Tauhid dan Tuhan-Tuhan Jauh


Ibnu Arabi dikenal sebagai tokoh yang kontroversial. 
Dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud



TAUHID. Alkisah, di bukit Sinai, di semak-semak yang menyala, Tuhan menghadirkan dirinya di hadapan Musa. Tuhan yang ia saksikan kemudian memerintahkan Musa menghadapi Firaun untuk membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu.

 

Lalu, Musa bertanya, ”dengan nama apakah Engkau disebut?”

 

Dalam Bibel Tuhan berucap: ”Ehyeh asyer Ehyeh.”

 

”Aku adalah Aku.”

 

Kemudian Musa diingatkan agar jangan sekali-kali bertanya tentang diri Tuhan. Dia adalah Dia. Zat yang hanya diketahui diri-Nya sendiri.

 

Disebutkan ketika Musa ingin melihat wajah Tuhan, sekali lagi ia diperingatkan: ”Engkau tidak bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup.”

 

Di kisah itu, ketika Musa dipaksa umatnya agar Tuhan menampakkan diri-Nya, gunung tempat Tuhan menunjukkan dirinya hancur lebur. Musa terperanjat, gemetar ia dan seketika pingsan.

 

Tuhan, yang maha perkasa di peristiwa itu membuktikan: ”Tak ada yang bisa memandang diri-Ku.”

 

Ibn Arabi, ahli gnostik dan tasawuf mengecam orang-orang yang melanggar suatu kaidah pikiran yang disebut al-khawdl (pikiran spekulatif dan serampangan) tentang Tuhan. Tuhan biar bagaimana pun usaha agar mengetahuinya adalah sesuatu yang mustahil. Usaha yang sia-sia belaka.

 

Dengan kata lain, Tuhan bukanlah konsep yang sanggup dibatasi pikiran.

 

Tuhan dalam pemikiran Ibn Arabi disebut ”al illah al haq”, Tuhan yang Sebenarnya. Tuhan yang misterium. “Al illah al Majhul”, Tuhan yang Tak Dapat Diketahui.

 

Melalui Al-Qur'an surat Al-Syurah ayat 11, Dia dikatakan ”Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya”.

 

”Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tapi Dia mempersepsi semua penglihatan”. Begitu dalam Al-An'am ayat 103.

 

Lalu, yang bagaimanakah tauhid itu? Suatu tonggak pikiran yang mempersepsi Tuhan?

 

Bagaimanakah Tuhan dalam kalimat yang seringkali dilafaskan: la ilaha ilallah...

 

Jangan-jangan, tuhan yang selama ini diketahui adalah jenis tuhan dalam "la ilaha". Jenis tuhan yang dilarang dan kalau perlu dienyahkan. Jenis tuhan yang dikatakan ”tidak ada tuhan” seperti persepsi kita, tangkapan kita, kemauan kita. Bahkan mungkin kepentingan kita.

 

Tuhan yang dilarang, kata Ibn Arabi adalah tuhan dalam pikiran. Tuhan yang dibatasi berdasarkan pemahaman manusia. Tuhan yang diciptakan makhluknya.

 

Dalam teori atheis, Ludwig Feuerbach, seorang filsuf cum antropolog Jerman menyebut tuhan pikiran sebagai realisasi harapan tertekan dari manusia.

 

Tuhan dengan kata lain, hanyalah proses rekayasa imajinatif manusia untuk menutupi keterbatasan dirinya. Suatu proyeksi pikirannya sendiri.

 

Kalau demikian siapakah yang dibela selama ini? Bisa jadi Dia yang maha besar, Dia yang maha tak bisa diwakili dalam defenisi apapun, pada akhirnya berubah menjadi tuhan-tuhan pikiran. Tuhan-tuhan konsep. Sesuatu yang belakangan dibela mati-matian.

 

Barangkali karena itulah, tuhan yang dibela selama ini sering menimbulkan suara gaduh dari pada suluh. Tuhan yang diringsek kepentingan pikiran. Tuhan yang ditunggangi ego kelompok, bahkan politik.

 

Maka, alih-alih menjadi suluh, tuhan-pikiran yang dibela tidak mampu membuat teduh dan justru rusuh.

 

La ilaha ilallah, justru adalah tuhan yang ”hudur”. Kata ahli suluk tuhan yang hadir dalam batin sang makhluk. Tuhan yang begitu dekat dari pada jarak tuhan-konsep.

 

Tuhan yang hadir dengan begitu adalah tuhan hasil perjalanan dari tuhan-konsep menuju kedalaman penghayatan sang makhluk. Tuhan yang berjarak menjadi tuhan yang hadir bersama sang makhluk. Tuhan yang telah membunuh tuhan-tuhan dalam ”la ilaha” menuju dan menjadi ”ilallah”. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan.

