Kota dan Orang-Orang yang Datang dan Pergi dan Makassar

Di mana-mana kota pasti adalah pusat yang ramai. Orang-orang datang-pergi demi menuntut kebutuhan ekonomi, mengejar pendidikan, mencari pergaulan kekinian, dan menghabiskan waktu luang.

Di kota, segala kebutuhan akan segera dipenuhi. Asalkan kita mau mencarinya, dan tentu tercukupinya kepemilikan modal untuk menunjang daya tukar dan transaksi.

Akibatnya, kota jadi lubang yang menyedot banyak orang. Kota akhirnya menjadi lokasi yang menjadi titik tolak bagi orang-orang yang melakukan perjalanan lintas spasial.

Demi pekerjaan, demi pendidikan, dan demi segala hal lainnya, jarak spasial antara kota sebagai pusat dan kawasan pinggiran hingga daerah-daerah di sekeliling kota beranjak menjadi semesta kesibukan yang penuh sesak dengan beribu-ribu kendaraan yang lalu-lalang.

Saya sendiri merasakan pengalaman baru, betapa menjadi penduduk pinggiran kota adalah hal tak terelakkan yang turut membuat arus mobilitas kota-pinggiran kota menjadi begitu sesak. Walaupun sekarang, kodifikasi kota-pinggiran kota menjadi tidak relevan, tetap saja kota kiwari adalah pesona yang mendorong orang-orang bergerak pulang-pergi memperbaiki nasibnya.

Perlu saya katakan, daerah Sudiang-Biringkanaya, lintasan perjalanan yang harus saya lalui belakangan ini menuju pusat kota Makassar, merupakan kawasan yang tak bisa ditolak menjadi daerah padat kendaraan akibat bergeraknya kawasan pinggiran perkotaan menjadi kawasan padat pemukiman.

Tidak bisa dipungkiri mobil adalah kendaraan yang banyak berperan mengubah daerah pinggiran perkotaan menjadi daerah kawasan padat penduduk. Makassar sendiri, dari hari ke hari, semakin banyak ditemukan daerah perumahan kelas menengah atas  dengan mobil sebagai penghubung kawasan-kawasan baru sebagai tempat pemukiman.

Mobil dengan fungsinya yang mampu membelah ruang geografis menjadi lebih efisien, tak terelakkan menjadi alat transportasi yang mudah berpindah-pindah seiring aktivitas masyarakat perkotaan. Bagi masyarakat kelas pekerja kerah biru, mobil sudah menjadi alat mukim kedua selain rumah-rumah yang mereka diami secara permanen.

Dengan mobil –dan juga motor—bagi masyarakat kelas menengah atas, menjadi lebih mudah mengakses pemukiman yang terletak di pinggiran kota dengan pusat kerja yang identik di daerah perkotaan. Dengan semakin baiknya infrastruktur jalan raya, jarak geografis yang jauh antara pemukiman masyarakat kelas menengah atas dengan pusat-pusat aktivitas, mobil sangat signifikan membuat pergeseran kota menjadi lebih luas sekaligus kecil.

Kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap daerah pemukiman bersih, tenang, dan jauh dari keramaian, merupakan kebutuhan mendesak akibat wilayah perkotaan yang semakin padat dihujam perencanaan pembangunan.

Perkotaan yang semakin hari tidak menjamin warganya menemukan kehidupan yang sejahtera mau tak mau turut mendesak cara berpikir masyarakat agar keluar mencari daerah alternatif yang mampu memenuhi aspek-aspek kemanan dan ketenangan.

Itulah sebabnya, selain minimnya daerah mukim akibat pembangunan perkotaan tanpa ampun, membuat daerah pinggiran perkotaan menjadi sasaran baru daerah-daerah alternatif.

Namun, malangnya, semakin mendesaknya kebutuhan pemukiman yang bebas keramaian, daerah yang semula alternatif berubah fungsi menjadi daerah utama pemukiman masyarakat kelas menengah atas.

Berdirinya pusat-pusat pendidikan di daerah pinggiran kota, juga ikut mempengaruhi beralihfungsinya kawasan sepi penduduk menjadi padat keramaian.

Di Makassar sendiri, sekira tahun 80-an ketika Universitas Hasanuddin dipindahkan ke daerah Tamalanrea, ikut mengubah kawasan yang semula penuh rawa-rawa menjadi salah satu kawasan yang paling sibuk di Makassar.

Hal ini bersamaan dengan ketika kota-kota berkembang di tahun 80-an mengalami proses urbanisasi yang berdampak terhadap tingkat pembangunan pemukiman penduduk.

Contoh mutakhir adalah berubahnya kawasan Samata menjadi daerah pemukiman baru ditenggarai perencanaan jalur Maminasata.  Dipindahkannya Universitas Islam Negeri Makassar di daerah Samata selain karena tidak mencukupinya ruang interaksi di kampus sebelumnya, juga akibat kebutuhan daerah yang nyaman untuk menunjang proses belajar-mengajar.

Akhirnya dengan sendirinya, dengan semakin baiknya akses menuju kawasan yang dahulu dianggap terpencil,  daerah itu pelan-pelan secara pesat menyerap banyaknya penduduk seiring juga berputarnya modal sosial yang serta merta mempercepat perubahan kawasan terpencil Samata menjadi kawasan perkotaan baru.

Jelas sekali hubungannya antara dibukanya kawasan pemukiman baru dan kawasan pendidikan, turut mempercepat proses urbanisasi yang mana akan juga berimplikasi terhadap berubahnya aktivitas warga di sekitarnya.

Berkat aktifitas kota-pinggiran kota, mau tidak mau mengubah pengalaman warga perkotaan/pinggiran tentang memahami jarak. Secara lokasional antara daerah Sudiang, misalnya, dengan daerah Karebosi tidak sulit untuk dikatakan jauh. Namun, dari akivitas sosial-antropologiknya, jarak antara kedua daerah tersebut menjadi dekat karena hubungannya dalam pengertian ruang relatif (relative space) dan ruang relasional (relasional space).

Karena itulah, saya misalnya –beserta penduduk pekerja daerah pinggiran, rela menempuh jarak kurang lebih dua puluh hingga tiga puluh kilometer, menuju kawasan perkotaan, untuk melakukan aktivitas pekerjaan di tiap harinya. Dan, yang membuat semua itu tampak normal adalah jarak relasional yang memberikan pengertian baru soal jarak itu sendiri.

Maka, sulit disangsikan hampir setiap jam-jam sibuk, daerah yang menghubungkan kawasan kerja dengan kawasan pemukiman di pinggiran kota, menjadi penuh sesak dengan kendaraan yang merayap padat. Yang paradoks dari semua ini, walaupun dibantu dengan kendaraan, yang menganggap setiap tempat mudah diakses dan dianggap dekat secara relasional, membuat semakin hari sulit menemukan jalan raya yang lenggang dari kendaraan.   

Makassar yang sedang bergerak menuju kota dunia, bukan berarti suatu arah yang selamanya bermakna baik. Antara Makassar yang berarti bagian dari kota yang berkembang dengan Makassar sebagai kota dunia yang identik sebagai kota global, akan banyak menyisakan persoalan semisal lonjakan kepadatan penduduk, kemacetan,  hilangnya ruang hijau terbuka, kriminalitas, pengangguran, polusi udara, merebaknya pusat ekonomi baru, dan perampasan tanah atas warga miskin kota.

