(1)
OTAK manusia, menurut ahli psikologi
perkembangan, tidak sempurna kali pertama dilahirkan. Sebagai organ paling kompleks, otak manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan
pertumbuhan jaringan sel syarafnya.
Para ahli neurologi, karena itu menyebut otak manusia organ paling lemah dan
prematur dibandingkan otak makhluk lainnya .
Berbeda dari binatang, manusia
menciptakan kebudayaan demi menutupi lubang-lubang dalam kehidupannya. Melalui
kebudayaan, dan dalam waktu yang sangat panjang, ia belajar menyempurnakan
jaringan sel otaknya melalui revolusi kognitif. Di waktu-waktu itu juga, ia
membangun rumah meninggalkan gua-gua demi berlindung dari alam rimba, menemukan
sawah dan ladang-ladang, dan menciptakan revolusi agrikultur untuk bertahan
hidup,
dan menciptakan pakaian agar berbeda dengan simpanse atau kera, kerabat
dekatnya, yang masih berkeliaran bebas di hutan-hutan.
Manusia, karena itu, tampak menjadi
makhluk yang paling maju dibanding hewan lainnya. Setelah ia menciptakan
revolusi kognitif dan revolusi agrikultur, manusia
banyak belajar dan mendidik dirinya.
Tidak semua hal dapat dipelajari
manusia, tapi melalui pendidikan, manusia menciptakan hal-hal semacam jalan
raya, taman bermain, buku, perpustakaan, ruang belajar, dan sekolah, demi
membuat perbedaan fundamental dengan para binatang. Semua hal-hal itu
disosialisasikan bersama temuan-temuan baru selama berabad-abad, untuk
memaksimalkan kerja jaringan syarafnya. Agar otak manusia mampu menjadi piranti
yang membuatnya dapat menghadapi situasi yang serba berubah.
Sigmund Freud, psikoanalisis asal Swiss,
mengandaikan manusia digerakkan bukan sepenunya oleh alam sadar seperti
anggapan abad sebelumnya. Ibarat gunung es di atas permukaan lautan, puncak es
yang tampak, hanyalah penampakan sebagian kecil dari badan gunung yang
tersembunyi di dasar lautan.
Bagaikan puncak gunung es, kesadaran
manusia tidak sepenuhnya tampak mandiri oleh karena ditopang kaki-kaki gunung
yang tersembunyi jauh di bawah permukaan. Kaki-kaki gunung yang tersembunyi
inilah alam bawah sadar manusia yang sebenarnya menopang alam sadar manusia.
Di antara dua lapisan kesadaran ini,
manusia mengerahkan seluruh energinya agar tidak selamanya hidup di dalam
kubangan alam bawah sadar yang notabene memiliki gelagat negatif.
Dalam hal ini, manusia mendedikasikan kehidupannya bertahun-tahun ke dalam pendidikan
untuk memperhalus perangainya, agar tidak berperilaku seperti hewan-hewan di
alam rimba.
Tak bisa dimungkiri, di sisi jiwa terdalam
manusia, ada sisi instingtif yang mampu menggerakkan manusia bertindak di luar
batas-batas normal. Bahkan, sisi ini seringkali begitu kuat menarik alam sadar
manusia jatuh ke alam bawah sadarnya yang sepenuhnya irasional, amoral, dan
asosial. Meski demikian, di sinilah mengapa kehidupan masyarakat nampak percaya
dan menyandarkan sepenuhnya kepada institusi sekolah agar berperan mengontrol
dan mendidik sisi libidinal manusia.
Dalam kancah yang lebih luas, tatanan
yang lebih mengedepankan unsur libidinal manusia akan menciptakan kondisi buruk
berupa dehumanisasi dan alienasi. Kehilangan kontrol atas alam sadar akan
menimbulkan kegilaan berupa kehilangan
dimensi kemanusiaan yang menjadi ciri fundamental manusia.
Alienasi berupa keberjarakan manusia dari inti kemanusiaannya akan membuat
dirinya mengalami kesalahan mengenal siapa dirinya.
Ia, dengan kata lain, akan mengalami krisis eksistensi berupa keterasingan
akut.
Dunia memang sudah berubah dari
beberapa abad sebelumnya. Meski demikian, revolusi kognitif, agrikultur,
industri, dan belakangan revolusi teknologi informasi, tidak sepenuhnya
mengubah kenyataan bahwa masih ada bangsa-bangsa terbelakang, kawasan-kawasan
perang, dan negara-negara koloni yang belum sepenuhnya merdeka seratus persen.
Di sejumlah tempat demikian, banyak
orang-orang hidup di bawah garis kemiskinan, terancam menerima risiko
pembangunan berupa gizi buruk, putus sekolah, kehilangan tempat tinggal, putus
kerja, pandemi, dan kematian.
Tidak juga bisa disanksikan, ketika
kereta kuda telah berganti menjadi kereta supercepat, dan alat tukar sudah
semakin canggih, temuan-temuan peradaban masih belum mampu mengubah cara
berpikir sebagaian orang—jika bukan masyarakat—yang memercayai sebagian kawasan
dunia telah menjadi tempat persembunyian alien saat datang menggunakan ufo,
atau percaya dengan naif, bahwa dunia tidak sepenuhnya diciptakan menyerupai
bola sepak.