 

Tuhan lebih dekat dari urat lehermu. Begitu kata agama.

 

Bagi tubuh, urat leher begitu saja ”ada” tanpa pernah dipikirkan. Ia ada tapi sangat jarang disadari. Ia, saking dekatnya, tidak pernah dipikirkan.

 

Tapi justru, karena itu ia malah menunjang hidup matinya seseorang. Tanpa urat leher, barangkali tak ada manusia yang dapat hidup.

 

Sebaliknya dikatakan, Tuhan, bahkan saking dekatnya dengan manusia, lebih dekat lagi dari dekatnya urat leher manusia.

 

Namun apa boleh buat, urat leher yang dekat seringkali dirasakan jauh. Malah ia sering kali tidak dihiraukan. Lebih malang lagi, Tuhan sebenarnya yang dinyatakan lebih dekat dari urat leher, justru dirasakan lebih jauh lagi dari pada urat leher. Lebih-lebih kehadirannya, nyaris tidak pernah terasa.

 

Walaupun demikian, di masa sekarang, justru yang dipahami, yang diperjuangkan bukan saja tuhan-tuhan konsep, melainkan juga tuhan-tuhan jauh: tuhan-tuhan yang menjelma kekuasaan, jabatan, kata-kata, tuhan-tuhan ormas, juga mungkin sekaligus secarik bendera.

 

90 Tahun Sumpah Pemuda


PEMUDA. Barangkali dari sekian banyak negeri hanya di Indonesia yang bangsa, tanah airnya, dan bahasanya sungguh-sungguh diikat dalam satu sumpah. Dan bukan orangtua, bukan kelas ningrat, bukan kelas bangsawan, apalagi kelas penguasa yang bersungguh-sungguh mengucapkan ikrar.

Pemuda, ya hanya pemuda, rentang masa usia yang seringkali dianggap minim makan asam garam nasib, miskin pengalaman.

Tapi, karena itulah ia masih bersih dan bebas dari ikatan-ikatan kelas, tradisi, atau bahkan kebiasaan yang bersifat koersif. Pemuda adalah rentang usia batas antara semangat menempuh cita-cita dengan suatu kehidupan yang mapan.

Tidak bisa dibayangkan jika 90 tahun lalu justru kelas ningrat-lah, misalnya, yang meneguhkan sumpah tanah air, bangsa, dan bahasanya. Mungkin saat itu tanah airnya bukan Indonesia sekarang, barangkali bangsanya malah mewakili trah darah biru saja. Dan kemungkinannya bahasa yang dipakai sekarang malah bahasa etnis tertentu saja.

Dengan kata lain, sumpahnya justru datang dari tekad atas kepentingan trah darah ningratnya.

Pemuda juga adalah elemen masyarakat yang paling terbuka dengan gagasan perubahan. Dia elemen yang memiliki daya imajinatif yang fleksibel dan lentur. Mudah berkembang didorong dengan cita-cita ideal.

Sulit rasanya jika melihat sejarah bangsa Indonesia tanpa keterlibatan generasi mudanya di masa lalu. Bahkan, negeri ini awalnya, fondasi kebangsaannya, malah digagas oleh kaum mudanya.

Melalui kongres ke kongres, gagasan demi gagasan, dari perkumpulan menuju perkumpulan, dari semua itu siapa menduga cikal bakal kemerdekaan Indonesia sudah ditanam sejak jauh hari.

Puncaknya, dalam sejarah bukan sekelompok orangtua, tapi anak-anak muda-lah yang mendesak kaum tua untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak tanggung-tanggung anak-anak muda yang dimotori kelompok Menteng 31 malah berani "menculik" presiden RI saat itu.

Hasilnya: 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka.

Itulah sebabnya, seorang Pram, menyingkat sejarah Indonesia sebagai sejarah kaum muda Indonesia.

Meminjam penjelasan Benedict Anderson, sumpah bangsa, tanah air, dan bahasa adalah perangkat imajinasi yang terbayangkan bersama mengenai satu komunitas yang sebagian besarnya tidak pernah saling bertatap muka dan berinteraksi.

Melalui ikrar bersama lahir afinitas yang tarik menarik sekaligus menerbitkan rasa percaya untuk menyongsong suatu komunitas bersama. Hal inilah yang melenyapkan sekat-sekat kedaerahan yang masih bercokol dalam pribadi-pribadi kelompok kepemudaan saat itu.

Dua hal ini, yakni afinitas yang saling mengikat dan kepercayaan yang saling bersetia, menjadikan sumpah pemuda sebagai tonggak bersama. Sebagai ikrar abadi untuk menempuh suatu cita-cita mulia bernama Indonesia.

