|
Francisco
Alves Mendes Filho, lebih dikenal sebagai Chico Mendes
Seorang penyadap
karet Brasil, pemimpin serikat buruh dan pencinta lingkungan.
Dia berjuang
untuk melestarikan hutan hujan Amazon,
dan mengadvokasi hak asasi petani Brasil
dan masyarakat adat.
|
GERAKAN sosial dalam arti
defenitifnya selalu ditandai dengan tindakan kolektif yang bersifat spontan dan
massif. Pengertian ini juga mengacu pada tindakan masyarakat yang mengarah pada
tujuan bersama sejauh ikatan-ikatan yang bersifat semi organisasional terbangun.
Beberapa pengertian yang diberikan
ahli sosial misalnya, melihat gerakan sosial merupakan bagian integral dalam
masyarakat yang berfungsi sebagai kekuatan pendorong perubahan. Dengan kata
lain, gerakan sosial yang merupakan kesatuan integral dalam tatanan masyarakat,
memposisikan dirinya sebagai kekuatan yang memiliki fungsi penyeimbang bahkan
sebagai bentuk pembaharuan tatanan itu sendiri.
Pengertian lain diberikan Blummer,
misalnya, yang melihat signifikansi gerakan sosial dalam pengaruhnya terhadap
penciptaan nilai-nilai baru yang menggantikan anutan-anutan lama di masyarakat.
Hal ini menjadi salah satu indikator untuk mengukur capaian-capaian gerakan
sosial sebagai kekuatan perubah yang merembesi sistem nilai dalam suatu
masyarakat.
Sebagai contoh, perubahan cara
mengidentifikasi masyarakat Amerika dalam kaitannya dengan perjuangan Apertheid
kulit hitam yang lambat laun akhirnya berubah pasca munculnya gerakan sosial
yang dimotori Malcolm X. Dalam kasus ini kita bisa menyaksikan dampak perubahan
sosial yang ditimbulkan gerakan civil society sebagai variabel yang juga
menentukan perubahan dalam sistem nilai masyarakat Amerika.
Penciptaan nilai baru yang
dimaksudkan Neil Smelser yakni sebagai upaya penataan ulang nilai-nilai lama
yang dianut sebagai alasan bertindak. Dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai
kolektif, semisal keadilan, pengetahuan, kebaikan, kasih sayang, demokrasi dsb,
secara prinsipal menjadi sandaran epistemologis dalam bersikap. Pada kasus
Apertheid, gerakan yang di motori Malcolm X tidak saja mengubah secara
sosiologis posisi masyarakat kulit hitam, melainkan secara paradigmatik
memberikan nilai baru secara kultural terhadap keberadaan kulit hitam di
tengah-tengah masyarakat kulit putih Amerika.
Gerakan sosial sebagai tindakan kolektif
juga dapat kita temukan misalnya tahun 1999 di Seatle Amerika Serikat. Kala itu
hampir 40.000 masyarakat pekerja, aktivis NGO, kaum anarkhi, aktivis lingkungan
hidup, serta pembela hak-hak asasi manusia tumpah ruah di jalan-jalan menentang
pertemuan tingkat dunia yang diselenggarakan WTO. Dalam konteks peristiwa,
gerakan sosial yang menolak isu neoliberalisme kala itu juga
memperlihatkan bentuk spontanitas
sebagai salah satu indikator gerakan sosial yang bisa menjadi titik permulaan
dari kegiatan kolektif.
Sebagai kekuatan penggerak
masyarakat, gerakan sosial adalah sarana alternatif yang menjadi pendorong
perubahan ketika dimensi struktural kemasyarakatan tak menghasilkan pemenuhan
hak-hak dasar kemasyarakatan.
Kecenderungan ini termuat dalam pembacaan
yang bersifat marxian ketika melihat ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh
struktur kelas masyarakat atas dasar dominasi kapital oleh kelas masyarakat
tertentu. Model gerakan sosial marxian banyak kita temukan pada negara-negara
belahan dunia ke tiga yang rentan akibat disparitas ekonomi sebagai penyebab
ketidakpuasan masyarakat.