Pada akhirnya pergeseran Makassar menjadi kota dunia, mau tidak mau harus disertai perubahan persepsi warganya tentang bagaimana menjadi warga kota yang ideal. Hal ini tentu akan menyertakan beragam cara untuk mengubah pola-pola interaksi sosial, intelektual, ekonomi maupun kebudayaan demi memaksimalkan warga kota sebagaimana warga kota.

Satu hal yang paling mendesak bagi kota Makassar untuk saat ini, yakni menyediakan akses jalan raya yang mencukupi seiring dengan menekan penggunaan kendaraan pribadi yang semakin hari semakin bertambah padat. Bertambah banyaknya warga kelas atas baru, harus diikuti dengan perangkat pemahaman yang baik soal penggunaan hak-hak publik ketika di jalan raya.

Maka akan mustahil bisa berjalan maksimal ketika di satu sisi penyediaan sarana transportasi publik  mampu mengatasi kebutuhan transportasi warga, tanpa disertai pengawasan yang ketat terhadap penggunaan kendaraan pribadi yang setamak-tamaknya.

Syahdan, dari semua itu, salah satu indikator bagaimana Makassar
disebut kota dunia adalah mencukupinya transportasi publik dan teratasinya kepadatan jalan raya di waktu-waktu jam kerja.  Tentu ini berkaitan dengan seperti apa warga kota mampu mengindentifikasi dirinya sebagai citizen yang baik ketika menggunakan ruang publik seperti jalan raya. Seperti bagaimanakah sikap seorang pengguna jalan raya ketika menggunakan hak-hak publiknya di atas kendaraannya.

Totto-chan Murid Cilik di Jendela dan Sesosok Kecil Teman Imajiner

Baru-baru ini saya menemukan kembali novel karangan Tetsuko Kuroyanagi; Totto-chan Gadis Cilik di Jendela, ketika memberesi buku-buku istri saya. Dulu buku ini tak sempat saya baca. Saya hanya sering mendengarnya dari mulut orang-orang. Pernah juga beberapa kali novel ini disebut-sebut ketika saya mengikuti forum kajian kala di kampus. Buku ini sering kali dikait-kaitkan dengan menyindir-nyindir dunia pendidikan dengan nada yang sedikit sarkas.

Sekarang saya berusaha membaca buku ini dengan hati-hati. Juga dengan semangat yang telaten. Maklum akhir-akhir ini saya begitu jarang membaca buku. Gadget begitu banyak mengambil perhatian saya.  Namun, sebenarnya motif membaca buku ini yang penting: menghidupkan kembali kenangan ketika sekolah dulu.

Hari ini hampir semua orang memperingati Hari Guru Nasional, dan banyak cara memperingatinya. Kebetulan saya diingatkan oleh timeline Facebook.  Ini adalah cara instan masyarakat cyberspace menjalani hari-harinya: ingatannya dikendalikan mesin canggih smartphone. Dan, semenjak pagi ini mesin itu mengingatkan saya lewat layar gadget. Hari ini—sekali lagi- Hari Guru Nasional.

Mengingat itu saya hanya mengirimkan ucapan sederhana di group WA  kepada orang-orang yang berjasa bagi diri saya selama ini. Kepada sebagian mereka, yang saya artikan sebagai guru dengan ucapan terima kasih atas bimbingannya selama ini.

Orang tua saya juga seorang guru, terutama ibu saya. Pertama kali saya mengetahui ibu saya seorang guru ketika menyadari pernah dibawa ke sekolah pertama tempat ia mengajar. Ketika itu saya sering berlari-lari di koridor panjang dengan tangan terbentang lebar bersamaan dengan orang-orang yang berlalu lalang mondar-mandir.

Kebanyakan kala itu mereka menggunakan baju putih abu-abu dengan muka yang terheran-heran melihat saya berlari ke sana kemari. Koridor panjang yang beralas semen itu memang membuat saya senang bukan main. Sungguh panjang dan luas.

Ingatan ini pula yang membuat saya menyadari kala membaca Totto-chan, dunia anak-anak sebenarnya adalah dunia yang membahagiakan. Dan, kebahagaiaan anak-anak tentu harus diartikan sebagai keriangan mereka ketika bermain-main.

Dan malang, guru Totto-chan memandang aktivitas bermain Si Gadis Cilik di Jendela di kelas sebagai perilaku yang ganjil bagi pengalaman belajar-mengajar. Tentu sang guru punya alasan kuat belajar harus disertai keseriusan yang betul-betul serius. Dia mungkin punya teknik mengajar yang telah dipakainya bertahun-tahun, atau kurikulum yang mengacu kepada standar paten, tapi, ayolah, bukankan ini anak-anak?

Saya banyak mengenal orang yang sehari-hari mengajar anak-anak yang saya taksir seumuran dengan Totto-chan di novel penulis Jepang itu. Kemudian saya juga tahu mereka lebih banyak memporsir bermain sebagai sarana anak-anak belajar. Apalagi seringkali mereka lebih banyak bertanya kepada anak-anak didiknya mau memilih belajar apa. Kemudian hari saya tahu metode bertanya ini berusaha melatih anak-anak bisa mandiri memilih pilihannya sendiri. Mereka bebas memilih mau belajar apa yang sesungguhnya mau bermain apa.

Istri saya berlatarbelakang ilmu psikologi yang kemudian melanjutkan studinya mengambil konsentrasi psikologi pendidikan.  Suatu hari dia sering mengatakan anak-anak kisaran umur tiga sampai lima tahun (kalau saya benar-benar ingat), memiliki teman imajiner yang sering kali diajak berkomunikasi. Teman ini hanya figur imajinatif yang hanya dikenali anak balita. Teman kecil mereka inilah yang sering kali mereka ajak “bercakap-cakap” dan membantu balita manapun memaksimalkan syaraf-syaraf sensoriknya ketika tumbuh berkomunikasi.

Itulah barangkali sebabnya anak-anak lebih cenderung memiliki cerita yang aneh-aneh. Seperti keponakan saya beberapa tahun lalu yang seringkali mengajak saya bermain buaya-buayaan, dan kami bertindak sebagai penguasa lautan yang harus menyelematkan diri menuju sebuah pulau yang ketika itu adalah sofa.

Di permainan itu kami harus bisa menghindari buaya-buaya ganas yang siap memangsa dan berenang setangkas mungkin menuju sebuah pulau. Saya hanya menyangka, figur-figur yang ia maksudkan adalah sosok-sosok imajiner yang membantunya berimajinasi. Melalui sosok-sosok inajinatif itulah saya yakin dapat membantu anak-anak berpikir.

Makanya saya tak heran ketika Totto-chan berniat menjadi penjual karcis kelak ketika dewasa. Totto-chan membayangkan betapa bahagianya memiliki sekotak celengan yang penuh sobekan karcis. Betapa senangnya memiliki semua itu dengan menggunakan seragam selayaknya penjual karcis di terminal kereta api. “Tapi bukankan kamu ingin menjadi seorang mata-mata Totto-chan?” sergap ibunya. “Bukankah aku bisa jadi penjual karcis yang sebenarnya adalah mata-mata,” balas Totto-chan. Bayangkan betapa kreatifnya jawaban gadis ini.

Aspek semacam itulah yang membuat guru Totto-chan kelimpungan. Kreatifitas yang menjadi daya dorong segala perilakunya. Betapa malangnya jika pendidikan malah memangkas daya kreatif anak-anak ketika berpikir.

Dalam ilmu logika, dimensi kreatif sinonim dengan apa yang dikatakan ilmu khayali. Di dimensi ini, sesuatu yang dipikirkan bisa saja dibuat-buat. Atau bahkan dua hal dapat dipikirkan secara bersamaan dalam satu wujud.