Singkatnya, rasa-rasanya tanpa generasi muda kecil kemungkinan lahir proses imajiner yang membentuk cikal bakal Indonesia. Tanpa itu semua barangkali Indonesia hari ini hanyalah sekat-sekat teritori yang terpisah satu dengan lainnya. Suatu kawasan dengan sejarahnya masing-masing.

Metamorfosis Ibu: Merumahkan Ide Melalui Literasi Parenting


Judul Buku: Metamorfosis Ibu, Sehimpunan Literasi Parenting
Penulis: Mauliah Mulkin
Penyunting: Sulhan Yusuf
Ilustrasi isi: Nabila Azzahra
Desain sampul: Ambena Akkin
Penerbit: Liblitera
Tahun terbit: Agustus 2018
Tebal halaman: 270 halaman


KEUNIKAN buku ini adalah semuanya lahir dari keluarga. Yang menulis, menyunting, sampai ilustratornya.

Tema-temanya digali dari pengalaman keluarga. Entah dari proses mengasuh anak hingga mengasah anak. Dan juga, tentu mengasihi anak. Bisa dibilang dari saling asuh, asah, dan asih inilah buku ini menopangkan dirinya.

Di tulisan yang sedang eike persiapkan untuk buku ini, ada satu peran utama yang menjadi benang merah dari esai-esai literasi parenting ini: ibu.

Ya, dari pengalaman seorang ibu-lah buku ini akhirnya bisa sampai ke tangan pembaca. Tentu perlu digarisbawahi, kata pengalaman yang eike maksud di sini adalah jenis peng-alam-an yang betul-betul pengalaman. Suatu tindakan yang terlibat dan dilibati lingkungannya. Pengalaman yang mengikutkan rasa, pikiran, emosi, dan intuisi seorang ibu.

Dengan kata lain, suatu pengalaman yang lahir dari dalam. Yang memangkas jarak dan waktu. Yang intim sekaligus fenomenologis.

Itulah mengapa, esai parenting ini begitu hidup dan gamblang. Ia lahir dari orang pertama. Dari pelaku langsung.

Seorang ibu, kiwari agaknya dinilai sebelah mata. Dia hanyalah elemen masyarakat nomor dua. Sebagai perempuan ia dipandang tidak memiliki sumbangsih apa-apa. Ia pasif dan bukan sebagai agen perubahan.

Bahkan banyak fenomena memperlihatkan komunitas ibu-ibu yang berkumpul hanya untuk bersenang-senang. Berbelanja dan bergosip secara berjamaah. Kadang, di akhir pekan mereka bertemu hanya sebagai ajang katarsis. Hanya bersuara akibat menjadi “korban” dunia laki-laki.

Yang paling fenomenal adalah dieksploitasinya dunia ibu-ibu oleh tarik ulur politik. Di kancah nasional ada salah satu capres memanfaatkan emak-emak sebagai kekuatan politiknya. Nampak dari permukaan ini seolah-olah kekuatan baru dalam kancah perpolitikan. Tapi sebenarnya fenomena itu tetap saja menjadi bamper politik.

Kaum perempuan atau ibu-ibu tetap saja masih diimajinasikan melalui kebutuhan laki-laki.
Semua fenomena itu terjadi karena perempuan tidak mampu mendayagunakan protein bahasanya. Saking lemahnya, protein bahasa yang memproduksi kata-kata hanya dimanfaatkan untuk mewacanakan hal-hal di seputar dunia belanja, dapur, dan kasur. Kata-kata perempuan hanya tercecer di pelataran gosip belaka.

Tapi buku ini sebaliknya. Melalui kata-kata (hasil penelitian ahli linguistik menyebutkan perempuan menghasilkan 20.000 kata perharinya dan kaum lelaki hanya 7000 kata saja perhari) seorang ibu malah berjuang dari dalam, dari ruang domestiknya dengan menulis. Suatu pekerjaan para begawan kebudayaan.

Dengan kata lain, dari ruang domestiknya perempuan sebenarnya adalah benteng terakhir peradaban. Di ruang domestiknyalah ia semestinya juga dapat mengembangkan peran sosialnya. Melibatkan diri dari balik pintu rumah ikut membentuk masyarakatnya.

Berbeda dari cara pandang Barat meletakkan peran perempuan dalam skema dinamika masyarakatnya. Perempuan-perempuan Timur dengan adat budayanya justru banyak mendayagunakan ruang keluarganya sebagai basis perubahan. Dengan cara mendidik anak-anak menyiapkan pelanjut-pelanjut generasi bangsanya.

Itulah sebabnya perlu kaca mata lain untuk melihat kebiasan perempuan-perempuan Timur dalam konteks gendernya. Bagi Barat perempuan mesti menerobos dinding domestiknya untuk berperan di ranah publik. Itu adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perannya.

