pantofel

Hari ini saya bakal ikut malam ramah tamah. Acara makanmakan buat calon wisudawan tempat saya sekolah pascasarjana. Sedari sore saya sudah harus di Hotel Clarion, tempat acara dihelat.

Tentu ini bukan sekadar acara makanmakan belaka. Sudah pasti ada acara pidatopidatoan. Dari rektor, dekan sekolah pascasarjana, atau juga dari ketua prodi sekalian. Kalau perlu ada sesi testimoni dari perwakilan calon wisudawan. Dan seabrek agenda acara yang saya tak tahu juntrungannya.

Sepanjang kuliah, ini pertama kalinya saya harus ikut kegiatan macam beginian. Dulu kala, tujuh tahun di strata satu, saya ogah ikutikutan. Pasalnya, saat itu yang penting saya dapat ijazah. Tak pikir buat acaraacaran ramah tamah. Waktu itu dapat menyelesaikan kuliah saja syukur bukan main. Buat saya, sudah cukup tujuh tahun ramah tamah dengan kampus. Jadi, tak ada urusan dengan Belanda!

Akibatnya, kala itu saya hanya ikut acara wisudaan. Pakai toga, ikut barisan, dan masuk gedung. Selesai perkara. Setelah sesi fotofoto sebentar, kemudian tak pikir panjang langsung hengkang dari gedung acara.

Malang, pasca itu tak ada foto terpampang di dinding rumah. Seperti lazimnya mantan mahasiswa, foto dengan seragam toga hanyalah imajinasi belaka. Mamak hanya menghela nafas. Bapak diam saja.

Padahal di acara itu mamak bapak turut serta berdesakdesakan. Ikut iringiringan keluarga wisudawan lain. Berpanaspanasan sambil berteduh di bawah pohon. Namun sudah saya katakan, tak ada foto bersama keluarga. Lagilagi mamak menahan napas. Bapak seperti biasa, diam saja.

Namun yang bikin hati mamak berbungabunga, terpampang besar baliho saya di sudut gerbang pintu masuk kegiatan. Baliho itu berukuran sekira lapangan tenis meja. Mirip baliho caleg. Muka saya jelas di situ, dengan ucapan selamat dari salah satu lembaga yang pernah saya ketuai.

“Ita sai anaknu, engka balihona di gettung!”

“Wahaa, iga kebbu’i? Loppo paha?” Bapak terkagetkaget.
“Hebatto bella.”

“Magai mak, dek sambarang tu niga engka balihona. Teppe’ ni’?!" Saya membusung dada.

Baliho itu jelas bikin kaget mamak, apalagi bapak. Mereka tak menyangka akan menemukan kejutan kayak begitu. Baliho itu memang dibuat oleh beberapa adikadik mahasiswa yang tak saya sangkasangka. Saya kira mereka hanya bercanda bakal bikin baliho sebagai ucapan selamat dan terima kasih. Tapi nyatanya mereka serius. Saat itu saya satusatunya mahasiswa yang punya baliho mirip caleg itu.

Baliho itu bertahan beberapa hari di kampus. Jadi omongan adikadik mahasiswa di fakultas. Di terpa sinar matahari bikin satpamsatpam kampus bingung. Memangnya siapa muka di baliho berwarna dasar biru itu. Mahasiswa terbaik saja bukan. Tak jelas!

Saya curiga baliho itu akhirnya dicabut satpam setelah berharihari dipampang. Atau diambil mahasiswa diamdiam jadi karpet di sekretariat. Pun bisa jadi diambil tukang becak buat penghalang panas penumpangnya. Tak soal, yang penting berfaedah muka saya jadi hiasan kemanamana.

Kembali ke acara malam ramah tamah. Yang bikin kikuk, kali ini saya harus memakai sepatu pantofel buat acara nanti. Sepatu yang ogah saya pakai selama ini. Bahkan saat acara wisuda di strata satu, saya acuh saja pakai sepatu kets merk Converse. Tak peduli apa kata orang, apalagi kala itu dipadankan dengan celana levis hitam.

Rumah

Pada akhirnya rumah menjadi hal yang penting. Jelang tutup ramadan orangorang mulai menautkan segalanya pada tempat asal usul bermula. Dari tempat di mana pelbagai cerita dimulai.

Di titik ini rumah menjadi ikatan yang primordial. Rumah dengan sendirinya adalah kampung halaman, rumah adalah tradisi, dan rumah adalah tempat segala identitas azali dibentuk.

Urbanisasasi yang begitu mencolok membuat rumah kian terasing. Dengan sendirinya asal usul jadi kenangan. Orangorang pergi mencari mukim baru. Membangun kehidupan. Membentuk diri baru. Kemudian pelanpelan akhirnya kota jadi sarang segalanya.

Di kota segalanya jadi mungkin. Orangorang bekerja. Orangorang bersekolah. Orangorang jadi lebih lebih manusiawi.

Tapi tidak semua yang manusiawi menjadi betulbetul manusia. Di kota, orangorang disulap berbagai hal. Imajinasi manusia santun seketika menjelma manusia kota yang soliteris; sendiri dalam keramaian masingmasing. Menjadi mahluk yang menyukai diri sendiri.

Saat itulah gugusan kota mengambil alih. Memproyeksikan suatu tujuan yang progressif. Kota, dengan segala jejaring kepentingannya tak menyisakan sedikit pun apa yang pernah hidup menjadi memori kolektif orangorang berkampung halaman; solidaritas.

Solidaritas memang berparas ganda. Durkheim memilahnya jadi dua. Sosiolog Prancis ini menamsil, di kota tempat di mana terma modern begitu menggugah, orang perorang jadi terbelah. Yang ada hanyalah ikatan atas dasar spesialisasi. Orang berinteraksi bukan karena dasar atas usul yang sama, tapi sejauh apa suatu identitas profesional dibangun.

Kala itulah kebersamaan jadi suatu ikatan yang formal. Masyarakat hanya bisa menjalin suatu ikatan kolektif atas suatu tema pekerjaan; suatu modalitas yang selama ini dibentuk atas dasar unsurunsur kapital.

Akibatnya interaksi hanya berumur jika itu bertahan atas dasar profesionalisme. Durkheim menyebut ikatan ini sebagai solidaritas organik. Hubungan yang hanya mungkin berlangsung karena didorong atas suatu imbalan.

Itu sebab, kota hanya jadi tempat yang rentan. Orangorang hanya terkoneksi dari ikatan yang guyah. Pekerjaan, pendidikan, profesi, hubungan komunitas, dan jejaring interaksi yang lain mudah bergeser, gampang berubah. Di kota, berlaku rumusan tak ada yang abadi, segalanya berubah.

Barangkali, karena itu tak ada kenangan bisa bertahan di kota. Di kota orangorang hanya mengejar satu hal; masa depan.

Yang malang, masa depan berarti memilah suatu bulatan yang gampang pecah. Yakni suatu identitas yang dibentuk dari rumah. Di rumah, suatu medan orangorang dibentuk tradisi, berubah modern yang memotong nilainilai kolektif.

Dari rumah, suatu tempat keluarga menjalin kekerabatan dipangkas menjadi manusia yang lupa dari mana manusia-rumah akan berpulang. Di kota, rumah yang bagi orangorang berkampung halaman menjadi tempat segala simpul berawal, dicacah habis dengan silet masa depan.

Karena itu kota selalu dilihat sebagai tempat anti masa silam. Membelahnya jadi bagianbagian yang sulit disembuhkan. Semakin orangorang beraktivitas di dalamnya, semakin manusia-berkampung halaman lupa siapa dia sejatinya.

mercon

Petasan meletus di manamana. Tidak di sekitar masjid, tidak di pinggir jalan. Hampir semua tempat bunyi letusan bekejaran.

Bila magrib tiba anakanak sudah siap berhamburan di pekarangan masjid. Turut meramaikan malammalam ramadan. Bergerombolan membunyikan petasan. Sekali bakar bikin kaget siapa saja.

Sebelumnya mereka berbaris di saf paling belakang. Ikut sholat sembari mengerjai kawannya yang lain. Jika imam berkata amin, koor panjang pasti ikut: aaamiiiin.

Sebelum imam tuntas mengucap salam, mereka sudah berlari mirip semut disiram minyak tanah. Bikin ramai masjid. Sandal jamaah dinjak. Bikin berhamburan. Berlari menuju jalan raya.

Petasan sudah di tangan. Korek tinggal setengah. Tapi lumayan masih bisa dipakai satu malam. Bila habis besok tinggal beli. Jalan sudah ramai. Cari waktu yang tepat. Butuh momen yang pas. Korek dinyalakan. Duaar! Satu petasan menggema. Bunyinya bikin jengkel satu masjid.

Yang menarik jika petasan punya bunyi yang dahsyat. Kalau bunyinya kecil dianggap belum pas. Apalagi bikin puas. Karena itu butuh petasan yang besar. Bunyinya juga pasti besar.

Bagi anakanak, petasan wajib dipunyai kala ramadan tiba. Pasalnya tidak semarak tanpa petasan. Tempat yang paling sering dibikin arena bermain, ya di pekarangan masjid. Kalau bosan, ya di pinggirpinggir jalan.

Bagi ibuibu, petasan bikin kempis dompet. Anakanak merengek minta dibelikan petasan. Jika tidak bakal ngambek. Karena itu mau tak mau harus dibelikan. Namanya juga anakanak.