Misalnya “tubuh” Anda dengan “kepala” Donal Trump yang digabung menjadi Anda yang berkepala Donald Trump. Di dalam imajinasi, wujud-wujud pikiran dapat digabung-gabung seperti lego yang bersusun-susun, bebas sebebas bebasnya.

Namun, malang bagi orang-orang dewasa. Bagi kita dunia khayali tidak jauh lebih penting dibanding dunia rasio. Itulah sebabnya, orang-orang dewasa lebih sering miskin imajinasi. Minim kreatifitas.

Akibatnya, berbeda dengan anak-anak kecil, orang-orang dewasa tidak mampu memiliki teman imajinatifnya. Sosok imajiner semacam itu sudah lama hilang akibat betapa seriusnya orang-orang dewasa memandang dunia. Itulah sebabnya orang-orang dewasa lebih senang berpikir daripada berimajinasi. Mereka lebih senang kepada hal-hal yang sudah dipastikan dari awal, bukan sesuatu yang memiliki banyak cabang-cabang kemungkinan.

Akhirnya, membaca Totto-chan di waktu sekarang, setidaknya membantu menemukan kembali ingatan saya kala dibawa pergi ibu ketika mengajar di sekolahnya. Dan tentu mencari kembali teman imajinatif yang telah lama saya lupakan.

Jalan Raya

Apa jadinya jika jalan raya di suatu pagi bertemu dengan modernitas? Maka yang ada adalah keterburu-buruan. Hidup dalam cara modern adalah bagaimana anda dapat menggunakan waktu seefisien mungkin. Dan jalan raya, di pagi hari adalah centangperenang penandanya.

Di jalan raya, anda tak boleh menengok; kanan dan kiri, apa lagi berbalik ke belakang hendak kembali, karena menengok dan kembali dalam buku besar modernitas berarti kemunduran. Dan, bisa jadi Anda akan menjadi seorang individu yang tertinggal jauh.

Memang modernitas adalah sebuah bus besar yang sedang terburu-buru; bergegas dengan kecepatan yang tinggi, tanpa rem, tanpa rambu jalan dan tanpa terminal pemberhentian. Modernitas adalah bentuk zaman, atau bahkan pikiran baru yang berusaha melupakan ingatan masa lampau; melipat segala sesuatu menjadi sebuntal pakaian yang harus dilipat bahkan diganti, dan memberikan anda sekelumit pakaian dengan cermin yang menaruh visi tentang kemajuan.

Dan di dalam modernitas, waktu menjadi barang yang penting untuk dijaga. Dikemas dalam keadaan yang rapi, dijaga baik-baik dan tak harus dirusaki, sebab waktu tak bisa dipending apalagi terhenti, maka kerja adalah lokomotif yang harus terus didorong.

Kerja, dalam pengertian zaman modern bahkan postmodern, adalah usaha yang memanfaatkan potensi dalam memapatkan waktu dan ruang, yang punya kaitan dengan peran dan fungsi yang terspesialisakan yang digerakan berdasarkan visi yang disublim oleh rasio yang menghendaki capaian tujuan seefesien dan secepat mungkin. Dan rasio seperti ini, merupakan jenis rasio yang dihardik oleh mazhab Frankfurt, oleh mereka, rasio ini adalah rasio yang menampik permenungan. Jenis rasio yang selalu menukik untuk berhadapan langsung pada objek yang ingin kuasai.

Kerja dalam ruang sejarah yang lain bisa berarti laku yang tenang terhadap waktu. Diam dalam senggang yang berbobot. Kerja dalam tradisi Yunani kuno berarti optimalisasi akal; bagaimana anda mendayagunakan potensi akal sejauh mungkin, untuk mendapatkan padanannya, pada keselarasan dengan  nous kosmos.

Jurgen Habermas, sosiolog Jerman generasi keduaFrankfurt School pernah menulis; kerja dalam konteks Yunani kuno berarti upaya theory sekaligus praksis, dan ini berarti kerja. Yang berarti bermaksud menggunakan nous dalam mengikat logos.

Logos dalam akar kata Yunani ditemukan pada kata legein, yang berarti menghimpun. Dari itu kerja berarti penggunaan nous dengan logos untuk menghimpun. Lalu apa yang dihimpun?

Bijak bestari kuno punya cerita segudang tentang apa yang harus dihimpun dengan nous? Kata mereka semuanya harus bermula dan berakhir pada arkhe. Caranya melalui kerja: theoria.

Theoria dalam kamus kehidupan masyarakat Yunani Kuno adalah laku hidup yang mendasarkan diri pada penghayatan terhadap alam, berusaha menyelaraskan diri dengan “aku” alam semesta.

Seorang guru Aleksander Agung bercerita: hidup yang baik adalah hidup yang seimbang, yang seimbang berarti menempuh jalan eudamonia: kebahagiaan. Jalan keselarasan dengan alam semesta, di mana sesuatu ditempatkan pada ruangnya masing-masing. Jika seorang terlalu banyak makan maka perutnya akan sakit, dan itu menyakitkan. Berlebihan memang tak baik. Lantas bagaimana cara sesuatu agar tak berlebihan? Murid Plato menampik bukan dengan cara yang lain, melainkan nous-lah yang menjadi hakimnya.

Memang gerak nous selalu mencari di mana ia harus ditakwil pada akhirnya. Thales menyebutnya Air, Anaximenes menyebutnya uap, Heraklitos menampik dengan  menempatkan sesuatu yang mengalir dalam keabadian. Selanjutnya ada Demokritus, bicara tentang atom, Sesuatu yang tak dapat dibagi-bagi sebagai arkhe. Dan, selanjutnya menjadi deretan panjang tentang apa itu arkhe: unsur dasar yang membentuk apa yang ada.

Kemudian arkhe di tangan Immanuel Kant menjadi semacam terra incognita; Sesuatu  yang tak dapat dijelaskan.

Kelas, Klas

Kelas di suatu waktu bisa bermakna sepetak ruang, yang membagi sesuatu menjadi partisi-partisi. Tapi di lain waktu ia tanda dari kesenjangan. Sesuatu yang membangun jarak. 

Kelas sebagai sesuatu istilah, dipopulerkan pertama kali oleh seorang sosialis tulen berkebangsaan Jerman, Karl Heinrich Marx. Tapi, kelas yang dia maksudkan bukan untuk menunjuk pada batas-batas tentang ruang, bukan ruang petak yang berbentuk kubus, apalagi ruangan yang menggelantung di dalamnya gambar dua muka penguasa sebuah negeri. Kelas yang ia istilahkan menunjuk pada entitas yang berjarak sekaligus diskriminatif. Suatu tingkatan sosial yang ia bagi menjadi dua entitas atau kelompok: proletar dan borjuis. Dua mata sosial yang saling tolak menolak.

Di hadapan Marx ada masyarakat yang ingin tumbuh. Eropa baru saja kuncup dari keadaan menyesakkan. Harapan hidup tak lagi semata-mata urusan dominan dogma-dogma gerejawan. Eropa sedang dalam transformasi besar-besaran. Orang-orang menaruh harap pada pabrik-pabrik yang berdiri gegap, menanggalkan hidup yang ringkih dengan kehidupan tradisional menuju perhelatan akbar dari kemajuan peradaban baru; zaman industrialisasi.

