipakai sebagai konsep kunci untuk memahami bagaimana sufisme memberlakukan pengetahuan tidak sekadar ”dibenakkan” tapi sekaligus ”dibatinkan”.

Bahlul bin Amr Ash Shairafi dan Nasruddin Khoja, misalnya, merupakan nama kesohor dunia sufisme, yang menjadi perspektif bahwa segala ikhwal mesti diangkat derajatnya dari wilayah konseptual menjadi tindakan aktual. Jadi bukan saja berpikir ”gila”, tidak sampai di situ, mereka sampai bertindak ”gila”.

”Di negeri cinta, akal digantung”, begitu frase puitik dari Jalaluddin Rumi, yang mengandaikan setiap upaya mencapai hakikat kebenaran, lebih dari sekadar simpulan berbagai silogisme, atau hasil dari argumen proposisi rasional, melainkan suatu pelampauan loncatan kerja akal menuju kesaksian jiwa. Kebenaran, itu artinya, berarti suatu kontinyuitas laku akal yang dipancari cahaya melalui kedalaman jiwa dalam perilaku harian.

Itulah jawabannya, mengapa tindakan-tindakan kebenaran kerap menuntut risiko di luar akal sehat. Cara pandangnya lahir dari permenungan mendalam yang menghujam dalam jiwa. Lahir dari keberanian untuk mendobrak ide, pemikiran, keputusan, dan kebiasaan yang telah menjadi pakem yang sulit diubah.

Syahdan, di masa lalu, hiduplah Diogenes, filsuf yang sehari-hari hidup di dalam gentong air sebagai rumahnya. Cara hidupnya yang dirancang sesederhana mungkin kerap membuatnya dituduh gila. Bukan cara hidupnya yang seperti gelandangan saja, yang membuatnya dituduh gila, tapi juga oleh cara berpikirnya yang melawan arus utama.

Sekali tempo di suatu pesta meriah, Diogenes datang dan mengencingi orang-orang kaya dan membuat mereka marah. ”Seharusnya kalian jangan memarahi saya yang gila ini, orang gila wajar saja kencing di mana saja, kan!” kata Diogenes, mengkritik balik.

Seandainya, Diogenes hidup di zaman ini, kira-kira siapa yang bakal ia kencingi?


Telah tayang di Belopainfo.id


Korona, Tubuh, dan Mutilasi

 

Tubuh era korona adalah korban ”mutilasi”. Setelah berharap agar lebih kebal virus, tubuh dipartisi dari dunia hariannya. Tubuh tidak bisa lagi meruang seperti biasanya. Daya geraknya dipisah-pisah, dibatasi, dan dibagi-bagi ke dalam dunia lebih sempit dan mini. Ia seketika menjadi organ terpotong-potong terpisah dari interaksi sosialnya.  

Singkat cerita, korona ini hari telah menunda, atau bahkan menghentikan kerja organ tubuh ke part-part sosial terbatas.  

Jauh sebelum korona, praktik mutilasi tubuh sudah lama dipraktikkan. Bukan saja dalam pengertian sosial, yakni dari satuan tubuh universal berupa; kelompok, keluarga, komunitas, atau bangsa, yang membuatnya menjadi unit parsial individu per individu, melainkan ke dalam mekanisme “kekerasan” yang dibenarkan melalui ideologi kebudayaan, nasionalisme, bahkan agama. 

Itu artinya, tubuh dalam budaya, atau nasionalisme, atau agama, tidak sekadar dipandang sebagai unit dan bagian dari struktur organistik, yang berfungsi sehari-hari melalui seni, perang, dan ritual agama, tetapi juga menjadi medan kontestasi pemaknaan atas nilai, ideologi, dan kebiasaan yang diadopsi di dalam tradisi masyarakat tertentu.  

Tubuh karena itu, meski kerap dipuja dan diagungkan di dalam narasi kebudayaan, juga bersaing jadi pihak pesakitan dari ideologi sepihak dan tak berimbang. 

Di Cina, atas nama kecantikan, perempuan dari masa lalu menjalankan praktik mutilasi pengecilan telapak kaki. Menggunakan kain panjang berlapis-lapis, anak-anak perempuan  golongan ningrat mesti menahan sakit hebat mengikuti tradisi ikat kaki. Proses itu memakan waktu bertahun-tahun agar membuat kaki menyerupai sekecil kaki kijang.

