Ketika masih duduk di sekolah dasar, saya sangat menyukai pelajaran olah
raga. Kesenangan terhadap pelajaran olah raga sebenarnya adalah hal yang lumrah
untuk anak kecil seusia saya. Maklum bisa lari kesana kemari. Karena itu perlu
diingat, kata olah raga sebenarnya tidak tepat, karena di kepala saya waktu itu
olah raga hanyalah jenis bermain yang dijadikan mata pelajaran. Paling pas kalau menyebut hal itu
sebagai bermainmain belaka.
Bedanya saat bermain olah raga, saya mengenakan seragam berwarna merah muda
dengan bis garisgaris di pundak. Di bagian lengan dan celana berwarna merah
hati. Jadi tidak femininfeminin amat. Buktinya masih ada warna merah yang
mendominasi seragam saya.
Namun saya tidak bisa berkelit kalau mengatakan baju olahraga saya kepunyaan
lakilaki. Soalnya kerah
lehernya berbentuk V. Itu loh kerah khusus perempuan. Ceritanya karena saya
anak kedua, sering kali saya harus rela menerima bekas baju
kepunyaan Ima, kakak saya.
Sebenarnya ini hanya berlaku bagi kaos oblong dan seragam sekolah. Jadi sabar
dulu, tidak semuanya saya pakai. Masak saya harus pakai rok atau baju dress
perempuan!? Gila apa!
Akhirnya setiap pelajaran olahraga,
saya harus menahan malu berjamjam lantaran pakaian yang saya kenakan. Untung
saja setelan celana trainingnya tidak berbeda antara lakilaki dan perempuan.
Bisa dobel rasa malu saya. Untuk mengurangi rasa malu saya ini, saya
menggunakan baju lapis berupa kaos oblong untuk menutupi celah kerah yang sudah
melar itu. Dengan begitu, jadilah saya murid yang paling seringkali berkeringat
pertama kali. Panas, Bung!
Selain kerah model V yang bikin malu, warna baju yang sudah lumayan pudar
juga bikin masalah tersendiri. Bayangkan kalau di antara gerombolan teman
sekelas, hanya saya yang memiliki baju berwarna lusuh. Saya seperti anak tahun
lalu yang dipaksa mengulang kelas akibat nilainya anjlok, lantaran baju yang
saya kenakan berwarna berbeda. Yang lain bajunya berwarna kinclong, sementara
hanya saya seorang seperti siswa tua.
Ibu Mince, dialah pengampu pelajaran olahraga. Kalau tidak salah ingat
itulah nama guru yang memiliki gaya rambut lakilaki. Yang saya ingat pasti
adalah karakternya yang keras dan lumayan galak. Bayangkan dia seorang guru
dengan gaya tomboy plus memiliki gaya mengajar dengan suara lantang. Saya pikir
itu adalah karakter yang dipilihnya lantaran olahraga memang pelajaran yang
membutuhkan gaya belajar outdoor. Selain digerakkan oleh abaaba, suara lantang
adalah faktor dominan tersampaikannya ilmu keolahragaan. Makanya, dengan cara
begitu Ibu Mince nampak seperti marahmarah kalau mengajar kami.
Di bawah tatapan matanya yang lumayan membuat takut, Ibu Mince selalu
menjadi motivator bagi kami. Saya saja, dengan gaya kerasnya yang khas tomboy,
akhirnya menjadi murid yang tibatiba memiliki semangat berolahraga. Kalau ada
pelajaran lari atau sepakbola, jangan dikira, saya bisa berubah tibatiba bak
pemain profesional. Bagaimana tidak, jika loyo sedikit, siapsiap saja dapat
teriakan lantang dari Ibu Mince.
Di sekolah, bisa dibilang Ibu Mince-lah yang paling jarang berpakaian
formal layaknya guru. Itu hampir setiap hari saya lihat. Ibu Mince mudah
dikenali sebagai guru olahraga dari pakaian trainingnya. Dia dengan setelan bak
pelatih olahraga, dengan cepat jadi guru yang gampang dikenali. Dari jauh kalau
kita menengok di kantor guru, maka Ibu Mince-lah yang paling pertama dikenali.
