Hikayat Jalan Raya


Di kotakota besar, jalan raya adalah tempat perebutan dan penaklukan. Di jalan raya, orangorang dari beragam profesi berjibaku; polisi, pengendara kendaraan, anak jalanan, penjual koran, pengamen, supir angkutan, pedagang asongan, pengedar brosur, para demonstran, pejalan kaki dsb., menggunakan jalan raya dengan beragam kepentingan. 

Polisi misalnya, sebagai representasi hukum harus hadir di jalan raya dengan maksud mengatur ketertiban umum. Para pengamen memanfaatkan setiap perempatan trafic light untuk mendulang  untung. Para pengendara apalagi, adalah orangorang yang paling berhasrat menguasai jalan dengan dalih efisiensi waktu.

Begitu juga mahasiswamahasiswa demonstran, memandang jalan raya sebagai ruang publik yang paling mungkin digunakan di dalam sistem demokrasi yang mandeg. Singkatnya, jalan raya adalah ruang publik tempat kontestasi dari beragam kepentingan dan perebutan berlangsung.


Sejarah jalan raya barangkali sepurba peradaban manusia. Semenjak dahulu manusia senantiasa mengkondisikan perkembangan hidupnya dengan alam. Di peradaban Mesir tua misalnya, jalan selalu dibangun seiring dengan keberadaan daerahdaerah subur semisal sungai, rawarawa dan ladangladang pertanian.  

Bahkan kehidupan kota akhirnya harus disesuaikan dengan keberadaan daerahdaerah subur sebagai tempat penghidupan. Dengan hidup yang demikian, jalan dibangun untuk mengakses sumbersumber alam yang menunjang kebutuhan dasar hidup manusia.


Tetapi ketika peradabanperadaban besar menemukan tempattempat baru untuk ditaklukkan, jalan akhirnya dirumuskan berdasarkan logika militer. 

Jika sebelumnya di peradabanperadaban yang subur tanahnya menyesuaikan jalan raya dengan hewanhewan pengangkut bahanbahan makanan, di peradaban yang memandang perang sebagai sarana penaklukkan, menandai jalan raya sebagai akses transportasi alatalat perang. Tujuannya tiada lain memudahkan sarana militer dengan efisien dapat dipindahkan dari pusatpusat pelatihan menuju medan perang.  

Seperti yang diperlihatkan memang, sejak dulu jalan raya selalu ditandai dengan dua hal; sumbersumber alam dan perang.

Di abad modern, sejarah transportasi adalah sejarah modernisasi itu sendiri, di mana perang dan pemanfaatan sumbersumber alam malangnya adalah cara modernisasi bekerja.

Di tanah air, bila kita ingin menandai permulaan modernisasi, justru ditandai dengan pembangunan jalan rel kereta api.  Dengan rel kereta api, modernisasi punya maksud kolonialisasi.

Dari pembangunan jalur rel kereta api  Semarang-Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta, daerah perkebunan yang subur) yang dilaksanakan oleh Nederlandsch Indisch Spoorwegmaatschappij (NIS) misalnya, dibangun untuk mengangkut hasilhasil bumi berupa gula, kopi dan nila yang dikerjakan melalui sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel).

Kita juga mengenal jalan raya pos (de Groothe Postweg) yang merupakan proyek penaklukkan di Hindia-Belanda. Di mulai dari Anyer hingga ujung Jawa, Banyuwangi, adalah peninggalan bagaimana jalan raya yang dibangun selain alasan perdagangan, juga digunakan sebagai strategi militer Hindia-Belanda untuk mengontrol pergerakan pribumipribumi melalui patrolipatroli militer.

Selain itu melalui jalan raya pos, Hindia Belanda menjalankan strateginya untuk mengontrol ruang pergerakan pribumi dengan penggunaan akses informasi yang cepat.


Jalan raya sebagai ruang penaklukan memang ditandai dengan kekuasaan yang intim di dalamnya.

Sebagai ruang publik, kekuasaan atas jalan raya bisa muncul dengan beragam bentuk sesuai situasi yang menyertainya. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, sejarah jalan raya adalah medan penaklukan yang merupakan bagian dari modernisasi. 