Gerakan sosial yang ditemukan di
belahan dunia ketiga memiliki ciri ikatan yang bersifat normatif. Ikatan ini
merupakan gagasan bersama sebagai bentuk kepahaman yang bersifat kolektif.
Ikatan normatif ini memiliki arti ideologis untuk mempersatukan visi dan misi
sebagai tujuan gerakan bersama. Contoh kasus misalnya, gerakan petani karet di
Brazil yang dipelopori Chiko Mendes pada tahun 1987, dipersatukan oleh
keyakinan umum yang melatarbelakangi munculnya penentangan terhadap pembabatan
hutan oleh korporasi saat itu. Keyakinan mereka terhadap pemanfaatan hutan
secara ekologis menjadi pemahaman dasar sehingga sampai saat ini Brazil
memiliki 48 lokasi seluas 12 juta hektar di hutan Amazon yang berstatus kawasan
suaka ektraktif.
Dari beberapa kasus di atas,
cara-cara yang ditempuh dari gerakan sosial merupakan sikap kolektif yang
berada di luar mekanisme sistem institusi yang ada. Dalam hal ini apabila
institusi kemasyarakatan tidak memberikan dampak sosial yang diharapkan, maka
kolektifitas dari gerakan sosial adalah mekanisme yang ditempuh untuk menjadi
alternatif dari institusi yang ada.
Merujuk hal di atas, juga
diungkapkan Antony Giddens dan Calhoun yang menyebutkan bahwa gerakan sosial
sering kali memiliki ciri-ciri dari penggunaan cara-cara di luar sistem yang
dianut. Tindakan aksi massal masyarakat sipil, pemberontakan kaum tani, dan
kelompok-kelompok minoritas yang memperjuangkan hak-hak sipilnya, memang selalu
menggunakan cara-cara yang tak lazim dianut dalam kebiasaan-kebiasaan
masyarakat.
Apabila dilihat dari tatanan
struktural masyarakat, gerakan sosial juga dapat diidentifikasi sebagai respon
dari kalangan elit yang berada pada puncak hirarki kelas masayarakat. Pengertian
ini mengacu pada aktivitas elit masyarakat sebagai agen gerakan sosial yang
memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat dominan untuk mengarahkan perubahan
yang dikehendaki.
Perlawanan dari gerakan yang
diprakarsai elit adalah gerakan dari bawah yang bersumber dari masyarakat luas
sebagai bentuk kebersamaan. Gerakan yang berasal dari bawah ini adalah gerakan
yang mengikutkan kolektifitas masyarakat sebagai eksponen gerakannya.
***
SERATUS orang tanpa pendidikan itu
pemberontakan, satu orang berpendidikan adalah awal sebuah pergerakan.(1) Saya
kira, ini soal yang utama.
Perlawanan tanpa pendidikan sama
halnya pemberontakan. Pemberontakan boleh saja disebut radikal, tapi belum
tentu punya maksud (crowd).
Pemberontakan bisa jadi pembebasan, namun tidak bisa disebut perlawanan.
Perlawanan di mana pun itu pasti punya gagasan. Punya ide. Dua hal inilah yang
memberikan arah. Menunjuk suatu cara yang etik juga strategik. Mendes melihat
itu, dan hanya satu yang mampu memediasinya; ilmu pengetahuan.
Begitulah yang bisa dibilangkan
dari suatu adegan The Burning Season (1994). Film produksi Warner Bros besutan
John Frankenheimer. Film yang bercerita banyak hal soal suatu kepentingan
global yang merangsek masuk merombak
habis ekosistem hutan beserta kebudayaan di dalamnya. Banyak merembesi dimensi
sosial masyarakat pedalaman yang dirusak akibat kekuatan kapital. Menggoyah
tradisi kultural, merobek paras kebudayaan, dan membelah tatanan sosial jadi
timpang.
