---catatan singkat atas Seni
Memahaminya F. Budi Hardiman
Manusia mahluk simbolik. Begitu
pendakuan scholar kebudayaan. Bahkan Clifford Geertz, antropolog abad 20
menyatakan, manusia adalah mahluk yang tidak lepas dari jebakan simbol. Lebih
radikal lagi, Gertz mengatakan manusia dalam kehidupannya senantiasa dijerat
makna-makna.
Itu artinya secara sosiologis
interaksi manusia tidak terlepas dari cara mereka menangkap makna. Bagaimana
diartikan dan diaplikasikan melalui hubungan tingkah laku antara sesama. Dengan
kata lain, interaksi manusia hanya mampu dimungkinkan jika diperantai makna.
Tanpa makna, hampir semua hubungan manusia dalam masyarakat mengalami defisit
eksistensi dan tanpa arti.
Makna sebagai satuan pengikat yang
memperantai komunikasi antar individu, komunitas, bangsa, agama, ras,
kebudayaan dlsb., sangat rentan mengalami bias yang mendatangkan
kesalahpemahaman. Disebabkan bentuk, tingkatan, situasi, tradisi, tempat,
waktu, dan latar belakang pengetahuan, pemahaman begitu krusial dipertahankan
akibat keadaan yang tidak sepadan. Itulah sebabnya, “memahami” sebagai konsep
ideal dalam praktik keseharian begitu penting dibutuhkan.
Karena itu, melalui tulisan ini,
memahami sebagai diskursus ataupun wacana akan mengambil percik pikiran
Schleiermacher tentang hermeneutika demi kebutuhan membangun cara pandang baru
dalam memahami kehidupan beserta dinamikanya.
Apa itu hermeneutika?
Secara etimologik, hermeneutika
terkait dengan Hermes, tokoh mitologi Yunani yang bertindak sebagai utusan
dewa-dewa dalam menyampaikan pesan ilahi kepada manusia. Sebagai perantara
pesan bahasa dewa-dewa kepada alam berpikir manusia, Hermes memiliki keahlian
memahami bahasa dewa-dewa dan kemudian menerjemahkan maksud yang diinginkan
dewa-dewa dengan ungkapan bahasa manusia.
Kemampuan memahami yang dimiliki
Hermes dinyatakan F.Budi Hardiman memiliki kerumitan tersendiri. Pertama, pihak
yang menyampaikan pesan harus memahami pesan yang dibawanya. Kedua, agar maksud
pesan dapat disampaikan, sang pembawa pesan harus membuat artikulasi yang
sesuai dengan maksud pemberi pesan. Kesenjangan yang terbentang antara pemberi
pesan, penyampai pesan, dan penerima pesan inilah yang nantinya menjadi medan
kerja hermeneutika.
Sementara apabila diasalkan kepada
arti Yunaninya, hermenueuein, hermeneutika berarti “menerjemahkan” atau
“bertindak sebagai penafsir”. Di dalam kegiatan yang bersinggungan dengan teks,
hermeneutika berarti kegiatan mengungkap dan menyingkap makna sebuah teks.
Sementara yang dipahami teks di sini adalah jejaring makna atau struktur
simbol-simbol yang tertuang entah dalam bentuk teks ataupun bentuk lainnya.
Dengan kata lain, sebagai sebuah
jejaring makna, teks juga dapat diartikan dalam bentuk sikap, perilaku,
tindakan, norma, benda kebudayaan, hukum, ideologi, dlsb. Sebagai sebuah makna yang ditangkap manusia,
semua yang disebutkan sebelumnya, bahkan kebudayaan, agama, politik,
masyarakat, dan negara adalah teks itu sendiri.
Biografi singkat
Pendakuan Schleiermacher sebagai
filsuf masih agak rentan mengingat tradisi pemikirannya yang dibangun dalam
tradisi teologi kristiani. F. Budi Hardiman dalam suatu ceramahnya bahkan
menyebut tokoh ini sebagai teolog dibanding filsuf. Tapi, mengingat kiprahnya
membangun hermeneutika lepas dari tradisi eksegesis dan filologi, dan
membuatnya menjadi pendekatan yang lebih univesal, belakangan akan banyak
mempengaruhi filsuf-filsuf abad 20.