Hanzi, demikian nama tradisi itu, adalah simbol kelas sosial. Elite bangsawan perempuan Cina, selama berabad-abad menjalankan pratik ini juga untuk meneguhkan kekayaan dan hak elitenya. Kelak, jelang abad 20 praktik ini dilarang otoritas Cina karena tidak sesuai lagi dengan semangat zaman.  

Di negeri semacam Timur Tengah, memberlakukan praktik mutilasi atas dirongan imperatif ”syariat” Islam. Jika suatu waktu Anda berhaji, dan di pasar, terminal, atau juga di rumah-rumah ibadah, menemukan seseorang dengan tangan tinggal setengah, besar kemungkinan ia adalah “tersangka” mutilasi.

Mungkin karena telah mengambil seekor anak domba tanpa izin di perternakan lokal, atau sekantung kurma dari kebun-kebun tuan tanah, membuat si tersangka jadi pesakitan praktik potong tangan karena mencuri.  

Sampai hari ini praktik mutilasi potong tangan di sebagian negara Timur Tengah masih dijalankan—coba ingat, di konteks lain, kasus Jamal Khashoggi, reporter pendukung reformasi Arab Saudi, konon dibunuh di Konsulat Saudi di Turki dengan cara mutilasi—. Meski belakangan ini wacana hak asasi manusia kembali menguat di sana.  

Suatu kawasan di Afghanistan, perempuan-perempuannya mesti menjalankan tradisi turun-temurun berupa hukum kuno ”jilat besi panas” jika ingin mempertahankan harga dirinya.

Banyak kasus perselingkuhan, membuat istri-istri kena tuduh main serong—mesti tidak sepenuhnya benar—harus membuktikan kejujuran menjilat besi panas melalui praktik pembuktian dipimpin seorang syekh. Melalui praktik itu, lidah perempuan tidak melepuh setelah tiga kali menjilat bara besi—yang dilakukan di hadapan suaminya—dinyatakan lolos deteksi, dan telah berhasil mempertahankan harga dirinya di hadapan keluarga patihnya.  

Di suku-suku badui Mesir, praktik jilat besi atau sendok panas itu disebut bisha’h. Tidak saja perempuan, pria-pria yang juga menjadi tersangka tapi tanpa saksi, untuk membuktikan kebenaran ucapannya,  mau tidak mau melakukan praktik ini sebagai pembuktian terakhir. Meski mengandalkan kekuatan spiritual pemangku adat sebagai bukti hukum (evidence), nyatanya praktik ini sering gagal dan memakan korban.

Bukan saja lidah, di pedalaman Papua, suku Dani menjalankan tradisi iki palek demi menggambarkan kesedihan mendalam ketika ditinggal sanak keluarga. Istri-istri suku Dani, jika ditinggal mati mendiang suami, merelakan jari-jari mereka dipotong untuk menarasikan kedukaan mereka.

Menurut anggota suku Dani, menangis saja tidak cukup demi melambangkan kesetiaan dan kesedihan yang dirasakan. Rasa sakit dari memutilasi jari dianggap mewakili hati dan jiwa yang tercabik-cabik karena kehilangan.

Jari adalah simbol persatuan, kekuatan, kerja sama, dan harmoni, begitu filosofi jari suku Dani. Kehilangan satu atau lebih jari, berarti tanda ada kebersamaan yang hilang, guyah, dan sakit.

Di kancah kehidupan modern, mutilasi lumrah jadi praktik ”permak” tubuh. Tidak sedikit perempuan memutilasi bibir, payudara, pipi, dan hidung demi pencitraan dan gengsi. Belakangan, praktis medis ini juga dilakukan para lelaki dengan alasan menempuh gaya hidup ideal.

Kancah kekuasaan juga tidak kalah bersaing. Entah itu atas nama bangsa, ideologi, atau agama, mutilasi adalah pendekatan ”hukum” untuk menciptakan kengerian dan jera masyarakat. Caranya macam-macam; tubuh korban di potong-potong, ditusuk, dipenggal, ada juga bahkan tubuh korban ditarik berlawanan oleh dua kereta kuda sampai putus.

Sir William Wallace, misalnya, pahlawan Skotlandia melawan Raja Edward, dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Inggris.