Namun, Max murka sekaligus ia berusaha memahami keadaan yang ia saksikan dengan mata telanjang. Dari pembacaannya ia berusaha tidak menerima dunia sebagai entitas yang dicipta dalam keadaan begitu saja. Bagi Marx, dunia adalah entitas yang melibatkan usaha. Namun di balik kenyataan setiap usaha masyarakat, muncul masyarakat elit  yang ia katakan mampu mengubah usaha ril menjadi suatu hal yang berbau kumulatif. Bahasanya di suatu waktu: segalanya yang padat menguap keangkasa.

Bisa jadi Marx benar tentang tangan-tangan kelas pekerja yang bergulat dengan barang-barang, yang sembari waktu pada akhirnya ghalib ditelan kehampaan. Tak ada barang yang dimiliki kelas pekerja, yang ada hanyalah proses perpindahan barang dari kelas pekerja ke kelas borjuasi. Yang ada, barang yang padat semuanya berubah menjadi alienasi.

Tapi, itu Marx yang melihat masyarakat industri awal berdasarkan determinasi barang-barang. Karena barang-barang yang dikuasai maka keadaan bisa berubah. Nampaknya nasib hanya bicara tentang barang yang dikuasai dan barang yang menguasai. 

Beda Marx beda Francis Bacon.

Bacon memiliki iman yang lebih menjanjikan, bahwa zaman kelak akan menampik posisi yang semula akan dikuasi oleh kaum pemodal.  Bacon punya iman yang tegas, bahwa zaman harus diarahkan berdasarkan kemajuan sains, dengan deret ukur yang tegas dalam memprediksi kebutuhan manusia; ilmu pengetahuan.

Tentu Marx bukan penganut pikiran Bacon: barang siapa menguasai ilmu pengetahuan maka nasib serentak bisa ditakdirkan.

Entah Marx, entah Bacon. Di suatu tempat yang lain, ilmu bisa menjadi sinyalemen yang kuat untuk membentuk dua wajah yang hirarkis. Ketika insitusi pendidikan menjadi medan yang sarat dengan kepentingan.

Kelas bisa berarti pencerahan, atau justru keterasingan.

Kita tak tahu kapan era dimulainya pengetahuan harus identik dengan sepetak ruang padat. Seakan-akan pengetahuan harus dihadirkan dalam bentuk-bentuk yang padat pula: tembok.

Tembok bagi sejarah silam bisa jadi berarti perlindungan. Itulah mengapa, mungkin saja setiap kerajaan membangun daerah kekuasaannya dengan tembok-tembok yang tinggi serta tebal. Benteng bagi kekuasaan masa lalu memanglah penting, apalagi dahulu batas kekuasaan tak berbanding lurus dengan  luas tidaknya tanah yang dimiliki.

Maka galibnya tembok cina dibuat untuk menjadi patokan betapa besarnya kekuasaan dinasti Ming. Ini juga yang menjadi inspirasi bagi Jerman, di mana di Berlin berdiri tembok setebal hampir dua siku dengan konsekuen geografis yang membagi Jerman menjadi dua kawasan. Memang tembok adangkala selalu berdiri berbarengan dengan kedatangan kekuasaan.

Indonesia, negeri yang pernah dikuasai rezim selama lebih dari tiga puluh dua tahun, tembok bisa berarti pembelokan ingatan masa silam. Tentu yang saya bicarakan di sini adalah tembok yang berdiri di tengah-tengan makam tujuh jenderal. Di sana secara dramatis terpampang gambar perjalanan penumpasan ideologi komunis yang diakhiri dengan gambar sosok pemimpin sebagai dewa penyelamat yang mengangkat tangan sebagai simbol penaklukan.

Tembok pada akhirnya bisa menyiratkan perlindungan; entah dari kejaran kekuasaan ataupun ingatan masa lampau.

Tembok memanglah keras, namun apa hendak dikata, kelas berarti seruangan yang harus dihadirkan dengan petak-petak batu. Ini berarti barang siapa hendak berpengetahuan, maka hendaknya harus bergumul dengan tembok-tembok. Dan namanya tembok, pasti ia membatasi.

27 oktober 2011

Ihwal Perubahan

Hari-hari ke depan mungkin akan penuh gemuruh. Jalan raya menjadi ramai, dan mahasiswa tentu punya agendanya sendiri. Hari-hari belakangan ini, kita dibuat resah, banyak caci maki menjadi ujaran yang banal, juga aspirasi menjadi ihwal yang penting. Sebab di penghujung bulan nanti, presiden RI akan berdiri di atas podium negara, berdiri menghadap seluruh masyarakat Sabang-Merauke, dan tentu dengan kesannya yang kita kenal betul; mimik muka yang melankolis, tutur ucap yang telah ditata, di bagian mana intonasi harus ditekan pada kata-kata tertentu, warna baju apa yang harus melambangkan kecocokan dengan audiens, dan tentu isi pengumuman itu sendiri, dengan teori-teori ekonomi makro mutakhir, tentang nasib, tentang naik tidaknya bahan bakar minyak (BBM).

Pidato, jalan raya, dan mahasiswa di hari-hari ini kerap semakin akrab. Agenda yang serempak harus segera dijalankan. Agenda pemerintah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak menjadi topik yang tiba-tiba genting. Dan, jalan raya menjelma sebagai narasi yang mempertautkan ide-ide perubahan yang selama ini dilancung oleh sistem. Maka analisis tentang kebijakan dihampar pada setiap ruang dialog. Di mana di sana ada persandingan isu-isu tentang perubahan sebuah negeri yang ingin merdeka. Teori-teori perubahan sosial pun pada akhirnya kembali mendapatkan momennya untuk dibincang kembali.

Namun, pada negara seperti Indonesia, seluruh teori yang punya kesan ingin merubah tatanan sistem pemerintahan dipending untuk diajarkan. Bahkan, sekalipun bisa jadi harus diberangus. Maka antara hari-hari kemarin dan hari-hari seperti ini, ide-ide perubahan mendapatkan sinyalemennya yang kurang tegas.

Sebagai narasi, maka sebuah penceritaan selalu dimulai dengan permulaan.  Mengisahkan aktor-aktor yang punya peran di dalamnya, dan apa yang dilakukan belakangan ini; apa yang sering dikatakan sebagai aksi jalanan, sedang kehilangan aktornya.

Maka, di saat seperti ini, jalan raya menjadi pentas  yang memainkan peran pada sebuah gerakan yang tak memiliki aktornya.

Max Weber, seorang sosiolog Jerman, punya teori. Perubahan penting untuk dimulai dengan kepemimpinan, yang mana punya posisi strategis dalam  penentuan arah perubahan sosial. Tentu Weber memiliki iman bahwa massa jalanan tak selamanya adalah hal yang sadar dengan kondisi yang melatarbelakanginya. Menyangkut ini, Weber menampik jenis gerakan yang akhirnya bisa jadi  lancung di tengah jalan. Yakni sebuah arah bisa jadi adalah kehendak yang menampik ruang permenungan.

Dengan begitu, galibnya sebuah suara protes di tengah gerombolan massa hanya menjadi suara yang panca. Maka kehadiran ide-ide perubahan harus disemai di tengah-tengah massa. Teori-teori harus menjadi bagian integral dalam menata realitas, bergumul dengan realitas sebagai jalan dialektis. Di mana pada titik seperti ini, kerap teori-teori besar harus kembali diujicoba, difalsifikasi pada tepian realitas yang kerap jamak, sehingga tak ada ide yang mutlak tunggal, yang berarti ada kemungkinan sebuah teori besar harus memberi jalan bagi ide-ide yang minor.