Anakanak yang lebih besar tak perlu minta uang. Banyak cara mendapatkan uang buat beli petasan. Kerja paru waktu di pasarpasar, malamnya sudah sekantung petasan. Kalau belum cukup jadi tukang parkir. Sepuluh duapuluh motor, petasan sudah pasti dibawa pulang.

Di atas mimbar tukang khotbah megapmegap. Nafasnya memburu. Suaranya kalah saing. Di luar satu petasan meledak. Satu gang di buat jantungan.

Jamaah kurang fokus. Pikiran jadi kacau. Antara suara petasan dengan khotbah katib. Sayupsayup satu hadis sudah dikutip. Tapi apa lacur sudah gagal fokus. Lewat lagi satu pesan mulia.

Jelang khotbah mengucap tutup, sebagaian yang lain sudah memacu motor. Mondarmandir dari satu gang ke gang lain. Bunyi knalpot meraungraung. Bikin bensin habis. Yang penting bisa cari muka sama gadisgadis gang sebelah.

Dalam masjid ibuibu paruh baya, juga bapakbapak dibuat kaget. Bikin sholat tidak tenang. Tibatiba, satu lagi petasan meledak. Bikin jantung tinggal setengah. Hampir mati berdiri.

Pengendara terlebih lagi. Di buat kesal. Belum lama berbuka puasa, petasan sudah seperti perang, bunyi sana bunyi sini. Kadang bikin tidak fokus berkendara. Letusannya buat degdegan.

motor

Sudah hampir sebulan motor saya mirip rongsokan. Tergeletak begitu saja. Apa pasal jika tungkai persenelennya dol.

Sekarang jika kemanamana saya menggunakan motor kepunyaan Fajar, adik saya. Kebetulan belakangan dia lebih banyak di rumah. Nongkrong seharian penuh. Apalagi jelang hari keempat puasa dia pulang kampung.

Praktis saya jadi penguasa tunggal motor matik bermerk Honda Beat itu. Selama menggunakan motor matik, besokbesok saya juga ingin punya motor yang sama. Pasalnya motor matik tidak ribet. Tinggal menarik gas saya sudah berada di tengah jalan.

Tapi bicara nilai sejarah, motor saya banyak kesannya. Yamaha Jupiter tahun 2005 itu sulit tergantikan. Hampir sepanjang usia saya di ibu kota Makassar selalu menggunakan motor berwarna biru putih ini.

Dulu kala pertama kali masih kinclong saya sudah memacunya sampai Polewali. Setelah itu tak terhitung berapa kabupaten di Sulawesi selatan yang pernah dipacunya.

Pernah juga motor saya dibikin ceper. Maklum dimodifikasi. Jadi kala menungganginya saya dibuat nungging. Apalagi ditambah sadelnya yang dipapas.

Akibatnya tak ada yang mau saya boncengi. Terutama cewekcewek. Ogah. Nanti dikira seperti cewekcewek di kalender otomotif.

Lama motor saya jadi begitu. Selama berjalan motor saya harus di aspal yang mulus. Kalau melintas polisi tidur jangan dikira polisinya harus bangun dulu. Maaf, maksudnya saya yang harus berhatihati.

Kalau jalan berlubang tentu saya putar balik. Cari jalan lain. Soalnya, jalan berlubang bikin bahaya. Motor saya bisa rusak shockbreakernya.

Motor saya juga kala itu mirip keramik kaca. Anti debu. Ini agar motor mengkilap bersih. Jika ada sedikit debu tunggu saja pasti bakal lenyap secepat kilat. Dilap pakai kit. Hilang sudah.

Yang dibenci saat motor kinclong sekinclongnya adalah hujan. Kalau sudah begitu jangan harap motor berpindah tempat. Sebisa mungkin jangan tersentuh air hujan. Apalagi air genangan jalan yang cokelat itu. Ogah.

Tapi akhirnya semua berubah total. Suatu waktu saya mengalami kecelakaan. Karena ingin mendahului petepete, tak disangka muncul pengendara lain dari arah berlawanan. Brakk. Saya jatuh beberapa meter. Motor sosor. Bambu depannya bengkok. Akibatnya, ban motor saya jadi rapat dengan spakbornya.

Shockbreaker yang semula ceper harus dikembalikan ke keadaan semula. Mulai saat itu motor saya kembali normal. Saya mengembalikannya seperti keadaan pabrik. Kecuali sadelnya yang sudah dibikin tipis.

Puasa Abad 21


Sigmund Freud
Bapak Psikoanalisa

KIWARI, ramadan bukan lagi paras yang santun. Wajah ramadan abad 21 adalah paras yang agresif.  Hampir setiap momen ramadan menjelma kekuatan yang akumulatif: hasrat, modal, rasa sentimen, dan juga tentu ibadah.

Akibatnya, mendadak ramadan menjadi panggung perlombaan. Banyak orangorang berubah peran. Bermain drama.

Yang unik, kekuatan spiritualitas yang dikandung ramadan berjalan paralel dengan semangat instingtif manusia. Jika agama pada dasarnya adalah daya dorong kemanusiaan, saat ramadan malah bergerak ambivalen.  Di balik spiritualitas puasa, bergerak pula daya naluriah yang destruktif.

Patut dipersoalkan sejauh mana semangat ramadan menyesap memengaruhi sikap libidinal manusia. Jika meneropong keadaan sehariari, sikap manusia yang berganti peran hanya sampai kepada tataran normatif belaka. Orangorang boleh saja berpuasa, tapi itu bukan perjuangan mengelola sisi terdalam manusia.

Apalagi di abad kontemporer, hampir semua dimensi kebudayaan adalah penjelmaan tatanan yang digerakkan modal. Mari menyimak bagaimana di awal bulan ramadan, produkproduk kebudayaan yang bernuansa agamais digelar secara seremonial. Mulai dari etika berpenampilan sampai etika beribadah tak lepas dari spirit konsumerisme.

Akibatnya ramadan yang harusnya santun jadi semarak perayaan produkproduk jual beli. Tak bisa ditolak, kenyataan ramadan hanyalah media tukar antara semangat beragama dengan suka cita pencitraan.

Juga mesti disesalkan, ramadan seperti daya ungkit tekanantekanan sosial yang selama ini sulit diatur. Masyarakat yang hiperkonsumtif, malah bukan mengurangi daya beli sebagai bagian dari amal berpuasa. Puasa akhirnya hanya berfungsi sebagai katup sementara dari naluri rendah yang meledak pasca ditekan selama seharian penuh.

Dari aspek etis, ketaqwaan yang menjadi tujuan berpuasa hanyalah suara cempreng di atas mimbarmimbar mesjid. Taqwa yang berarti memelihara, menjaga, dan melindungi tak memiliki sumbangsih sosiologis apaapa jika melihat fenomena kekinian. Nampaknya, taqwa yang dipahami sebagian orang bukanlah semangat keagamaan yang menjaga sesama, bukanlah sikap yang mau melindungi sesama, malah bertindak dengan perilaku kekerasan.

Syahdan, taqwa yang agresif adalah kecemasan yang menjadi bagian dari mekanisme pertahanan ego. Akibat kecemasan yang sulit dibendung, selain agresif, ego menjadi represif menggantikan gangguangangguan yang dialaminya. Maka jangan heran, ego yang represif berubah wujud menjadi cara penyaluran yang tidak sehat berupa tindakan merusak.

Ramadan yang disikapi demikian janganjangan adalah gejala infantil. Suatu sikap kekanakkanakan. Yakni suatu pola etika yang digerakkan oleh tatanan yang mudah guyah. Bukan iman yang seharusnya mengayomi. Malah adalah ketakutan yang menjadijadi jika suatau permintaan tidak dapat terpenuhi.

Maka bisa jadi itu memang betul. Apalagi jika gejala ini ditautkan dalam pemahaman yang dibangun Sigmund Freud. Manusia, jika dia beragama hanyalah mekanisme  diri yang ingin selalu dipuaskan. Seperti anak kecil yang ingin dipenuhi seluruh kemauannya. Agama hanyalah saluran hasrat yang dialihfungsikan untuk menormalisasi dorongandorongan instingtifnya.

Menariknya, bagi Freud , manusia memiliki dua kekuatan yang dominan. Pertama adalah insting kehidupan yang mendorong manusia mencari cara agar tetap bertahan dalam tekanantekanan yang dihadapinya. Kedua adalaha insting kematian yang termanifestasi dari perilaku merusak akibat tekanan Id yang sulit dibendung.

Ramadan jika dibilang sebagai jalan ruhani seharusnya mampu mengkoordinasikan dua insting bawaan manusia di bawah terang kesadaran ilahiah. Jika tidak demikian, barangkali ada yang salah selama ini dari cara orangorang berpuasa. Janganjangan puasa hanya diartikan dalam pengertian lahiriah saja. Puasa hanyalah cara orangorang menahan lapar dan haus belaka.

Singkat cerita, apabila ramadan hanya menangkal naluri instingtif manusia, dan tidak mampu mengubahnya menjadi energi positif yang insani, maka bisa ditebak pasca sebulan penuh berpuasa, kita hanyamendapatkan kesiasiaan.

catatan kelas menulis PI, pekan 20

Kelas literasi pekan 20 berjalan apa adanya. Tanpa dua mekanisme seperti biasanya. Karena sebagian kedatangan kawankawan tanpa membawa tulisan. Hanya Putri Reski saja yang membawa tulisan. Walaupun begitu, kelas pekan ini tetap dianggap berjalan seperti harapanharapan sebelumnya.