Barangkali hanya hari Senin saja Ibu Mince berpakaian khas seorang guru, itu
karena hanya untuk mengikuti upacara bendera.
Kalau diingatingat, baru Ibu Mince saja yang saya ketahui perempuan yang
mengampu pelajaran olahraga. Selama di SMP dan SMA, semua guru olahraga saya
lakilaki. Makanya Ibu Mince gampang saya ingat dari sekian guruguru sewaktu
saya SD. Selain ibu Mince saya masih mengingat Ibu Jum dan Ibu Bene. Ibu Jum
adalah guru agama saya. Dan Ibu Bene adalah wali kelas saya ketika duduk di
kelas enam. Selain mereka, saya hanya mampu mengingat sebagian wajahwajah guru
yang pernah mengajari saya di waktu SD. Ibu Bene nanti akan saya tulis di waktu
yang lain. Dia punya kesan tersendiri bagi saya.
Sementara Ibu Jum, yang saya ingat adalah guru yang murah senyum. Dia
perempuan yang tidak terlalu tinggi. Badannya bisa dibilang pendek. Ibu Jum
bagi saya guru yang luar biasa. Sebagai guru agama Islam, dia mampu menempatkan
diri dengan baik diantara mayoritas guru yang berkeyakinan Nasrani. Saya tidak
tahu bagaimana ia mengelola perbedaan, namun dari caranya bergaul, saya menilai
dia guru yang memang tahu apa arti keyakinan yang berbeda.
Di kelas enam, pejaran agama Islam digabung menjadi satu kelas dari kelas
6A dan 6B. Karena saya kelas 6B maka saya harus pindah ke ruangan kelas 6A. Di situlah saya bersama
muridmurid beragama Islam dikumpulkan untuk mengikuti pelajaran yang diampu Ibu
Jum. Sementara di kelas 6B dipakai untuk pelajaran agama Kristen.
Di kelas 6A, Ibu Jum dengan tenaga terlatihnya, harus berhadapan dengan
puluhan murid yang dikumpulkan jadi satu. Betapa sabarnya Ibu Jum berhadapan
dengan kami muridmuridnya yang kebanyakan badung. Tapi Ibu Jum selalu tersenyum,
disitulah kekuatannya. Sedangkan kami melalui senyumnya akhirnya luluh setelah
diceritakan kisahkisah Nabi.
Kalau yang membuat senang dari pelajaran olahraga karena bisa bebas
bergerak kemana saja, pelajaran agama justru kami harus berdesakdesakkan mencari
tempat duduk. Bayangkan kalau kapasitas bangku hanya untuk murid sekelas harus
menampung dua kelas sekaligus. Tapi, untung tidak semuanya pindah, sebab tidak
semua beragama Islam. Hanya saja, tetap kami merasa harus berdesakdesakkan
karena menginginkan duduk di tempattempat strategis. Kalau saya menyebut tempat
strategis, berarti itu bangku yang berada di posisi belakang. Atau duduk di
belakang siswa yang memiliki tubuh besar.
Tapi yang membuat senang di pelajaran agama adalah saya bisa bertemu dengan
temanteman di kelas 6A. Kalau sudah begini, kami bisa kembali membicarakan
pertandingan bola antara kelas 6A dan 6B. Biasanya yang mewakili kelas 6A
adalah Gani, siswa yang memiliki kepala yang sedikit besar. Atau Zainuddin,
siswa keturunan Bugis yang
pintar mengocek bola. Kalau Ibu Jum melihat tingkah kami yang berkerumun pada
satu meja di sudut ruangan, pasti dia kira kami sedang mendiskusikan pelajaran
yang dibawanya. Padahal kami sedang merancang kapan pertandingan dilaksanakan.
Dan, ujungujungnya kalau bukan pulang sekolah, pasti di saat pelajaran olahraga
nanti.