Schleiermacher adalah anak seorang pendeta tentara di Silesia Utara.
Kedua orang kakeknya juga pendeta. Ayahnya yang memiliki kecenderungan pietis
(gerakan yang menekankan doktrin alkitabiah, kesalehan pribadi, dan kehidupan
Kristen yang berkobar-kobar) yang kuat, mengirimnya ke seminar Moravian di
Barby dengan harapan supaya segala kecenderungan ini akan bertambah berkembang
di dalam diri anaknya.
Schleiermacher disebutkan tidak
pernah menulis suatu traktat sistematik tentang hermeneutika. Tapi melalui dua
ceramah di depan Akademi Prussia dan catatan-catatan pinggirnya, Schleiermacher
telah meletakkan dasar-dasar hermeneutika modern.
Perlu digarisbawahi, sampai saat
ini belum ada teks terjemahan Jerman tentang karya Platon sebaik hasil
terjemahan Schleiermacher. Melalui aktifitas penerjemahan ini, Schleiermacher
banyak terinspirasi pemikiran-pemikiran Platon. Melalui konteks ini pula,
hermeneutika yang dikembangkannya sedikit banyak dipengaruhi cara berpikir
Platonian. Di satu sisi, idealisme Jerman terutama melalui pikiran-pikiran
Schelling, Fitche, dan Hegel, juga memberikan warna tertentu dalam pemikiran
Schleiermacher.
Schleiermacher mengambil studi
teologi, filsafat, dan filologi di Halle (kemudian menjadi pusat pemikiran
radikal di Jerman) dan pertama kalinya membaca filsafat kritis Kant.
Schleiermacher juga bergabung di perkumpulan para penulis dan pujangga Romantik
ketika sekembalinya dari Berlin. Disinyalir melalui kelompok ini, pandangan
romantik Schleiermacher semakin tajam dan banyak menolak ide-ide pencerahan
yang menekankan rasio jauh lebih utama dari misteri, imajinasi, serta intuisi.
Melalui gerakan romantik, minat
Schleiermacher mulai memperhatikan hermeneutika sebagai suatu kajian. Di bawah
kerinduan atas ajaran kebijaksanaan kuno dalam tradisi mitos dan agama,
hermeneutika Schleiermacher di satu sisi adalah suatu kegiatan penafsiran teks
untuk menemukan “isi” atau “inti sari” yang bersifat nonrasional/psikologistis.
Hermeneutika: seni memahami
Situasi mendasar hermeneutika
Schleiermacher bukan pemahaman, melainkan kesalahpahaman. Artinya, dalam
situasi yang majemuk dan beragam kebudayaan, tradisi, cara hidup, pandangan
dunia, sistem moral dlsb., adalah medan hermeneutika Schleiermacher. Bahkan,
kesalahpamahan yang lumrah terjadi bukan saja ditengarai akibat perbedaan
konteks waktu dan tempat, melainkan prasangka yang lebih mementingkan
perspektif pribadi dibanding memahami kawan bicara.
Di situasi itu dibutuhkan seni
memahami. Seni di sini diandaikan sebagai suatu keahlian khusus, kemahiran,
atau kepiawaian sebagaimana orang-orang yang memiliki kualitas dan “kelincahan”
tertentu dalam satu bidang.
F. Budi Hardiman menuliskan dua hal
mengapa hermeneutika disebut seni memahami. Pertama, karena dasar situasi yang
mengalami kesenjangan kepahaman sehingga membutuhkan kecakapan khusus untuk
memahami. Kedua, di situasi itu, keadaan
membangun pemahaman tidak dialami secara spontan, melainkan perlu menerapakan
kaidah-kaidah tertentu.
Rekonsepsi: hermeneutika universal
Schleiermacher meyakini
prinsip-prinsip penafsiran dapat diperluas di luar dari teks-teks yang
disakralkan. Sejauh bahasa memiliki tata aturan gramatik yang memungkinkan penarikan
makna atasnya, pembedaan teks suci dan tidak suci tidak lagi relevan bagi
Schleiermacher.