Jika pendidikan seperti disebutkan oleh
para ahli merupakan usaha sadar dan sistematis
untuk mengubah hal-hal di atas, maka perlu suatu pendekatan, jika bukan
defenisi lain, untuk mengartikan pendidikan yang mengubah total seluruh dimensi
diri manusia, dan bukan saja menyasar dimensi kognitif yang hanya sekian persen
dari alam berpikirnya.
Dengan kata lain, pendidikan bukan saja
bertanggug jawab kepada pengembangan dimensi kognitif dan afeksi manusia
belaka, tapi juga mesti ikut bertanggung jawab kepada keseluruhan hidup
manusia, kepada nasib dan kesejahteraannya.
Di Brazil, sosok seperti Paulo Friere,
mengartikan lebih jauh apa arti pendidikan di masa kini. Menurutnya, pendidikan
tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan belaka, yang ia kritik sebagai
pendidikan ala bank,
melainkan mesti berfungsi sebagai alat pembebasan manusia dari proses
dehumanisasi dan alienasi yang disebabkan sistem represif berupa negara atau
sistem ekonomi politik seperti kapitalisme. Pendidikan mesti mengerahkan
kemampuan peserta didik melewati tahap-tahap kesadaran—magis dan naif—mencapai
kesadaran kritis.
Kesadaran kritis adalah tahap kesadaran
puncak setelah manusia mampu mengidentifikasi problemnya ke dalam konteks
kehidupan sosial politik yang menjadi sebab mengapa ia menghadapi masalah
demikian.
Kemiskinan, misalnya, konteks kehidupan
yang menjadi titik tolak pendidikan ala Freire, akan berakhir sebagai kenyataan
yang magis dan naif, ketika hanya
dilihat sebagai nasib masyarakat yang tidak terkait sama sekali dengan
faktor-faktor sosial dan politik. Hanya kesadaran kritislah yang mampu
mengemukakan faktor-faktor terkait, mengapa kemiskinan dapat terjadi. Dengan
kata lain, kemiskinan dalam hal ini bukan takdir masyarakat yang sepenuhnya
terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi pula dari unsur ekonomi, sosial,
budaya, dan kekuasaan.
Paulo Freire, menyebut pendidikannya
ini sebagai pendidikan kaum tertindas, dengan
alasan dan titik tolak masih banyak orang miskin yang mengalami dehumanisasi
oleh sistem represif berupa negara atau sistem ekonomi kapitalisme, serta
dampak dari itu, terjadi pemiskinan besar-besaran yang membuat banyak orang
hidup tanpa dipenuhi hak-hak dasarnya.
Oleh sebab itu, tugas pendidikan bagi
Freire adalah mengembalikan kemanusiaan yang hilang, baik dari penindasan dan
masyarakat yang mengalami ketertindasan melalui suatu praksis pembebasan hadap
masalah.Dalam
hal ini, praksis bagi Freire berarti
dua unsur yang bekerja secara simultan berupa refleksi dan aksi, di mana
refleksi mengandaikan proses transformasi kesadaran manusia atas keberadaaanya
di dunia, dan aksi sebagai kemampuan mengubah keadaan dengan kapasitas
kesadaran yang sudah sebelumnya dimiliki.
Banyak kritikus pendidikan yang
mendakukan bahwa dunia pendidikan adalah refleksi masyarakatnya.
Era sekarang, ketika kapitalisme mutakhir menjadi momok tak terhindarkan,
pendidikan yang memiliki tujuan yang luhur itu pada akhirnya didudukkan
berdasarkan skema masyarakat kapitalistik.
Menurut pendakuan Jean Anyon, seorang
sosiolog pendidikan marxis, relasi pengetahuan yang berlaku dalam institusi
pendidikan, hanyalah kebutuhan-kebutuhan yang disesuaikan dengan sistem ekonomi
pasar kapitalistik.
Temuan ini ia dapatkan atas fenomena
yang ia hadapi sejak 1970 mengenai lima sekolah dasar yang berlatar belakang
ekonomi berbeda satu sama lain: dua sekolah kelas pekerja; satu sekolah kelas
menengah; satu sekolah kelas profesional; dan satu sekolah elite eksekutif.
Dari penelitiannya ini, Anyon menemukan adanya pendekatan pembelajaran berupa
ilmu, prosedur, dan keahlian yang berbeda dari masing-masing sekolah, yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasar tempat anak-anak didik nanti bekerja.
Itulah mengapa sampai hari ini,
terutama dalam institusi pendidikan tinggi, banyak sekat-sekat yang membagi
secara kategoris satuan belajar dimulai dari cara masuk berdasarkan tingkat
ekonominya. Kata Ivan Illich, proses pendidikan yang dikonfigurasikan atas
sistem ekonomi, hanya menghasilkan out put yang tak bermutu.
Sekolah hanya mendorong kepada pengasingan siswa dari hidup. Sekolah hanya
memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tidak berujung dan
tidak meningkatkan mutu, melainkan hanya menguntungkan individu-individu yang
sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini. Pengajaran yang diwajibkan di
sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri, pengetahuan
dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan dijajakan.
Di saat itulah ilmu pengetahuan menjadi
komoditi. Seperti
benda-benda yang terpampang dalam etalase pertokoan, kapitalisme membuat
pendidikan kehilangan arah dan tujuan hakikinya untuk menciptakan peserta didik
yang kritis terhadap dunia.
Peradaban kiwari, jika dianalisis ke
dalam pendekatan sosiologi pengetahuan, adalah stuktur kehidupan yang tidak
lekang dari intervensi kekuasaan dan ideologi. Kedua hal ini, dalam kehidupan
ril, bekerja sampai ke level pengetahuan dan perilaku dengan cara keterlibatan
medium-medium sosialisasi seperti media massa, lembaga keluarga, lembaga hukum,
dan sekolah.