Namun jalan perubahan, tak selamanya mengisyaratkan perlunya sebuah ide yang sempurna betul. Sebab ide yang sempurna betul punya jalannya sendiri.   Terkadang ide yang sempurna hadir dengan jaraknya yang jauh dengan kondisi keadaan manusia. Kita lihat betapa ide-ide besar menjadi teropong yang memberi batas pada apa yang dapat dilihat dan apa yang tak dapat dilihat. Dan dengan demikian perubahan dengan mengusung ide-ide besar harus takluk di hadapan konteks yang tak dikenalinya.

Bisa jadi karena itulah, ide-ide yang datang pada penghujung zaman terkadang lebih mampu diterima dibandingkan dengan ide-ide yang ada sebelumnya.

Berkat itulah, Hegel punya keyakinannya sendiri. Ide dalam pandangannya mengisyaratkan perubahan yang terus menerus, yang berkelindan dalam zaman. Sebuah ide dipahami sebagai gerak yang melampaui batas-batas teritorial temporal. Sebab ide pada hakikatnya adalah sempurna. Namun kesempurnaan adalah ihwal yang juga menjadi hal yang kerap kali ditolak pada moment-moment yang menghendaki adanya perbuatan yang segera.  Di sini, tindakan menjadi nyata dibandingkan ide yang terlampau abstrak. Dan, di sinilah masalahnya, ide selalu menuntut keterlepasan dari tindakan yang kongkret.


Barangsiapa Yang Kehilangan Cermin?

Cermin benda yang bermanfaat dalam kehidupan praktis manusia. Cermin bagi dunia mode, misalnya, merupakan salah satu perkakas yang paling elementer. Tanpanya, sang pesolek tak mampu melihat bayangan dirinya. Apakah sempurna atau tidak, semuanya bergantung kepada cermin.

Seperti sang pesolek, masyarakat umum juga membutuhkan cermin agar bisa menunjang penampilannya. Tak bisa dipungkiri, mulai dari anak sekolahan sampai orang dewasa menjadikan cermin sebagai wadah menilai dirinya. Apa yang nampak indah di dalam cermin, maka akan nampak indah pula ketika bergaul di tengah masyarakat.

Itu sebabnya dalam melihat dirinya, orang-orang sangat membutuhkan cermin. Tanpa cermin tak ada bayangan tubuh yang mampu ditangkap kembali. Dengan cermin, orang-orang membangun replika dirinya di atas pantulan layar kaca, untuk menilai dirinya, juga memahami dirinya. Artinya, melalui cermin, kita membutuhkan “diri” yang lain agar mampu melihat diri kita sendiri. Ini yang disebut sifat reflektif cermin, yakni sifat yang mampu memantulkan apapun ketika tampak di hadapannya.

Zaman sekarang, ketika tubuh begitu dominan dipertontankan, fungsi cermin semakin tinggi nilainya. Bahkan tubuh dan cermin merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Tanpa cermin, tubuh tak mampu menilai dirinya. Sebaliknya, tanpa tubuh, cermin hanya benda yang teronggok begitu saja.

Itu sebabnya, cermin dan tubuh ibarat kesatuan yang saling mengisi. Cermin sebagai layar kaca berfungsi menjadi wadah bayangan bagi tubuh, juga tubuh menjadi objek cermin agar cermin bernilai guna.

Kisah Cermin Rumi

Alkisah di dunia mistisisme, cermin bukan saja berfungsi secara material-biologis bagi tubuh. Cermin, secara fungsional di dalam dunia mistisme, dipakai secara metaforik-spiritual untuk menjelaskan tubuh manusia dalam keadaannya yang paling transparan. Cermin bagi dunia mistisisme adalah benda metafor untuk melihat paras manusia dalam wujud tubuh-spiritual. Bahkan di dunia mistisisme, cermin juga merupakan bagian integral bagi tubuh-spiritual sebagai wadah eksistensinya.

Jalaluddin Rumi, sufi berpengaruh dari abad 13 memiliki kisah bagaimana cermin menjadi analog dengan tubuh. Dikisahkan, dua pelukis ulung bertemu dengan maksud melukis jagad raya di atas kanvas dalam suatu perhelatan. Perhelatan bertujuan mencari pelukis yang mampu melukis dunia semirip mungkin di atas kanvas sampai akhir acara. Dengan cara berhadap-hadapan satu sama lain dan dipisahkan tirai di tengahnya, kedua pelukis dengan cekatan mulai melukis jagad raya. Namun aneh, salah satu pelukis bukannya melukis, justru malah membersihkan permukaan kanvas dengan cara mengelapnya. Begitu seterusnya hingga mengkilap.

Sampai tiba waktunya dinilai, alangkah terkejutnya pelukis yang telah bersusah payah menggambar jagad raya semirip seperti yang ia saksikan. Pasalnya, setelah tirai diangkat, pelukis yang hanya membersihkan pemukaan kanvas sedari awal sampai akhir lomba, tak disangka dari kanvasnya yang mengkilap, memantulkan kembali gambar dunia dari pelukis yang berada di hadapannya mirip tanpa ada perbedaan sedikitpun.

Kata Rumi, jiwa manusia ibarat cermin yang mampu memantulkan keindahan dan keluasan jagad persada, jika seandainya dia membersihkannya dari ikatan-ikatan dunia. Seperti pelukis yang membersihkan permukaan kanvasnya, tubuh-spiritual manusia yang bersih, dengan sendirinya akan mampu memancarkan keindahan semesta yang  ada di hadapannya. Dengan kata lain, tubuh-spiritual atau jiwa, melalui yang dikisahkan Rumi adalah cermin tempat paras manusia dipancarkan.

Jiwa yang bagai cermin tidak dengan sendirinya terbentuk. Manusia adalah mahluk yang diliputi segala macam persoalan. Pikirannya seluas masalah yang dihadapinya. Jiwanya sesempit apa yang dirasakannya. Itulah sebabnya manusia butuh refleksi, suatu usaha penjarakan terhadap problem yang dihadapi. Atau dengan kata lain, manusia harus bisa menengok ke dalam cermin dirinya, melihat tepat di hadapannya, tiada lain untuk membersihkan tubuh-spiritualnya. Tiada lain kalau bukan dengan cara permenungan.

Minus Permenungan

Kisah cermin Rumi adalah kisah agar manusia menjadikan cermin-jiwa sebagai pantulan refleksi kehidupannya. Bukan cermin-material yang hanya mampu memancarkan tubuh-material yang selama ini diutamakan sebagai poros perhatian. Namun malang, kebanyakan manusia lebih banyak memerhatikan tubuh-materialnya dengan cara memoles, menyuntik, mempermak, dan memotong agar nampak lebih estetik di hadapan cermin-cermin-material di sekitarnya.

Cermin-material, pada akhirnya menjadi benda kosmetik paling berharga demi menunjang eksistensi tubuh-material dibandingkan tubuh-spiritual. Di atas cermin-material, tubuh-material menemukan keseluruhan eksistensinya. Melalui cermin-material, tubuh-material menjadi organ tontonan yang dipresentasikan agar sempurna ketika tampil di tengah masyarakat. Juga dengan cermin-material, tubuh-material diharapkan mampu menggandakan kepercayaan dirinya.

marah

Akhir-akahir ini kemarahan begitu gampang kita temukan. Bahkan, di layar kaca kemarahan malah menjadi tontonan sehari-hari. Dan, itu semua akibat marah tidak sekadar marah. Marah yang ada di layar kaca, bukan marah sembarangan. Itu marah yang politis.

Sebenarnya marah adalah hal yang manusiawi. Semua orang bisa marah. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Bahkan Tuhan pun bisa marah. Di dunia ini hanya satu yang tak bisa marah: malaikat.

Sebab marah-marah bisa macam-macam. Mulai dari hal sekecil biji jagung sampai sebesar buah semangka. Bahkan ada sebab kemarahan yang sebesar negara ini.

Tapi siapa yang berhati malaikat. Bukankah manusia diciptakan bukan dari cahaya belaka? Apakah manusia diciptakan dari unsur yang sama dengan malaikat? Jangan sampai Anda lupa, manusia hampir sebagian zatnya diambil dari lumpur yang hina dina. Dari kegelapan tanah tanpa terang sedikit pun.

Maka dari itu, jangan heran jika manusia khilaf, bisa saja kemarahannya muncul seketika. Apalagi jika kekhilafan yang dialami tidak disadari sebelumnya. Itu celaka tiga belas. Sudah khilaf, tidak disadari pula.

Sesungguhnya, kemarahan yang disertai kekhilafan masih kalah berbahaya dibandingkan kemarahan yang politis. Pasalnya, orang yang kemarahannya menyertakan khilaf biasanya akan segera memohon maaf di belakang. Walaupun salah, kelak sesegera mungkin akan meminta maaf. Itu terjadi akibat pasca marah ia menyadari kekhilafannya.

Sementara marah politis bukan marah yang akan ada permohonan maaf di belakangnya. Ini akibat marah politis memang marah yang disengaja. Marah yang direncanakan. Makanya tidak akan ada maaf pasca kemarahan yang politis.

Karena itu marah politis tak tahu sampai kapan redanya. Bisa-bisa besok kita ikut-ikutan marah akibat terlalu lama. Malah bisa jadi tren. Sedikit-sedikit emosi. Sedikit-sedikit marah-marah.

Sebenarnya kemarahan itu tidak salah. Bahkan manusia kalau boleh perlu marah. Hanya saja, kemarahan yang dibolehkan jika memang diperlukan dalam konteks tertentu. Misalnya seorang ayah yang marah kepada anaknya karena anaknya meninggalkan shalat lima waktu.

Sang ayah berhak marah karena dia punya kewenangan. Apalagi sang ayah memang berhak marah sebagai orang tua yang ingin melihat anaknya tumbuh baik. Itupun sang ayah hanya dibolehkan marah dengan batas-batas kewajaran. Misalnya dalam rangka mendidik.

Yang bermasalah kalau kemarahan itu datangnya dari sang anak. Ini bahaya karena tidak ada kewenangan anak untuk marah. Dia tidak punya hak untuk marah. Justru dialah yang patut dimarahi karena lalai dalam rangka menjalankan kewajibannya.

Sekarang di layar kaca hampir semuanya marah-marah. Mulai dari atasan sampai bawahan marah-marah. Tidak di kantor-kantor, tapi juga di jalan raya. Anehnya marah-marah di jalan raya justru dilakukan beramai-ramai.

Sekali lagi marah itu boleh-boleh saja. Itu manusiawi. Tapi kalau marah-marah justru malah mengajak orang banyak itu yang aneh. Apalagi kalau itu dilakukan seharian penuh. Makin aneh kalau kemarahannya terjadi berhari-hari. Sungguh aneh bin ajaib.

Mungkin itu yang dimaksud marah politis tadi. Marah yang direncanakan, makanya bisa berhari-hari.

Tapi marah politis tetap saja tidak baik. Alangkah lebih baik kalau itu marah manusiawi saja. Marah politis biasanya ada maunya. Ada kepentingannya.

Jorge Luis Borges dan Sepasang Mata Buta dan Sebuah Cerita

“I have always imagined that paradise will be a kind of Library”

-Jorge Luis Borges-

Jorge Luis Borges pada akhirnya buta. Sastrawan berkebangsaan Argentina itu kehilangan penglihatan di tahun 30an di usia menjelang 60.  Konon, ketika buta, Borges tak sekalipun berhenti membaca. Dari toko buku di suatu sudut Buenos Aires, seorang pemuda senantiasa menemani membacakannya buku-buku. Dengan mata pemuda itu, Borges bisa tahu banyak hal.

Alberto Manguel datang tiga kali seminggu di rumah Borges. Sering kali dengan suara lantang, pemuda yang kelak menjadi sastrawan ini membacakan segala hal kepada Borges. Pemuda ini sangat beruntung menjadi bagian sejarah dengan menjadi “mata” bagi penulis besar yang menjadi tonggak fiksi realisme magis.

Borges sudah buta, tapi dari kegelapan matanya ia telah banyak membangun cerita. Menyusun dan mengeditnya selekas mungkin tanpa menuliskannya di atas secarik kertas. Borges barangkali tengah membangun kertas imajinatif di dalam benaknya ketika mengisahkan cerita-ceritanya. Itu juga sebabnya, magis adalah sebilah kata yang sudah dia susun sedari awal di dalam imajinasi kreatif benaknya.

Alberto Manguel boleh saja menyusupkan cerita melalui suaranya ketika membacakan buku-buku untuk Borges. Tapi, tetap saja Borges-lah yang memiliki kekuatan membangun kembali imajinasi di balik matanya yang buta. Saat itulah, imajinasinya mengambil alih kebutaan yang dialaminya. Membentuknya sesuka hati seperti yang tak bisa dilakukan mata penglihatan manusia pada umumnya.

Itu sebabnya mata hanyalah jembatan warna-warni, namun di dalam benaklah tempat peristiwa imajinatif sesungguhnya terjadi. Mata hanyalah jangkar bentuk-bentuk, tapi di dalam imajinasilah simbolisme berkembang.

Karena itu sesungguhnya Borges tidak benar-benar buta. Ia memang kehilangan penglihatannya, tapi ia –sekali lagi, tidak buta. Bahkan ia sendiri pernah menulis esai berjudul “Blindes” yang berbicara tentang kebutaan yang dialaminya. “Saya tak memperkenankan kebutaan mengintimidasi saya,” ungkap Borges sebagai ikhtiar agar terus dapat menulis.

Kebutaan, bahkan, bagi Borges disebutnya sebagai anugerah, sebagaimana ia juga menyebut bahwa Homer, penyair Yunani purba juga buta. Tapi dari kebutaan itu, justru ia memiliki sensibilitas melihat sesuatu dengan cara berbeda. Dengan kebutaan, suatu instrumen lain tercipta, dan kesempatan membangun dunia yang lain dari yang tidak banyak dipahami khalayak.

Dari sensibilitas yang peka, Borges punya visi, perspektif tempat “matanya” memandang dan membangun cerita. Dan, dengan buku-buku jemarinya yang tangkas mengalir aliran sungai cerita yang membuat banyak orang terhanyut. Sampai akhirnya siapa bisa menolak dari dua hal inilah Borges menjadi penulis dengan nama yang fenomenal.

***

Kebutaan boleh saja mencuri dan menghilangkan satu wilayah sensibilitas yang dimiliki manusia. Tapi, kebutaan juga sebaliknya mendorong indera lainnya menjadi lebih maksimal.

Konon, otak manusia akan mengkondisikan pekerjaannya jika ada satu alat inderanya yang mengalami hambatan atau gagal berfungsi. Otak akan mendukung dan memaksimalkan indera yang lain agar dapat lebih bekerja. Itu sebabnya, orang-orang yang buta, sebenarnya tidak benar-benar buta. Dia hanya berganti dan memaksimalkan alat indera yang lain.

Borges memang pada akhirnya buta, tapi seluruh indera sensibilitasnya memiliki cara yang lain dalam mencandra realitas. Juga, tentu dengan imajinasinya, realitas menjadi lebih kaya dan kompleks untuk dipahami dan dimaknai. Bagi Borges, barangkali cerita tanpa imajinasi yang kuat hanyalah istana khayangan di atas pasir.

Yang ajaib dari Borges, dia menjadi direktur perpustakaan nasional di Argentina saat mulai mengalami kebutaan. Bagaimana mungkin ini didamaikan? Ketika kegelapan menghingapi di balik sepasang matanya, sementara Borges berada di tengah-tengah buku-buku sebagai jendela persada. “Aku berbicara tentang ironi yang mempesona dari Tuhan yang memberikan aku sekaligus 800.000 buku beserta kegelapan.”

Bukankah ini suatu ironi yang mencengangkan? Dari sepasang mata yang buta, asal dari segala kegelapan bersarang, justru menjadi pangkal cerita imajinasi yang berlapis-lapis? Sungguh dari sepasang mata yang buta, Borges tak benar-benar buta.

Sungguh itu adalah berkah.

Jika Mini Market Tak Diduga-duga Menjual Buku


Oscar Wilde
Novelis, dramawan, penyair, dan cerpenis asal Irlandia. 
Dikenal dengan selera humornya yang cerdas, ia merupakan salah satu penulis drama yang paling sukses pada akhir Era Victoria di London. 
Salah satu karyanya yang banyak dibaca adalah The Picture Of Dorian Gray

SEMINGGU lalu, saya baru saja membeli buku. Di sebuah toko sebelah rumah. Kenyataannya saya tidak benar-benar ingin membeli buku. Awalnya hanya ingin membeli keperluan mandi sehari-hari. Kemudian satu buah map buat menaruh surat-surat penting.

Tapi tiba-tiba mata saya tertuju pada satu etalase khusus yang menyediakan buku. Tanpa pikir panjang saya bergegas. Melihat-lihat. Dari rak atas sampai rak bawah, juga sebaliknya.

Saat itu hal aneh terlintas di dalam benak. Rasa-rasanya, toko yang hampir mirip mini market ini kok bisa menjual buku-buku. Setahu saya, di manapun mini market atau sejenisnya, tak ada yang menjual buku-buku.

Sepintas banyak buku-buku agama dijual. Beberapa novel, juga buku motivasi. Sampai akhirnya ada satu buku membuat saya tertarik. Tanpa diduga-duga mata saya mengeja satu nama akbar di dunia sufisme: Nasruddin Khodja.

Nama Nasruddin Khodja membuat saya lebih serius menyisir deretan bermacam-macam judul buku. Mungkin saja ada nama-nama besar sekaliber tokoh yang dikenal “bahlul” itu.

Sembari meniatkan bakal membelinya, saya tersentak sebuah buku lain bersampul cokelat.

Tak disangka, di situ tertera nama-nama seperti Leon Tolstoy, Oscar Wilde, O. Henri, Guy de Maupassant, Saki (H.H. Munro), dan dua nama lagi; Charles Perrault, H.C. Andersen. Harapan saya benar.

Dan, tak memerlukan waktu lama. Sekali menghitung jumlah uang di kantung, cukup membeli dua buku yang dahsyat itu. Tentu dengan resiko bakal lebih banyak pengeluaran. Namun, apa boleh dibilang, buku ditukar dengan uang yang setimpal tak jadi soal. Malah banyak manfaatnya.

Saya mulai menduga-duga, jika mini market seperti ini banyak berdiri, bisa jadi tak pernah lagi kita mendengar  statistik minat baca rendah di negara ini. Saya percaya, minat baca yang rendah bukan karena malasnya orang-orang membaca buku, tapi karena minimnya akses mendapatkan buku.

Coba bayangkan jika kios-kios di pinggir jalan menyediakan buku-buku buat dibaca. Bengkel motor, penjual gorengan, atau warung kopi yang dijaga nenek-nenek. Dan semuanya disediakan dibaca cuma-cuma, yakin dan percaya pasti ada yang bakal membacanya.

Ketika menyadari “keanehan” di toko sebelah rumah (walaupun mungkin di kota-kota maju tidak demikian) saya berkeyakinan kalau pemilik mini market yang saya tak tahu siapa orangnya, memiliki kepedulian terhadap ilmu pengetahuan. Walaupun buku bukan item utama di mini market itu.

Kepedulian terhadap ilmu pengetahuan berarti peduli dengan peradaban. Alangkah menariknya kalau kesadaran ini diyakini semua orang. Seperti termasuk pemilik mini market di atas.

Selain mini market, di kabupaten saya hanya baru ada --kalau tidak salah ingat—dua toko buku. Selain perpustakaan daerah yang tidak menarik, juga ada satu perpustakaan komunitas. Bila dipikir-pikir, sarana yang macam demikian belum bisa berbuat apa-apa terhadap kemajuan manusia di sini.

Jika saya berkunjung ke warkop, sangat jarang saya temui koran. Ini berbanding terbalik dengan minat anak muda dengan dunia maya. Koran sudah jarang dibaca. Toh kalau ada hanya orang-orang tertentu saja. Sementara dunia maya lebih banyak jadi perhatian.

Namun sayang, segala yang dilihat di dalam dunia maya belum bisa jadi apa-apa. Barangkali ada kategori yang dimaksud dengan pembaca pasif, yakni pembaca berita yang tidak punya kemampuan menilai baik buruknya informasi. Atau pembaca negatif, yakni pembaca yang hanya melihat judul tanpa mau tahu isi beritanya. Atau mungkin saja ada pembaca bodoh yang selalu menyebar berita-berita hoax membikin bingung masyarakat.

Memang di zaman sekarang kemampuan literasi bukan saja soal seberapa jauh menyerap informasi, melainkan bagaimana seorang pembaca bisa juga menerapkan kaidah-kaidah kebenaran di dalam apa yang dibacanya. Juga akan lebih baik jika itu dilanjutkan dengan menuliskannya kembali.

Hanya dengan cara itu kemampuan literasi seseorang (masyarakat) bakal berkembang. Seperti juga, jika di samping rumahmu berdiri mini market yang menyediakan buku buat dibaca. Akan lebih menarik bukan?

pemandangan

Kalau kau melihat bebek-bebek mengecipak air selokan yang terbelah mengaliri rerumputan. Rumput yang basah diterpa sinar kuning mentari. Seorang ibu dan anaknya yang menuruni setapak pergi ke sekolah. Di atas nun jauh, rumah-rumah bersusun-susun dari bawah ke atas. Di belakangnya punggung gunung tertutupi kabut bagai kapas basah.

Suara truk-truk meraung-raung memintasi jalan berbukit. Masih tersisa suaranya bertalu bagai badai petir. Angin bergerak di antara lereng bukit dan berbalik berkelok-kelok hilang di ujung mata.

Cemara menjulang tinggi di bawah mentari meninggi. Jalan yang menapak di bawahnya tersisa tanah yang longsor. Warnanya kecokelatan, mengering disapu kilatan cahaya mentari.

Pagi yang masih diiringi kabut. Tipis melayang-layang berarak kemudian pergi di balik pepohonan. Ayam-ayam sedari tadi berkokok, bersahutan sambung menyambung dari barat sampai selatan.

Pohon jambu habis dipanjati anak-anak. Buahnya kemarin sore dibawa pergi. Anak-anak berkopiah sepulang mengaji, bergerombolan. Menginjaki pagar bambu mengangkat tangan di sela-sela ranting yang tak rimbun.

Di satu rumah kulit sapi dijemur berhari-hari. Kulitnya diikat tali berwarna hijau, ditelentangkan kuat-kuat di dinding sebelah selatan. Menghadap matahari.

Sapi kemarin sore tidak nampak di sebelah rumah. Padang rumput luas sekarang hanya diisi ayam-ayam yang berkeliaran. Berputar-putar mencari makan. Di balik rerumputan dibuat basah embun.

Matahari sudah meninggi. Pakaian yang basah digantung menyerupai bendera-bendera, berwarna warni. Ada celana berwarna merah, di sebelahnya pakaian daster berbintik cokelat, ada baju berwarna hitam, sarung kotak-kotak, baju berwarna hijau, biru, macam-macam. Seperti umbul-umbul di hari kemerdekaan.

Seorang anak muda mendorong gerobak. Seorang bapak mengais sampah. Di dekatnya tumpukan kayu balok ditutupi terpal biru. Rumah yang setengah jadi. Batu merahnya membentuk sepetak ruangan beratap seng.

Pohon kelapa berdiri mirip kuas lebat. Buahnya hijau muda. Tapi di ujung daunnya sudah berwarna sedikit abu-abu kecokelatan. Nyiur melambai-lambai ditiup dingin angin.

Pohon pisang berkumpul tumbuh bersama. Hijau seperti tersembunyi di depan bukit di belakangnya. Dua tandang pisang bergantung diterpa sinar matahari. Warnanya antara kuning kehijauan. Sementara di bawahnya daun kering cokelat pucat bergelantung lunglai setengah kokoh.

Semakin lama suara-suara semakin ramai. Suara motor menderu berkejaran. Sesekali truk-truk datang membalas dengan suara yang tak kalah nyaring. Di lereng-lereng bebukitan memecah lorong dari bidang tanah kemerahan.

Tak kalah suara burung-burung bekicau. Tanpa terlihat suaranya balas membalas, mengisi jedah suara-suara mesin yang berputar. Kadang sesekali muncul bertebangan melewati segaris lurus di bawah atap masjid. Melompati satu tali ke temali lainnya.

Kiat Menjadi Aktivis Setengah Hati

Jika kamu mahasiswa atau pernah menjadi mahasiswa, “aktivis” merupakan kata yang sedap-sedap geli di telinga. Kedengarannya bikin keder. Aktivis jika dilihat, bikin orang jadi was-was. Perkataannya banyak mengandung ilmu-ilmu, tindakannya, masya Allah, dahsyat betul. Ucapannya kritis, tapi kadang tidak untuk sikapnya. Nah, ini yang bikin geli.

Di kampus, aktivis tidak seperti kutukan Ibunda Malin Kundang, bisa jadi batu sekedipan mata. Jika ditelusuri, aktivis hakikatnya rangkaian proses panjang mahasiswa unyu-unyu menjadi mahasiswa serba tanggung. Mulai dari nilai akademik pas-pasan sampai urusan percintaan yang ditinggal selingkuhan. Semuanya bagai kue cucur dibelah dua. Setengah-setengah.

Aktivis mahasiswa tidak semuanya idealis. Ada juga yang sok-sok jadi pahlawan. Kadang mulutnya serba hakiki, tapi di kantor-kantor pemerintahan, hatinya berubah hello kitty. Kadang di ruang kuliah dosen jadi bulan-bulanan teori yang njelimet-njelimet, namun sayang di jalan raya tahunya hanya minta-minta sumbangan.

Bisa dibilang di zaman sekarang aktivis tulen bin idealis hanya bisa dihitung jari. Ibaratnya bagai mencari perawan di rumah-rumah bordir. Dapat satu hilang seribu orang.

Baiklah. Jika kamu sekarang masih lalu-lalang di koridor kampus, pulang pergi dari kos-kosan menuju rumah dosen mengurus nilai susulan. Masih dipusingkan tugas tanpa tahu apa artinya? Berikut sejarah singkat bagaimana rangkaian proses mahasiswa yang baru lepas masa puber bisa menjadi aktivis mahasiswa harapan bapak-bapak di parlemen itu.

Pertama, kampus adalah tempat berlangsungnya diskursus. Segala macam cabang keilmuan diolah di dalamnya. Mulai dari ilmu copet hingga ilmu teologi. Semuanya ada. Nah, bagai lampu neon buat laron-laron di musim hujan, dinamika keilmuan macam demikian bikin mahasiswa-mahasiswa haus ilmu langsung menemukan sumber mata airnya. Bagai oase di tengah gurun sahara. Mereka berkumpul dan bepikir. Mereka kemudian berdiskusi dengan seorang super senior sebagai pusat diskusinya.

Aktivis, biasanya muncul dari proses seperti ini. Dia sejatinya bukan orang yang paling getol mencari ilmu. Sebenarnya dia ikut berdiskusi hanya karena ingin menemani sahabatnya yang memang senang ikut diskusi kelompok. Hitung-hitung karena tidak ada kerjaan sekalian dia ikut nimbrung. Mumpung ada rokok gratis.

Kedua, semakin dia menemani sahabatnya mengikuti kajian, sang calon aktivis ini mulai mengenal istilah-istilah asing. Suatu waktu dia mendengar nama-nama asing yang sering disebut-sebut melebihi dari nama presidennya sendiri. Bahkan nama yang kerap disebut bikin dosen bingung tujuh keliling. Tak tahu dari bangsa mana nama-nama yang seringkali disebutnya.

Semakin lama banyak forum diskusi yang dia jumpai. Makin tahu pula sang calon aktivis mengetahui kampus bukan sekadar tempat kuliah belaka. Ternyata di kampus, isi kepala bukan hak birokrasi semata, namun juga tugas diri pribadi untuk mau membuatnya makin cemerlang.

Setelah itu di waktu lain, kalau lagi kongkow dengan teman-temannya, terutama ketika dengan cewek-cewek kece saat menunggu antrian di studio film, dari mulutnya sambil ngobrol diselipkan istilah ilmiah dari buku-buku yang tak pernah ditemui dosen yang bikin jidat berkerut. Semula, ngerumpi asyik masyuk soal artis-artis yang ditinggal pergi idola, tetiba berubah jadi khotbah kuliah enam es ka es.

Dari seringnya calon aktivis ikut diskusi, dia mulai mengenal orang-orang “besar” yang sering nongkrong di kampusnya. Seringkali kalau lagi asyik bolos kuliah, dia malah ditemukan di kantin bersama orang-orang “besar” pura-pura berdiskusi sambil menyeruput kopi gratis. Tentu kali ini masih ikut-ikutan.

Di kantin, akibat sering ngopi bersama senior-senior aktivis, pengetahuan sang calon aktivis mulai terbuka. Wawasannya melebar, pengetahuannya sedikit demi sedikit semakin dalam. Dia mulai tahu kalau dunia ternyata tidak seperti yang dia saksikan.

Tak disangka, dunia tempat dia hidup, atau bahkan kampus tempat dia belajar, tanpa disadarinya penuh dengan benang kusut. Segalanya dibuat berdasarkan kepentingan segolongan orang atau apalah-apalah. Yang dia tahu dunia sekarang harus diselamatkan dari entah apa dan siapa. Pokoknya harus diselamatkan lahir batin.