Sementara perempuan-perempuan Timur, tidak ada distingsi antara ruang domestik dan ruang publik. Tidak ada pemisahan antara rumah dan masyarakatnya. Meski demikian berjarak dari segi ekonomi dan politik, namun dari segi budaya, dua ranah ini adalah satu kesatuan. Dia berbagi dimensi yang sama.

Di masyarakat Bugis-Makassar, misalnya, di balik kepemimpinan seorang laki-laki justru dilegitimasi oleh keberadaan seorang perempuan. Ada anekdot lucu untuk menggambarkan kedudukan perempuan di masyarakat Bugis: jika gagal memengaruhi pendirian seorang pemimpin, maka cobalah datang melalui ibu atau istrinya. Niscaya melalui pengaruh “di balik layar”, permintaan halus seorang ibu atau istri kepada pemimpin laki-laki akan mengubah keputusannya.

Demikian sentralnya peran perempuan, masih dari tanah Bugis-Makassar, jika ada permintaan atas sesuatu yang sifatnya umum kadang dimediasi melalui datang bertandang langsung ke rumah sang pemimpin. Di rumah, sang pemimpin laki-laki, akan turut ikut kepada kemauan sang istri atau ibunya. Di rumah, sang perempuanlah pemimpinnya.

Buku ini adalah salah satu contoh bagaimana perempuan mengelola rumah tangganya dengan protein bahasanya. Mengumpulkan dan menjadikannya sebagai benda budaya. Sebuah buku untuk disejajarkan sebagai pekerjaan pemberdayaan masyarakat. Terutama bagi ranah sel terkecil masyarakat: keluarga.

Islam menyebut masyarakat atau bangsa dengan istilah khas: umat. Sepadan dengan kata asalnya, “um” yang membentuk kata “umi” atau ibu. Kata umat dari kata “amma-yaummu” yang berarti “menuju”, “menumpu”, “meneladani”.

Kata “imam” juga mengasalkan akar katanya dari asal yang sama dengan kata “umat” dan “umi”. Seorang imam mesti memiliki sifat-sifat seorang ibu: menjaga, mengasihi, mengayomi, melestarikan….

Bahkan, seorang ibu adalah imam. Seorang pemimpin.

Buku ini merekam jejak kepemimpinan seorang ibu. Lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana seorang ibu memimpin masyarakatnya. Dari rumah sekalipun.


Data buku:
Judul Buku     : Metamorfosis Ibu, Sehimpunan Literasi Parenting
Penulis            : Mauliah Mulkin
Penyunting      : Sulhan Yusuf
Ilustrasi isi      : Nabila Azzahra
Desain sampul: Ambena Akkin
Penerbit          : Liblitera
Tahun terbit    : Agustus 2018
Tebal halaman: 270 halaman

---
Telah tayang di Kalaliterasi.com



Jalan Raya: Alas Pijak Kapitalisme Global


Data buku:
Judul Buku: Melawan Rezim Infrastruktur Studi Ekonomi Politik
Penulis: Muhammad Ridha
Penerbit: Carabaca
Tahun terbit: Agustus 2018
Tebal halaman: XXIII + 156 halaman

DI ABAD modern,  sejarah jalan raya adalah sejarah modernisasi itu sendiri.  Tanpa jalan raya, percepatan modernisasi berupa perpindahan penduduk, pergerakan arus transporatasi, pembangunan infrastruktur, terbentuknya kawasan perkotaan, dan pergerakan komoditas  akan sulit terealisasi.  

Jalan raya adalah tulang punggung yang  menjadi alas sekaligus penghubung beragam penanda modernitas di atas dapat mengalami ekspansi geografis seperti yang dirasakan seperti sekarang ini.

Dengan kata lain, basis utama dari modernisasi ( yang dalam kajian kritis adalah juga kapitalisme itu sendiri) adalah jalan raya yang menjadi saluran pembuluh saraf, yang menghubungkan titik-titik terpencar dari aktivitas produksi kapital menjadi lebih terhubung dan lebih gampang terkoordinasi.
Pernyataan ini setidaknya menandai telah terjadi peralihan yang semula dapat disaksikan di tanah air sendiri berkaitan dengan pembangunan jalan-jalan raya di masa silam.

Di tanah air, jika ingin menandai kapan modernisasi pertama kali terjadi akan ditemukan dua peristiwa yang berkaitan kembali dengan sarana transportasi: pembangunan jalur rel kereta api  Semarang-Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta, daerah perkebunan yang subur) yang dilaksanakan oleh Nederlandsch Indisch Spoorwegmaatschappij (NIS)  dan megaproyek jalan raya dari  Anyer hingga ujung jawa Bayuwangi berupa pembangunan yang dikenal sebagai jalan raya Pos.

Pembangunan yang pertama bermaksud untuk mengangkut hasilhasil bumi berupa gula, kopi dan nila yang dikerjakan melalui sistem cultuur stelsel (tanam paksa). Sementara yang kedua  --selain karena alasan perdagangan—juga dipakai sebagai cara pemerintah Hindia Belanda  mengontrol pergerakan  dan pemberontakan pribumi-pribumi melalui patroli-patroli militer yang mengandalkan akses informasi yang cepat.

Dari kedua peristiwa di atas jalan raya menjadi jauh lebih penting dari masa sebelumnya.  Di era penjajahan jalan raya bukan saja sebagai cara pemerintah Hindia Belanda agar lebih mudah menggerakkan alat-alat militernya, melainkan lebih dari itu yakni sebagai sarana menggerakkan hasil-hasil bumi.

Di masa sekarang, aktivitas di atas jalan raya tidak serta merta difungsikan sebagai sarana transportasi belaka, melainkan juga masih mempertahan cara yang sama seperti di masa penjajahan dahulu: perdagangan.

Namun sayangnya, dari semua itu, betapa fundamentalnya peran dan kedudukkan jalan raya dalam skema pembangunan hari ini, sejauh penulis ketahui belum ada karya pikiran yang khusus mengkaji jalan raya sebagai objek perhatiannya. Padahal jika melihat peran strategisnya menghubungkan lokasi-lokasi sumber daya, dan keberadaannya yang  sangat trategis bagi percepatan pembangunan, jalan raya patut ditelaah secara kritis.

Di tengah kekosongan –dan juga luput dari perhatian--kajian kritis tentang jalan raya, beberapa waktu lalu terbit buku “Melawan Rezim Infrastruktur Studi Ekonomi Politik” karya Muhammad Ridha, seorang dosen sosiologi UIN Alauddin yang setidaknya mengisi satu titik kosong di dalam perbincangan berkaitan dengan tema kritik ideologi kapitalisme.

Hendro Sangkoyo dalam kata pengantarnya di buku ini, diasalkan kepada satu pertanyaan mendasar: untuk apa jalan raya dibuat? Melalui pertanyaan utama  inilah analisis-analisis Muhammad Ridha dikembangkan dengan cara menelusuri di mulai dari sejarah jalan raya dan bagaimana posisinya hingga sekarang terutama ketika di dudukkan ke dalam format ideologi pembangunan di tanah air dan  masyarakat kapitalisme global.

Yang paling menarik dari itu, demi menguatkan tesisnya, Ridha menggunakan pendekatan studi ekonomi politik khas Marxian melalui dedah teori ruang yang diperkenalkan seorang Marxis Henri Lefebvre dan David Harvey di dalam melihat jalan raya.

Melalui pendakuan-pendakuan teoritik kedua tokoh inilah, Ridha meneropong  jalan raya dari sisi ekonomi-politik dalam struktur kepentingan kapitalisme global.

Jalan raya dalam imajinasi kapitalisme

Untuk mengemukakan penjelasan dari pernyataan di atas, Ridho memperjelasnya dari pendakuan konsepsional Hendri Lefebvre berkaitan dengan ruang. Bagi Lefebvre, jalan raya sebagai ruang tidak sekadar hanya sebagai spasio-temporal yang sangat harfiah dan tidak memiliki sangkut pautnya dengan representasi struktur sosial tertentu.

Menurut Lefebvre, seperti dikemukakan Ridho, ruang dalam hal ini jalan raya adalah medan yang sudah sebelumnya dikonstruksi elit masyarakat tertentu. (hal.24)

Dalam hal ini kontruksi jalan raya tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan-pertanyaan Ridha untuk menguji keberadaan jalan raya dari sisi politisnya, semisal yang berkaitan dengan siapa yang mengkontruksi jalan raya? Bagaimana ia diproduksi? Apa yang ingin ditunjukkan di atasnya? Untuk apa jalan raya dibangun? Siapa yang diuntungkan dari pembangunan jalan raya, dan siapa yang dirugikan? (hal.23)

Dengan kata lain, konsepsi ruang dalam hal ini juga adalah  jalan raya senantiasa berkaitan dengan eksposisi-eksposisi yang diajukan pertanyaan kritis Ridha di atas.

Sebagaimana dijelaskan menurut logika Lefebvre,  dalam masyarakat kapitalis jalan raya menjadi begitu sentral untuk menjalankan suatu pendekatan yang memeragakan tindakan produksi sekaligus menjadi arena bagi subjek tertentu menjalankan dominasinya.

Jalan raya dalam hal ini tidak terhindarkan dari praktik-praktik representasi melalui beragam subjek yang berbaur di dalamnya. Dia menjadi arena pertarungan untuk mengukuhkan suatu kecenderungan dominasi atas posisi kelas tertentu.  