Pengetahuan, dalam arti sebagai cara pandang, kebiasaan, dan
kecenderungan-kecenderungan dalam tingkah polah manusia, dengan kata lain tidak
tercipta di dalam ruang hampa. Ia, betapa pun mulia tujuannya, mau tidak mau
mengalami banyak bias yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi yang
bergerak secara simultan dan timbal balik dalam membentuk masyarakat.
Setidaknya ada tiga pengaruh yang
ditimbulkan kapitalisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan Peter
McLaren. Pertama, kapitalisme menciptakan sekolah-sekolah yang menerapkan
praktek penyelenggaraan pendidikan yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh
kelas elite. Kedua, hubungan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong
terciptanya perkembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan mendapatkan profit
material dibanding menciptakan kehidupan global yang lebih baik. Ketiga,
perkawinan kapitalisme dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan telah menciptakan
fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan
mengorbankan nilai keadilan sosial dan martabat manusia.
(2)
ADA suatu istilah menggelitik yang
diungkapkan Erich Fromm, scholar psikologi humanistik, dalam suatu artikelnya
menyangkut pendidikan: Mendidik si
Automaton. Si
Automaton merupakan penggambaran manusia yang menurut Fromm lahir dari
kebebasan demokrasi, dengan hak untuk mengutarakan pendapat, tapi tidak
bermakna sama sekali lantaran tidak mampu memiliki isi pikiran sendiri.
Kebebasan, kata Fromm, tidak akan berarti sama sekali jika manusia masih
berkubang di dalam kondisi kejiwaan tanpa subjektivitas, atau mampu menetapkan
individualitasnya sendiri. Automaton, dengan kata lain, sesosok manusia yang ia
sebut makhluk yang hidup terkucil, bergerak dan berpikir serupa mesin, serba
otomatis.
Dalam artikel itu, Fromm mengkritisi kebudayaan yang mencetuskan model
pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang kehilangan cetusan-cetusan
jiwa, perasaan, pikiran, dan harapan, yang sengaja disuntikkan dari luar.
Fromm, menghendaki suatu model
pendidikan yang mampu melahirkan individu-individu dengan tindakan
merdeka dan autentik, yang berakar dari individu yang bersangkutan.
Melalui kritiknya ini, Fromm sebenarnya
sedang mengarahkan arah kritiknya kepada suatu tradisi pendidikan yang berlandaskan
paradigma dengan asas-asas positivistik, yang menghasilkan keluaran pendidikan
teknokratik. Pendidikan ala positivistik, atau berdasarkan rasionalitas
teknokratis punya dua unsur utama: konformitas dan uniformitas.
Konformitas adalah suatu upaya yang
mengarah kepada penciptaan peserta didik yang pasif terhadap kehidupan dan teks
ilmu pengetahuan. Sikap ini, dalam konteks kehidupan ril, dengan sendirinya akan menciptakan manusia
yang kehilangan gairah dan kehendak mandiri di dalam menentukan jalan nasibnya
sendiri, akibat menerima keadaan apa adanya dan tanpa reserve sama sekali.
Sementara uniformitas, menciptakan
keadaan masyarakat terdidik yang berdimensi tunggal melalui kesamaan cara
pandang, minat, skill, dan tujuan hidupnya. Uniformitas atau penyeragaman, pada
kasus-kasus tertentu seperti di Indonesia, selain dari sisi penyelenggaraan dan
kurikulum, nampak kepada penggunaan seragam sekolah sebagai busana wajib bagi
kalangan terdidik.
Sekolah atau intitusi pendidikan
seperti perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, selain berfungsi sebagai
alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan rekayasa sosial, adalah juga wahana
sosialisasi politik bagi generasi muda, termasuk di dalamnya proses seleksi,
rekrutmen, dan induksi ke dalam budaya budaya politik yang sedang berlaku.
Itulah sebabnya, seperti didakukan
melalui perspektif mazhab pendidikan kritis, yakni pendidikan atau institusi
sekolah tidaklah netral, independen, dan bebas kepentingan, tapi justru menjadi
bagian dari institusi sosial yang syarat kepentingan kekuasaan, ideologi, dan
pasar.
Dalam tradisi pemikiran sosiologi
kritis atau posmodernis, Pierre Bourdieu dan Michele Foucault, adalah dua
pemikir yang menelisik dan menemukan betapa kuatnya relasi kekuasaan terhadap ilmu
pengetahuan atau institusi pendidikan. Pertautan keduanya, bisa saling
mengandaikan dengan maksud sama-sama merepresentasikan kekuatan dominan yang
menjadi ideologi kekuasaan saat itu.
Kritik Bourdieu terhadap pendidikan
dilihatnya melalui analisis kekerasan simbolik yang inklud di dalam
praktik-pratik penyelenggaraan pendidikan dalam sekolah-sekolah. Kekerasan simbolik
menurut Bourdieu dapat dinyatakan sebagai pemaksaan sistem simbolisme dan makna
(misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal
itu dialami sebagai sesuatu yang sah.
Konsep yang menyerupai keadaan hegemoni menurut Antonio Gramsci ini, dapat berlangsung
dalam waktu yang lama dan terjadi secara gradual, dikarenakan dilegitimasi
melalui kekuasaan sehingga dianggap absah.