Tulisan Putri mengambil tema parenting. Di situ dia menyoal sikapsikap orang dewasa dalam memperlakukan anak. Digambarkannya dalam hal mendidik anak sama berarti dengan mendidik sejak awal diri calon orang tua. Pengertian ini diambilnya dari hadis nabi: “didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir.”

Bicara anakanak berarti butuh pemahaman khusus. Apalagi soal bagaimana mendidiknya. Kiwari, anakanak begitu rentan dengan dunia orang dewasa. Hampir semua keperluan anakanak diintrepetasikan berdasarkan kesadaran orang dewasa. Padahal antara dunia anakanak dan kesadaran orang dewasa memiliki jarak yang jauh soal bagaimana memposisikan anakanak berdasarkan kebutuhannya.

Tak jarang dalam soal kepengasuhan, anakanak menjadi korban orang tua. Hal ini disebabkan akibat ketidakmengertian orang tua terhadap kebutuhan anakanak yang sesungguhnya. Ambil contoh, perilaku anakanak lebih banyak didasarkan kepada kebutuhan estetis untuk melakukan sesuatu dibanding orang tua yang melihat dunia dari aspek normatifnya. Dua dunia yang berbeda ini yang kadang membikin masalah bagi pertumbuhan anakanak.

Tak sedikit dalam masa pertumbuhannya, anakanak harus disesuaikan dengan kemauan orang tua. Di sini perlu kehatihatian apakah selama mendidik anak orang tua paham betul dengan kebutuhan anak dibanding kebutuhannya sebagai orang tua. Akibatnya, kadang yang terjadi sang anak lebih banyak dibentuk dengan kemauan orang tua daripada kebutuhan sang anak itu sendiri.

Alhasil banyak anakanak yang tumbuh besar dengan mananggung ambisi sang orang tua. Anakanak yang tumbuh dengan model demikian tak sedikit mengalami depresi yang mengakibatkan masa pertumbuhannya terganggu.

Lingkungan sang anakanak juga mesti diperhatikan. Tak bisa dipungkiri masa sosialisasi nilainilai melibatkan kehidupan bersama. Bagi sang anak ini adalah hal yang penting.

Anakanak semenjak awal harus diperkenalkan bagaimana menjalani kehidupan bersama. Itulah mengapa anakanak yang tumbuh dengan cara bersosialita akan memiliki kecenderungan yang berbeda dengan anakanak yang dibiarkan tumbuh di bawah kepengasuhan yang ketat.

Yang menjadi masalah jika sang anak tumbuh di dalam lingkungan yang negatif. Banyak kasuskasus kenakalan remaja jika ditelusuri akibat masa pertumbuhannya dibesarkan di dalam lingkungan yang salah. Di titik ini penting kepengawasan orang tua terhadap apaapa yang dialami sang anak saat menjalani kehidupan sosialnya.

Pola kepengasuhan juga harus memperhatikan masa pertumbuhan sang anak. Tidak mungkin menerapkan satu pola kepada masa pertumbuhan anakanak yang semakin berkembang. Dalam hal ini seorang orang tua harus tahu setiap masa umur anak membutuhkan pola pengasuhan yang berbedabeda. Jika anak berusia balita tentu berbeda jika diterapakan kepada anakanak yang beranjak dewasa. Begitu juga sebaliknya.

Yang juga kadang jadi masalah adalah banyak orang tua yang memperlakukan anaknya seperti masamasa balita. Orang tua dalam kasus ini dituntut banyak memiliki strategi dalam membangun relasi dengan anakanak yang sudah dewasa.

Kirakira seputar itulah yang diobrolkan dalam kelas literasi pekan 20. Selain pengalaman kawakawan dalam menghadapi sang anakanak yang sudah terlebih dahulu menjadi orang tua.

Di KLPI pekan 20, turut hadir Rumi. Balita sekira hampir satu tahun. Rumi buah hati pasangan Suardi dan Nasrah. Hampir semua obrolan saat itu berpangkal dari Rumi.
Yang menarik adalah pengakuan Nasrah soal kemauan masa kecilnya yang tak sempat terealisasi. Apa yang dialami Nasrah barangkali adalah juga dialami hampir setiap orang.

bakso

Bakso. Itu makanan kesukaan saya. Ini jarang diketahui. Hanya orangorang tertentu yang tahu. Juga sangat sedikit dari mereka sering saya ajak makan bersama. Traktir.

Kala masih sekolah menengah, kala sore biasanya saya sudah standby di lorong belakang rumah. Biasa, menunggu tukang bakso langganan lewat.

Kebiasaan ini juga dilakukan temanteman sepermainan. Lengkap dengan mangkuk masingmasing.

Kalau makan bakso, kala itu harus dicampur mie instan. Namanya mie Sakura. Sekarang mie ini sudah punah. Dulu harganya lima ratus rupiah. Murah.

Entah mengapa bakso gerobakan mas langganan nikmat dicampur mie Sakura. Keyakinan kami saat itu karena mie Sakura punya bumbu yang khas. Minyak sayurnya yang maknyos. Kuning kental.

Bakso semakin nikmat bukan saja karena bumbu mie Sakura. Tapi bumbu rahasia yang dibikin mas seperti adonan kue itu. Warnanya cokelat menyerupai tai sapi kering. Jika dicampur bumbu ini saya bisa bertahan siang malam menghabiskan satu gerobak.

Yang saya sukai dari bakso sebenarnya adalah kuahnya. Saya tak peduli daging apa yang dipakai bikin pentol bakso. Entah kanji atau daging tikus saya tak peduli. Kalau sudah berbentuk bulat rasarasanya semuanya sama saja. Hanya kuahnyalah yang sebenarnya menentukan.

Makanya jika saya mendapati warung bakso di manapun, kuahnyalah yang saya nilai pertama kali. Itu juga yang jadi nilai plus bakso gerobakan langganan. Selain harganya murah. Kuahnya yang bikin ketagihan.

Kebiasaan menunggu tukang bakso juga sering dilakukan siang hari. Jadi bisa dibilang hampir duakali saya membeli bakso dalam sehari. Itu jika ada cukup duit.

Seperti obat sakit kepala kebiasaan saya ini hampir rutin. Tapi, kalau sore sepulang main sepak bola saya tidak membeli bakso, maka saya sudah tunaikan di siang bolong sepulang sekolah.

Bila saya ingin naik level dari bakso gerobakan menjadi bakso warungan, itu gampang. Di depan rumah berdiri gagah warung bakso. Kebetulan mbak penjual bakso ini tetangga saya. Nah, di warung inilah saya menaikkan derajat kelas dari pembeli bakso jalanan menjadi pembeli berduit.

Walaupun agak mahal dibanding gerobakan, bakso tetangga saya ini juga sedap rasanya. Tentu kuahnya yang bikin demikian. Ini bukan macammacam. Saya serius!

Dari saya SMP sampai sekarang, tetangga saya ini sudah hapal kuah bagaimana yang cocok dengan lidah pembelinya. Soal bakso jangan bilang, tetangga saya ini salah satu masternya. Buktinya sampai sekarang masih bertahan.

Soal pentol bakso, tetangga saya lebih terjamin. Kalau bakso gerobakan sering dominan dicampur kanji, mbak saya ini memang menggunakan daging. Barangsiapa doyan makan bakso pasti tahu perbedaan teksture mana bakso daging mana tepung kanji belaka.

Kalau mas gerobakan punya bumbu ulegkan khas, bakso tetangga saya punya sambalnya yang aduhai. Ini yang menambah rasanya jadi spesial. Saya yang menyukai makanan pedaspedis jadi doyan.

Biasanya jika di rumah makanan habis, bakso tetangga saya ini pilihannya. Dengan modal sembilan ribu semangkuk bakso gurih sudah bisa dibungkus pulang.

flash disk

Hampir dua minggu belakangan saya sibuk ke kampus. Seingat saya kesibukan saya ini jarang terjadi. Apa pasal karena jelang deadline wisuda saya harus pagipagi berangkat ke kampus.

Di kampus hanya dua hal yang saya lakukan: bertemu dosen pembimbing tercinta dan melengkapi administrasi berkas wisuda. Yang pertama berkaitan dengan tesis saya. Yang kedua, kalian barangkali sudah tahu: berdiri gagah di antara ratusan wisudawan dengan toga sewaan.

Masalahnya adalah untuk urusan yang kedua susahsusah gampang. Berkas pendaftaran wisuda lumayan banyaknya. Saya sampai pusing mengerjakannya. Macammacam surat harus disediakan. Saking banyaknya tas saya sudah seperti lemari berkas pegawai negeri sipil.

Susahsusah gampang urusan ini karena banyak berkas yang harus ditanda tangani. Akan mudah jika yang menandatangani berada di tempat. Yang ribet kalau yang punya tandatangan malah keluar punya urusan. Susah.

Juga yang bikin ngosngosan karena gedung administrasi dan gedung jurusan jaraknya lumayan jauh. Kalau jalan kaki lumayan bisa bakar lemak tiga sampai lima kilo. Saya yang agak kurus ini memilih naik motor saja.

Nah, di antara dua gedung inilah saya harus bolakbalik urus ini itu. Walaupun naik motor rasarasanya sama saja. Bedanya bukan lemak saya yang terbakar habis. Justru bensin motor saya yang terkuras. Pun kalau capek itu hanya karena jarak parkiran dan gedung jurusan yang juga lumayan jauhnya.