Saat eksekusi, ia ditelanjangi, diseret menggunakan kuda ke pasar-pasar, digantung hingga semaput, dikebiri, lalu dipenggal dan dipotong jadi empat bagian. Kepalanya ditancapkan di atas tombak dan dipajang di jembatan London, sedangkan anggota tubuh lainnya disebar ke empat penjuru seantero Inggris.

Sejarah Islam juga mencatat, berkat pemikiran-pemikiran kontroversialnya, Mansur Al-Hallaj ulama sekaligus sufi, jadi korban mutilasi otoritas keulamaan abad 9. Sebelum kepalanya, tubuhnya dipotong-potong jadi beberapa bagian sebelum tubuhnya dilempari batu.

Ada pula Maitsam At-Tamar, sahabat Imam Ali, yang digantung di pohon kurma oleh rezim Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziad, lidahnya tidak berhenti melantunkan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib. Karena tidak berhenti, lidahnya dipotong—sesuai ramalan Imam Ali—baru Maitsam benar-benar wafat.

Syahdan, mutilasi juga ditemukan dalam peristiwa pembantaian keluarga nabi di gurun pasir Karbala. Tidak jauh berbeda dari hoby kekuasaan autokrasi, mutilasi kepala cucunda Rasulullah, Husain bin Ali jadi puncak kekejaman Rezim Yazid saat itu. Seperti juga Wallace, kepala Imam Husain diarak dan dipamerkan di tempat-tempat umum untuk jadi alat mengincar ketakutan masyarakat Islam.

Begitu.

 

 

Bung dan Bing, Book Challenge, Bukan Sekadar Mengunggah Sampul Buku!

 ”Pada saat inilah dia sepenuhnya menyerah membaca. Sampul buku tampak seperti peti mati baginya, entah lusuh atau hiasan, dan apa yang ada di dalamnya mungkin juga debu.”

—Alice Munro

Don’t judge the book by its cover. Ini kiasan yang saya rasa tepat untuk melihat kebiasaan sebagaian netizen di linimasa Fb, yang belakangan melakukan aksi bergantian mengunggah buku bacaan meski hanya menampilkan sampulnya saja. Sekadar gaming memang—dan mungkin hanya gimmick, dan ini sah-sah saja dilakukan dengan alasan sebagai cara memeriahkan kecenderungan suka membaca buku yang kian kemari dirasa menjadi satu gaya hidup tersendiri.

Sampul buku bukan segalanya, dan itu tidak berarti ia dapat mewakili kecenderungan positif mengenai suatu komunitas pembaca buku. Dari sampul buku, saya kira, masih sangat jauh dengan isi bukunya, yang membutuhkan kerja jaringan syaraf otak mencernanya, lewat aktivitas membaca, mencatat, dan menganalisis.

Sampul buku hanya halaman depan yang mengandalkan kecanggihan visual berupa teknik grafis dan permainan warna-warni, yang kadang hanya memanjakan mata dan bukan pikiran.

Ia hanya penampakan teknis bersifat sementara, yang memanfaatkan daya visual sebagai liang hasratnya. Itu artinya, cover buku bukan suatu kawah candradimuka yang membuat orang seketika menjadi sakti dengan memiliki pemikiran yang jelimet dan mendalam.

Malangnya, saya tidak yakin, kegiatan saling undang di Fb ini memang mewakili suatu kaum yang betul-betul mencerna isi bukunya. Ya, apa boleh dikata, Fb—dan medsos semacamnya hanyalah medium pencitraan, yang bisa saja mereduksi kenyataan sebenarnya.

Ada suatu masa, bagi seseorang, dengan perasaan mantap, tapi tidak betul-betul serius membeli buku cuma karena desain bungkus depannya yang ciamik. Saya sering mengalami itu dan mengingat pengalaman kali pertama saya saat membeli buku tentang Antonio Gramsci, berkat bujuk rayu penampakan penutup depannya yang mengundang selera.

Cover itu begitu menggoda mata menampakkan gambar karikatural muka Antonio Gramsci, dengan latar belakang kuning—warna utama yang sangat jarang dipakai desainer cover buku sampai saat ini karena terkesan norak.