Melalui jalan raya, modernisasi bekerja dengan cepat untuk mengakses tempattempat terpencil agar mudah ditaklukkan. Urbanisasi sebagai bagian dari modernisasi dalam hal, ini adalah nama lain yang kerap kali menjadi dalil untuk menundukkan suatu kawasan.


Sebab itulah jalan raya senantiasa diperebutkan. Seperti yang dimadahkan filsuf kiri Prancis, Henri Lefevbre, bahwa ruang selalu diperebutkan untuk memungkinkan suatu relasi sosial dapat diberlangsungkan. Dari analisisnya tentang ruang, jalan raya dapat kita pahami sebagai medan yang senantiasa direbut dan didominasi. Dengan dasar itu, di era yang didominasi kapital, jalan raya menjadi bagian integral untuk memberlangsungkan praktikpraktik pertukaran ekonomi.

Itulah mengapa, hampir disepanjang jalan raya, dengan urbanisasi selalu berdiri pusatpusat keramaian, perbelanjaan, hiburan, kebugaran dan diskotik sebagai arena transaksional.


Setua manusia, jalan raya juga adalah cermin sebuah kebudayaan. Hampir setiap waktu kita tak pernah lepas dari jalan raya. Sebab itulah banyak waktu kita habiskan di jalan raya. Di jalan raya hasrat kekuasaan tidak saja ditunjukkan dari sejarah yang berlangsung, melainkan juga adalah kita yang terlibat langsung di sana.

Di jalan raya, hasrat kekuasaan misalnya, ditampilkan dari betapa seringnya melanggar lampu merah. Para mahasiswa yang mentransformasikan kekuasaannya melalui aksi demonstrasi. Atau politisi yang tak tahu malu memasang baliho besarbesar di tengahtengah jalan. Dan yang paling memuakkan adalah betapa sesak dan semrawutnya jalan raya ketika macet; betulbetul cermin dari budaya kita.


Akhirnya di jalan raya, orangorang dari beragam kepentingan tumpah ruah. Dan memang barangkali di jalan raya hanya ada dua hal: perebutan dan kekuasaan.


perempuanperempuan bergincu merah

Apa yang paling mencolok dari cara berpenampilan perempuanperempuan generasi dulu dengan perempuan masa sekarang? Tentu banyak hal, tapi yang paling mencolok adalah bibir dengan gincu merah.

Itu adalah mode, tapi barangkali mode juga bisa berarti suatu yang politis.

Seperti yang dibilangkan teoriteori kebudayaan, tubuh selalu menjadi arena kekuasaan. Tubuh yang semula bagian pribadi yang intim, akhirnya harus direnggut dari kekuasaan sang aku. Tubuh menjadi iconik, tubuh menjadi pasar, di mana di situ yang ideologis bekerja untuk mengontrol dan mendominasi. Di saat itulah sesuatu yang politis bekerja.

Foucault misalnya, mengurai selaput tipis yang implisit antara dominasi pengetahuan dan kekuasaan, bahwa di mana setiap wacana yang menjadi diskursus selalu terselubung kekuasaan di dalamnya. Maksudnya, tubuh yang didominasi tak dapat bermula dari pewacanaan tentang tubuh. Artinya, tubuh yang menjadi dominasi kekuasaan selalu sebelumnya ditopang perangkat pengetahuan yang menjadi acuan bagi suatu kepentingan. Di sini, mengapa tubuh menjadi ihwal yang penting, sebab hampir di sepanjang waktu, tubuh senantiasa dinarasikan dalam konteksnya yang ideal.

Dan, tubuh ideal juga menjadi iconik adalah tubuhtubuh yang diperagakan dalam media massa. Di media massa, kita bisa takjub bagaimana tubuh dibentuk untuk mencapai bentuk yang ideal, namun sudah merupakan hal yang patut dicurigai bahwa yang ideal di masa sekarang sesungguhnya adalah sesuatu yang sarat kepentingan.

Mary Douglas adalah orang yang membagi tubuh menjadi dua anasir. Pertama tubuh sebagai individual body, dan yang kedua adalah the body politic. Dari pendakuannya, tubuh adalah lantai kaca yang mendasari sebuah kebudayaan tampak di atasnya, yakni pada anasir yang ke dua, tubuh sebagai the body politic adalah tubuh yang dibentuk oleh kebudayaannya. Artinya, tubuh dalam konstelasi media massa, adalah tubuh yang disesuaikan dengan kategorikategori kebudayaan massa itu sendiri.