Sekarang hari terakhir pendaftaran wisuda. Aturan mainnya sebelum pukul duabelas siang semua berkas harus rampung. Jika tidak tamat riwayat. Saya harus menunggu giliran wisuda dua tiga bulan lagi. Mampus sudah.

Berkas terakhir yang harus disetor sebelum tenggat waktu adalah lembaran distribusi tesis. Dua hari belakangan hanya ini yang bikin saya moratmarit tak karuan. Sementara tesis saya sepagi ini belum jelas. Masih di tempat penjilidan.

Khawatir bakal telat, pagipagi buta saya sudah mandi. Pukul enam lewat Bung! Pikiran saya hanya tertuju kepada berjilidjilid pagina bersampul merah itu. Kemudian satu benda yang bikin semua rencana seperti bakal berantakan: flash disk.

Ceritanya begini: benda kecil yang sering saya bawa itu tibatiba raib dari tas saya. Setelah diperiksa di kantung baju tidak ada, dan saku celana pun nihil. Apes. Saya kehilangan benda canggih itu tanpa saya dugaduga sebelumnya.

Tanpa FD itu otomatis saya tidak bisa menyetor berkas. Di dalamnya ada satu data tesis lengkap yang harus saya pdf-kan dan kemudian di CD-kan. Dan tanpa CD itu maka berkas saya yang lain jadi tidak ada artinya.

Akibat FD yang raib di bawa ketiadaan, sehari sebelumnya pikiran saya jadi mumet. Hampir semalaman pikiran saya hanya soal FD. Tak bisa dibayangkan tenggat waktu yang hanya tinggal sehari bikin hati waswas. Jangan sampai karena FD yang entah kemana saya gagal jadi wisudawan.

Makanya sore kemarin untuk mengantisipasi saya membeli FD baru. Tujuannya saya harus mengulang memasukkan datadata penting buat di CD-kan nanti di koperasi. Sembari harapharap cemas, saya berniat pagipagi buta sudah harus berada di kampus untuk mengejar setoran berkas yang belum rampung.

Dengan data cadangan di FD baru, saya berharap FD yang raib bisa ditemukan kembali. Agak sedih rasanya miniatur kemajuan teknologi itu tidak bisa saya gunakan lagi.

Lewat FD itu, banyak harihari yang saya lalui bersama. Mulai dari film, artikel, beberapa foto narsis, dan sejumlah esai saya abadikan di dalamnya. Kehilangannya seperti ada yang kurang. Seperti kekasih saja.

cukur

Belakangan ini saya ingin bercukur. Rasarasanya rambut saya harus dibuat rapi. Ini akibat Jumat kemarin saya harus menghadapi ujian Tesis. Memang bukan kewajiban saat ujian akhir harus bercukur, tapi dengan rambut yang tertata rapi saat ujian meja bisa bikin rasa percaya diri jadi tumbuh. Tapi apa boleh dibilang, niat itu sampai sekarang tidak kesampaian. Rambut saya masih utuh belum dipotong. Masih seperti biasanya.

Omongomong soal cukur rambut, dulu, kala ingin memotong rambut, yang sering jadi “tukangnya” adalah Bapak saya sendiri. Kebiasaan ini sudah dimulai sejak sekolah dasar hingga masa SMA. Saat mencukur Bapak hanya punya satu gaya, yakni model potongan tentara. Saya tak tahu kenapa model itu yang sering dipilih Bapak, mungkin model seperti itu yang paling gampang dilakukan. Apalagi anak sekecil saya waktu itu tahu apa soal gaya rambut.

Kadang saya curiga, model yang bertahuntahun saya alami itu disebabkan dua hal. Pertama model belah samping itu akibat bentuk gaya sisir yang sering dilakukan Mamak kala sehabis memandikan saya sewaktu kecil.

Atau yang kedua bisa jadi ukuran kerapihan termasuk soal gaya rambut kala itu harus disesuaikan dengan etika militer yang kuat mendominasi hampir di semua dimensi kehidupan masyarakat. Yang terakhir ini malah kuat dugaan saya ada benarnya. Atau mungkin memang sebaliknya yang pertama. Entahlah.

Ingatan saya masih kuat minyak apa yang sering dipakaikan Mamak kala merapikan rambut saya. Warnanya mirip minyak goreng kehijauhijaun. Cair seperti air. Namanya minyak Orang Aring yang berwadah kaca. Minyak ini kalau dipakai bisa tahan seharian penuh. Bikin kilap dan licin. Kadang kalau pagi saya bangun, di bantal tidur saya masih tertera bekas minyak rambut ini. Minyak ini cara pakainya bisa bertahan lama akibat memang sangat irit pakainya. Cukup sekali duakali tuang sudah bisa menggenapi kepala saya kala itu.

Saat sekolah menengah pertama ada keinginan untuk memanjangkan rambut. Berbeda saat sekolah dasar, masa SMP adalah masa ajang diri, terutama soal rambut. Akibatnya, rambut saya biarkan tumbuh panjang. Ini saya lakukan agar bisa mengubah model yang semenjak SD terkesan monoton. Karena niat ingin bergaya, maka akhirnya saya harus meninggalkan minyak Orang Aring. Maklum minyak ini membuat rambut jadi mudah lunglai susah dibentuk.

Ada istilah rambut saya adalah jenis rambut air. Istilah ini kala itu merujuk kepada rambut yang lurus dan mudah jatuh terurai. Kelebihan rambut jenis ini mudah dibentuk sesuai dengan kemauan dengan syarat sedikit menambah minyak rambut yang agak kaku. Jadi biar sepanjang apapun jika ditambah minyak semacam Tancho, rambut jenis ini akan memberikan bentuk sesuai selera yang dimaui.

Semenjak menyadari bahwa minyak rambut merk Brisk bukan minyak yang tepat, maka untuk mendapatkan rambut yang tidak mudah berubah akibat angin, saya mulai mencari jenis minyak rambut yang super kaku. Pencarian ini berlangsung lama akibat riset kecilkecilan yang saya lakukan.

Tentu riset ini adalah percobaan minyak rambut sebagai bahannya, mana yang bisa membuat rambut tak mudah bergeser seinci pun. Kala itu Brisk yang sering kali meleleh jika terkena hujan sudah saya keluarkan dari percobaan. Merk ini jika terkena hujan malah luntur seperti cat yang berwarna putih. Merk ini saya blacklist sesegera mungkin.

Percobaan saya ini selain melakukannya sendiri juga melibatkan kawankawan yang berniat sama dengan saya. Kadang jika melihat rambut kawan saya yang tak berubah dari pagi hingga sepulang sekolah maka pertanyaan saya adalah apa merk minyak rambut yang dipakai.

Dari berbagai macam informan maka ditemukanlah beberapa merk saat itu: Casablanca, Tancho, Casanova, dan juga Brisk. Yang terakhir ini saya maklum. Kawankawan saya memakainya bukan untuk membuat rambut tampak kaku, jutru hanya mau mendapatkan efek mengkilat kala memakainya.

Makanya pasca riset sederhana yang dilakukan, hampir semua merk yang disebutkan sudah semuanya saya uji secara langsung. Namun aneh, semuanya siasia tidak membuat rambut saya tampak “tegar” diterpa angin. Karena belum menemukan hasil, akhirnya riset buat membuat rambut jadi kaku terus saya lakukan.

Hingga suatu waktu jawaban yang saya nantinantikan datang dari sobat saya: Amir Barata. Perlu diketahui hobi kami sepulang sekolah sering kali dihabiskan di permandian umum bernama Oeba. Di sana ada kolam mata air dua petak berukuran panjang sekira sepuluh meter. Permandian ini selain tempat anakanak seusia kami berenang ria juga ditempati ibuibu mencuci pakaian. Oeba adalah kolam mata air yang betulbetul menyenangkan.


mempuasakan tulisan

Di bulan Ramadan nanti, sesiapa pun umat muslim harus menjaga hati, lisan, dan perbuatannya. Ini adalah tuntutan agama. Puasa, ritual yang digelar penuh selama sebulan itu memang bermaksud sebagai momen penyucian.

Dari situ manusia diharapkan mengambil suatu kesadaran baru, bahwa yang namanya jiwa perlu dibebaskan dari seluruh sampah yang menghambat perkembangannya. Tuhan tahu, mahluk kecil bernama manusia itu butuh surga kecil, butuh jedah, suatu masa waktu segala niat dan sikap harus dibersihkan ulang dan dilipatgandakan  rewardnya. Dan puasa adalah medianya.

Puasa jika itu cara agar manusia hatihati, juga harus bekerja dari cara manusia berkomunikasi. Apalagi di masa sekarang tak semua informasi yang dikonsumsi adalah bahan obrolan yang bersih. Kadang akibat motifmotif tertentu suatu informasi malah hanya berisi rasa sentimen dan kecurigaan berlebihan terhadap sesuatu, juga tidak sedikit dari informasi yang lahir dengan cara itu tak lebih dari kebohongan belaka.

Ditinjau dari massifnya informasi yang beredar, bisa dibilang informasi yang berisi kebohongan malah jauh lebih banyak dikonsumsi orangorang dari pada informasi yang benar. Di sini bukan malah amal jariah yang terjadi, justru dosa jariah.