Gambar itu sudah pasti demikian mencolok di antara deretan buku-buku bertema wawasan sosial saat itu, yang hanya nampak biasa saja dibandingkan latar warna kuningnya yang menyala dari jauh.

Kulit depan buku itu selain gambarnya yang dibuat secara karikatural, juga menampakkan pendekatan lukisan grafiti ala cultural pop, dengan penempatan nama Antonio Gramsci sebagai palang judul. Di atas nama sohor itu, tertera nama penulis bukunya. Kecil saja, tapi  pas ditempatkan begitu. Klop sudah saat itu sebagai buku yang sedap dipandang mata, ketimbang mewakili isinya yang lebih banyak berbicara filsafat politik dan kekuasaan.

Saya ingin katakan di sini, sampul depan hanya bagian pertama dari tempo-tempo penting seseorang kali pertama membeli buku. Itu bagian dari tahap-tahap panjang setelah ia mengetahui nama penulis, membaca sinopsis, daftar isi, kata pengantar, atau memilih sejumlah halaman random, dan kemudian berakhir dalam suasana membaca yang intens yang akhirnya harus ia tuntaskan melalui transaksi jual beli.

Saat itu saya belum lama meninggalkan musim ospek sebagai mahasiswa baru, gagap melihat suasana kota, dan tidak mengalami tahap-tahap semacam itu.

Tanpa semua kegiatan riset kecil itu, yang kerap dilakukan seorang pembeli buku, membuat saya terpancing membeli buku itu semata-mata karena cover yang enak dipandang mata.

Itu artinya, dalam peristiwa itu, saya bukan pembeli dengan sikap dan embel-embel intelektual tertentu atau semacamnya, yang membuatnya berbeda dengan konsumen lain (dapatkah Anda membayangkan ini, bahwa seorang pembeli buku secara tidak langsung memiliki semacam keangkuhan untuk menunjukkan dirinya merupakan bagian dari suatu komunitas elite yang bertugas menjaga peradaban agar tidak rontok).

Itu artinya juga, saya belum mampu mengubah tindakan transaksi jual beli itu menjadi dan masuk ke dalam suatu sikap lanjutan yang jauh lebih dibutuhkan bagi seorang pembaca buku: mendalami dunia teks.

Tepat di titik itulah, jika itu tidak terjadi, maka Anda hanya memperlakukan buku seperti benda-benda etalase toko lainnya. Ia tidak lebih cuma sebagai komoditas pasar yang tidak menghasilkan ekses kebudayaan terutama di bidang literasi.

Di saat itu, penampakan sebuah buku lebih dekat dengan gejolak hasrat yang dibuai persis pengaruh iklan daripada mengartikannya sebagai benda bergagasan yang menantang secara pemikiran.

Meski buku adalah benda intelektual, ia lebih istimewa daripada hanya melihatnya sebagai benda pajangan, yang  mentok pada pandangan mata belaka (visual)—jembatan pertama godaan setan mekanisme pasar—ia justru sebenarnya merupakan benda yang menjadi bahan baku bagi terciptanya pandangan dunia seseorang (konseptual).

Membaca buku dan mengunggahnya di media sosial, alih-alih dapat disebut sebagai kegiatan sinonim dan berkelanjutan. Membaca buku merupakan bagian integral dari proyek pendalaman suatu wacana. Ia kerap dibarengi dengan aktivitas mencatat istilah atau kalimat penting, memberikan tanda halaman, membuka kamus, bahkan sampai mencoret di bagian-bagian yang dirasa penting dengan menulis catatan di marjinnya. Tidak jarang kegiatan ini lebih daripada sekadar membaca diakibatkan membutuhkan banyak waktu untuk melunasi suatu tuntutan dari hasrat ingin tahu seseorang.

Membaca akhirnya merupakan kegiatan yang intens dan radikal. Ia mungkin mirip dilakukan tokoh Carlos Brauer, si penggila buku dalam Rumah Kertas karangan Carlos Maria Dominguez, yang setiap membaca membutuhkan kurang lebih dua puluh buku karena dihubungkan oleh satu istilah di antara buku-buku terkait. Kita seolah-olah sedang membaca kamus, yang setiap arti katanya membawa kita kepada satu rujukan kata baru yang mesti digali kembali, dan begitu seterusnya.