Tubuh sebagai The body politic itulah yang mengandung visualisasi tentang tubuh yang ideal. Dan tubuh dalam konteks ini adalah tubuh yang harus mengcover tigal kategori sosial; kemudaan, kecantikan, dan kebugaran.

Itulah mengapa tubuh  mesti dirawat, dijaga dan dipercantik. Perempuanperempuan muda punya semacam keharusan moral untuk bisa memperagakan ketiga kategori itu, di mana tubuh harus dikemas dalam citra visual yang menarik. Di mana salah satunya adalah bibir dengan gincu merah itu, yang menjadi penanda kemudaan dan kecantikan yang sebenarnya bisa jadi adalah sesuatu yang politis.

Warna merah secara simbolik memang bisa menandai suatu perlawanan terhadap kekuasaan tertentu, namun bibir dengan gincu merah justru adalah tanda yang lain.

Dewasa sekarang, bibir dengan gincu merah adalah social code untuk mendefenisikan ideal type tentang kecantikan. Perempuanperempuan muda, selain dengan tatanan pikirannya yang telah terlucuti oleh media massa, juga mengalami “pendisiplinan” tanpa sadar melalui wacana kecantikan yang dipolitisir. Di sini kecantikan adalah sesuatu yang bermakna konvensi, sehingga karena itulah ia politis, sesuatu yang diimajinasikan menurut kepentingan tertentu.

Lewat imajinasi kecantikan itulah, perempuanperempuan muda mengambil bentuk tubuh sosialnya, yakni tubuh yang dipresentasikan secara simbolik untuk tampil ideal. Di mana, dari itu kita barangkali menyadari bahwa gincu tebal yang berwarna merah adalah salah satu syarat dari ideal type itu sendiri. Jadi bila di dalam dunia politik merah secara sinonim ditandai dengan perlawanan dan keberanian, maka bibir dengan gincu merah adalah bentuk perempuanperempuan yang memiliki kesan modis dan sensual.

Imajinasi yang modis dan sensual, seperti yang dibilangkan Yasraf sebenarnya adalah bagian dari pop culture yang dipraktikkan di dalam budaya konsumen. Melalui imajinasi yang telah dilokalisir menjadi populer, akan disusul dengan sendirinya kepada aktivitas konsumsi. Itulah mengapa perlu iklan, karena di sanalah dibangun imajinasi untuk mendorong tindak konsumtif.

Orangorang Dengan Dosa Kecil

Hikayat menceritakan, manusia terlahir dari dosa. Tanpa dosa manusia hanyalah keberadaan tanpa bentuk. Akibat dosa, bumi terisi. Sebab dari dosa, manusia beranak pinak.

Dari perspektif demikian, dosa bisa menjadi awal mula. Bila tuhan memulai dirinya dengan sabda, maka manusia memulai dirinya dari dosa.

Dalam sejarah Ibrahimik misalnya, dosa adalah suatu permulaan untuk membangun kehidupan yang baru. Yesus dengan keutamaan pribadinya adalah sejarah di mana dirinya menjadi nampan seluruh dosa bagi umat manusia. Melalui penebusannya, tragedi yang menghentak kesadaran itu membuat manusia harus membangun kehidupannya lewat narasi yang telah di mulai Yesus.

Tapi jauh di masa itu, ketika sejarah belum bermula, justru penciptaan di mulai dari dialog tentang dosa.

Di islam, peristiwa itu direkam dalam teks suci. Bahkan salah satu malaikat memulainya dengan kesangsian terhadap perbuatan tuhan tentang Adam. Keraguan yang ditunjukan oleh malaikat di dalam peristiwa itu  seharusnya adalah ungkapan yang tak layak di ajukan, sebab itu penanda awal mula penolakan. Dari dialog malaikat dengan tuhan dalam peristiwa itu, apa yang di alami malaikat adalah dosa yang terselubung, sebab keraguan adalah asal muasal penolakan. Di peristiwa itu malaikat bisa saja meragukan, tapi ia tak mengambil suatu sikap untuk mengingkari.