Kekerasan simbolik juga dapat terjadi
melalui mekanisme pemaksaan tata cara, kebiasaan, tradisi, mekanisme, prosedur,
atau apa yang diistilahkan Bourdieu sebagai habitus,
ke dalam kelas tertentu dengan cara halus dan tak disadari, sehingga kelompok
yang bersangkutan menerima keadaan dengan cara apa adanya.
Sama seperti penemuan Jean Anyon, Bourdieu selama melakukan riset
di bidang Pendidikan di Prancis, menemukan fenomena sekolah-sekolah yang
menjalankan reproduksi sosial berdasarkan fungsi atau kebutuhan kelas elite. Di
saat bersamaan, sekolah gagal melakukan mobilisasi kelas bawah untuk melakukan
perbaikan atas kehidupannya yang serba
berkekurangan. Sekolah dalam keadaan ini, menurut Bourdieu adalah institusi
yang mempertahankan status quo berdasarkan kepentingan kekuasaan kelas dominan.
Bahkan, di keadaan yang spesifik, sekolah digunakan kelas dominan untuk
mengukuhkan pandangan, cara berpikir, dan kebiasaannya, melalui kekerasan
simbolik atas modal kultural
kelas bersangkutan.
Sementara Michele Foucault, melihat
kekuasaan atas pendidikan didasarkan kepada pemahaman bahwa kekuasaan tidak
selamanya bersifat destruktif (menghancurkan), melainkan reproduktif dan
kreatif (membentuk). Itu artinya bukan saja melalui pemaksaan, perintah,
pelarangan, penekanan, penyaringan, dan dominasi, kekuasaan yang disebutnya
tersebar dan divergen, bekerja pula dengan cara pengontrolan atas wacana dan
ilmu pengetahuan.
Atas dasar itu, pengetahuan atau wacana
bukan ruang steril dari kepentingan. Menurut Foucault, wacana yang menjadi
bagian dari kekuasaan, ikut pula mengatur bahasa dalam rangka menerangkan
realitas. Bahasa, dalam hal ini bagian aktif dari kebudayaan yang ikut mengatur
cara pandang, kebiasaan, dan aturan normatif dari komunitas tertentu. Perbedaan
bahasa, dengan itu akan ikut menentukan perbedaan wacana dan pengetahuan, yang
semuanya ditentukan dari kekuasaan itu sendiri.
Itu artinya, kekuasaanlah yang mengatur
kebenaran dan wacana macam apa yang layak diketahui, aturan manakah yang mesti
diindahkan, dan kenormalan manakah yang layak disebut betul-betul alamiah. Dalam praktiknya, kekuasaan tidak bekerja
atas tubuh, melainkan melalui tubuh, yang berarti tubuh bukan objek kekuasaan
melainkan alat kekuasaan untuk melalukan mekanisme kontrol aktivitas dan
praktik hidup sehari-hari.
Kekuasaan negara dalam pendidikan,
seperti dialami anak-anak Indonesia di sebagian usianya, muncul dalam
bentuk-bentuk harfiah berupa indoktrinasi wacana sejarah resmi negara melalui
pelajaran kewarganegaraan yang pernah diamalkan orde baru, penerapan kurikulum,
sistem penilaian, dan manajemen sekolah. Di masa sebelumnya, di masa Orba,
kehadiran sekolah-sekolah yang lahir atas dasar intruksi presiden (Inpres),
bukan semata-mata untuk pemerataan pendidikan saja, melainkan sebagai mekanisme
kontrol negara untuk menentukan wacana dan ilmu pengetahuan macam apa yang
absah dipelajari masyarakat.
Dalam konteks inilah, seperti yang
ditulis Darmaningtyas, pendidikan nasional Tanah Air mengalami pergeseran
orientasi akibat menguatnya kepentingan kekuasaan Orde baru, yang semula
bertujuan untuk pencerdasan bangsa menjadi hanya sekadar instrumen politik
jangka pendek. Melalui ini, perlu direfleksikan, apakah ada sebabnya secara
internal sekolah-sekolah tidak mampu memenuhi kebutuhan dan tujuan pendidikan
itu sendiri,
sehingga mendorong tumbuh suburnya lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mengambil
alih tugas belajar sekolah.
Foucault mengatakan, di dalam zaman
modern, sekolah juga menjadi intitusi yang menjalankan tugas pengkotak-kotakkan
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, bukan saja menjadi rezim pengetahuan yang
mendikotomikan kategori kognitif menjadi jenius-idiot, cerdas-bodoh,
rajin-malas, aktif-pasif, kedalam pengorganisasian tindakan peserta didik,
sekolah dan juga perguruan tinggi melalukan pemisahan berupa subjek,
penjurusan, dan mata pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap masa depan
peserta didik.
Foucault juga mengatakan peralihan
model pendidikan tradisional ke model pendidikan modern, ikut mengubah pola
hukuman yang diterapkan di dalam intitusi pendidikan. Berbeda dari pola
pendidikan tradisional yang menggunakan jenis hukuman fisik, dalam pola
pendidikan modern, hukuman lebih diarahkan kepada mekanisme pendisiplinan, yang
menjadi karakter masyarakat modern, yakni suatu proses pengubahan individu agar
bertindak dan bersikap sesuai norma dan nilai masyarakat.