Semua bermula dari satu konsep;
kapitalisme. Akibatnya, di film yang berbasis kenyataan itu dibuka dengan
tatanan yang ambruk. Di Chacoeira saat itu, dari mata polos Mendes kecil,
kapitalisme bisa menjelma apa saja. Ia melihat masyarakat yang ditilap
tengkulak medioker. Masyarakat penyadap karet yang hidup di bawah bayang-bayang
ketakutan. Orang-orang yang tak bisa berbuat banyak akibat hutang berlapis-lapis.
Situasi dekaden tanpa hukum. Suatu realitas kehidupan yang membuat Mendes kecil
mulai menyoal, apa itu keadilan?
Dari mata kecil Mendes, keadilan
harus bekerja betapapun sederhananya. Di tempat Mendes kecil tinggal saat
itu, keadilan harus ada di saat orang-orang
menimbang getah karet. Keadilan harus ada ketika pertukaran terjadi. Tak soal
betapapun digitnya. Keadilan di kehidupan masyarakat Chacoeira, saat itu sama
artinya dengan keberlangsungan hidup
yang harus terus dikayuh. Keadilan, dengan arti lain—juga sampai hari ini,
bukan pasal transaksi ekonomi belaka, melainkan bagaimana mau jujur terhadap
kenyataan yang terjadi.
Tapi, keadilan jika sudah lacur akibat
kepentingan ekonomis, maka itu disebut kezaliman. Dan itulah yang membuat sesal
Mendes kecil kelak. Akibatnya, dia harus memperkarakan sikap mangut ayahnya
pasca menukar hasil getah karet. Penggalan pengamalaman itulah yang bikin
sesak. Barangkali di hati kecil Mendes saat itu, apapun bentuknya kezaliman
harus tumbang.
Saya kira jika mau mencermati
adegan awal film ini, ada dua hal yang penting. Pertama, sikap kritis Mendes
kecil yang diajukan kepada ayahnya pasca menjual getah karet. Kedua, keberadaan
sosok laki-laki yang datang mengajari Mendes kecil pengetahuan matematis.
Kritisisme itu penting. Apalagi
jika itu pada konteks masyarakat Chacoeira tempat Mendes hidup. Yang patut
disadari, kritisisme itu bukan dimulai dari dunia kesadaran orang-orang dewasa
masa itu, melainkan dari seorang Mendes kecil.
Di sini penting memahami
kritisisme, dari adegan itu kritisme mau dibilangkan sebagai kualitas manusia
yang paling hakiki. Esensi kemanusiaan yang paling muda. Itulah mengapa hanya
Mendes kecil yang punya, bukan yang lain. Orang-orang tua, dengan umur yang
berjibun pengalaman kadang harus takluk dengan berbagai macam pertimbangan dan
juga kepentingan. Namun, sebagaimana ilmu pengetahuan itu bermula, kritisisme
selalu dimulai dari kesadaran polos layaknya anak kecil.
Artinya kesadaran kritis selalu
lebih dahulu dari berbagai macam pengalaman. Dengan kata lain, kesadaran kritis
hanya butuh satu modalitas manusiawi; rasa ingin tahu. Dan semua orang punya
itu, termasuk Chico Mendes.
Jika pendidikan itu dimulai oleh
rasa tahu, maka Mendes kecil memulainya dengan cara yang tepat. Di sinilah
relevansi kedatangan sosok pria yang mengajarinya ilmu berhitung. Ilmu yang
adaptable dengan kehidupan Mendes kelak. Yang menarik, ilmu yang dipertukarkan
melalui relasi timbal balik antara Mendes dan sosok pria misterius itu
dilakukan melalui praktek naratif.
Dengan metode itu, ilmu berhitung bukan
sekedar angka-angka matematis imajinal yang dijumlahkurangkan, tapi juga
dibangun dengan kekuatan cerita yang berbasis pengalaman. Artinya pendidikan
bukan soal sejauh mana transfer pengetahuan diberlangsungkan, tapi sejauh apa
bermanfaat bagi kehidupan kongkrit masyarakat.