Makanya, bagi seorang yang sering menyebarkan informasi lewat tulisan punya sedikit tantangan lebih besar dibanding orangorang. Seorang penulis di kasus ini, selain tubuh dan jiwanya yang harus berpuasa, juga harus lebih berhatihati dalam menyatakan pikirannya. Bagi seorang penulis, tulisannya harus sedikit diperhatikan. Adakah tulisannya bukan issu semata? bukan gonjangganjing belaka? Atau kebohongan itu sendiri? Syahdan apapun informasinya seorang penulis juga harus meramadhankan buah pikir karya tulisnya. Tulisannya juga harus berpuasa.

Lalu bagaimanakah tulisan yang berpuasa itu? Pertama, caranya tentu harus dimulai dari bacaan yang harus seselektif mungkin. Yang pertama ini lumayan susahsusah gampang, soalnya tidak semua bacaan itu bersih dari kontenkonten vulgar. Apalagi bacaan  terutama sastra, tidak sedikit prosaprosa mutakhir malah mengeksplore tema seksualitas sebagai pabrik wacananya. Bahkan di dalamnya kadang digambarkan suatu peristiwa yang “anehaneh” soal persetubuhan dua mahluk biologis.

Walaupun itu bisa dimaknai sebagai metafora, namun tetap saja bacaan demikian selalu mengambil reka peristiwa yang melibatkan tubuh manusia sebagai medium pemaknaannya. Di titik ini kadang dua lapis pemaknaan berlaku sekaligus: makna harfiah dan metaforis. Jika kesadaran itu bersifat transfiguratif, maka itu malah akan membuat sang pengimajinasi bisa “liar” menggambarkan peristiwa yang dimaksud. Dari pada itu terjadi, maka lebih baik bacaan demikian harus ditunda sementara. Puasa bukan saja soal tubuh dan sikap, tapi juga imajinasi.

Kedua soal motif. Seorang penulis bisa melahirkan beragam motif di balik proses kreatif  tulisannya. Kadang waham kebesaran adalah motif yang kuat yang sering kali mendorong seorang penulis menuliskan karyanya. Motif ini juga kerap hadir bersamaan dengan motif kepahlawanan.

Dua motif ini walaupun agak berbeda tapi memiliki tujuan yang sama, yakni dari tulisan yang dibuatnya bisa mendatangkan citra kebesaran. Dari kacamata sufistik, motif ini disebut bisa mendatangkan riya’. Tentu tulisan yang riya’ adalah tulisan yang tak berharga apaapa selain makna kesombongan itu sendiri. Di saat puasa dengan tulisan macam demikian tentu akan mengurangi pahala dari ibadah yang sedang dijalankan. Makanya, karena itu, berhatilahhatilah membangun motif dibalik tulisan Anda. Niatkanlah hanya untuk ibadah semata.

Informasi yang baik adalah kabar yang menyertakan fakta. Dengan kata lain apa yang disampaikan merupakan apa yang terjadi itu sendiri. Itulah sebabnya kebenaran begitu krusial dalam konteks pekerja informasi. Bahkan kebenaran adalah sentral yang harus ada dalam setiap pengetahuan yang ingin disampaikan.

Bagi seorang sastrawan, yang kadang menulis dengan bentukbentuk kebenaran yang disamarkan barangkali bisa berkelit soal informasi yang ditulisnya. Seorang sastrawan memang punya semacam kekuasaan dalam memberlakukan informasi agar terkesan ambigu.

Tapi, bagi orangorang semisal wartawan, atau orangorang yang sering menyampaikan kebenaran lewat artikel, kebenaran adalah kebenaran. Tak peduli informasi apa yang sampaikannya selain itu memang pengetahuan yang berbasis kenyataan atau akal sehat. Yang terakhir ini malah penting dalam konteks kiwari di mana banyak informasi hoax yang kerap beredar. Dengan kata lain, tulisan yang diramadankan adalah karya yang ditulis atas asas kejujuran.

Terakhir adalah soal tujuan karya itu ditulis. Apabila dunia maya jadi medan penilaian, maka kadang banyak ditemukan informasiinformasi yang bertujuan untuk membangun sentimentalisme kelompok dengan menyulut nuansa emosi pembacanya. 

Tulisan semacam ini seringkali ditemukan dari situssitus berbasis keagamaan dan kesukuan yang menghujani pembacanya dengan informasiinformasi yang tidak bertanggung jawab. Padahal jika suatu karya berita ditulis berdasarkan kaidah jurnalisme, maka hampir sebagian besar informasi yang disebut ini adalah berita yang tidak memiliki sumber yang valid.

catatan menulis PI, pekan 19

Pertemuan kali ini tanpa melibatkan karya tulis siapa pun. Kali ini KLPI bukan mau menjalankan rutin soal kritik karya tulis. Pun juga tidak ada soal karya yang dibacakan. Dengan kata lain dua mekanisme KLPI seperti biasa dilakukan ditangguhkan.

Pertemuan kali ini kawankawan hanya mau datang akibat ajakan untuk mendengar pengalaman dari seorang yang sudah akrab: Alto Makmuralto. Kawankawan dipanggil atas undangan sebelumnya yang mau menyoal suatu tema: “Literasi dan Aksi: Literasi sebagai Aktivisme”. Dan Alto Makmuralto, penulis yang sudah dikenal itu sebagai pembicara tamunya.

Sebenarnya ide ini sudah bergulir di dua pekan sebelumnya. Namun akibat suatu hal, baru pekan 19 rencana ini terealisasi.

Seperti biasa kelas bukan lagi ruang yang ramai. Kali ini hanya ada beberapa muka yang sudah dihapal betul. Juga ditambah dua muka baru. Yang terakhir ini belum jelas betul apa motivasinya terlibat, tapi ada dugaan nama Alto Makmuralto yang jadi magnetnya. Jika ditotal KLPI pekan 19 hanya diisi 8 orang, plus pembicara tamu maka berjumlah 9 orang.

Kelas dimulai pukul dua. Di siang yang agak menyengat pembicaraan tidak langsung menjurus ke soal tema. Seperti laiknya persamuhan komunitas, unsur nonformal lebih dominan menjadi bahan obrolan.

Kali ini MIWF kemarin jadi tema pembuka pembicaraan. Terutama terkait sehalaman Kompas yang menurunkan berita acara tahunan itu. Dari situ akhirnya obrolan pelanpelan masuk ke halhal yang bersangkupaut dengan literasi. Mulai dari kelompokkelompok penulis sampai soal kubukubu sastrawan. Dari emerging writers sampai penulis bloger. 

Hingga akhirnya tanpa mesti diabaaba forum dirasa mesti dibuka secara formal. Muhajir, yang sering didapuk jadi moderator mulai angkat bicara. Tak lama Alto Makmuralto ambil giliran.

Penulis novel Sekuntum Peluru ini membuka pembicaraan dengan isuisu yang pernah aktual di tahuntahun 1960, soal pertentangan mazhab sastra. Dari situ Alto, begitu nama akrabnya, mengambil konteks bahwa literasi sebagai aksi bisa terkait langsung dengan selera seorang penulis. Terkait dengan pilihan ideologis, literasi bisa mengandung beragam polemik, apakah menulis hanya soal ekspresi kebebasan atau jauh melibatkan diri kepada komitmen perubahan.

Dua perspektif ini disebutnya  pernah nampak menjadi perdebatan dan mempengaruhi jalannya kesusastraan Indonesia. Akibatnya, menulis dikatakannya bisa hanya soal selera atau ada sangkutpautnya dengan isuisu politik.

Alto juga menyinggung ihwal wacana sastra kontekstual. Yang ini adalah suatu pemikiran yang pernah dipopulerkan Ariel Heryanto  dan Arief Budiman di seputar tahun 80an.  Awalnya perdebatan Sastra Kontekstual meneruskan tradisi kritisisme sebagai respon terhadap pandangan Sastra Humanisme Universal yang mengandaikan sastra adalah suatu upaya yang lahir dari nilainilai yang akrab di seputar sastrawan.

Berbeda dengan pandangan Sastra Universal, Sastra Kontekstual lebih menekankan kemungkinankemungkinan yang tak teramati dari kecenderungan anutan sastra universal yang identik dengan selera kelas menengah terdidik. Dengan kata lain, Sastra Kontekstual menginginkan bahwasannya sastra harus mampu terserap bukan saja buat segelintir orangorang terdidik, melainkan bagi masyarakat yang jauh lebih luas.

Perdebatan akademis ini sesungguhnya sedikit banyak pernah jadi problem di KLPI beberapa bulan yang lalu. Bahkan saat itu pembicaraan sedikit menyampir kasus sastrawan Saut Situmorang yang dilaporkan Fatin Hamama akibat pelecehan nama baik.

Namun, saat itu ada dua pandangan umum soal bagaimanakah suatu karya harus dipahami, apakah suatu karya sastra seperti posisi ilmuilmu sosial yang notabene berfungsi sebagai cerminan realitas sosialnya, ataukah sastra memiliki cara yang lain ketika hendak menyuarakan aspirasinya, di mana dalam konteks ini sastra adalah karya yang bisa saja tidak terikat sama sekali dari keadaan sosio-historis masyarakat tertentu.

Pandangan pertama akan menempatkan sastra sebagai bagian ilmuilmu yang rasional dan kaku, sementara kecenderungan kedua akan membuat sastra seperti induknya itu sendiri yakni dia adalah seni atas sesuatu.