Sementara kegiatan mengunggah buku, Anda tahu sendirilah apa sebenarnya motif para netizen, yang tidak semua melakukan kegiatan di atas. Mungkin sebagiannya seperti laku  bibliofil dalam Rumah Kertas: ”Orang-orang ini (bibliofil) ada dua golongan….pertama, kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka…..edisi pertama buku-buku Borges sekaligus artikel-artikel di majalah-majalah; buku-buku yang dicetak oleh Colombo, disunting oleh Bonet, sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat-lihat halamannya, seperti orang-orang mengagumi sebuah objek indah.”

Kategori ini, yang disebut hanya mengagumi buku sebagai objek indah, besar kemungkinan  akan berakhir memperlakukan buku seperti peti mati: di dalamnya ada objek tidak berdaging dan hanya tersisa debu-debu. 

Tapi, tidak semuanya demikian, sebagiannya mungkin digerakkan oleh motif luhur untuk mempengaruhi netizen agar lebih giat membaca buku, atau mendorong suatu komunitas agar lebih getol bersuara atas nasib bangsa yang kian tersedot di dalam budaya politik praktis. Alih-alih ini akan menjadi kegiatan book shaming, alangkah baiknya jika dua alasan itulah yang patut kita sangkakan kepada orang-orang ini.

Toh, kegiatan yang disebut book challenge ini, jika betul-betul ingin disebut demikian—agar terhindar dari snobisme, akan jauh lebih menantang jika gagah-gagahan unggah-unggahan massal itu berakhir mantap di atas secarik kertas. Mau apalagi, kalau sudah selesai membacanya ya, dipungkasi dengan meresensinya to!?

Esai Seri Kritik Pendidikan (5): Dari Scola ke Keluarga: Siasat Bertahan Era Korona

 (Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan empat tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0 dan Esai Seri Kritik Pendidikan (4): Sekolah Lewat Radio. Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)


KEHIDUPAN pasca modern adalah zaman simulakrum, begitu pendakuan Jean Baudrillard, sosiolog abad kini. Analisis Baudrillard ini ditandai oleh dua alasan. Pertama, di masa akan datang—yang artinya saat ini—kehidupan masyarakat akan banyak dimediasi perangkat berteknologi canggih, di mana salah satunya adalah alat komunikasi. Kedua, peralihan dari kehidupan modern ke pascamodern, akan berdampak kepada cara orang berkomunikasi melalui simbol, tanda, bahasa, dan kode yang mereduksi makna komunikasi itu sendiri.

Saat ini, Covid-19 belum mampu dienyahkan, dan membuat banyak perubahan—atau memperdalam cara masyarakat melihat diri dan masyarakatnya. Tidak cukup pergantian kalender, Covid-19 mengubah persepsi tubuh manusia menjadi lebih kritis. Tubuh kali ini tidak lagi dibiarkan bergerak bebas. Sekarang ia mesti disiplin dan tunduk pada protokol kesehatan. Salah sedikit, suatu komunitas masyarakat bakal terancam.

Di bidang ekonomi, kebutuhan rumah tangga dan industri sedang ditinjau ulang. Covid-19 bagai invisible hand ala Adam Smith, yang mengatur atau mereset kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang selama ini salah diartikan saat kehidupan normal. Kelangkaan dan distribusi barang, yang semula dihitung berdasarkan tingkat konsumsi suatu kawasan, kini mesti mempertimbangkan unsur ketahanan pangan yang bakal mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.

Masyarakat benar-benar mesti mempertimbangkan matang-matang menyangkut kebutuhan karsanya, mengingat meski di keadaan kenormalan baru, tren penderita Covid-19 makin naik. Kegiatan-kegiatan semisal menonton film, kopi darat, membaca buku, berdiskusi, ngopi di café-café, dan berbelanja di pusat perbelanjaan harus diperhitungkan baik-baik. Jika kebutuhan ini masih bisa dialihkan kepada kegiatan-kegiatan berskala rumah tangga, maka kegiatan macam di atas lebih baik ditunda dulu.

Praktis kegiatan berbudaya seperti di atas, kini kembali ke makna asalnya ”bercocok tanam mengolah tanah”. Cultura yang menjadi asal kata culture, saat ini dipelipirkan di sebidang tanah di taman atau kebun belakang rumah. Kegiatan bercocok tanam, entah itu berkebun atau merawat tanaman hias, jadi gaya hidup baru menggantikan kegiatan pelesiran di atas.