Dalam ranah pendidikan, menurut
Foucault, pendisiplinan bekerja dalam tiga cara. Pertama, pengamatan. Metode ini diambil dari apa yang diistilahkan Foucault
sebagai metode pengawasan panopticon,
yakni apa yang diilustrasikan sebagai semacam menara pengawas dalam lingkungan
penjara, yang memiliki kekuasaan mengawasi tanpa diketahui oleh orang yang
sedang diawasi setiap saat. Inilah salah satu yang disebut hakikat kekuasaan
itu sendiri, yakni terjadi secara diam-diam dan tersembunyi.
Seragam sekolah adalah salah satu cara
penerapan pengawasan model panopticon,
yang mengakibatkan murid sekolah mengalami situasi pengawasan secara langsung
dan tanpa diketahui, karena dengan menggunaan seragam, tidak membuatnya dapat
melakukan tindakan yang bebas. Saat bolos sekolah misalnya, seragamnya
membuatnya otomatis menjadi terdakwa sehingga mudah dikenali dan dihukum.
Di dalam situasi belajar, murid juga
mengalami situasi pengawasan melalui sejumlah mekanisme pembelajaran yang
dikontrol langsung oleh guru. Seperti kekuatan mata satu menara Sauron
(Barad-dur) dalam
serial The Lord of The Ring, sang
guru memiliki pengamatan dan kewenangan tanpa batas dalam menentukan kebebasan
murid di dalam bersikap selama bersekolah.
Cara selanjutnya adalah normalisasi atau standardisasi. Dalam sekolah, normalisasi atau standardisasi adalah
suatu bentuk kegiatan belajar mengajar yang mengelompokkan dan mengkategorisasi
peserta didik atau satuan pendidikan ke dalam ukuran-ukuran atau standar
tertentu. Munculnya ukuran kecerdasan, kesopanan, dan kepatuhan, yang
membandingkan peserta didik satu sama lain menggunakan kriteria tertentu, adalah
bias yang dihasilkan dari mekanisme ini. Selain akreditasi, yang merupakan
wujud nyata bagaimana kekuasaan negara menstandardisasi pendidikan, setiap
tahun, kenyataan yang paling terang atas ini adalah standar kelulusan yang
dihasilkan dari ujian nasional.
Yang ketiga adalah ujian. Ujian dalam sekolah-sekolah, meskipun bertujuan sebagai
evaluasi atas capaian tugas pembelajaran, kenyataannya adalah cara kekuasaan
menjalankan ganjaran dan hukuman atas dua mekanisme sebelumnya, yaitu
pengawasan dan standardisasi. Jika ada peserta didik yang tidak mencapai
targert mekanisme sebelumnya, maka ujian akan berfungsi bukan sekadar untuk
mengevaluasi tingkat pemahaman, tapi juga mengintervensi dengan menerapkan
ganjaran dan hukuman sampai ke level afeksi.
Ekses negatif dari ujian adalah
leluasanya kekuasaan atas nama ilmu pengetahuan, mengurutkan dengan cara
sederhana peserta didik ke dalam satuan-satuan kompetensi secara bertingkat,
yang semuanya akan berdampak kepada penggolongan kemampuan peserta didik.
(3)
JIKA dikatakan aib, pendidikan nasional
saat ini ketika berani untuk dikatakan adalah suatu sistem yang mengkerdilkan
hakikat manusia dan kehidupannya. Melalui anggaran yang tidak seberapa,
institusi yang korup, guru-guru yang tidak inspiratif, kurikulum yang beku dan
kaku, serta metode belajar tradisional, merupakan wajah kelam yang
disembunyikan di bawah permadani berupa prestasi menteri pendidikan yang muda
nan rupawan, guru pahlawan tanpa tanda jasa, perubahan kurikulum atas nama
progresifitas, serta slogan canggih mengawang-awang merdeka belajar. Semua itu
masalah hari ini yang mesti direfleksikan secara kritis terus menerus agar
pendidikan tidak berkubang di dalam masalah-masalah yang sudah diuraikan di
atas.
Alkisah, sebutlah seorang anak bernama
Bintang, anak sulung dari empat bersaudara, hidup nyaman di dalam keluarga
mapan di daerah yang jauh dari kota Makassar. Dari kecil Bintang dimanjakan
dengan pola asuh ”asal boleh” tanpa reserve
dari kedua orang tuanya. Ia sering dilenakan dengan mainan-mainan mahal, yang
dibelikan langsung dari gaji bapaknya yang bekerja sebagai pejabat di
daerahnya. Layang-layang, sawah, dan sungai adalah semesta asing sejak Bintang kecil.
Tidak seperti teman-temannya, pandai memancing di sungai, bermain petak umpet
di sela-sela pohon cokelat di kebun, atau bersenda gurau sambil mencari keong
di sawah, Bintang tumbuh menjadi anak
periang dan miskin pergaulan. Ketika teman sebayanya sibuk mencari bambu untuk
membuat layang-layang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk limau,
Bintang tumbuh di dalam rumah bersama
saudara-saudara, terasing dari pergaulan di antara sepupu-sepupunya, banyak
menghabiskan waktunya di depan televisi dan bermain game playstation.
Di sekolah, Bintang menjadi murid baik
dengan seragam yang tak pernah kusut sedikitpun. Ia dianggap sebagai murid yang
sopan karena tidak sekalipun pernah berbuat onar, pendiam, dan penurut.