Marxisme dan Sekilas Islam Transformatif

Pertama, untuk melihat hubungan Islam dan Marxisme, perlu kehatihatian dalam konteks bagaimana melihat dua variabel ini melalui bentuknya yang transparan. Islam biar bagaimanapun dalam medan teoritik sudah mengalami pembauran dengan berbagai macam perspektif tertentu sehingga sulit menyebut pemikiranpemikiran yang mengidentikan sebagai islam  adalah Islam itu sendiri. Dengan kata lain, perlu dibedakan islam sebagai pemikiran dan Islam sebagai wahyu. Dalam esai ini, yang dimaksud Islam adalah islam yang pertama, yakni islam yang sudah mengalami intrepetasi berdasarkan pemikiran tertentu.

Begitu pula Marxisme, sebagai suatu paham pemikiran yang ditilik dari Karl Marx juga mengalami berbagai macam pergesekan dan bongkar pasang penafsiran. Ibarat agama, Marxisme juga tidak terlepas dari berbagai macam sudut padang. Oleh karena itu, jika tulisan ini mau menyebut Marxisme, maka itu adalah usaha yang mendekatkan pemahaman kepada apa yang sering dikatakan sebagai “Marxisme murni”. Tentu usaha ini juga dilakukan kepada islam itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

***

Umumnya orangorang membangun prasangka bahwa Marxisme menolak seluruh bentuk pemahaman religius. Prasangka ini maklum terjadi akibat banyak teksteks di seputar Marxisme yang secara terbuka menyebut konsepsi yang idealistik-religius tak memiliki sumbangsih apaapa. Di tingkatan filosofis penolakan Marx terhadap pemahaman idealistik ditemukan dari dua cabang. Yang pertama adalah penolakan Marx terhadap agama yang merupakan pelampauan dari filsafat Ludwig Feurbach soal konsep keterasingan manusia. Antitesa ini sekaligus merupakan jalan masuk Marx ketika menolak pemikiran Wilhelm F. Hegel yang menyebut dunia terbentuk dari saripati ruh yang bergerak menuju titik absolutnya. Sementara yang kedua adalah perkataan Marx itu sendiri mengenai sifat candu agama yang membawa kesadaran manusia kepada sikapsikap fatalistik.

Implikasi cabang yang pertama merupakan konsekuensi dari pemikiran Marx yang menaruh minat terhadap paham materialisme yang disempurnakannya dari pemahaman sebelumnya melalui Feurbach yang lebih dikenal sebagai materialisme dialektis. Sementara di sisi lain pemikiran ini juga adalah jalan memutar yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel  yang mengandaikan ruh sebagai inti hakikat segala yang ada. Kepada dua pemikiran sebelumnya inilah Marx mengembangkan cakrawala filsafatnya yang khas dari apa yang dinisbahkan dunia sebagai meterialisme dialektika historis.

Perlu dipahami penolakan bentuk ideide religius-idealistik Marx dari perspektif cabang pertama adalah suatu mode pemikiran yang disandarkan melalui kritiknya terhadap gagasan Feurbach dan juga sekaligus Hegel, sehingga kosakata pemikiran yang dipakainya merupakan pantulan perspektif yang menolak agama di luar dari tradisi pemikiran agama itu sendiri. Dengan kata lain, perspektif negatif terhadap agama oleh Marx adalah tradisi pemikiran yang lahir dari suatu alur pemikiran filosif sebelumnya yang bersifat spekulatif. Artinya penolakan Marx terhadap agama bukanlah suatu jawaban defenitif seperti yang dipersangkakan orangorang di luar dari tradisi pemikiran Marxisme.

Sementara dari cabang yang kedua, penolakan Marx kepada gagasan idealistik-religius bertolak dari pembacaan yang bersifat empirik. Dari sudut pandang ini mesti pertamatama mendudukkan perkataan Marx yang menyebut agama adalah candu masyarakat  di dalam suatu latar sosiologis tertentu. Dengan maksud bahwa perkataan Marx lahir dari pengamatan yang bersifat kontekstual. Artinya, berbeda dari penolakan pertama yang bersifat filosofis, dari cabang yang kedua ini Marx lebih digolongkan sebagai seorang sosiolog yang menghadapi suatu fase kehidupan tertentu.  Dengan kata lain perkataan Marx bukanlah fatwa yang sudah benar dari sananya, melainkan suatu perkataan yang bisa benar sekaligus diwaktu yang hampir bersamaan mampu untuk disangkal.


Pemahaman yang dibangun di atas perlu diajukan dari awal untuk memberikan suatu cara pandang lain bahwa hubungan Marx dan gagasan idealistik-religius, terutama agama, merupakan hubungan yang terbuka untuk dinilai daripada menerima pernyataanpernyataan aksiomatik yang melihat Marxisme dan agama merupakan dua pemahaman yang ambivalen. Artinya, dari kacamata ini, ada kemungkinan memberikan telaah diseputar relasi agama dan Marxisme dengan suatu cara pandang yang lebih elastis dan dialektis. Ini penting mengingat dari tingkatan tertentu agama dan Marxisme memiliki muatan yang hampir sama terutama pandanganpandangannya soal perbaikan harkat dan martabat masyarakat tertindas.

***

Marxisme bisa dibilang sebagai filsafat orangorang tertindas. Dari kesadaran Marxisme yang diandaikan sebagai orang tertindas adalah kumpulan kelas pekerja yang bekerja di bawah tatanan yang kapitalistik. Di dalam tatanan kapitalistik kaum pekerja bukanlah apaapa. Kaum pekerja disebut kaum pekerja karena mereka rela menjual tenaganya kepada kelas borjuis untuk mendapatkan upah rendah demi memberlangsungkan kehidupannya. Dari relasi antara kaum pekerja dan kaum borjuis, dinyatakan Marx mengandung nilai lebih dari logika yang bersifat eksploitatif. 

Akibatnya, upah yang diterima kaum pekerja tidak berbanding lurus dengan tenaga produksi yang dikeluarkan. Maka dari itu Marx menyeru bahwa hubungan macam demikian adalah penghisapan yang tidak adil. Berangkat dari situasi itulah Marx mengabarkan suatu jalan perubahan yang dia sebut revolusi proletariat. Perubahan ini tak mungkin tejadi sebelum terbangun apa yang disebut dalam tradisi Marxisme sebagai kesadaran kelas. Dengan kesadaran kelas, Marxisme meyakini kaum pekerja dapat keluar dari hubungan idelogis yang didasarkan kepada kepentingan kaum borjuis semata.

Bila dijabarkan menjadi pokok pikiran, pernyataan di atas akan menerangkan beberapa saripati teoritik yang bisa ditemui di dalam gagasangasan Marxisme. Tentu inti pemikiran ini hanyalah merupakan sebagian dari luasnya perhatian Marxisme terhadap beragam tema keilmuan yang dibahasnya.

Pertama, teori tentang kelas sosial.   Berdasarkan uraian Franz Magnis Suseno dalam literasi “Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”, di dalam pemikiran Marx konsep kelas tidak dinyatakan secara eksplisit. Ini mengimplikasikan kekaburan soal batas defenitif kelas sebagai konsep walaupun Marx banyak menggunakannya dalam studi literatifnya.  Asumsi ini akibat hilangnya kategori atau berdasarakan kritea apa yang  tidak  diajukan Frans Magnis Suseno mengenai bagaimana kelas itu dinyatakan. Nampaknya Frans Magnis Suseno kurang memberikan perhatian kepada logika Marx yang menempatkan kelas di antara posisinya dalam hubunganhubungan produksi diseputar penguasaan alatalat produksi. 

Berdasarkan pemahaman Marxisme yang dinyatakan Lenin, kelas sosial merupakan golongan masyarakat dalam suatu tatanan yang ditentukan oleh posisinya dalam proses produksi. Artinya di dalam tatanan yang ditentukan oleh suatu proses produksi, posisi kelompok sosial mengandaikan hubungan yang relatif ditentukan oleh seberapa dekat dengan alatalat produksi. Semakin dekat suatu golongan dengan penguasaan proses produksi maka semakin kuat dia membangun suatu hirarki kekuasaan, sebaliknya semakin jauh suatu kelompok dari suatu proses produksi maka akan semakin tak bernilai ia di dalam suatu tatanan. Dalam matriks kelas Marxisme, golongan yang memiliki akses terhadap suatu proses produksi disebut kelas borjuasi, sementara kelompok yang tidak memiliki akses kepemilikan terhadap sarana produksi disebut sebagai kelas proletar.




Berdasarkan gambar 1, peluang akses kelas borjuasi terhadap sarana produksi mengakibatkan semakin besarnya penguasaan yang dipunyai kelas borjuasi terhadap penggunaan sarana poduksi guna menyatakan posisinya dalam relasi hubungan produksi. Akses ini dengan sendirinya akan menyebabkan kekuasaan yang besar dalam memperagakan kepentingan kelas berjuasi atas kepemilikan sarana produksi. Hal yang berkebalikan terjadi terhadap kelas  proletar yang jauh dari penguasaan terhadap sarana produksi sehingga dalam hubungannya mengakibatkan kelas proletar tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas sarana produksi yang tidak dimilikinya. 