“Masalah terbesarnya adalah representasi ruang elit terlalu mendominasi praktik spasial dan ruang representasional sehari-hari” (hal.25)

Mengikuti pemikiran Lefebvre, dalam struktur dan praktik sosialnya, jalan raya senantiasa dihadirkan berdasarkan logika ruang kelas pemodal demi efisiensi dan efektifitas produksinya. Dalam hal ini ruang atau jalan raya didudukkan berdasarkan kebutuhan kelas pemodal dengan pertimbangan jalan raya mesti memudahkan sirkulasi dan peredaran komoditi, dan bahkan menjadi ruang produksi itu sendiri.

Namun bagaimana sebenarnya ruang atau jalan raya berperan menjadi seperti yang dikatakan di atas sebagai “pembuluh saraf” yang menghubungkan pelbagai titik-titik sumber daya untuk mensirkulasikan pergerakan komoditas dan modal?

Di sinilah peran penjelasan David Harvey dikemukakan mengenai apa yang disebut dengan ekonomi ruang (space economy) dan spatio temporal –fixed. Kedua konsep ini pada dasarnya merujuk kepada strategi kapitalisme  untuk mengektifkan dan mengefesienkan kerja produksi dan sirkulasi komoditi  sekaligus memperluas cakupan dan modus operasionalnya demi menunda krisis yang terjadi dalam dirinya. Hal ini dilakukan dengan pergerakan menemukan dan membuka ruang baru agar terjadi perluasan dan peningkatan surplus modal dapat terus terjadi.

Dua konsep kunci inilah yang menjelaskan mengapa kapitalisme dengan cepat dapat memperluas cakupan pasar dan investasinya kepada proyek-proyek jangka panjang melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur berskala global.

Seperti dikemukakan Ridha “di Jawa masa kolonial hingga orde baru ketika jalan berperan khusus memberikan suatu model kompresi ruang dan waktu. Jalan raya pos mengurangi waktu tempuh dan Batavia ke Surabaya yang tadinya bulanan menjadi hanya seminggu, begitu juga jaringan kereta api di Jawa yang menyebabkan pergerakan barang dan orang semakin cepat dari sebelumnya” (hal. 32)
Yang tersingkir dari pembangunan Infrastruktur

Secara kasat mata, di mana pun terjadi perluasan pembangunan infrastruktur, di situ dengan gamblang terjadi juga aktivitas penyingkiran bagi masyarakat sekitar. Pemandangan ini jamak ditemukan di bukan saja di kota-kota besar, melainkan ikut merembes ke wilayah pedalaman sesuai kebutuhan investasi pembangunan.

Menurut liputan Tirto.id tertanggal 24 November 2016 di bawah rezim Jokowi-JK  saat ini tercatat tujuh kasus yang ditimbulkan akibat pembangunan infratruktur berskala nasional.  Dimulai dari proyek pembangunan jalan tol di Kuala Namu, Sumatera Utara, Pembangunan PLTA Waduk Cirata di Purwakarta Jawa Barat, Bandara Internasional di Yogyakarta,  Pembangkit listrik panas bumi di NTT,  Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar, hingga pembangunan BandaraDominique Edward Osok, Sorong Papua.

Sementara Berdasarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, tercatat ada 248 proyek infrastruktur strategis nasional di berbagai wilayah Indonesia mulai dari jalan tol, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, rusun, kilang minyak, Terminal LPG, SPAM, bendungan dan irigasi, peningkatan jangkauan broadband, techno park, Kawasan Ekonomi Khusus, smalter, dan pembangkit listrik.

Tidak sedikit dari pembangunan infrastruktur berskala nasional di atas menimbulkan banyak korban. Sudah barang pasti proyek pembangunan infrastruktur  di atas banyak mengubah lanskap kehidupan sosial-ekonomi-budaya masayarakat setempat. Bukan saja kehilangan nyawa, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, melainkan juga kebiasaan-kebiasaan yang menjadi tradisi dan dasar interaksi masyarakat di dalamnya.

***

AWALNYA seperti dikatakan Ridha buku ini akan diberi judul “Merebut Kembali Jalan Raya Studi Ekonomi Politik”, namun setelah diberikan usulan oleh Eko Prasetyo buku ini sampai ke hadapan pembaca dengan judul cukup menantang: “Melawan Rezim Infrastruktur Studi Ekonomi Politik”. 

Dengan melihat perubahan itu buku ini memiliki motivasi bukan saja sekadar hanya menjadi “imajinasi bagi pembaca”, seperti disebutkan Ridha dalam kata pengantarnya, melainkan sebenarnya sebuah kritik bagi ideologi pembangunan yang dianut pemerintah saat ini.