Di kelas. Bintang akan bertemu satu dua
guru yang inspiratif tapi miskin terobosan karena desakan RPP dan kurikulum
yang kaku dan baku. Selebihnya, Bintang belajar tentang ilmu sejarah dari guru
yang mengharuskannya menghapal tanggal-tanggal penting, peristiwa penting, dan
nama-nama penting yang harus ia ingat sampai mati. Ia belajar biologi dari gambar-gambar di buku
panduan tanpa pernah diajak melihatnya di alam bebas, menghapal rumus-rumus
matematika dan ilmu kimia tanpa diberitahukan apa kegunaan praktis jika itu
dibawa ke kehidupan nyata.
Bintang kadang mesti menahan ngantuk
jika jam-jam pelajaran memasuki waktu siang hari. Di saat itu, pelajaran
ekonomi akan tampak membosankan sama halnya seperti mempelajari ilmu agama dari
seorang guru yang lebih suka memberikannya hapalan surah-surah pendek, dan
sejumlah pekerjaan rumah menyangkut isian daftar salat wajib yang mesti terisi
penuh.
Dari itu semua, Bintang seolah-olah
bersekolah, tapi lebih sering ia merasa sedang diburu oleh sesuatu tapi entah
apa. Ia merasakan ada bagian dirinya yang dipenjara dan dituntut untuk diam
daripada mengungkapkapnnya. Keresahan ini sekali dua kali ia rasakan, meskipun
seiring waktu, itu bakal terhapus jika ia sibuk menghabiskan waktu bermain bersama
teman-temannya.
Bintang tumbuh di dalam sekolah seperti
anak seusianya, memilih teman perempuan atau yang lain, yang menurutnya lebih nyaman
diajak ngobrol tentang anime Jepang, atau diajak bekerja sama dalam kegiatan
belajar kelompok. Bersama teman terbatasnya, ia belajar menjadi murid seperti
yang diharapkan gurunya. Rajin ke sekolah dan mengerjakan tugas sesuai intruksi
yang tertera di buku cetaknya.
Jika ia pulang ke sekolah, pakaiannya
ia gantungkan dan membiarkannya menumpuk bersama buku-buku pelajaran yang
ditinggalkan begitu saja, di atas meja belajar yang jarang ia gunakan.
Hari-hari demi hari ia lakukan hal yang sama, dengan seluruh kebutuhan yang ia
bebankan kepada kedua orangtuanya. Bintang anak penurut yang tidak ada satu
helai pun pakaian yang ia kenakan pernah ia cuci sendiri.
Sejak android menjadi mainan baru
anak-anak masa kini, ia tidak pernah berpaling dari gawai canggihnya. Kebiasan
mengoleksi gambar-gambar anime dan grup girlband K-Pop masih ia lakukan, di
samping mengikuti serial komik online Korea. Kebiasaan itu memunculkan suatu
pengetahuan baru baginya, terutama mengenai nama-nama artis dan frasa-frasa
bahasa Korea yang ia hapal di luar kepala. Kemajuan ini ia rasakan dari waktu
ke waktu, meski ia sadar sejak kecil tak pernah sekalipun tahu dan mahir menggunakan bahasa ibunya dalam
berkomunikasi sesama teman di daerahnya.
Setelah lulus dari SMA, yang saat masuk
diupayakan orangtuanya dengan susah payah dikarenakan mesti ”membeli kursi” di
sekolah yang tidak sepenuhnya sekolah favorit, kini membuatnya hidup jauh dari
kedua orangtuanya di Makassar. Bintang saat ini telah menjadi seorang
mahasiswa, dan tinggal sendiri di rumahnya yang jauh hari sudah dibelikan
khusus untuk dirinya.
Tidak ada yang sepenuhnya berubah dari
diri Bintang selain kelebihan uang jajan, dan sepeda motor yang dibelikan
untuknya. Sehari-hari Bintang masih menyukai anime Jepang, dan menggandrungi
game online, yang dimainkannya nyaris setiap waktu. Ia makan dengan
mengandalkan uang jajan yang otomatis tidak pernah membuatnya mandiri menyiapkan
makanannya sehari-hari. Jika ia makan, pandangannya tidak pernah lepas dari screen gawai menonton film selama
berjam-jam.
Bintang menjalani kuliah hanya sekadar
tuntutan sekolah sebagaimana kebiasaan anak-anak lain. Di kampus, ia masih
melanjutkan kebiasaannya saat di SMA dulu, menjadi mahasiswa pendiam, penurut,
dan mengerjakan tugas-tugas dengan cara meng-copy paste materi yang ia temukan di internet. Jika tiba waktu
untuk mendiskusikannya, Bintang lebih mengandalkan kemampuan berbicara temannya
daripada dirinya sendiri.
Pergaulan Bintang tidak begitu menarik
diceritakan di karenakan ia begitu singkat menghabiskan waktunya di kampus. Setelah
ia kuliah, yang berarti hanya mengisi absensi dan mencatat apa-apa yang
dikatakan dosennya yang juga sama kurang bersemangatnya ketika mengajar, ia
lekas pulang dan melanjutkan kesenangannya bermain game online sampai tengah
malam.
Bintang adalah tipikal anak-anak yang
terancam kehilangan kepekaan sosial, kemandirian bersikap, dan disorientasi
hidup. Ia model anak-anak yang dididik di dalam pendekatan pendidikan yang
sekadar menggugurkan tanggung jawab kurikulum, dan diasuh oleh kedua orangtua
yang tidak tegas dan tidak berprinsip dalam mendidik. Di sepanjang usia
sekolahnya, Bintang hanya menjadi objek atas pendidikan yang menjadi komoditas
ekonomi dan politik. Orientasi
pendidikan yang melahirkan manusia yang mandiri, berwawasan, dan peka atas
tanggung jawab hidupnya, hanyalah wacana asing yang tak pernah Bintang tahu dan
dengarkan.