The Burning Season salah satu film
yang menyediakan perangkat pengetahuan soal membangun gerakan sosial. Dan saya
kira film ini tidak soal diasumsikan demikian, walaupun begitu banyak medan
adegan bisa membuka perspektif lain. Namun, jika banyak beragam pemikiran
terbangun di film itu, akan sia-sia belaka kalau tidak bisa menjadi perangkat
pemahaman memahami dunia pembaca. Saya kira ini yang penting, bagaimana
mendialogkan adegan demi adegan (dunia simbol, teks) dengan kehidupan sehari-hari
kita (dunia pembaca).
Apabila dibuatkan skema triadik,
antara dunia pengarang (sutradara, produser, kru film, dan seluruh tenaga
produktif di balik layar), dunia teks (konten film adegan per adegan, simbol
demi simbol), dan dunia pembaca (penonton, penafsir bebas), maka yang mau
diharapkan bagaimana pesan film itu bukan semena-mena punya pembuat film maupun
konten film itu sendiri, tapi maksud apa yang bisa kita artikan terlepas dari
kepentingan film di belakangnya. Apa faedahnya buat kita?
Saya kira perjuangan Chico Mendes
(sebelumnya Wilson Pinheiro) mewakili soal-soal masyarakat perkotaan dan
pedalaman kekinian. Di Sulawesi Selatan-- tanpa lupa menyebut kasuskasus
agraria di berbagai kawasan Indonesia, juga mengalami hal yang sama. Di
Makassar sendiri, yang paling kekinian adalah keinginan Pemkot Makassar
mereklamasi kawasan pesisir yang sudah dimulai sekira tahun 2000. Saya kira pada
konteks inilah The Burning Season harus ditempatkan.
Perlawanan terhadap jejaring
kekuasaan di mana pun jika ditarik kembali pada pertanyaan mendasar: bagaimana
cara membangun gerakan perlawanan, berarti harus menyoal hal-hal elementer
seperti 1) apa yang dilawan? 2) mengapa perlu ada perlawanan? 3) untuk apa
membangun perlawanan? Chiko Mendes jelas atas tiga soal dasar ini. Dia melawan
perusahaan yang membakar lahan semenamena, dia melawan akibat penyalahgunaan
lahan mengancam keberlangsungan hidup masyarakatnya, dan Chiko Mendes melawan
untuk menjaga generasi depan dapat merasai kehidupan layak.
Di konteks kita belakangan ini,
kadang tiga pertanyaan elementer itu membuat soal baru. Niat membangun gerakan
selalu patah lantaran pembacaan situasi yang tidak komprehensif. Khusus soal
apa guna membangun perlawanan justru hanya merupakan saluran rangkaian proses
memperbaiki jiwa personal. Banyak ekses yang timbul akibat gerakan yang jadi
lancung. Yang paling fundamental adalah, berubahnya karakter gerakan sekedar
aksi seremonial belaka. Saya kira, selain pragmatisme perlawanan yang kadang
menyampir kekuasaan, moralitas gerakan berbasis gagasan juga jadi soal antik
yang harus dipecahkan.
Perlawanan Mendes adalah gerakan
dari lokalitas menuju globalitas. Di tataran lokalitas, dia melawan tengkulak
kaki tangan perusahanperusahan, orang-orang apatis, dan juga pihak keamanan. Di
tataran global, Mendes bersuara di tengahtengah glamourisme kapitalisme global.
Di dua level itulah medan perlawanan Mendes dengan membangun Serikat Pekerja
Pedesaan (Sindicato). Mendes bergerak bersama orangorang yang resah, orang-orang
malang yang mau melihat keadilan tak cuma konsep di atas mimbarmimbar ilmu
pengetahuan. Dan, yang tak kalah penting, perjuangan Mendes bukan sekedar
perjuangan moral belaka. Mendes membangun gerakan politik.