Selain bidang-bidang kehidupan di atas banyak berubah, pandemi saat ini mendorong timbulnya kebiasaan baru di bidang pendidikan dan pemerintahan, yang mesti lebih akrab dengan teknologi komunikasi informasi. Saat ini muncul kesadaran baru benda-benda teknologi gadget dan smartphone, dapat juga dimanfaatkan lebih maksimal ke dalam dunia pendidikan dan pemerintahan.

Perubahan semua gejala di atas, mempertajam kesadaran masyarakat agar lebih intens menggunakan screen gawai sebagai wakil kenyataan. Interaksi berskala besar yang membutuhkan banyak waktu dan tempat, kini lebih mudah dimediasi layar smartphone, meski di saat bersamaan ada reduksi kenyataan yang terjadi.

Seperti misal, dalam proses belajar mengajar belakangan ini, yang menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar yang diperantai gawai canggih, setidaknya memerlukan dua persyaratan teknis bagi orangtua murid, yakni kecakapan menggunakan smartphone, dan kecakapan dalam mengajari anak sesuai instruksi guru. Yang pertama, tidak sedikit orangtua murid yang masih gaptek memanfaatkan beragam aplikasi belajar mengajar yang sarat isian dan pilihan menu yang tidak friendly dari segi interfacenya. Toh, jika masalah ini dapat teratasi, banyak pula orangtua murid yang mengaku butuh adapatasi untuk lancar menggunakan aplikasi belajar berbasis internet ini.

Masalah kedua adalah kecakapan orangtua murid yang minim atau tidak ada sama sekali dari segi pengalaman mendidik anak akibat ketergantungan mutlak kepada institusi sekolah. Di lini masa media sosial, banyak keluhan orangtua berupa kemarahan, kekecewaan, dan bahkan sampai ke tingkat stress sekaligus depresi, akibat ripuh menghadapi anak di rumah. Keluhan para orangtua ini cukup beralasan dikarenakan perubahan mendadak dari pola asuh selama ini dititikberatkan kepada pihak sekolah, kini mesti dibebankan kepada orangtua di rumah.

Masalah dihadapi orangtua ini, selain karena dalam hal pengasuhan anak sangat bergantung kepada institusi sekolah, mengalami bias saat mendefenisikan sekolah dan pendidikan. Sekolah dan pendidikan bukan hal identik meski saling beririsan. Bagi orangtua, hanya sekolah satu-satunya lembaga yang mampu memberikan pengasuhan dan pengajaran bagi anak-anak mereka. Terdidik tidak terdidiknya anak mereka, sekolah-lah satu-satunya indikator mutlaknya.

Padahal dalam sejarahnya, malah sebaliknya terjadi. Sekolah awalnya muncul dari pola pengasuhan keluarga yang memanfaatkan waktu luang demi mengembangkan pemahaman dan wawasan. Kegiatan memanfaatkan waktu luang demi ilmu ini oleh orang Yunani sebut sebagai skhole, scola, scolae, atau schola, yakni dengan cara mendatangi orang pandai yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan hidup mereka.  Dari sinilah kebiasaan itu dilakukan juga kepada anak-anak, agar kelak mampu mengganti sang ayah atau ibu dengan cara menyerahkannya pada seorang cendekia agar dilatih, bermain, dan belajar sesuatu dari apa yang mereka anggap penting.

Maka sejak saat itu telah beralih sebagian fungsi pengasuhan berbasis ibu dan keluarga (scola matterna), yang merupakan lembaga pertama dan tertua sosialisasi nilai-nilai, menjadi pola pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (scola in loco parentis). Kelak institusi atau lembaga pengganti keluarga ini, karena berfungsi sama seperti pola pengasuhan ibu,  akan dinyatakan sebagai alma matter  (ibu yang memberikan ilmu).

Ulasan singkat ini menegaskan sekolah sebenarnya berakar dari pola pengasuhan berbasis keluarga, atau perpanjangan tangan ayah dan ibu untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa saja berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupnya. Itu artinya, selama keluarga pati masih bisa melakukan fungsi-fungsi pengasuhan, mendidik, dan bermain, dan semua itu dilakukan di saat waktu luang secara bebas dan kreatif, maka itulah sekolah sebenarnya.