 

Dalam pemahaman struktural seperti yang dinyatakan berdasarkan dari gambar 2, relasi hubungan produksi antara kelas borjuasi dan kelas proletar dibangun atas dasar penguasaan. Ini dinyatakan dari hubungan yang dipunyai atas akses terhadap sarana produksi. Hubungan ini tidak saja berbicara soal dekatnya akses yang dimiliki kelas borjuasi, melainkan juga seberapa besarnya hubungan hirarki golongan ini terhadap sarana produksi itu sendiri. Artinya dalam hubungan hirarki seperti ini, penguasaan terhadap sarana produksi dengan sendirinya paralel dengan status kelas yang disandang berdasarkan kepemilikan alatalat produksi.

Berdasarkan dua pemahaman ini, kelas sosial dinyatakan atas kepemilikan sarana produksi. Hubungannya dengan keadaan objektif masyarakat, kelas sosial adalah kategori yang bisa disematkan kepada hubunganhubungan masyarakat atas ikatan ras, agama, suku, gender ataupun budaya. Maksudnya, kelas sebagai kategori sosial bukan penggolongan atas ikatanikatan masyarakat  yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat, melainkan relasi yang tercipta atas dasar hubungan produksi. Dengan kata lain, berdasarkan kategori kelas sosial entah ikatan kultural, keagamaan maupun kebangsaan yang acapkali dipisahkan secara berbeda dari hubungan sosialnya, tetapi di bawah relasi atas sarana produksi maka golongan yang dinyatakan berbeda sebelumnya akan bersatu dalam dua kategori tunggal yakni kelas borjuis atau kelas proletar.

Kedua teori nilai lebih. Teori nilai lebih didasarkan Marx atas perhatiannya terhadap lamanya waktu yang dikeluarkan kaum pekerja untuk menghasilkan barangbarang. Bagi Marx upah yang diterima kaum buruh harus sebanding dengan waktu ratarata yang dimiliki kelas pekerja selama menghasilkan barang. Berdasarkan logika ini nilai barang akan ditentukan berdasarkan lamanya barang itu dikerjakan. Semakin banyak waktu yang digunakan dalam menghasilkan barang maka akan semakin tinggi nilai barang itu sendiri. Yang menjadi masalah bagi Marx adalah ketika adanya pencurian nilai lebih dari waktu ratarata yang tersisa dari kaum buruh. Semisal untuk menghasilkan sepatu yang senilai 5000 rupiah hanya dibutuhkan waktu sebanyak empat jam, tetapi akibat ketika kaum pekerja menjual tenaganya maka kepemilikan atas dirinya dipekerjakan kaum pemodal selama delapan jam, maka akan ada tersisa waktu empat jam seharga 5000 rupiah yang diambil tanpa terbayarkan kepada seorang pekerja. 5000 dari waktu empat jam yang tersisa inilah dalam pemahaman Marx disebut sebagai nilai lebih.

Ketiga konsep keterasingan.  Pemikiran ini dinyatakan Marx dari kerja sebagai ikhtiar manusia yang bebas dan universal. Berbeda dari binatang, manusia merupakan mahluk yang harus mengubah alam agar dapat sesuai dengan kebutuhannya. Agar sesuai dengan kebutuhan maka manusia dituntut untuk bekerja. Bekerja juga disebut Marx sebagai cara manusia mengobjektivasi dirinya. Maksudnya seperti seorang pembuat patung, kayu yang semula nyaris tanpa bentuk akhirnya  berubah menjadi ornamen yang indah lewat kerja. Kayu yang berubah bentuk menjadi patung indah inilah yang dimaksud Marx sebagai objektivasi manusia. Di patung itulah seluruh endapan ide, tenaga, dan rencana si tukang yang awalnya masih berupa potensial akhirnya menjadi objek kongkrit lewat usaha kerja.

Pekerjaan di mata Marx juga bersifat sosial. Artinya tiada pekerjaan yang tanpa melibatkan kehadiran orang lain. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pekerjaan bukanlah aktifitas tertutup yang mengandaikan subjektifitas belaka, melainkan dengan sendirinya adalah usaha kolektif selain karena manusia merupakan mahluk sosial tetapi jug kehadirannya dikatakan bernilai jika melibatkan kehadiran orang lain.

Pengandaian pekerjaan sebagai usaha kolektif juga bermakna historis. Maksudnya kita hidup di atas dunia yang merupakan hasil kerja orangorang sebelumnya. Dunia yang diwarisi manusia sejatinya dalam pemahaman ini merupakan hasil jejak pekerjaan ribuan generasi sebelumnya. Persepektif ini diajukan Marx kepada Feurbach yang tidak melihat dunia sebagai semesta yang disalurkan antara satu generasi ke generasi lainnya. Berbeda dengan Feurbach, Marx meyakini bahwa dunia tidak lahir sebagaimana adanya tanpa perlibatan organis tangan manusia, melainkan selain ada usaha kolektif kerja juga berdimensi historis.

Lantas di manakah sisi keterasingan manusia dari aktivitas pekerjaannya? Untuk menemukan persinggungan keterasingan manusia dalam pemahaman Marxisme, maka pertamatama konteks kerja manusia mesti dipahami dalam skema kerja kapitalisme yang menjadi asalusul keterasingan manusia.

Pekerjaan dalam skema kapitalisme adalah pekerjaan yang tidak didasarkan kepada jiwa merdeka dan universal.  Dua ciri ini dalam tatanan kapitalistik menjadi hilang akibat kerja merupakan dorongan eksternal dan hanya didasarkan kepada tujuantujuan akumulasi modal. Kaum pekerja di bawah situasi ini akhirnya dinyatakan Marx mengalami setidaknya dua lapis keterasingan.  Pertama kaum pekerja terasing dari dirinya sendiri. Melalui aktivitas kerja yang didasarkan tuntutan kepentingan industrialisasi, realisasi pekerjaan manusia bukanlah ikhtiar yang dikembangkan atas dasar objektivasi kehendaknya, melainkan sematamata untuk menutupi tujuantujuan yang sebelumnya ditetapkan pasar kerja. Hasil kerja yang diproduksi dari tenaga yang dikeluarkan dalam logika ini bukanlah ekspresi yang dinikmati oleh kaum pekerja itu sendiri, melainkan dinikmati oleh sistem yang mendapatkan hasil dari tenaga yang dikeluarkan oleh kaum pekerja. Di sini keterasingan lapis pertama itu muncul: hasil produksi bukanlah kenyataan yang mencerminkan hakikat diri manusia itu sendiri. “Semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya menjadi miskin”, ucap Marx.

Kedua, akibat sistem kerja yang tidak alami, manusia yang dipaksa bekerja karena logika akumulasi modal dengan sendirinya mengalami perpecahan dengan kelompok sosial lainnya. Selain kaum pekerja tidak memiliki ikatan apaapa selain hubungan pekerjaan dengan kaum pemodal, juga kaum pekerja tidak memiliki ruang yang cukup membangun relasi yang alamiah kepada sesamanya karena tuntutan pekerjaan yang eksploitatif. Di dalam waktu yang sematamata dihabiskan hanya untuk bekerja, kaum pekerja tidak memiliki waktu luang untuk mengekspresikan kecenderungan sosialnya antara sesamanya. Di titik inilah, Marx menyebut eksistensi manusia tercerabut selain sebagai mahluk yang mampu merealisasikan kebutuhan individualnya, tetapi juga sebagai mahluk yang berdimensi sosial.

Keempat kesadaran kelas. Perubahan yang diandaikan Marxisme adalah jenis perubahan yang revolusioner. Perubahan ini bersifat universal dan radikal dalam makna berlaku di setiap sendisendi kehidupan. Dalam tinjauanya terhadap pertentangan kelas, Marx mengatakan kepentingan kelas proletariat bukanlah sematamata akibat rasa iri ataupun dengki yang digerakkan oleh semacam sentimentalisme dan tuntunan moral tertentu, melainkan merupakan keharusan objektif yang digerakkan sejarah selama ini. Marx mengatakan: “Masalahnya bukan apa yang dibayangkan sebagai tujuan oleh seorang proletar atau pun seluruh proletariat. Masalahnya ialah proletriat itu apa dan apa yang akan, secara historis, terpaksa dilakukannya berdasarkan hakikatnya itu. Tujuan dan aksi historisnya telah digariskan secara jelas, tak terbantahkan, dalam situasi hidupnya sendiri maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis sekarang.” Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentinggannya ditentukan oleh situasinya yang objektif.

Walaupun perjuangan kelas merupakan situasi yang disebut keharusan sejarah, dalam pemahaman Marxisme, kapitalisme hanya dapat ditumbangkan di dalam dua keadaan yang secara simultan terjadi secara bersamaan. Pertama adalah seperti yang dinyatakan Marx bahwa kapitalisme adalah sistem perekonomian yang mengandung kontradiksi secara imanen sehingga akan mendasari kejatuhannya. Dalam kasus ini kapitalisme adalah pertarungan yang melibatkan tuan pemodal dengan tuan pemodal lain untuk saling mempertahankan dirinya. Bagi Marx, pertentangan di antara tuan pemodal ini akan dengan sendirinya menghancurkan sistem yang menopang masyarakat borjuis itu sendiri. Kedua, di dalam sistem kerja upahan, kaum pekerja akan menyadari situasi objektifnya yang dieksploitasi oleh kaum pemodal dengan membangun kesadaran atas situasi kelasnya demi merebut sarana produksi. Di situasi yang kedua ini maka kaum pekerja akan membangun konsolidasi atas dasar persamaan dengan maksud penggulingan kelas pemodal dari sarana produksinya.