Perlawanan Mendes
mengkonsolidasikan kebutuhan masyarakat
dari kebutuhan ekonomis sampai keperluan membangun gerakan politik,
sebenarnya merefleksikan tesistesis yang dikandung dalam marxisme. Pencalonan
Mendes mau menjadi pemimpin daerah, jangan diartikan pilihan pragmatis
sebagaimana politisi medioker di negeri kita. Dalam konteks Mendes,
pencalonannya mewakili suara golongan marginal yang tersisihkan akibat logika
kapital. Mendes menjadi simpul kelompok-kelompok masyarakatnya di bawah satu
tema perlawanan. Dengan cara ini, Mendes menaikkan level gerakan tidak sekedar
dari dimensi ekonomi melainkan sampai menyentuh dimensi politik. Dengan kata
lain, pencalonan Mendes adalah radikalisasi gerakan serikat dari asumsi
ekonomis menjadi politik.
Sisi lain juga harus dicermati
adalah kehadiran Steven Kaye, seorang film maker. Tanpa kehadiran tokoh ini,
perjuangan Mendes barangkali tak akan dikenal seperti sekarang ini. Banyak
adegan menunjukkan, kala Mendes mendapatkan informasi dari Kaye yang signifikan
memberikan perspektif baru bagi perjuangan serikat pekerja. Banyak momen
penting akibat pertukaran informasi melalui mediasi Kaye. Akibatnya, Mendes
mendapati suatu horison baru dalam mendudukkan perjuangannya. Di sini unsur
media menjadi faktor ampuh membuat suara Mendes akhirnya punya gaung di kancah
internasional.
Masa perjuangan Mendes terjadi
sekira tahun 80an. Masa kala Brazil sedang gencargencarnya melakukan perubahan
mendasar. Sama halnya di Indonesia, developmentalisme jadi kiblat pembangunan.
Itulah sebabnya, hutan tak punya tempat dalam skema pembangunan berdimensi
industrial. Menarik kalau mau memperhadapkan dua konteks tradisi yang
samarsamar diperlihatkan dalam The Burning Season. Tradisi pertama tentu
diwakili mitos kemajuan yang dikandung dalam developmentalisme itu sendiri.
Konsepkonsep dasar dari developmentalisme begitu terang ditunjukkan dengan
bendabenda semisal traktor, gergaji mesin, dan juga konsepkonsep kekayaan yang
diartikan sebagai keberlimpahan finansial. Sementara tradisi kedua adalah apa
yang ditunjukkan dari mitos-mitos yang kerap tumbuh dalam masyarakat agraris
berupa simbolisme binatang sebagai ratu adil. Dua tradisi inilah yang
sebenarnya juga diperlihatkan sebagai latar imajinal yang ada dalam The Burning
Season. Akan sangat menarik jika dua
tradisi besar ini; tradasionalisme dan modernisme, diuji kembali relevansinya
melalui film berdurasi 108 menit ini.
Gerakan sosial manapun akan selalu
mengandaikan subjek perubahan. Tesis ini sudah rumus paten. Yang soal adalah
bagaimana subjek perubahan harus dipahami. Apakah dia sesuatu ihwal yang
metafisis atau sebaliknya. Apakah dia seorang mesias atau suatu kaum. Tapi
sejauh film ini disaksikan dua antinomi inilah yang secara dialektis berproses.
Banyak frame adegan yang selalu dimulai dari tubuh patung Yesus yang disalib
dengan anak panah yang menancap. Secara simbolis itu bisa dibaca dua hal: agama
jadi mandul di hadapan masyarakat tertindas, atau justru agama, seperti
ditampakkan Wilson Pinheiro membangun kesadaran di dalam gereja, adalah
kekuatan aktif yang bisa menyulut perlawanan.
Sebagai suatu subjek aktif, Mendes
diposisikan sebagai pelanjut perlawanan yang sudah digagas Pinheiro dari awal.
Ini indikasi terang bahwa gerakan sosial hanya bisa berlangung dalam sistem
yang terus berlanjut. Gerakan sosial, bukan gerakan sekali pukul, melainkan
suatu pola sistemik dengan rancangan programprogram. Atau dengan kata lain
gerakan sosial adalah perlawanan yang
terencana secara terus menerus.