Praktis Bintang adalah si automaton
yang diistilahkan Erich Fromm, pribadi mesin yang kehilangan individualitas
atau subjektivitasnya sebagai manusia.
Manusia yang dimpor dari luar menyangkut perasaan, gagasan, cita-cita,
dan harapan, yang tidak sama sekali ia sadari dan ketahui. Ia otomatis adalah
pribadi yang selama bersekolah, dalam khazanah pendidikan kritis, mengalami
dehumanisasi dan alienasi. Ia adalah anak didik yang terasing dan tercerabut
dari keautentikan dirinya, yang terbenam dalam ilusi dan khayalan mengenai
kebebasan.
Sebagai si automaton, masa depan
kehidupan adalah suatu fenomena yang sudah ada begitu saja. Ia persis seperti
yang dinyatakan Freire, yakni pribadi yang terjebak ke dalam pengetahuan yang
dimistifikasi melalui nalar magis. Ia melihat satu fenemona dengan apa adanya
tanpa mampu melihat relasi kuasa yang mempengaruhi eksistensinya. Ini menandai
bahwa si automaton betul-betul laiknya mesin yang hidup secara otomatis tanpa
mengalami pasang surut dialektis, yang timbul dari kemerdekaan dan kehendak
bebasnya.
Si automaton, jika ditempatkan ke dalam
suatu kedudukan dunia, ia menjadi pribadi yang terjebak ke dalam apa yang
dinyatakan Ali Syariati, sosiolog Iran abad 20, sebagai empat penjara manusia,
yang membuatnya menjadi makhluk pasif, irrelevan, dan tidak signifikan dalam
sejarah kehidupannya. Empat penjara itu adalah:
Pertama, historisisme. Sebagai suatu
istilah yang menggambarkan mazhab pemikiran dan penjara pertama manusia, historisme
bertolak dari perspektif manusia sebagai produk sejarah. Dalam hal ini, sejarah
menjadi kekuatan imperatif yang menentukan karakteristik, perkembangan, dan
tujuan manusia. Manusia dengan kata lain, tidak dapat bergerak leluasa oleh
sebab di dalam sejarah hubungan satu kejadian dengan kejadian sudah
dideterminasi melalui sebab musabab yang statis dan tertutup.
Kedua sosiologisme. Sosiologisme,
dinyatakan Ali Syariati sebagi determinan kolektif masyarakat yangmenghilangkan
aspirasi, kehendak bebas, dan identitas manusia tanpa menghargai hak-hak
individualnya. Sama halnya di dalam historisisme, manusia yang terdesak ke
dalam penjara sosiologisme, tidak dapat mengandaikan dirinya sejauh hanya
disituasikan oleh kelompoknya, corak produksinya, tradisi, pertukaran ekonomi,
hubungan antar kelas sebagai kekuatan aksiomatik yang dominan.
Kekuatan sosiologisme yang demikian
kuat, akan menjatuhkan manusia ke dalam level hina dan tanpa cita-cita untuk
menentukan takdirnya sendiri, setelah lama ia terkurung pembatasan-pembatasan
sosial dan tradisinya.
Ketiga biologisme. Biologisme, atau
pandangan alam naturalistik, merupakan cara pandang yang menyatakan manusia
hanya sekadar makhluk fisik belaka. Struktur fisiologis manusia yang demikian,
adalah hasil dari kerja alam yang berlangsung cukup lama sebagaimana manusia
menjadi pula bagian dari alam itu sendiri yang sedang berevolusi. Perspektif
naturalistik melihat alam berserta hukum-hukumnya bekerja secara otomatis dan
menghilangkan unsur kreatifitas yang dimiliki manusia.
Sekalipun naturalisme mengandaikan
manusia terbebas dari determinisme metafisikal yang mengatur kehidupannya,
tetap saja biologisme menempatkan manusia di dalam suatu posisi yang tidak jauh
berbeda sebagai makhluk fisiologis dan biologis ke dalam determinisme alamiah.
Itu artinya, meskipun manusia adalah makhluk dengan pencapaian-pencapaian luar
biasa, tidak seperti dari wujud selain
dirinya, ia masih mengalami keterikatan dan keterlibatan yang mekanik dan
materialistik di dalam hukum-hukum alam.
Penjara yang keempat adalah egoisme
atau psikologisme, yakni penjara yang dikatakan Ali Syariati penjara yang
paling buruk dari tiga jenis penjara sebelumnya. Ia menyebutnya sebagai the
dark recesses of his lower self. Suatu
kekuatan yang menawan manusia sampai ke tingkat paling rendah: lumpur yang
busuk.
Jika tiga jenis penjara bekerja secara
determinis, mekanistik, dan materialistik menciptakan situasi batas di luar
dari diri manusia, egoisme justru bekerja sebaliknya dengan cara menawan
manusia dari dan di dalam dirinya sendiri.
Ali Syariati mengungkapkan, egoisme,
walaupun dikatakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari jenis penjara
ini adalah suatu model perjuangan yang paling menantang dan terjal. Pengandaian
tiga penjara sebelumnya, dikatakan Ali Syariati
dapat serta merta dikendalikan, dilihat, diraba, dan ditentukan
karakteristiknya karena sifatnya berada secara eksternal di luar diri manusia,
suatu hal yang cenderung mudah dan dapat teratasi melalui capaian ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sebaliknya, egoisme, bukanlah tipe
penjara yang mudah dan gampang diatur dikarenakan ia sulit diketahui, sulit
diraba dan tidak bisa dikarakteristikkan ke dalam kategori-kategori kepastian.