Pandemi korona meski banyak mendatangkan kerugian, di satu sisi mengembalikan kegiatan-kegiatan ”kepublikan” menjadi kegiatan berbasis ”rumah tangga” yang memang dalam sejarahnya memerlukan ”keluarga” sebagai fondasi utamanya. Bukan saja sekolah (scola), tengoklah pengertian awal dari ekonomi (oikonomikos) yang berarti tata kelola kebutuhan rumah-tangga yang bergantung pada pengelolahan ladang, dan juga kegiatan budaya (cultura) seperti sudah disinggung sebelumnya.

Dari awal, Jean Baudrilard pernah merumuskan gejala-gejala masyarakat pascamodern ke dalam situasi simulakrum yang mengandalkan simbol, tanda, bahasa, dan kode sebagai pengganti kenyataan, di era pandemi ini, selain mengalami situasi itu, masyarakat kembali ke era ketika keluarga menjadi fondasi dari segalanya.

Dengan kata lain, kegiatan ekonomi, berbudaya, dan berpendidikan di era sekarang ini sangat bergantung kepada ketahanan keluarga sebagai modal sosial paling tua dan kuat ketika menghadapi cobaan dan ancaman.

Sebelumnya, keluarga sangat bergantung pada tatanana yang lebih besar dari dirinya berupa komunitas,  masyarakat, atau negara, agar ia bisa eksis dan bertahan. Sekarang, karena korona semua berbalik. Struktur tatanan semacam negara-bangsa sekalipun sangat bergantung kepada rumah tangga agar dapat selamat dari krisis multidimensi seperti waktu kini. 


Tayang pertama kali di Belopainfo.id


Esai Seri Kritik Pendidikan (4): Sekolah Lewat Radio

 

(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan tiga tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, dan Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0 . Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 


BEBERAPA waktu lalu beberapa postingan di efbi mengkepcur sebuah tampilan layar tivi. Isinya adalah tangkapan siaran berita dari stasiun Tivi Wan, yang bagi saya bagus dijadikan solusi bagi proses belajar mengajar anak-anak didik di masa kini: seorang perempuan—mungkin guru—terlihat sedang menyiar—atau tepatnya sedang mengajar. Ya, tampilan layar itu saya duga kuat sedang melaporkan seorang guru yang sedang mengajar memanfaatkan frekuensi radio.

Kenapa itu tidak dipikirkan sebelumnya, pikir saya. Saya beranjak dan menyampaikan apa yang saya lihat itu kepada Lola. “Nih ada solusi keren”, kata saya sambil mengutarakan apa yang saya lihat. “Iya, bagus tapi ini tidak ramah dengan gaya belajar selain gaya belajar auditori,” kata Lola beberapa saat setelah ia mencerna info dari saya. “Iya juga sih, tapi tetap saja ini satu hal yang patut dicoba. Tidak perlu kuota dan tidak susah karena bahkan hape ‘kullu-kullu’ punya menu radio fm. Ini lebih mudah dan praktis.”

Sejak kemarin setiap pagi saya lebih suka menyetel radio. Mendengarkan lagu-lagu dari salah satu stasiun radio lokal. Tiba-tiba saya ingat kembali hal di atas. Mengapa itu tidak dicoba didorong sebagai salah satu alternatif belajar. Mengapa itu tidak disambut bahkan oleh pemerintah, yang akan lebih kuat jika itu bisa dijadikan solusi dikarenakan ditunjang dengan aturan.

Ya, mungkin itu solusi yang agak berlebihan dan sulit diaplikasikan karena jam, mata pelajaran, dan angkatan kelas yang tidak seragam masing-masing sekolah.

Tapi membayangkan di jam-jam tertentu ada program “sekolah” atau “kelas” yang mengudara dari ratusan atau ribuan pemancar radio, yang membuat jutaan anak-anak mendengarkan pelajarannya dari seorang guru yang berlagak mirip penyiar, kan keren?

Itu satu solusi yang bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Dibanding jika semuanya mesti melalui gadget yang harganya mahal, dan tidak semua memilikinya. Sampai-sampai terjadi kasus seorang ayah yang ditangkap mencuri handphone demi pembelajaran daring anaknya. Duh!