Di dalam formasi itulah penting
melibatkan dua kekuatan utama yang lain, intelektualisme ekologis dan aktivisme
serikat pekerja. Yang pertama di wakili oleh Regina de Carvalho, mahasiswa
perguruan tinggi Sao Paulo Brazil yang juga sekaligus aktivis lingkungan.
Sedangkan yang kedua adalah Wilson Pinheiro itu sendiri. Kedua simbolisme ini,
secara organik seperti yang dibilangkan Antonio Gramsci, Pemikir Marxis Italia,
sebagai intelektual yang turut aktif melibatkan diri langsung di kehidupan
masyarakat tertindas. Intelektual organik macam itulah, yang membuat kelompok
perlawanan Sindicato terus bergerak dengan asupan teoritik dan praktik.
Itulah sebabnya, agen aktif sebagai
subjek gerakan dimulai dari suatu tim kerja. Di sinilah arti penting kesadaran
organisasional. Saya kira hal ini terang ditampakkan dari skema kerja yang
dilakukan Mendes. Dia memimpin organisasi, menyusun rangkaian kerja, dan
memasang target periodik. Dan, itu dilakukan secara kolektif, bukan ketokohan
personal.
Hal inilah yang juga harus kita
ambil, yakni gerakan sosial selalu dimulai dengan kesadaran kolektif. Dua
antinomi yang kerap hadir; kekuatan metafisis dan daya intelektual, dua
modalitas yang mesti didialogkan. Ini perlu apalagi, seperti masyarakat tempat
Mendes berjuang, agama merupakan kekuatan alam bawah sadar yang potensial jadi
motor perubahan.
Setiap perjuangan mengandung
resiko. Bahkan resiko sebenarnya bagian inheren perjuangan. Akan naif bagi
orangorang yang berjuang tanpa mau menerima resiko. Chico Mendes sudah tahu,
resiko yang bakal ditemuinya bisa saja seperti nasib Wilson Pinheiro; kematian.
Di kemungkinan inilah idealisme perjuangan Mendes dipertautkan melalui aksi non
kekerasan. Akibatnya Mendes sadar, idealisme perjuangan memang melampaui tubuh
yang bisa koyak akibat peluru panas. Kecuali ada jaminan kurir langit yang
menggaransi kematian satu orang membuat korporasi berhenti membabat hutan.
Begitu ucapnya di suatu adegan bersama Ilzamar, istrinya.
Perjuangan Mendes dan serikatnya
terus berlanjut. Banyak korban berjatuhan. Akibatnya, pihak perusahan terdesak
menghentikan pembabatan akibat dukungan pemerintah. Namun apa boleh dikata,
selalu ada pihak yang sulit menerima kenyataan. Pasca kepala daerah setempat
menyatakan melindungi kawasan hutan. Mendes meregang nyawa. Tubuhnya dikoyak
pelor panas tepat dikediamannya. Dia dibunuh seperti kawankawan sebelumnya.
Chocheiro berduka.
Tak ada perjuangan yang siasia.
Tahun 1990 tertanggal 12 Maret, Pemerintahan Brazil menetapkan 2,5 juta are
kawasan di sekitar sungai amazon sebagai hutan suaka yang dilindungi dari
penebangan, pembakaran dan pembukaan lahan. Tempat itu bernama Suaka Alam Chico
Mendes.
Syahdan, seperti mahluk bernyawa
lain, Chico Mendes sudah dahulu berpulang. Tapi seperti yang diucapkannya, perlawanannya
tidak berhenti. Selalu ada pekerjaan warisan bagi orang-orang setelahnya.
---
[1] Perkataan
Chico Mendes kepada Wilson Pinheiro di kala bermain kartu di suatu bar (24:43).
Dalam The Burning Season
Daftar
bacaan
- Sosiologi
Perubahan Sosial. Piotr Sztompka.2008
- Lubang
Hitam Kebudayaan. Hikmat Budiman.2006
- Bergerak
Bersama Rakyat. Suharsih dan Ign Mahendra.2007
- http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/10/07/nd2h0a19-revolusi-payung,
diakses pada Senin 10 November 2014
-Disampaikan pada LK 2 BEM FIS UNM Mei 2019