***

Marx menyatakan sejarah perubahan masyarakat ditentukan oleh sejauh mana hubungan produksi berlangsung di dalamnya. Hubungan produksi ini sangat signifikan pengaruhnya sehingga mempengaruhi corak nilai yang menjadi bangunan suprastrukturnya. Bagi Marx produksi ekonomilah yang mendasari seluruh tatanan nilai berupa politik, hukum, budaya, agama, moral maupun seni. Asumsi ini dinyatakannya lebih jauh bersifat historis dalam makna menjadi hukum perkembangan masyarakat. 




Berdasarkan gambar 3, sejarah perkembangan masyarakat dikatakan Marx akan membentuk konfigurasi bentuk masyarakat yang ditentukan oleh perkembangan hubungan produksi sebagai kekuatan determinannya. Dimulai dari masyarakat komunal primitif, sejarah masyarakat berturutturut akan berkembang menjadi masyarakat feodal, industri, dan kemudian akan bergerak menjadi tatatanan tanpa kelas yang disebutnya sebagai masyarakat sosialisme komunisme. 






Apa yang mau dijelaskan dari gambar 4 adalah penggambaran yang dinyatakan Marx sebagai hukum masyarakat atas dasar prinsip filsafat materialisme historis dialektis. Hukum ini bekerja atas dasar prinsip dialektis di antara hubungan produksi yang bersifat material yakni tenaga produksi, alat produksi, dan bahanbahan produksi. Ketiga elemen inilah yang berproses membentuk konfigurasi paras masyarakat dalam perjalanan sejarahnya. Hukum ini disebut objektif lantaran merupakan kenyataan yang tampak berlaku di dalam masyarakat sebagai peristiwa yang aktual.

***

Sekilas Islam Transformatif

Islam dalam beberapa intrepetasi yang dilakukan oleh semisal Hassan Hanafi, Hassan Al Banna, Asghar Ali Engineer, dan Ali Syariati –untuk menyebut beberapa nama, merupakan suatu cara pandang baru yang memberikan penekanan “aksi” terhadap pemahaman Islam yang cenderung normatif-konservatif. Dari beragamnya intrepetasi ini maka memunculkan beragam istilah teknis yang mau menyebut Islam yang menaruh minat terhadap isuisu perubahan. “Kiri Islam”, “Islam Progresif”, “Teologi Pembebasan”, dan “Sosialisme Islam”, adalah beberapa model pembaharuan yang memiliki konsep perubahan atas ajaran Islam agar memiliki manfaat konkrit terhadap kehidupan umat manusia yang terbelakang. Pembacaan ini umumnya didasarkan atas situasi umat Islam itu sendiri yang bergerak lamban dalam menyesuaikan pemahamannya terhadap perkembangan zaman. Hal yang lain juga dinyatakan sebagai akibat situasi umat Islam yang mengalami penindasan dari berbagai sektor kehidupan. Selain daripada itu, dari dimensi internal umat Islam itu sendiri, ada pemahaman yang disebut “konservatif” terhadap halhal teknis sehingga melupakan hal paling subtansial berupa nasib umat Islam yang mengalami degradasi dan dekadensi.

Untuk mengambil contoh sebagaimana yang dicetuskan Asghar Ali Engineer berupa pemahamannya tentang Teologi Pembebasan,  bahwa sejatinya Islam datang dengan semangat pembebasan. Dalam sejarah awalnya Teologi Islam dekat dengan isuisu keadilan dan persamaan derajat. Misi kenabian dijabarkan dalam usaha melepaskan belenggu masyarakat dari perbudakan, perampasan hak, diskriminasi gender, dan perbedaan hubungan antara penganut keyakinan. Namun hal ini justru mengalami pergeseran ketika umat Islam memasuki suatu masa yang dipimpin oleh khalifahkhalifah pasca wafatnya rasul. Teologi akhirnya menjadi soalsoal yang hanya sibuk membahas kalam dan takdir manusia. Terutama paham Jabariah, menurut Asghar Ali Engineer, membuat umat Islam diposisikan menjadi umat yang statis akibat konsep teologi yang diintrodusir berdasarkan kepentingan khalifah saat itu.

Asghar juga menilai, Islam yang fatalistik ini  kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para khalifahsaat itu  lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.

Dari latar situasi itulah maka Engineer merumuskan Teologi Pembebasan berdasarkan dua cara. Pertama melalui aspek kesejarahan dengan melihat aspekaspek misi kenabian yang melibatkan diri terhadap misi pembebasan umat. Dari cara ini Engineer menemukan suatu pengertian yang egaliter bahwa Rasulullah datang bersamaan dengan penghapusan terhadap seluruh bentuk penghisapan atas umat manusia. kedua Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya.

Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis untuk mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esensi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer. Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam.

Ali Syariati yang juga memiliki intrepretasi Islam berdasarkan semangat pembebasannya, menemukan suatu prinsip esensial yang menjadi misi kenabian berupa pembelaannya terhadap kaum mustadaifain. Dari perspektif Tauhid, Ali Syariati menyatakan bahwa Islam secara esensil menggambarkan seluruh manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan secara kelas ataupun perlakuan khusus yang diberikan Tuhan terhadap kaum tertentu, sehingga apa pun pembedaan yang terjadi di dalam masyarakat harus dinyatakan sebagai bentuk kejahiliaan yang bersumber dari kesyirikan. 

Lebih jauh Syarati menjelaskan bahwa; “Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. dengannya kita maksud Islam Abu Dzar; bukan Islamnya khalifah. Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islam-nya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan, dan passivitas. Islam kaum mujahid; bukan Islam-nya kaum “ulama”. Islam kebajikan dan tanggung jawab pribadi dalam protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah “ulama” dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah, bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlid) kepada “ulama”.

Pernyataan Islam menurut Ali Syariati di atas diinspirasikan dari semangat kejuangan Imam Husain yang secara revolusioner menentang rezim Yazid sebagai simbol dekadensi ajaran Islam. Melalui ketokohan Imam Husain-lah Ali Syariati membangun horison Sosialisme Islam-nya dengan memberikan cara intrepetasi yang lebih kontekstual.

Salah satu contoh kontekstualisasi yang dilakukan Ali Syariati dengan membangun kategorikategori karakter semisal Habil dan Qabil, Musa dan Fir’aun, Muhammad dan Abu Jahal,serta Husain dan Yazid, sebagai medium pemaknaan umat untuk melihat ciriciri kebenaran dan kezaliman yang menurutnya merupakan dua antinomi yang berlaku di tiap keadaan masyarakat manapun. Melalui figurisasi inilah Ali Syariati membuat skema pemahaman untuk mengintrepetasikan keadaan umat yang terbelakang akibat perbuatanperbuatan ketidakadilan penguasa.

Islam transformatif sebagai kategori Islam yang menghendaki perubahan, sebenarnya adalah eksperimen yang dilakukan guna menemukan Islam yang ideal bukan saja menyentuh soalsoal kalam semata, melainkan turut andil dalam menyuarakan semangat kemanusiaan yang adil dan makmur. Makna transformatif berarti bermaksud melakukan pembaharuan dan perubahan dari aspekaspek pranata hingga struktural yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Tentu niatan ini tidak keluar dari misi awal yang disuarakan nabinabi pembawa risalah perubahan.

Islam transformatif juga harus dipahami sebagai upaya dialogis ajaran Islam yang berhadapan langsung dengan masalahmasalah kontemprer umat. Apapun semangat yang ditekankan di dalamnya, baik berupa intrepetasi yang telah ada sebelumnya maupun perkawinan dengan pahampaham yang berasal dari luar tradisi Islam, harus ditempatkan kepada makna transformatif itu sendiri, yakni sebagai upaya untuk membawa masyarakat kepada suatu model masyaraakat yang lebih maju.

Pembicaraan tentang teologi transformatif ini di kalangan teolog Indonesia, banyak diadvokasi oleh tokoh-tokoh seperti M. Sastraprateja, A. Suryawisata, dan Dr. Banawiratma (dari kalangan Katolik). Sedangkan dari kalangan Islam biasanya orang merujuk pada tokoh-tokoh seperti M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman, M. Habib Chirzin, Mansour Fakih, dan juga Masdar F. Mas’udi. Pada umumnya, mereka ini adalah para ahli-ahli ilmu sosial yang meminati teologi, dan atau sebaliknya, para teolog yang hendak memakai analisis ilmu sosial radikal.(1)

Adapun kritik teologi transformatif adalah bahwa keterbelakangan bukan disebabkan faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh akibat “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan Dunia Ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap. (2)

Singkatnya, Teologi Transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari kritik dialogis, ke kritik tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam tindakan praksis sosial sebagai praksis teologis. Dengan demikian, kalangan teologi transformatif berusaha memanfaatkan, sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas sosial-keagamaan dewasa ini.


------
  1. http://www.anekamakalah.com/2012/03/islam-transformatifdinamisteologi.html
  2. http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.co.id/2012/03/islam-transformatif-dinamis-dan-     teologi.html
Bacaan penunjang: 
(1) Manifesto Komunis, Karl Marx dan F. Engels. (2) Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Franz Magnis Suseno. (2) Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer. (3) Agama dan Marxisme, O. Hashem. (4) Mencari Marxisme, Martin Suryajaya. (5) Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme. Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. (6) Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya (7) Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer, Donny Gahral Adiaan (8) Menuju Masyarakat Egalitarian:Transformasi. Moeslim Abdurrahman (9) Kuntowijoyo Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi.