Sosiologi; Ilmu Penguasa?



Dahulu, August Comte, Bapak Sosiologi itu merumuskan suatu sistematika ilmu, untuk kenyataan, untuk fenomena yang ia cerap. Ilmu yang ia katakan sebagai puncak segala Ilmu. Setelah melepaskan dari genggam filsafat, ia memberikan nama  ilmu yang ia prakarsai sebagai Sosiologi.

Sosiologi sebagai ilmu di Eropa disambut dengan eksploratif. Semenjak kehadirannya, banyak ilmuwan sosial yang turut menyempurnakannya sebagai ilmu yang komplit. Menutupi lubanglubang yang di tinggalkan Comte. Di tangan Durkhem, Sosiologi tampil dengan melepaskan secara penuh karakteristik filsafatnya sepenuhnya. Di suatu waktu ia berujar, Comte masih membawa gen filsafat pada apa yang ia sebut sebagai ilmu positif. Sosiologi harus sepenuhnya ilmiah. Sosiologi harus mengikuti kaidahkaidah sains. Itu berarti ia harus objektif.

Dan memang semenjak Eropa meninggalkan zaman yang traumatis, seluruhnya serta merta merayakan kemajuan sains. Eropa memang berhasil keluar dari ekternalitas yang dogmatis, meninggalkan lubang mendalam terhadap kejumudan era yang dekaden. Sehingga seluruhnya begitu gegap dengan penemuanpenemuan yang lahir dari tangan manusia, dimana sains adalah buah tangan langsung yang lahir ditengatengah reruntuhan era pertengahan. 

Tepat di tengahtengah inilah Sosiologi menjawab lubang yang ditinggalkan. Bisa kita bayangkan, seperti apa hidup ditengahtengah penemuanpenemuan baru yang keluar dari eksternalitas abad kegelapan. Tentu bisa kita bayangkan, begitu dalamnya dampak traumatis yang di alami bangsa eropa. Terhadap sisi gelap intitusi gereja yang melukan pemurnian dimanamana. Pembakaran bukubuku yang terkandung bahasa objektif ilmu, penghancuran perpustakaanperpustakaan dan pembunuhan massal bagi yang menentang iman gereja. Dimasa ini, ilmu dan agama, penemuan sains dan iman gereja menampil dengan persitegangan yang tak kepalang tanggung.

Sampai saat revolusi dimanamana pecah. Otoritarian aristokrasi pun beralih menuju spirit demos yang mengedepankan krasi. Kuasa gereja akhirnya pelanpelan kehilangan kendalinya terhadap masyarakat. Dan sains pun menjadi alternativ pada gundah yang menerjang. Kemudian Sosiologi datang sebagai ilmu yang ingin memproduksi tatanan yang telah berhancuran. Sebuah sistem masyarakat yang ingin tumbuh dari hasil terjemahan sains. Sehingga masyarakat akhirnya menjadi topik yang mulai masuk dalam pembicaraan ilmu.

***

Kemudian zaman berubah. Segalanya mulai dikritisi. Tak ada yang mapan, semuanya di runtuhkan kembali. Mazhab Frankfurt dengan semangat pencerahannya mulai membuka selubung ilmuilmu sosial, termasuk sosiologi. 

Ada yang menjangkiti dalam ilmuilmu sosial selama ini. Yang secara geneatik mengendap dan lalai dari penyelidikan kritis ilmuan. Kaidah ilmiah akhirnya tergugat, sebab dibaliknya ada selubung kekuasaan yang mengendap. Dimana kaidah ilmu sosial menuntut ilmu yang lahir dari kaidah sains untuk objektiv dan ilmiah. Sehingga segalanya terlepas dari tuntutan sang ilmuan. Ilmu sosial harus bebas nilai. Tepat pada keyakinan inilah Mazhab Frankfurt, ilmu yang kritis itu, memvonisnya sebagai penyakit yang harus dibasmi.

Tentang ilustrasi ilmu yang bebas nilai itu, seorang Sosiolog Islam memiliki teorinya dalam memboboti ilmu yang mendukung status quo selama ini. Menurutnya, ilmuilmu sosial selalu merangkap pada dua lapisan kerja. Yang pertama adalah lapisan “judgement of faith” dan  yang kedua yakni “Judgement of value”.

Pada tingkatan yang pertama; “judgement of faith”, ilmu dalam kerangka kerja seorang ilmuan diprediksikan dalam semangat saintis. Dimana pada penarikan teorinya, ilmu secara ambilavalensi tidak mengikutsertakan penilaian pribadinya dalam menentukan skala objektiv pengamatan yang di ambilnya. Atau dengan kata lain, ilmu dimata ilmuan pada tingkatan ini merujuk pada kaidah sains yang menuntut sebuah gagasan harus bebas terhadap apa saja yang bisa mengganggu keobjektivitasannya. Dengan begitu ilmu yang ditarik dari pengamatan hanyalah sekedar mencermati dan mendesrkipsikan hubunganhubungan, kaidahkaidah, karakteristikkarakteristik objek yang diamati. Dalam bukunya, Ali Syariati mengilustrasikan model hubungan secara deskripsi yang melihat interaksi seorang ilmuan dengan teorinya seperti  hubungan cermin dengan orang yang bercermin. Dimana antara gambaran dicermin dan orang yang bercermin tidak saling mempengaruhi.

Tepat pada level inilah, seorang ilmuan akhirnya harus mengikuti keyakinan saintisnya. Yang kita tahu ilmu dalam keyakinan ini adalah ilmu yang pasiv. Ilmu yang hanya berhenti pada tahap membaca bukan mengubahnya. Sepertinya pada situsi seperti inilah, Marx dengan apologetik memberikan sanksi terhadap ilmu yang hanya bekerja dalam kerangka deskriptiv. 

Lantas apa seharusnya; Dari mana kita harus mulai, 

Ketika ilmu disuatu waktu akhirnya tergugat. Wewenang ilmiah yang disandang ilmuan pada akhirnya menuntut  tanggung jawab dalam wewenang sosialnya. Sehingga ilmu bukanlah sekedar hasil tangan yang berhenti dari pengamatannya, melainkan turut mengubahnya. Dan disinilah paradigma seorang intelektual itu mendapatkan statusnya; “Judgement of Value”, menimbang nilai.

Seperti keyakinan Mazhab Frankfurt, di balik sosiologi ada tirani kuasa yang menjangkiti. Maka nilai ilmu Sosiologi kembali harus dipertimbangkan. Apatah lagi ilmu secara bersamaan selalu mengimbangi kekuasaan yang ada. Sehingga pada level “judgement of value” nilai keperpihakan Ilmuilmu sosial (sosiologi) harus dinilai dalam kerangka apakah ia mengusung kekuasan ataukah justru sebaliknya. Dan juga barangkali,  sepertinya mengapa status quo masih mapan, keadaan masih tetap saja sama,  melainkan karena sokongan ilmuilmu sosial yang diproduksinya. Bukan dengan prinsip yang lain, prinsip bebas nilai?


Spiral Kekerasan dan Melangitnya Harga BBM


Mengingat pernyataan menteri keuangan di beberapa waktu lalu, bahwasannya di tanggal tujuh belas juni nanti, pemerintah akan segera menaikkan harga BBM bersubsidi setelah APBN perubahan 2013 diketok pada sidang paripurna di DPR.  Pernyataan dari Menkeu ini adalah penegasan ulang dari SBY tentang keputusan pemerintah yang akan menaikkan tarif BBM bersubsidi. Dan jika melihat dari kejadian-kejadian sebelumnya, sebagaimana biasanya dari naiknya tarif BBM akan mempengaruhi bertambahnya masyarakat miskin di tanah air. Data BPS menunjukan hingga akhir Januari 2013, data kemiskinan terbaru Indonesia mencapai 28,59 juta orang atau 11,66 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sehingga jika tariff BBM naik, persentasenya bertambah satu persen menjadi 2,5 juta orang dan angka kemiskinan akan mencapai di atas 30 juta orang.

Dan malangnya, strategi yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan adalah seperti yang sudah-sudah, yakni program pemberian bantuan tunai kepada masyarakat yang dinilai terkena dampak serius dari naiknya tariff BBM. Strategi ini pada kenyataannya mendapatkan reaksi pro dan kontra oleh elemen public baik bagi politisi, ekonom, tokoh masyarakat, kalangan agamawan maupun tokoh masyarakat lainnya. Namun apa yang di lakukan pemerintah selama ini adalah upaya yang bersifat predikatif dan berjangka pendek. Oleh sebab, guncangan naiknya BBM membawa dampak yang serius bagi kelangsungan masyarakat yang kurang mampu. Hal ini tentu memiliki efek yang berjangka panjang karena perlu adanya pembacaan strategi adaptatif masyarakat oleh seluruh stakeholder yang terkait untuk penyesuaian hidup masyarakat ditengah-tengah naiknya barang-barang kebutuhan hidup.

Spiral kekerasan
Kurang antisipatifnya pemerintah dalam mengambil keputusan mengenai harga BBM, membuat sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dalam perasaan yang was-was. Hal ini terjadi akibat penundaan keputusan pemerintah dalam mengungumkan keberlakuan tarif baru BBM. Walaupun sebelumnya strategi pemerintah dalam mewacanakan akan naiknya BBM sudah dilakukan jauh-jauh hari, namun apa yang menyertai dari itu adalah bertambahnya beban psikologis masyarakat. Apa yang dilakukan pemerintah dengan menunda-nunda keputusannya, berdampak serius pada penetapan kebijakan-kebijakan lembaga pemerintahan yang kesannya sistemik. Akibatnya dari itu adalah kenyataan sosial yang berujung pada aksi-aksi kekerasan.

Neolib dan Trilogi Ilmu Sosial



Neoliberalisme adalah kristalisasi dari sebuah gagasan tentang kebebasan yang bekerja secara adaptatif jauh merangsek ke wilayah basis elementer manusia; kebutuhan hidup manusia, kebutuhan ekonomi. Karena ia sifatnya gagasan, maka ia-pun mengalami perbaikan sana-sini untuk menutupi bopeng-bopeng yang ada dalam dirinya, berkat sebuah kenyataan, Neoliberalisme tak selama tampil sempurna . Konon katanya, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak. Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar” -dengan suasana malaise- berkecamuk di mana-mana.1

Neoliberalisme dan Keynes seperti tampil antara perhubungan dalang dengan lakon wayangnya. Yang mana seorang dalang punya kuasa menjalankan peran dari sebuah lakon. Sebagai dalangnya, Keynes memang memiliki kuasa itu, dan neoliberalisme adalah alur lakon yang membutuhkan sebuah perubahan drastis. Sebagai sebuah alur, plot memang hal yang sulit untuk dihindari, Maka dimulailah sebuah cerita dari plot yang menghendaki modal harus diputar dan kembali dengan untung besar. Dan barangkali disinilah bahasa marxis mendapatkan perannya, kelas proletar adalah peran antagonis yang harus ada dalam sejarah manusia.

Surat dari Nietzsche; Kebutuhan untuk Percaya

Di siang itu,  kala hujan lebat, jalanjalan basah tergenangi air, kehidupan kita,  seperti ungkapan Jerman: lebenswelt tengah berjalan tanpa penghujung. Dunia yang kita hayati dengan cita dan harap. Kehidupan manusia yang jatuh bangun di tengah harapan yang kembang kempis. Maknamakna yang ditata berdasarkan persentuhan manusia terhadap penghujung sejarah yang panjang; penghidupan yang naik turun, riuh rendah nasib yang diperjuangkan, ketika insting bertahan hidup kerap kali mendapatkan ujiannya pada harapan yang tipis. Maka di siang itu sebuah peristiwa terjadi.

Di tengahtengah itu, pada penghujan yang enggan berhenti, saya membayangkan sejulur tangan menulis dengan penanya, untuk zaman kita. Untuk ia kirimkan tepat di tengah jantung peradaban kehidupan kita. Sebuah surat yang datang dari penghujung abad 19 dengan maknanya yang privatif. Pesan yang begitu pribadi, ia memiliki kesan yang tertutup. Ketika segalanya tengah terbuka lebar, ketika perihal yang mempribadi terbuka untuk orang banyak, dan terjadinya erosi pemaknaan dan pembalikkan nilai di manamana. Sebuah surat bisa menjadi sesuatu yang mitis. Dari seorang yang senang memanggil dirinya sebagai seorang tabib, seorang filsuf pencuriga; Nietzsche.

Secarik surat dari pengalaman sakit dan pencarian akan obat. Yang mana hidup adalah pengalaman untuk mentransfigurasikan sesuatu. Mengenai seni memberi bentukbentuk pada pengalaman manusia.

Dan pengalaman hidup manusia yang kita hidupi adalah hidup yang sakit. Di mana ada kepongahan yang hendak menundukkan. Tentang telos yang dikehendaki untuk masuk pada rumusan yang ajeg. Tentang ini, reality adalah konsep dalam batas yang kita padatkan. Oleh ilmu, sains, ideology, agama, seni dan kepercayaan yang dilabeli ismeisme lainnya, di mana sejatinya ada instingtif yang mengendap untuk menutupi kelemahan kita sebagai manusia. Yang mana tampak dengan bahasa, kepercayaan yang begitu ambisius sehingga jangan sampai hanyalah berupa simtom, berupa gejala, berupa yang bukan inti itu sendiri. Di mana seluruhnya adalah perayaan terhadap penampakan, perayaan terhadap permukaan.

Ia menulis dalam Beyond the Good and Evil, 270,  sebuah paradox kedalaman. Akan sesuatu yang dilakukan. Tentang sesuatu yang di alami;

‘…Penderitaan yang dahsyat meninggratkan manusia sekaligus mengisolasi dirinya. Di satu sisi pengalaman berhadapan dengan jurang rasa sakit, membuat orang lebih tajam. Namun disisi lain ia menjadi berbeda dari sesamanya. Ia menjadi lain. Rasa bangga intelektual diamdiam seorang penderita mengharuskan si penderita untuk memakai berbagai macam samaran untuk melindungi dirinya dari tangantangan yang  tak tahu diri dan  tak senonoh juga  untuk melindungi dirinya dari orangorang yang tak sederajat dengan dirinya dalam hal penderitaan. Pengalaman ini begitu dahsyat dan berat, sehingga membuat sang penderita menggunakan berbagai bentuk topeng untuk  menyamarkannya. Dan penyamaran sekali lagi berfungsi ganda, untuk membuatnya tak dikenali oleh sembarangan orang, sekaligus untuk menyuarakan secara lebih keras apa yang memang tidak bisa disuarakan secara lain kecuali lewat topeng, lewat permukaan, lewat penyamaran….’

Ia berkeyakinan, di saat penuhnya kalangan terdidik, orangorang yang berkisar dalam lingkaran kebenaran atau orangorang yang telah menjadi lain dari yang awam, sesungguhnya adalah si penderita yang telah menjadi lain, penderita yang sesungguhnya bermain pada permukaan. Di mana permukaan adalah satusatunya yang ada, ketika dibalik topeng tiadalah sesuatu. Maka kebenaran adalah suatu yang tiada. Sehingga  tiada yang tinggal dari ilmu, melainkan hanyalah permukaan belaka. Tiada makna yang hendak untuk disampaikan. Tak ada tataran meta yang ada, segalanya hilang. Yang ada adalah metaphor diantara kedalaman dan permukaan. Hidup hanyalah topeng untuk membentengi kelemahan.

Dan keadaanya memang demikian adanya. Kita bisa saja mengyakini sesuatu yang memberikan kita pegangan. Namun di mata pencuriga, keyakinan hanyalah bayang yang kita bentuk, tatanan yang kita kehendaki berdasarkan mekanisme diri untuk keluar dari mental yang sakit. Sebab zaman hanyalah kematian akan inti, ketika apa yang kita kenal sebagai zaman kemajuan tak lain hanyalah meningratkan sekaligus mengisolasi diri sendiri.

Dalam kata pengantarnya;

‘..Untuk mengakhiri semoga yang esensial tidak terlupakan dari jurang semacam itu, dari kelelahan seperti itu, seperti  halnya  dengan rasa capek kecurigaan yang begitu besar. Kita dilahirkan kembali sekali lagi. Dengan kulit baru yang lebih peka, lebih licik dengan citacita akan kegembiraan yang lebih halus, lidah yang lebih peka atas apa saja yang baik. Indera yang lebih gembira dengan kepolosan rasa gembira yang kedua yang lebih berbahaya karena sekaligus lebih naïf dan seratus kali lebih halus daripada sebelumnya. Oh betapa tampak menjijikkan, tidak senonoh, hambar dan menjemukkan bagi kalian, kenikmatan sebagaimana dimaksud biasanya dimaksud pemuja kenikmatan yaitu orangorang berpendidikan kita, orangorang kaya kita dan para  pemimpin pemerintah kita.

Sekarang kita menonton dengan pandangan mengejek nakal, riuh rendah pasar dimana para orang terdidik, para warga Negara membiarkan diri mereka diperkosa oleh seni, buku, musik yang maunya memberikan kenikmatan spiritual lewat daya minuman berakhohol. Betapa lengking teatrikal nafsu derita memecahkan gendang telinga kita. Betapa segala pemberontakan romantis, segala campur aduk indera yang diapresiasi oleh para orang  terdidik itu dengan seluruh aspirasi mereka kepada yang tak bisa diusapkan, ke ekstase, ke yang hiper rumit, betapa itu semua menjadi asing untuk cita rasa kita.

Tidak. Kita orangorang  yang sembuh yang berbeda, kita pun masih  akan  membutuhkan sebuah seni, seni yang sama sekali lain..’

Segalanya adalah cacat yang menganga. Apa yang dinisbatkan sebagai kenyataan oleh kepercayaan adalah dunia yang retak. Bahkan segalanya adalah sesuatu yang chaotic terserak dan berpencar. Sehingga dengan kepongahan manusia berusaha untuk menundukkannya pada batas ilmu maupun kepercayaan mereka, namun dalam kenyataannya diwaktu yang sama, ketika hidup manusia telah meninggalkan zaman yang primordial, pada saat yang sama justeru lebih menjijikkan dari masa sebelumnya. Tidak senonoh,  menjemukkan dan hambar. Sesuatu kenikmatan  yang seakanakan sudah fixed dan final. Dalam bahasanya, kita adalah orang yang terperangkap dalam alkohol yang memabukkan. Dan kita terasing. Dan seringkali tak sopan dihadapan realitas.

Dalam tulisannya yang lain ia mengendaki adanya sosok misteri yang tampil bukan untuk dikenali dengan pasti. Sesuatu yang kedatangannya dalam bentuk samar dibalik topeng yang diperlihatkan. Sang Diogenes yang dahsyat,  saya merindukan dewa topeng, saya membutuhkan dewa yang pandai menari katanya.


jalan raya


Apa jadinya jika jalan raya di suatu pagi bertemu dengan modernitas? Maka yang ada adalah keterburu-buruan. Hidup dalam cara modern adalah bagaimana anda dapat menggunakan waktu se-efisien mungkin. Dan jalan raya, di pagi hari adalah perentang penandanya. Di jalan raya, anda tak boleh menengok; kanan dan kiri, apa lagi berbalik kebelakang hendak kembali, karena menengok dan kembali dalam buku besar modernitas berarti kemunduran. Dan bisa jadi anda akan menjadi seorang individu yang tertinggal jauh.

Memang modernitas adalah sebuah bus besar yang sedang terburu-buru; bergegas dengan kecepatan yang tinggi, tanpa rem, tanpa rambu jalan dan tanpa terminal pemberhentian. Modernitas adalah bentuk zaman bahkan pikiran baru yang berusaha melupakan ingatan masa lampau; melipat segala sesuatu menjadi sebuntal pakaian yang harus dilipat bahkan diganti, dan memberikan anda sekelumit pakaian dengan cermin yang menaruh visi tentang kemajuan. Dan inilah modernitas, waktu menjadi barang yang penting untuk dijaga. Dikemas dalam keadaan yang rapi, dijaga baik-baik dan tak harus dirusaki, sebab waktu tak bisa dipending apalagi terhenti, maka kerja adalah lokomotif yang harus terus di dorong.

Kerja dalam pengertian zaman modern bahkan postmodern, adalah usaha yang memanfaatkan potensi dalam memapatkan waktu dan ruang, yang punya kaitan dengan peran dan fungsi yang terspesialisakan, dimana digerakan berdasarkan visi yang di sublim oleh rasio yang mengendaki capaian tujuan seefesien dan secepat mungkin. Dan rasio seperti ini, merupakan   rasio yang dihardik oleh kalangan mazhab Frankfurt, oleh mereka, rasio ini adalah rasio yang menampik ruang permenungan, selalu menukik untuk berhadapan langsung pada objek yang ingin kuasai.

la mémoire et à venir


Entah seberapa jauh kita bisa mengingat masa-masa dimana kita kecil? Mungkin banyak yang terlupakan, tetapi bisa jadi tidak sedikit yang masih tersimpan. Ingatan punya aturannya sendiri; tentang apa yang layak tersimpan dan apa yang mesti kita lupakan, sebab ingatan diwaktu tertentu punya masa-masa ia datang kembali; menemukan gejala yang menghubungkan akan dua peristiwa, dimana masa lalu bisa kita rasakan pada masa sekarang yang punya kemiripan.

Karena perihal ini, maka terkadang ingatan bisa menjadi hal yang perlu diatur, apalagi menyangkut ingatan orang banyak. Dimana ingatan bisa mendatangkan isyarat apa yang patut dan yang harus dibuang jauh-jauh. Maka bisa saja ingatan kehilangan tentang apa yang sepantasnya diingat, tak terkecuali masa kita anak-anak.

Ingatan bisa jadi hal yang memupuk harapan atau sebaliknya?

Harapan?...bisa dikata sejenis utopia; sesuatu tempat yang menempatkan cita-cita yang ideal didalamnya. Atau sesuatu yang tinggi tempatnya. Perihal akan segala sesuatu yang menjadi perlawanan dari kehidupan “bawah” yang serba tak berkecukupan, tak lengkap, tak utuh, tak genap, atau sejenisnya dan sejenisnya: atau bisa dikata Sesuatu yang sempurna.


Yang mana keberadaannya melampaui jenis kehidupan yang dipredikatkan oleh label yang tak sempurna, kehidupan manusia yang terapit serba katakcukupan. Lantas bisakah ia menjadi hal yang benar-benar dirasakan, sesuatu yang betul-betul dialami, yang mana “keseluruhan” dari diri kita betul-betul identik pada apa yang kita harapkan.

Lantas apa arti harapan bagi orang-orang kecil yang terpenggal masa anak-anaknya? Tentang anak-anak kisaran usia lima atau enam yang tiap harinya berdiri dibawah traffic ligh, kolong jembatan,-mereka yang menjajal koran, ngamen, ngemis ataukah pekerjaan yang kita anggap sampah- pada perempatan jalan-jalan yang sering kita lewati. Dan kita pun silau-mungkin istilah ligh punya persinggungan makna dengan apa yang sering terjadi pada kita- berusaha menghindari, berupaya menolak, bahkan menampik kesal pada mereka. Dan kita benar-benar telah memenggal masa kecil kita? 

kindness

Bagaimana kita harus bercerita tentang kebaikan: suatu nilai yang tanpa cacat. Nilai yang kita anggapkan ada pada diri manusia? Mengenai perkataan dan sikap yang kita lakukan. Di mana dia ada pada apa yang kita berikan dan apa yang kita terima. Baik sikap dan tutur selalu mengisyaratkan kehadiran sesuatu kondisi, yang mana pada akhirnya kita tekadang mengharap balasan datang sesegera mungkin. Ini menyangkut sejauh mana kita menerapkan nilai kemanusiaan pada apa yang kita selalu perbuat. Dan tentang ini, Immanuel Kant sudah mewanti-wanti : kebaikan bukanlah perihal isyarat tentang balasan, bukan untuk sesuatu yang diluar dari dirinya, tetapi memang untuk kebaikan itu sendiri. Itu berarti Kebaikan bukan keadaan yang menuntut sesuatu keluar dari otonomisasinya, melainkan demi kebaikan itu sendiri.

Namun bagaimana kebaikan harus kita duduk perkarakan, jika sekarang kita berada pada pusat yang penuh pamrih? Hidup yang menyertakan balasan dan terkadang pilihan dari apa yang diperbuat oleh kita dituntut masuk dalam kategori “pilihan rasional”. Yang mana penggunaan rasio berarti bagaimana agar manusia bisa selamat sentosa, sehingga pada pilihan itu ada tujuan yang enggan kita pendam.

Rasio dan rasionalitas memanglah dua fakultas yang setali tiga uang. Rasio selalu menuntut jalan untuk dapat bekerja, dan rasionalitas adalah media yang memberikan jalan bagi rasio untuk dapat bekerja. Maka dari itu, dimana ada rasionalitas maka disitu ada upaya rasio untuk membela diri. Lantas tentang ini, semuanya menuntut hadirnya kejelasan; sebuah alasan yang diharuskan masuk akal, atau dengan kata lain logis dengan caranya sendiri: membangun argumentasi dengan tujuan memurnikan rasio. Maka prasyarat-prasyarat pun muncul, memberikan landasan bagi bekerjanya sosok dari yang disebut sebagai imperative-imperative yang dengannya seluruh hasil ditakar. Dan ini berarti, seluruh tutur dan perbuatan kita menjadi tak murni dari sejumlah syarat-syarat dimana proposisi-proposisi yang terbangun berkisar pada pernyataan yang bermain pada konteks “Jika-Maka”.

Bagaimana kita harus berbicara tentang kebaikan?Apakah kebaikan adalah isyarat kemanusiaan yang menuntut sejumlah syarat?

Mungkin saja kebaikan adalah kandungan nilai yang tak membutuhkan tuntutan dimana ia harus berada dan pada siapa. Yang artinya ia merupakan nilai yang berada pada saya, anda, dia, mereka, seorang pekerja bangunan, presiden sebuah negeri, tukang nyabu, pelacur, seorang pedagang asongan, seorang Ulama, seterusnya dan seterusnya, dan bisa jadi ada di kantor, jalan raya, gereja, diskotik, gang-gang sebelah rumah anda, kamar anda, dalam bis kota, mobil pejabat, dan  seterusnya dan seterusnya. Namun apa yang luput dari pandangan seseorang, tentang bagaimana cara kita memandang sesuatu, kebaikan sekalipun. Seperti empat orang fotografer yang mengambil objek bangunan yang berbeda sisi. Maka disinilah, kebaikan sarat akan banyak arti, dan posisi menjadi hal yang harus dipertimbangkan pula.

A Description

Ada buku yang akhirakhir ini saya baca. Yang saya maksudkan di sini dengan “membaca”  bukan sebagai tindak baca yang kritis. Sebab tindak baca yang kritis harus mengambil jarak terhadap teks yang dihadapi. Dengan begitu si pembaca bisa melepaskan ruang pahamannya dengan jalinan struktur teks yang ada di hadapannya. Sehingga dari sana ia bisa menarik pemahaman yang tidak terkooptasi dengan jaringan makna yang dibentuk oleh teks. Sebagai tindak baca yang kritis harus juga memberikan pemaknaan baru terhadap bacaan yang di ejanya. Dan saya masih jauh dari itu. Makanya saya hanya bisa “menyimak”, bukan dalam arti “memahami”.

Buku yang saya maksud itu adalah buku dengan genre filsafat yang ditulis oleh F. B. Hardiman, seorang yang dikenal sebagai dosen filsafat. Judul buku karangannya itu adalah “Filsafat Fragmentaris”. Buku yang saya simak itu adalah –dalam ukuran saya-  buku yang berat. Oleh sebab banyak ulasan yang butuh pengandaianpengandaian yang lebih memadai. Sebuah sikap baca yang kritis menuntut kita untuk terbuka. Di mana kita direkomendasikan  untuk mencerna tanpa harus kehilangan sikap yang terbuka dan mendaku.

Malangnya buku yang saya simak itu belum sampai habis terbaca. Sehingga saya bukanlah pembaca yang baik dalam hal ini. Namun buku itu punya pesan sederhana yang bisa saya miliki. Dari judul “Filsafat Fragmentaris” , Hardiman mendaku bahwa upaya filsafat yang selama ini berposisi sebagai ilmu yang mampu menerangkan segalanya punya satu residu. Sebuah titik problematis dalam tubuh filsafat yang tak disadarinya, yakni, saya mengistilahkannya dengan istilah selfcontrari. Di mana filsafat yang datang untuk menjelaskan segalanya harus menemukan batas dirinya sendiri, bahwa dirinya juga adalah ilmu yang terbatas. 

Di mana keterbatasannya? Yakni filsafat menjadi ilmu yang terintrepertasi berdasarkan pengandaianpengandaian di kepala para filsuf. Di mana kita tahu, intrepertasi hanya bentuk gambaran yang tak mampu menangkap keseluruhan hakikat kenyataan. Sejauh upaya filsafat ingin menggambarkan realitas dengan benderang, maka dia tak mampu keluar dari kegelapan yang menyelubunginya, yakni gambaran yang ditangkap oleh filsafat itu sendiri adalah batasannya. Dalam arti ini filsafat hanya “menerawang” bukan “menyaksikan” kenyataan.

Artinya filsafat hanya membangun fragmenfragmen tentang kenyataan, bukan sebagai kenyataan itu sendiri. Namun daripada itu, filsafat yang sudah setua manusia tetap memiliki pengandaian yang positif, yakni sifatnya yang “tak berhenti”. Yakni filsafat kita tahu, tak pernah berhenti untuk mengungkap realitas dalam pencahariannya walaupun di dalamnya ada penyakit yang merusupinya.

Dalam buku yang saya baca itu, dimana belum sampai habis, ada tindak pikir yang dituliskan dalam buku yang lumayan berat itu. Cara berpikir secara metodis dalam rangka menggugat keabsolutan pemahaman maupun kebenaran. Dimana kita bisa menyimak, dalam dunia yang sesak dan jejal ini, dunia yang mengalami dystopia ini, dimanamana hadir kelompokkelompok dengan bentuk keyakinan yang dimutlakkan. Dimana kelompokkelompok itu selalu menolak bentuk pemikiran baru dan menganggapnya sebuah kesalahan yang akut untuk diimani.

Politik, agama, hukum, budaya, moral, pengetahuan, ilmu, ideology adalah lingkungan yang saya maksudkan itu.   Dimana pada lapangan yang dibangunnya terdapat pilarpilar yang didirikan untuk membatasi.
  1. Maka dalam buku yang berat itu ada tiga hal yang mesti kita perhatikan. Tiga cara berpikir yang bagi saya bisa dijadikan logika metodis untuk menghindari pemutlakan pemikiran yang berbahaya bagi keberlangsungan keterbukaan pemikiran.Model berpikir Phenomenology. Kita tahu aliran filsafat ini lahir sebagai tertib pikiran yang menolak selubung interpretasi yang kepalang tanggung. Dimana dalam kebanyakan pengalaman manusia, kita selalu menerima kenyataan dengan terlebih dahulu memberikan penilaian yang mendistorsi pengalaman kita. Atau dengan kata lain, pengalaman manusia pertama kali dibentuk oleh interpretasi yang tanpa melihat kenyataan itu sendiri.  Dalam tertib pemikiran ini, kita harus terlebih dahulu menyingkirkan anggapananggapan awal kita terlebih dahulu. Kata aliran pemikiran ini, biarkanlah kenyataan itu sendiri yang datang berbicara melalui dirinya sendiri.
  2. Dalam yang kedua ini, kita dianjurkan untuk menerima kenyataan dengan laku pikiran yang kritis. Dimana pengalaman kita seharihari haruslah bertolak dari metode yang sanksi. Barangkali dalam penjelasan ini, kita bisa meminjam cara berpikir Cartesian yang menyangsikan sesuatu. Namun dalam system berpikir ini, dari yang kita ketahui berasal dari mazhab pemikiran Frankfurt, membawanya pada aspek yang lebih luas yakni ideology. Mazhab Kritis menekankan ‘kecurigaan’ terhadap segala bentuk yang mengedepankan kemajuan sebagai dalihnya. Dalam mazhab Kritis, modernism, kapitalisme, urbanisasi, rasionalisme, positivism dan barangkali segalanya adalah bentuk mitos yang mengalienasi manusia. Seluruh janjijanji yang lahir dari system besar abad modern perlu diberikan peluang untuk dipertanyakan. Dimana cara berpikir ini senantiasa menghendaki bahwa kenyataan hidup kita selama ini janganjangan dibentuk oleh kepentingan dibelakangnya.
  3. Tak ada sesuatu di luar teks. Adagium ini adalah keyakinan yang di anut oleh pemikir strukturalisme. Derrida sebagai salah satu tokohnya, memiliki cara yang populis untuk membongkar pemikiran yang sudah terlanjur dimapankan. Ia menyebutnya dekonstuksi. Dalam mode pemikiran strukturalisme, kenyataan adalah hasil olahan teks, sehingga kenyataan diterima tak lebih dari apa yang keluar dari teks. Dari kenyataan kemudian teks, maka disanalah pengetahuan terbentuk. Maka subjek tak lain adalah hasil jejaring struktur teks. Kembali pada metode dekontruksi, cara ini mempunyai jalan yang unik dalam menarik pemahaman. Dalam keyakinan yang mapan, dekontruksi hadir sebagai godam yang menghancurkan dan memberikan kemungkinan berdirinya pemaknaan yang baru. Dimana dekontruksi, menghancurkan sampai tingkat yang paling dasar struktur pemaknaan yang dimiliki manusia, dengan cara membenturkan jalinan makna dalam jejaring teks itu sendiri. Dengan demikian dekontruksi adalah salah satu cara untuk keluar dari dogmatisasi yang terkadang secara politis mengontrol pengetahuan manusia.
Kirakira seperti itulah penggalan bacaan dari apa yang saya ketahui. Buku yang oleh Hardiman dikelolah sedemikian rupa dari tulisantulisannya yang terpisahpisah, yang mana tulisantulisannya masih menyimpan sejumlah isuisu yang belum habis terjawabkan. Namun buku ini disatu sisi menarik untuk kita baca terutama bagi pegiat pemikiran filsafat.

Kant



"AUFKLÄRUNG ist der Ausgang des Menschen aus seiner selbstverschuldeten Unmündigkeit. Unmündigkeit ist das Unvermögen, sich seines Verstandes ohne Leitung eines anderen zu bedienen. Selbstverschuldet ist diese Unmündigkeit, wenn die Ursache derselben nicht am Mangel des Verstandes, sondern der Entschließung und des Mutes liegt, sich seiner ohne Leitung eines andern zu bedienen. Sapere aude! Habe Mut, dich deines eigenen Verstandes zu bedienen! ist also der Wahlspruch der Aufklärung."
(Immanuel Kant)

Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan.
(Immanuel Kant)