Berbeda dari prinsip hermeneutika
filologi yang concern terhadap teks-teks kuno, dan eksegesis biblikal yang
mendasari penafsiran hanya berlaku di dalam teks-teks sakral, Schleiermacher
meradikalkan kegiatan penafsiran ke dalam teks-teks yang jauh lebih umum.
Imbas prinsip hermeneutika yang
melihat adanya hukum gramatikal yang tidak banyak berbeda dari semua teks,
Schleiermacher menekankan arah baru kegiatan penafsiran jauh lebih luas dari
para pendahulunya. F. Budi Hardiman menyebutnya hermeneutika universal.
Sebelumnya kegiatan hermeneutis
dalam teks-teks kuno maupun dalam kegiatan eksegesis hanya bertujuan untuk
menemukan makna mendasar yang menjadi latar belakang suatu kebudayaan
(kesadaran kolektif, roh, volksgeits, seitgeits). Dilatari semangat idealistik
demikian, kegiatan hermeneutik juga berusaha menjangkau relasi pikiran
subjektif yang ditunjukkan dari ungkapan, pikiran, minat, pandangan dunia dengan
akal budi bersama yang dipadatkan dalam akal universal. Kelak Schleiermacher
mengembangkan model ini melalui prinsip “lingkaran hermeneutis”.
Cara di atas juga dilengkapi dengan
menempatkan kegiatan mengintrepetasi sebagai tindakan dialogis antara penafsir
dengan penulis teks. Bentuk komunikasi yang diandaikan melalui kegiatan membaca
teks dan dengan “membayangkan” alam pikiran penulisnya, disebutkan sebagai
proses kreatif yang tidak sekadar menganalisis kata.
Empati
Salah satu konsep inti dari
hermeneutika Schleiermacher adalah divinatory, yakni kemampuan subjektif
seseorang untuk menyeberangi dan masuk ke dalam alam pemikir si penulis teks.
Konsep yang dibilangkan bercorak psikologistik ini mengandaikan kegiatan
menafsirkan berarti masuk ke dimensi pikiran, batin, dan kejiwaan untuk
sekaligus menemukan latar belakang apa yang mendasari si penulis teks
menuliskan isi pikirannya.
Dalam situasi ini, berempati adalah
model pengoperasian divinatory untuk mau masuk ke dalam cakrawala pikiran dan
batin si penulis teks. Kegiatan mengintrepetasi teks melalui alam berpikir
penulisnya ini lebih menekankan aspek-aspek di luar teks akibat lebih banyak
menyorot sisi subjektif penulisnya.
Divinatory ini sepadan dengan
pengertian intuisi yang terinspirasi dari Platon. Dengan kata lain, ketika
aktifitas ini diterapkan dalam hermeneutika Schleiermacher, itu berarti
menafsirkan adalah mengabstraksi (meramal, membayangkan) kembali latar belakang
penulis teks entah itu situasi apa, pemikiran apa, dalam momen apa, melalui
cara apa, dlsb., ketika penulis menurunkan isi pikirannya menjadi suatu teks.
Hermeneutika Schleiermacher menyebut cara ini sebagai empati psikologis.
Tapi, empati psikologis juga harus
dijalankan bersamaan dengan interpretasi gramatikal sebagai satu kesatuan
kegiatan hermeneutis. Tanpa itu, maka kegiatan menafsirkan hanya akan bertolak
belaka kepada “dunia pikiran penulisnya” tanpa memerhatikan teks penulis yang
bagi Schleiermacher adalah dua hal yang setara. Artinya, tanpa interpretasi
gramatikal (objektif), intrepetasi psikologis tidak akan memberikan pandangan
yang bisa dibilang utuh.
