7 hal kamu rasakan saat kembali membaca tulisan lawasmu

Jika kamu sedang belajar menjadi penulis, bisa jadi banyak kertas kerja dari karya pikiranmu yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Jika itu sudah berjubel di deskstop laptopmu, kamu mungkin saja mengalami perasaan bermacammacam seperti di bawah ini ketika membaca kembali tulisan lamamu.

Pertama, merasa asing. Ini seperti saat kamu mengalami tidur panjang dan tibatiba terbangun di suatu pulau antah berantah. Yang kamu temui adalah tempat yang sama sekali baru. Perbendaharaan ingatanmu tidak pernah membayangkan dan menemukan tempat seperti yang tibatiba kamu tempati. Di pulau itulah kamu merasakan semuanya jadi berbeda. Dan, kamu seketika sama sekali tidak mengenal siapa dirimu sebenarnya.

Ya, seperti itulah pertamatama jika kamu memiliki karya tulis yang ditinggalkan berlamalama dan membacanya kembali. Segalanya nampak berbeda. Tibatiba tulisanmu jadi seperti pulau yang asing. Kamu tidak mengenalinya, dan sebaliknya, kamu tidak mengenal “dirimu” yang pernah menulisnya.

Bagi orang kasmaran, yang pernah surat menyurat dengan kekasihnya, dan mendapati suratsurat cintanya di saat hari tuanya, pasti mengalami perasaan yang sama seperti di atas. Dan kemudian pasti berbeda. Dia bakal terkagumkagum dengan surat yang pernah ditulisnya bertahuntahun lampau saat masih muda, kala menggebugebu disulut api cinta. Pasti, di hatinya yang paling pencil, merasakan perasaan yang tak mungkin digambarkan. Kenangannya membuat ia menjadi orang yang sama sekali baru.

Kedua, kamu akan merasakan halhal yang tidak pernah kamu sangkakan bahwa kamu pernah menulis karya yang luar biasa. Kalau yang satu ini akibat betapa dahsyatnya dirimu berkembang dari penulis pemula menjadi orang yang betulbetul ingin menulis.  Dari kondisimu sekarang, tulisan lama yang kamu baca kembali menjadi penanda betapa dirimu telah banyak berubah. Dari tulisanmu itu, kamu bisa mengetahui dirimu tengah menjadi orang yang hebat.

Tulisan lama yang kamu baca kembali, seperti orang tua yang membaca kembali suratsurat cintanya, dapat menghidupkan kembali suasana yang terekam di dalam tulisanmu. Di saat demikianlah kamu bakal kembali menjumpai ingatanmu yang mungkin samarsamar mulai terhapus dalam ingatan. Bahkan, dari tulisan yang kamu baca, juga membawamu mengenang peristiwa apa saja yang terjadi di sekitar tulisanmu, dalam kondisi apa kamu menulis, dan di saat kapan kamu menulisnya. Tulisanmu jadi “mesin” lorong waktu.

Ketiga, kamu bakal tersenyum diamdiam. Keadaan ini dialami jika kamu sebelumnya sudah melewati tahap di atas. Kamu bakal tersenyum diamdiam ketika mengingat kembali salah satu tulisanmu ternyata dibuat saat kamu bermaksud mengejek kawankawanmu. Atau, kamu tibatiba tersenyum akibat tulisanmu pernah dibuat di saat menunggu istri kawan kamu melahirkan di tengah malam buta. Juga mungkin di antara tulisanmu, ada di antaranya ditulis karena merasa benci kepada seseorang. Ya, begitulah. Tulisanmu bisa menjadi “kawan baik” di saat kamu membacanya, dan dia mampu membuatmu tersenyum kecil saat beberapa lelucon terasa garing.

Keempat, tulisanmu bisa saja membuatmu menjadi orang yang bodoh. Ini akibat kamu pernah menulis tulisan yang canggih, ketika membacanya kembali kamu dibuat seperti orang yang seketika seperti tak tahu apaapa. Apalagi jika tulisan yang pernah kamu susun menyertakan berbagai macam kutipan dari berbagai literatur. Di saat itulah membaca kembali tulisanmu seperti membaca buku karangan pemikir terkenal. Kamu dibuat menjadi bukan siapasiapa. Kamu seperti orang yang baru pertama kali belajar mencari tahu apa yang kamu tidak ketahui sebelumnya.

