Jurgen Habermas membedakan dua jenis pemahaman, yakni pemahaman yang normal dan pemahaman abnormal. Pemahaman yang normal menurut Habermas adalah jenis pengetahuan saling mengerti antara dua orang yang berkomunikasi. Kesalingpengertian ini bisa dimungkinkan lantaran berasal dari titik berangkat yang sama berupa bahasa yang sama-sama saling dipahami sebagai medium komunikasinya.
Contoh misalnya, dua warga Indonesia yang setiap hari
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Dua warga ini tidak bakal menemukan
kesulitan saat menyatakan
pikirannya dan menangkap maksud
percakapan lantaran sama-sama mengerti setiap
arti dari bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Bagi Habermas, dua warga Indonesia ini kecil kemungkinan
terjerumus ke dalam kesalahpahaman. Hal ini akibat sejauh dua warga ini “sadar”
dan “memahami” sendiri “bahasa” yang dia utarakan, maka “kesalahpahaman” akan
terhidarkan. (Habermas juga mengingatkan dalam kasus dua orang yang saling
memahami dengan perantara dua bahasa yang berbeda bukan merupakan soal akibat
pengertian yang ada dapat diartikan melalui penerjamahan.)
Masalah akan muncul jika ada jenis pemahaman yang berangkat
dari bahasa dan tindakan yang tidak diketahui penutur itu sendiri. Dalam hal
ini pengguna bahasa (penafsir) akan menghadapi kebuntuan akibat tidak mengenali
sendiri bahasa dan tindakan yang digunakannya.
Berdasarkan penelusuran Habermas, ada kondisi-kondisi
tertentu manusia yang mengalami pengetahuan yang abnormal. Pertama adalah kasus
psikopatologis, atau gangguan kejiwaan. Seperti umumnya orang mengalami
gangguan jiwa, sang penutur adalah orang yang tidak mengerti dan memahami
bahasa dan tindakan yang ditunjukkannya. Akibat terjadi gangguan di dalam
kesadarannya, proses saling memahami dengan sendirinya menjadi tidak mungkin.
Dalam skala yang lebih luas jauh lebih rumit karena ditemukan di dalam
kondisi ketika bukan lagi individu, melainkan kelompok yang kehilangan
kesadaran. Hal ini dijelaskan Habermas terkait pemahaman masyarakat yang salah
kaprah akibat indoktrinasi. Dalam kasus ini, pemahaman akan mengalami gangguan
akibat sang penutur dan lawan bicara
tidak menyadari efek indoktrinasi yang terjadi dalam proses komunikasi.
Yang lebih kompleks dikatakan Habermas walaupun sang penutur
dan penafsir sama-sama mengetahui bahasa dan tindakannya, namun mereka tidak
menyadari adanya gangguan bersifat internal yang terjadi di dalam kesadaran
mereka. Melalui ungkapan lain, ini seperti efek dari kesadaran palsu yang
dikemukakan Marx, bahwa orang yang mengalaminya kehilangan kontak dari kenyataan
yang sebenarnya akibat proses indoktrinasi.
Bila argumentasi di atas ditelusuri dalam kehidupan
sehari-hari, betapa banyaknya peluang jaringan kekuasaan mengintrodusir jenis
pengetahuan yang berpotensi menjadi pengetahuan abnormal.
Ambil kasus di negara sendiri berkaitan dengan peristiwa 30
September. Walaupun kedengarannya klasik, contoh ini paling baik menjelaskan
bagaimana kekuasaan memutus hubungan pemahaman masyarakat tentang sejarah ril
yang terjadi dengan pengetahuan yang sesuai format kekuasaan. Dengan kata lain,
pengetahuan yang diciptakan kekuasaan melalui indoktrinasi menjauhkan
masyarakat dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih terpercaya berkaitan
dengan peristiwa 30 September.
Dalam perspektif cultural studies, iklan yang beroperasi
melalui bahasa dan simbol merupakan contoh yang juga dapat diajukan di sini. Melalui
elemen bahasa dan simbol, hampir semua iklan membentuk cakrawala pemahaman yang
tidak sesuai kenyataan. Analisis Jeang Baudrillard tentang simuklarum adalah
model penjelasan yang dapat menerangkan betapa iklan dapat juga membentuk
pemahaman abnormal sebagaimana pendakuan Habermas.
Kata “santri” dan “ulama” dalam konstelasi pilpres
belakangan ini yang menguat dan menyedot perhatian publik merupakan kasus lain
dan unik lantaran sifat dan prosesnya dapat dikembalikan kepada analisis
Habermas di atas.
Kata “santri” dan “ulama” dalam ruang kebudayaan masyarakat
merupakan terma kultural yang mengakar kuat dan dalam sebagai kata yang secara
semantik berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun, dalam kontestasi politik
tanah air, belakangan dua kata ini menjadi lebih politis dan justru menciptakan
pemahaman baru yang bermakna lain dari makna asalnya.
Perubahan dari makna asal menjadi makna yang diprakarsai
jaringan kepentingan politik pada akhirnya menjadi pemahaman yang ditangkap
masyarakat. Masalah semakin menjadi runyam karena pemahaman yang sudah
terlanjur terbentuk di sosialisasikan berulang-ulang melalui jaringan media
sosial secara massif.
Akhirnya pemahaman masyarakat di seputar makna “santri” dan “ulama”
menjadi terdistorsi atau bahkan berlainan dari maknanya yang sebenarnya akibat terjadi
pemutusan secara semantik melalui perulangan makna baru yang diciptakan melalui
perangkat media sosial.
Diputusnya pemahaman masyarakat dari pengetahuan asli
menjadi pengetahuan abnormal diistilahkan Habermas sebagai “komunikasi yang
terdistorsi secara sistematis.”
Frase “secara sistematis” di sini merujuk pada pengertian
ketika terjadinya isolasi informasi sang pelaku dari akal sehatnya, sehingga
pengetahuan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akal sehat itu
sendiri.
Dalam kasus-kasus di atas, terutama dalam kasus kelompok
yang terindoktrinasi terjadi bukan tanpa permasalahan setelahnya, melainkan
akan berdampak sampai kepada ranah sosial yang lebih luas, semisal terhapusnya
ingatan masyarakat kepada sejarah asli negaranya.