Dengan dua model ini, maka
pemahaman bagi Schleiermacher adalah menghadirkan kembali dunia mental penulis
teks. F. Budi Hardiman menyebutnya sebagai suatu usaha merekonstruksi kembali
pegalaman mental pengarang. Dengan kata lain ada transposisi, yakni penafsir
demi pemahaman, mesti menempatkan dirinya seolah-olah menjadi sang pengarang
dalam melihat dan menuliskan teksnya dalam pengalaman tertentu yang khas.
Lingkaran hermeneutis
“Kita memahami bahasa lewat
pemakainya, tetapi pemakai bahasa dapat dipahami lewat bahasa yang dipakainya”.
Pendakuan ini dipakai Hardiman untuk memutuskan lingkaran setan yang mengakui
isi pikiran pengarang jauh lebih utama daripada teksnya, atau sebaliknya, teks
jauh lebih penting dari isi pikiran pengarang ketika menuliskan karyanya.
Schleiermacher menekankan dua model
interpretasi (gramatikal dan psikologis) dalam keadaan yang saling mengandaikan
dan mengisi. Maksudnya, tidak ada hubungan kausalistik yang saling menegasi,
dua-duanya setara dan utama. Kesetaraan antara dua model inilah yang disebut
lingkaran hermeneutis (hermeneutischer zirkel).
Dalam konteks interpretasi teks,
lingkaran hermeneutika bekerja dengan pemahaman atas pengarang melalui teksnya
(gramatikal), dan sekaligus memahami teks melalui kepribadian pengarangnya
(psikologis). Inilah yang sebelumnya
disebut hubungan café dialektika, yakni untuk memahami sebagian melalui
keseluruhan, dan juga mengetahui keseluruhan dari bagian-bagiannya.
Melawan literalisme
Literalisme adalah pemahaman
terhadap teks yang hanya didasarkan atas makna harfiah belaka. Dalam keyakinan
agama-agama, selain sebab lainnya, literalisme banyak bersinggungan langsung
dengan aksi-aksi kekerasan. Bahkan aksi kekerasan yang diistilahkan dengan
ekstremisme agama, disebabkan akibat cara pandang literalis yang hanya mengakui
penafsiran dari “permukaan” teks belaka.
Imbas cara memahami teks dari
“permukaan”, literalisme dengan sendirinya menolak berbagai penafsiran. Secara
pemaknaan, literalisme hanya mengakui satu pengertian tunggal dari apa yang
sudah dikatakan teks secara harfiah. Maka, konsekuensinya terhadap kebenaran,
literalisme hanya mengakui satu penafsiran tunggal selain dari
kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lainnya.
F. Budi Hardiman melalui Seni
Memahaminya menyatakan model hermeneutika Schleiermacher adalah cara memahami
teks yang “melawan” literalisme. Membaca teks apa adanya seperti ditemukan
dalam literalisme bukanlah metode hermeneutika Schleiermacher yang menawarkan
cara membaca teks (kalimat) di antara teks (kalimat). Strategi pemahaman di
antara teks ini memungkinkan untuk masuk ke dalam dunia penulis dan konteks
kehidupannya yang secara tersembunyi tidak dinyatakan langsung di dalam teks
yang ada.
Itu artinya sebuah teks tidak dapat
dengan sendirinya menjelaskan dirinya. Di sana pemahaman mesti menangkap
“sesuatu” yang lain di luar teks, yakni bangunan mental pengarang (serta
konteks kehidupannya) dan juga teks-teks berkaitan, yang membentuk pengertian
jauh lebih luas.
Dengan pendekatan interpretasi
psikologis dan interpretasi gramatikal, memungkinkan pemahaman menangkap
keluasan konteks dari bagaimana teks dibaca sebagai suatu anyaman yang saling
berkaitan. Juga, melalui prinsip “keseluruhan dan sebagian” teks akhirnya
menjadi dialektis yang berarti membuka pengertian-pengertian jauh lebih
variatif daripada makna teks apa adanya
---
Sebagian besar ide tulisan ini
diambil dari buku Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman, termasuk kutipan di
dalamnya. Juga pada bagian yang menjelaskan biografi, penulis mengambilnya dari
www.biokristi.sabda.org
---
Disampaikan pada program diskusi
Membaca Cafe Dialektika 21 Maret 2017