Kelima adalah kamu bisa saja merasakan kekonyolan dari tulisanmu yang amburadul. Suasana ini ibarat kamu seperti seorang pangeran yang diwarisi  kerajaan yang hampir bubar dan kehilangan semua penasehatpenasehatmu. Kamu memiliki kebesaran diwarisi gen pemimpin dari leluhur nenek moyang, tapi tak tahu harus berbuat apa akibat kerajaan yang diterpa krisis. Perasaan macam itulah yang kamu rasakan jika menemukan kembali tulisanmu yang masih kacau balau, mulai dari ejaannya, tanda bacanya, dan juga kalimatkalimat yang menyusun argumentasimu.

Tulisan lamamu yang amburadul, juga akan membuatmu menyadari bahwa kamu awalnya adalah seorang yang susah payah menulis hanya demi membuat satu kalimat yang enak dibaca. Tulisanmu yang amburadul, juga akan membuatmu tahu bahwa menulis itu ternyata membutuhkan proses panjang dari waktu ke waktu.

Keenam, dari tulisan lamamu kamu mungkin akan merasakan dari tulisanmu waktu ternyata tidak mainmain mendera ingatanmu. Kamu bakal dibuat terkagetkaget, ternyata tulisanmu telah menjadi dirimu yang bermacammacam. Waktu akhirnya membuat dirimu pernah “menjadi ini”, “menjadi itu”, atau mungkin “menjadi macammacam”. Tulisanmu ternyata diamdiam menjadi salah satu nyawamu yang tak pernah ajeg. Kamu ternyata bisa berubah menjadi siapa saja, apa saja.

Terakhir, tulisanmu bakal membuatmu sedih. Ya, karena nanti kamu akan mulai berpikir di sudut malam, kelak jika kamu tiada, apa yang akan terjadi dengan tulisantulisanmu. Jika kamu telah mangkir, siapa yang bakal merawat tulisantulisanmu. Bagaimanakah nasib karya pikirmu? Akankah dia bernasib sama denganmu?

Tapi, berbahagialah. Halhal yang kamu rasakan ketika membaca kembali tulisan lamamu akan membuatmu belajar mencintai apa yang telah kamu lakukan. Tulisantulisanmu. Karya pikirmu. Tersenyumlah, karena tulisan lamamu bisa saja seperti yang dikatakan Marx: “cintalah yang pertama mengajarkan manusia untuk percaya pada dunia di luar dirinya.” 

Catatan KLPI Pekan 31 (sekaligus Pekan 29 dan 30)

Dua pekan belakangan, catatan KLPI absen dari yang selama ini dilakukan. Sesungguhnya banyak yang bisa diceritakan, tapi apa daya jika dua pekan sebelumnya, saya sebagai penyuguh catatan ini berhalangan terlibat. Padahal, jika ketua kelas punya lain kesibukan, harapannya peran ini bisa digantikan oleh kawankawan. Namun itu tidak terjadi, walaupun pernah sekali Muhajir mengambil peran yang sama di pekan 24.

Begitu pula di dalam teknis mekanisme forum. Sudah semenjak lama jika ketua kelas tak dapat ikut terlibat, maka harus ada kesadaran dari kawankawan mau mengambil peran kepemimpinan saat menyelenggarakan kelas. Aturan ini dibuat agar tidak ada patronase di dalam KLPI. Semua berjalan karena sistem yang bekerja berdasarkan fungsi, bukan status.

Di pertemuan terakhir kemarin (pekan 31), kelas banyak belajar dari karya kawankawan yang bergenre nonfiksi. Memang belakangan, banyak di antara kawankawan yang sering menyetor tulisan bergenre cerpen. Termasuk dua kawan baru, Arni dan adiknya, Riska.

Walaupun begitu, dari tulisan Arni dan Riska, kembali memantik perbincangan soal unsurunsur intrinsik dalam karya cerpen. Seperti sudah dijelaskan dalam catatancatan sebelumnya, suatu karya cerpen disebut cerpen jika memuat setidaknya tiga unsur intrinsik di dalamnya, yakni tokoh, plot, dan konflik. Pengetahuan ini penting, setidaknya memberikan kepada kawankawan pemahaman dasar untuk mengenali jenisjenis genre di dalam karya sastra.

Hal lain turut jadi omongan adalah soal tindak verbal yang kadang masuk menyusupi tindak menulis. Banyak ditemukan dari karya kawankawan, sulit memisahkan kebiasaan ucapan verbal dengan tindak berbahasa di dalam menulis. Mesti dipahami, aturan main berbahasa baik verbal atawa tulisan punya hukumnya masingmasing. Contoh kasus bunyi bahasa “bank” untuk menyebut tempat penyimpanan uang, berbeda dengan “Bang” kalau merujuk panggilan kepada orang yang lebih tua. Walaupun bunyinya sama, tapi itu tidak berlaku ketika dituliskan.

Hal demikian juga berlaku di dalam tindak verbal masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki ciri khas dialek tertentu. Kadang kata yang berakhiran “n”, ditambahkan “g” sebagai penekanannya. Begitu pula katakata yang tidak seharusnya ditambahkan “h” di belakangnya, justru digenapi sebagai aturan berbahasanya. Aturan main ucapan verbal semacam ini yang tanpa disengaja dan disadari, mengambil kesadaran penulis di saat menulis karyanya.

Kelas kali ini juga turut membahas karya Ilyas. Ilyas di kesempatan kemarin membawa cerpen yang sudah lama di tulisnya di medio bulan Juli. Bahkan, dari pernyataannya, cerpen bersangkutan sempat dikirim ke salah satu media cetak di Makassar, namun gagal diterbitkan. Akibatnya, Ilyas penasaran apa yang membuat karya tulisnya itu tidak dimuat dan selanjutnya membawanya ke kelas untuk didiskusikan.

Dari penelusuran bersama, ditemukan ada beberapa poin yang luput dari perhatian Ilyas. Pertama adalah ada ejaan yang kurang memerhatikan EBI. Kedua, --dan ini sifatnya subjektif, menurut saya— gaya penulisan yang dibuat Ilyas tidak seperti cerpencerpen yang sering dimuat di koran yang dimaksud. Sementara, cara membangun cerita Ilyas sering memakai tehnik memenggal yang memotong adegan demi adegan penceritaan. Konsekuensi dari gaya bercerita demikian membuat pembaca sering tidak utuh menangkap keseluruhan peristiwa yang berada di balik penceritaan narator.

Dan, yang paling utama, barangkali tema cerpen Ilyas yang kurang menyentuh aspekaspek aktual yang sering kali menjadi bagian hidup manusia. Apa yang diceritakan Ilyas adalah seorang anak kecil yang berjualan jalangkote akibat kehidupan ekonomi orang tuanya yang di bawah ratarata, memang adalah kasus yang bisa dialami banyak orang, tapi dari waktu tulisan itu hendak diterbitkan bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang sedang menjadi perhatian redaktur koran terkait. Kalau yang ini, kita mesti paham, kadang suatu karya bisa bagus, tapi redaktur desktop tempat kita tuju memiliki cara pandang yang lain.

Karya tulis terakhir yang digeledah adalah buah tangan Hasyim, seorang kawan baru. Hasyim merupakan kawan Ishak Boufakar, juga kuliah mengambil konsentrasi ilmu komunikasi. Mungkin sebab itulah, karya pertama yang dibawanya tidak jauh dari tema ilmu komunikasi. Unsur entristik inilah yang kuat mendominasi karya esai yang dibuatnya.

Seperti kawankawan sering kali mendaku ketika baru pertama kali menulis, tulisan Hasyim tidak nampak seorang yang baru pertama kali menulis. Struktur kalimatnya terukur, pun argumentasinya dibuat logis. Begitu juga tatanan bahasanya normal sebagaimana karangan esai dibuat, tidak banyak mendayudayu juga tidak nampak ilmiah. Santai menggunakan bahasa populer. Namun, seperti sering kali terjadi, juga sebagaimana kawankawan lainnya, Hasyim masih sulit menghindari kesalahan ejaan yang selayaknya dipahami sebagai kaidah berbahasa selama ini.

Pasca karya tulis Hasyim digeledah, kelas akhirnya membubarkan diri.

***

Kelas sebelumnya juga kedatangan Muhary Wahyu Nurba, sastrawan yang belakangan sedang mempersiapkan diri memerankan satu karakter di Silariang, film yang mengambil latar belakang masyarakat Bugis-Makassar.

Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan, banyak hal yang disampaikan pengasuh kolom sastra di harian Lombok Pos ini. Termasuk bagaimana mempersiapkan karya cerpen yang baik dan mampu menembus meja redaksi media cetak. Juga, seperti apa sikap yang harus dimiliki seorang ketika mengambil kepenulisan sebagai pilihan berkarya.