Di kelas 6B ada Nur Oktavia. Dia tetangga saya ketika tinggal di jalan
Lalamentik. Nur murid yang cerdas di kelas kami. Saya bersama Taufik, teman
yang juga tinggal tak jauh dari rumah, sering berjalan kaki ke rumahnya untuk
belajar bersama. Padahal yang saya maksud adalah menyalin tugastugas PR. Tapi
kalau urusan sepakbola, bukan Nur andalannya. Randi-lah jagoan kami, teman yang
memiliki warna rambut hampir menyerupai warna rambut jagung. Atau Ake, sapaan
Imran, yang memiliki kecepatan berlari. Dan sesekali dilengkapi Amir, yang
sering asal menendang saja. Sedangkan saya, yang penting bisa mencetak gol itu
sudah luar biasa.
Nah, setelah menyepakati di kelas saat pelajaran agama, maka pelaksanaannya
kami sepakati saat pelajaran olahraga tiba. Di saat itulah kami bertaruh kelas
siapa yang paling hebat. Di bangsal, sebuah lapangan semen yang beratap seng,
tempat yang kami pilih. Kebetulan di situlah Ibu Mince sering mengumpulkan
kami. Berhubung sepakbola adalah ujian yang diberikan, maka pertandingan adalah
ajang untuk mengumpulkan nilai sebanyakbanyaknya. Maka jadilah pertandingan
sengit lantaran ingin mendapatkan nilai bagus, siapa kelas terhebat, dan suara
lantang Ibu Mince yang berteriakteriak.
Di saat itulah saya akan menjadi olahragawan profesional. Dengan baju yang
sudah lusuh, tak ada alasan takut kotor. Malah baju yang sudah kusam itu
memberikan aura positif kepada saya, bahwa karena lamanya dipakai, dia seperti
jimat yang dituruntemurunkan. Ditambah suara lantang Ibu Mince, apa daya
seluruh kemampuan harus dikerahkan. Sepakbola jadi ajang pembuktian diri.
Biarpun baju sudah terlanjur kepunyaan perempuan, tetap saya seorang lakilaki.
Tepatnya pesepakbola lakilaki.
Saya lupa kelas siapa yang memenangkan pertandingan saat itu. Kalau
dihitunghitung, kelas 6A yang sering kali keluar sebagai pemenangnya. Tapi yang
terpenting kalau kalah masih ada pertandingan lainnya. Kami bisa kembali
bertemu di permainan kasti. Juga bisa kembali dibicarakan di kelas Ibu Jum.
Kapan waktu yang tepat melakukan pertandingan lainnya. Selama pelajaran agama
masih tetap digabung, kami selalu membuat kesepakatan tentang
pertandinganpertandingan lainnya. Ibu Jum pasti juga senang, kami akan terlihat
semakin alot berdiskusi. Pasti nilai kami bakalan bagus. Insyaallah.
Dari kabar yang saya dapat dari Nur, Ibu Jum sudah pensiun mengajar.
Alhamdulillah dia sehat. Yang saya tahu, rumah Ibu Jum tidak jauh dari sekolah.
Rumahnya terletak pas di depan pagar sekolah. Sedangkan Ibu Mince masih aktif
mengajar walaupun pasti sudah tidak semuda dulu. Oh iya, Nur ternyata masih
tinggal di Kupang, dan dia sudah berkeluarga. Dari dialah saya memastikan kalau
namanama Ibu Jum dan Ibu Mince tidak salah ingat. Ternyata saya benar. Ingatan
saya kadang buruk. Tapi tidak dengan Ibu Mince dan Ibu Jum. Semoga mereka sehat
selalu.
Sementara baju olahraga yang menyerupai warna pink itu, sudah lama tak saya
temukan. Bisa jadi dia berakhir jadi kain lap semaktu saya tamat SD. Fajar,
adik saya sudah pasti tak mau memakainya. Warnanya sudah pasti lebih kusam.
Apalagi karet di bagian kerahnya sudah pasti rombeng. Namun, saya ingat betul
nama sekolah yang disablon di belakang baju kaos olahraga yang hampir empat
tahun saya pakai. Kali ini saya tak perlu memastikannya kepad Nur, yang punya
ingatan bagus. Kalau kamu sempat melihat tulisan SD N 1 BONIPOI KUPANG tertera
di baju sekolah anakanak di NTT, maka dipastikan saya orang yang pertama bilang
kalau itu nama sekolah tempat Ibu Jum dan Ibu Mince mengajari saya, dua guru
yang susah saya lupakan.