Ego, meskipun sangat dekat dengan diri manusia, justru adalah tipe penjara yang
paling signifikan menentukan kejatuhan manusia ke dalam situasi batas yang
teramat pedih dan dalam.
Atas keempat situasi batas ini, si
automaton sering diilustrasikan sebagai katak yang hidup di dalam tempurung;
realitas kehidupannya tidak lebih dari batok kelapa yang tidak seberapa luas
dibandingkan kehidupan di luarnya. Dalam
situasi ini, si katak mengalami ilusi dan fantasi seolah-olah telah hidup bebas
walaupun sebenarnya ia hanya hidup di dalam kegelapan tempurung kelapa yang
menghalangi penglihatannya ke luar.
Bintang si Automaton, boleh saja pernah
berseragam bersekolah, tapi ia tidak pernah tahu untuk apa ia melakukan itu.
Boleh saja ia telah menghabiskan banyak waktunya duduk diam di depan papan
tulis, dan mendengarkan kata-kata gurunya lamat-lamat, yang sama sekali tidak
akan ia petik hikmahya dengan cara akan segera ia lupakan. Bintang si
Automaton, di separuh umurnya mengorbankan dirinya untuk bersekolah, tapi tidak
sama sekali terdidik. Ia betul-betul masih di masa kegelapan, di dalam
kesadaran temaram tempurung kelapa.
Praktis, bagi si automaton, masa
pendidikannya hanyalah jadi pion sejarah yang diombang ambingkan kebijakan tak
berdasar. Karena seperti mesin, jaringan syarafnya tidak berkembang maksimal
dan mengalami kelumpuhan total. Ia kelak akan menjadi pribadi kalah dan
tanggung, yang tidak memiliki wawasan keilmuan, wawasan sejarah, kemerdekaan
indvidu, dan etos perjuangan dalam menegakkan suatu cita-cita.
Dengan kata lain, Bintang si automaton
adalah aib, tapi bukan bagi siapa-siapa. Ia aib bagi diri dan masa depannya
sendiri.
---
DAFTAR
RUJUKAN
Berk, Laura E. Development Through The Lifespan Edisi Kelima. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Darmaningtyas. Sekolah yang Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing, 2015.
Fakih, Mansour, et.al. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran
Kritis. Yogyakara: Read Book, 2001.
Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich
Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan,
Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2018.
Fox, Dennis dan Isaac Prilleeltensky
(editor), Psikologi Kritis, Metaanalisis
Psikologi Modern. Jakarta: Teraju Mizan.
Harari, Yoval Noah. Sapiens, Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga
Perkiraaan Kepunahannya. Jakarta:
Alvabet, 2017.
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Jenkins, Richad. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013.
Nuryanto, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book, 2001.
O'Neill, William F. Ideologi-ideologi Pendidikan . Pustaka
Pelajar, 2011.
Santoso, Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar
Ruzz, 2007.
Smith, A William A. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo
Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Storr, Antony. Freud: Peletak Dasar Psikoanalisis (Seri Empu Dunia). Jakarta:
Grafiti, 1991.
Syariati, Ali. Tugas Cendikiwan Muslim. Jakarta: Srigunting, 2001.
Topatimasang, Roem. Sekolah itu Candu. Yogyakarta: Insist
Press, 2010.
UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1
INTERNET
Amsal, Bahrul. Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era
Kenormalan Baru. http://kalaliterasi.com/2020/07/06/eksistensialisme-ali-syariati-tafsir-kebebasan-manusia-di-era-kenormalan-baru/
Kamahi,
Umar. Teori Kekuasaan Michel
Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jurnal Al-Khitabah, Vol. III,
No. 1, Juni 2017 : 117 – 133 (http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)
Martono,
Nanang. Dominasi Kekuasaan dalam
Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal
Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39, , 2014),
hal. 4 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)
Septiadi,
Anggar. Pendidikan dan Kebutuhan
Kapitalisme (2012): https://indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/
Siregar,
Mangihut. Teori ”Gado-gado” Pierre-Felix
Bourdieu. Jurnal Studi Kultural vol. 1 No.2 : 79-82 (2016) (http://media.neliti.com/media/publications/223848-teori-gado-gado-pierre-felix-bourdieu.pdf)
Mansour Fakih, et.al. Pendidikan Populer
Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakara: Read Book, 2001), hlm. 23-24
Inilah dampak yang dihasilkan dari pola pendidikan gaya bank yang menghasilkan
budaya bisu. Menurut Freire, ada 10 model pendidikan ala bank: 1) Guru
mengajar, siswa diajar. 2) Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya. 3)
Guru berpikir, siswa dipikirkan. 4) Guru bicara, siswa mendengarkan. 5) Guru
mengatur, siswa diatur. 6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa
menuruti. 7) Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai
dengan tindakan guru. 8) Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan
diri. 9) Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-siswa. 10)
Guru adalah subjek proses belajar, siswa adalah objeknya. Lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta:
LP3ES, 2018), hal. 54
Umar Kamahi, Teori Kekuasaan Michel
Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik, Jurnal Al-Khitabah, Vol. III,
No. 1, Juni 2017 : 117 – 133
(http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)