Itulah sebabnya, barangkali buku ini terkhusus ditujukan kepada mahasiswa, elemen sosial yang paling politis menggunakan jalan raya. Elemen gerakan mahasiswa seperti diketahui, seringkali menggunakan jalan raya sebagai medan terbuka melancarkan kritik-kritiknya terhadap rezim pemerintahan yang dinilai tidak adil dan demokratis.

Memang bagi kelas masyarakat tertentu, aktivitas politik mahasiswa di jalan raya ketika melakukan hajatan aksi demonstrasi, dianggap mengganggu laju lalu lalang sirkulasi transportasi. Ketika mahasiswa turun ke jalan sebagai satuan gerakan, waktu dan ruang gerak bagi pengguna jalan banyak tersita dan terbuang percuma. Karena inilah, acap kali mahasiswa dengan tradisi berlawanan demikian dinilai negatif dan terbelakang.

Namun, ketika pandangan negatif semacam selama ini dikembalikan kepada dalil teoritik dalam buku ini berkaitan dengan jalan raya sebagai ruang konstestasi dalam semesta kepentingan kapitalisme global, keresahan-keresahan berkaitan dengan aktivisme mahasiswa di jalan raya dengan sendirinya akan tertolak.

Di akhir-akhir bagian buku ini juga akan kelihatan dengan terang “semangat awal” dari Ridha ketika meletakkan keperpihakkannya kepada aktivisme kritis mahasiswa yang kerap menjadikan ruang publik sebagai medan pergerakannya. “…tepat pada logika semacam inilah tulisan  ini ingin menjadi pembelaan bagi seluruh aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh kaum miskin, mahasiswa dan elemen sosial lainnya yang merasa bahwa jalan bisa menjadi ruang untuk mempertaruhkan hidup dan masa depan kehidupan mereka”.

Akhirnya, buku ini –sekali lagi—patut diapresiasi tinggi disebabkan memberikan analisis mendalam tentang kedudukan jalan raya di dalam semesta kapitalisme global. Juga  seperti ujaran Martin Suryajaya, buku ini menambah daftar tematik di dalam mendalami kajian-kajian tentang aktivitas produkis kapitalisme yang hanya berfokus di ranah kerja dan produksi belaka. 

---

Telah tayang sebelumnya di Kalaliterasi.com

Kesyahidan Imam Husain dan Epik Karbala

“In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act. Di saat kebohongan, menyatakan kebenaran adalah sebuah tindakan revolusioner.”

Imam Husain lebih dari sebuah nama. Ia adalah sebuah pemahaman. Sebuah Perspektif.

Sebagai sebuah pemahaman, Imam Husain adalah pandangan dunia yang membetot pikiran mengenai dua sisi kontradiktif yang tidak mungkin ditengahi: kebenaran dan kebatilan.

Sebagai sebuah perspektif, pribadi Imam Husain menjadi simbol keberpihakan bagaimana suatu pandangan dunia mau tidak mau harus rela menanggung risikonya. Hatta, kematian sekalipun.

Tapi di Karbala kematiannya bukanlah risiko. Di padang itu, kesyahidannya adalah puncak tertinggi dari moralitas adihulung yang dimiliki seorang pribadi.

Dengan kata lain, epik kesyahidan Imam Husain di Karbala menjadi satu-satunya ultimate goal dari sekian pilihan yang diambilnya.

Dari sisi teori bunuh diri, kematian Imam Husain bukan kategori kematian yang dibilangkan Emile Durkheim, seorang scholar sosiologi, sebagai akibat dari melemah atau kuatnya struktur sosial yang menjadi penyebabnya. Atau  lebih-lebih disebabkan hilangnya kendali norma masyarakat yang membuatnya patah semangat.

Kematian Imam Husain adalah pilihan sadar yang melampaui syarat-syarat material masyarakat saat itu. Satu jenis kematian yang dalam pengertian Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis Jerman sebagai sterben, yakni kematian yang dijemput dan direncanakan.

Karena sifatnya direncanakan, kematian sterben berbeda dari kematian off-liven. Dalam pemaknaan Heidegger, kematian off-liven adalah kematian alami benda-benda dan binatang disebabkan datang begitu saja tanpa ada persiapan apa-apa untuk menjemputnya. Kematian yang tidak bermakna.

Sementara kematian Imam Husain adalah kematian dengan makna agung.  Ia  tidak dikondisikan keadaan. Karena itulah ia membuat gaung panjang yang memengaruhi jalannya sejarah.
Itulah sebabnya, kematian Imam Husain disebut syahid. Pilihan yang tumbuh dari jiwa yang merdeka atas suatu gagasan.

Di Karbala gagasan itu sepadan dengan kata-kata George Orwell yang saya kutip di atas tadi: In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act. Di saat kebohongan, menyatakan kebenaran adalah sebuah tindakan revolusioner.

Namun, bagaimana mungkin di Karbala hanyalah kisah yang menunjukkan sebuah pernyataan. Kisah 10 Muharram adalah epik sejarah yang merekam seorang pribadi yang  bukan saja menyatakan kebenaran, tapi juga sekaligus bertindak benar melalui jiwa sekaligus tubuhnya.

Karena itulah dalam tradisi pemikiran Syiah, kisah 10 Muharram menjadi inspirasi abadi untuk menyuarakan kebenaran bukan saja melalui pernyataan tapi juga tindakan.

Sebagaimana sebuah epik, dalam kisah Asyura banyak rupa kejiwaan yang merefleksikan pribadi manusia. Ibarat sebuah “pertunjukkan” melalui 10 Muharram banyak peran kemanusiaan yang ikut terlibat dan berkelindan di antara dua bentang sisi berlawanan yakni kebenaran dan kebatilan.

Melalui sejarah Karbala, walaupun sama-sama berlabel Islam, pribadi Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah adalah dua paras ekstrim yang membentang saling menegasi. Dua-duanya sama-sama menjadi wakil gagasan, nilai, dan esensi agama yang berlainan. Imam Husain sebagai pewaris ajaran Rasulullah, dan Yazid sebagai tokoh antagonis dispotik yang memelintir ajaran Muhammad.

Dari sisi ini, pelakonan antara Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah seperti analisis Dr. Ali Syariati, scholar sosiologi Islam yang disebutnya agama vs “agama”. 

Agama pertama yang diperjuangkan Imam Husain adalah karakteristik agama seperti yang dinubuatkan Rasulullah dengan nilai-nilai utama berupa egalitarianisme, emansipatif, dan humanis.
Sedangkan agama dalam tanda kutip seperti yang diperankan Yazid bin Muawiyah adalah sisi sebaliknya berupa agama yang menjadi sektarian, nonkoperatif, dan dispotik.

Di sekitar ketokohan Imam Husain untuk menyebut beberapa di antaranya ada sahabat-sahabat semisal Anas bin Harits Kahili, Habib bin Muzhahhar, Muslim bin Awsaja, Hani bin Urwah, Abdullah bin Baqthar Himyari, John bin Huwai yang mencerminkan sifat kerelaan dan kesetiaan terhadap pribadi Imam Husain sebagai simbol kebenaran.

Selain sanak famili, para sahabat Imam Husain menjadi contoh keberpihakan dengan menujukkan diri sebagai pribadi yang rela berkorban demi tegaknya prinsip amal ma’ruf nahi mungkar walaupun nyawa sebagai taruhannya.

Sementara di sisi seberang yang diwakili Yazid bin Muawiyah terdiri dari sosok-sosok yang dibelenggu tipu muslihat dan ego kekuasaan untuk meraih keuntungan sekaligus simpati masyarakat dengan mempermainkan agama sebagai jualannya.
Di antaranya adalah orang-orang semisal Ubaidillah bin Ziyad, Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Syimr bin Dzil Jausyan yang memeragakan lakon antagonis mengedepankan sifat tamak, serakah, dan bebal yang memanfaatkan jaringan kekuasaan demi menyudahi perjuangan Imam Husain.

Dari semua lakon yang terjadi, peristiwa Asyura adalah kisah epik tiada duanya. Ia adalah kisah yang bertutur melalui puncak-puncak nilai kemanusiaan. Hanya di peristiwa Karbala-lah, semua ketinggian nilai kemanusiaan ditemukan, tapi juga sebaliknya secara bersamaan menunjukan peran yang mencerminkan nilai antikemanusiaan.

Kiwari, ketika kisah-kisah kemanusiaan banyak dikalahkan oleh narasi modernisme dalam ingatan kolektif masyarakat, peristiwa Karbala-lah kisah agung yang berdiri di atas pengisahan gugatan dan gugahan bagi siapa saja yang menyadarinya. Sebuah kisah yang mampu didudukkan sebagai gagasan trasnformatif untuk merevitalisasi cara masyarakat beragama agar tidak terjebak ke dalam simbolisme agama dan politik atas nama agama.

Pada akhirnya, kisah Karbala adalah kisah kemanusiaan-universal. Kenyataannya, 10 Muharam bukan sekadar penanda atas waktu suatu peristiwa epik. Melainkan merupakan penanda ingatan dan jiwa, yang menjadi suluh keduanya agar terus berjangkar kepada puncak-puncak kemanusiaan demi menegakan spirit Islam yang diajarkan Rasulullah.

Semua ingatan adalah Asyura, semua tubuh adalah Karbala.

---

Tayang sebelumnya di Geotimes.co.id