Namun, dosa paling purba dan dikenal dari sejarah penciptaan adalah seperti yang diperankan sang Iblis. Kesangsian yang diperlihatkannya tidak sama seperti yang ditunjukkan malaikat. Kesangsian sang iblis adalah kesangsian pasca penciptaan. Dari peristiwa itu, seperti yang ditulis teks, sang Iblis menyangsikan dua hal; penciptaan manusia dan keunggulan Adam. Pertama sang iblis mengingkari peristiwa penciptaan yang telah terjadi, dan kedua adalah prosesi penghormatan kepada mahluk yang bernama Adam.

Ditingkatan pertama, yang menyebabkan dosa Iblis menjadi berbeda dari malaikat, adalah kesangsian dari peristiwa yang telah terjadi. Dosa Iblis berarti dosa terhadap kemampuan tuhan yang telah fixed. Suatu dosa dari apa yang telah betulbetul tampak. Barangkali karena inilah mengapa kesombongan adalah dosa yang paling besar, sebab kesombongan kerap dialami tepat ketika penolakan terhadap suatu ihwal benarbenar tampak benderang dihadapan kesadaran manusia.

Yang ke dua adalah penghormatan kepada keunggulan Adam. Di peristiwa ini sang Iblis punya kesan yang dilematis. Dilema yang pertama dari ukuran waktu, Iblis sebelumnya adalah mahluk yang beriburibu tahun menyembah tuhan tanpa pernah sekalipun mangkir. Dilema yang kedua yakni, perintah tuhan untuk tunduk kepada Adam adalah suatu tindakan yang merendahkan, atas dasar Adam adalah mahluk yang tidak ada apaapanya dari ukuran penyembahan Iblis terhadap tuhan selama beriburibu tahun. Atas dilema ini, sang Iblis memilih menolak perintah tunduk kepada Adam. Baginya hanya satu yang layak mendapat penghormatan, yakni tuhan itu sendiri.

Akhirnya dari  dilema itulah lahir dosa pertama pasca penciptaan. Dan bermula dari dialog Iblis dan tuhan yang di rekam dalam teks, manusia diciptakan.

Selain sejarah manusia yang memulai dari dosa, barangkali dosa selalu bermula dari dilema. Melalui dilema, manusia memasuki ruang kesadaran yang samarsamar terhadap suatu keputusan. Tanpa dilema suatu keputusan kehilangan suatu  bobot. Artinya pasca dilema, suatu keputusan adalah suatu tindakan yang telah jernih ditimbang. Suatu pilihan yang telah melewati berbagai macam perhitungan. Tapi suatu timbangan yang tak matanglah asal mula dari suatu dosa.

Tapi memang manusia adalah mahluk dengan dilema. Atau berarti manusia adalah mahluk yang dekat dari dosa. Sebagaimana betapa dekatnya narasi tentang dosa di awal penciptaan manusia. Itu berarti betapa akrabnya manusia dengan dosa, sampai akhirnya dosa merupakan takdir yang sedari awal dipunyai manusia.

Dan keakraban dosa dengan manusia biasa ditunjukkan salah satunya, di tempattempat dilema besar berada. Misalnya, di kantor tuantuan pejabat mengambil keputusan; di sana banyak dilema dan keputusan menyangkut orang banyak diputuskan, dan seringkali berubah jadi dosa atau seringkali aib. Dan dosa yang lahir dari dilema yang tak matang seringkali adalah korupsi; mencuri, mengkhianati dan melencengi amanah. Sebab itulah barangkali korupsi adalah dosa yang besar, sebab pertama menyangkut pencurian hak orang banyak dan kedua adalah dampaknya yang sistemik.

Namun di luar dari tempattempat semacam itu, dilema tak saja berpusat di tempat kekuasaan berada. Dilema juga banyak bersarang  pada orangorang dengan dosa kecil, yakni orangorang di luar kekuasaan itu sendiri; mereka yang tak pernah mengambil keputusan tentang banyak orang, tapi kebanyakan dari orangorang semacam ini adalah mereka yang sombong membiarkan suatu keputusan berlangsung tanpa diintrupsi. Barangkali!